Plagiarisme Sumber Berita Kloning

kalau wartawan tidak punya cukup kemampuan untuk survive di bidang ekonomi, maka wartawan akan tidak selalu “berwibawa di depan narasumber.” “Justru menurut saya ketika ada koresponden Tempo bisa mengkriet usaha lain sambil melakukan peliputan, justru menguntungkan Tempo. Karena bagaimanapun kalau koresponden itu sudah tidak punya problem dengan urusan elementer, persoalan makan, minum, pulsa, bensin. Kita kan relatif bebas dari bayang-bayang amplop. Coba anda bayangkan, se-idealisme siapapun kalau dia ketika melakukan peliputan masih kesusahan hidup, mudah tergoda, berpotensi ya.” Salah satu kesulitan dalam pemberantasan budaya amplop di kalangan wartawan adalah bersumber pada pandangan yang keliru mengenai amplop. Definisi yang kerap kabur mengenai amplop mungkin lantaran amplop selama ini telah menjadi budaya di semua kalangan dan lapisan wartawan. Kebiasaan narasumber memberikan fasilitas, akomodasi liputan dan sebagainya sudah menjadi kelaziman, dan tidak ada yang mengkritiknya. Di institusi Tempo sendiri terdapat kode etik Tempo, secara tegas bahwa amplop adalah bagian dari korupsi karena akan berpotensi untuk mempengaruhi independensi dalam menulis. Wartawan yang menerima amplop tidak bisa ditoleransi lagi, langsung dipecat. Informan dalam penelitian ini secara otomatis sadar menghindari hal tersebut.

3.1.1.2.1.2. Plagiarisme Sumber Berita Kloning

Kemajuan teknologi di dunia media massa dapat memudahkan pekerjaan bagi wartawan. Adakalanya kemajuan teknologi juga membuat informasi menjadi berlimpah, berlebihan, sehingga mengurangi nilaikadar kualitas informasi. Di banyak ruang redaksi, kesulitan para redaktur pun tak lagi kekurangan, melainkan kelebihan. Bagi konsumen media, banjirnya informasi ini tak lagi mencerahkan, justru membingungkan, bahkan menyesatkan. Akibatnya, salah satu kemudahan dalam penggunaan komputer tersebut menyebabkan tumbuhnya plagiarisme berita. Berita copy paste plagiat biasanya diambil dari kantor-kantor berita dalam dan luar negeri, atau dari media online dotcom. Bisa pula penjiplakan dari sesama wartawan dari kantor yang berbeda kloning untuk digunakan di media cetak surat kabar, majalah, elektronik maupun online. Dalam Kode Etik Jurnalistik KEJ, jelas-jelas melarang plagiarisme. Bagi konsumen, pelanggan yang membayar amat dirugikan dengan situasi tersebut. Padahal tujuan berlangganan berbagai media adalah untuk membaca perspektif yang berbeda, justru yang didapat adalah sebaliknya. Sementara itu, Agung Sedayu, Staf Redaksi Tempo menceritakan pengalamananya selama ini: “ Berita di Jakarta itu kan gampang dideteksi. Misalkan saja kalau ada teman yang online, kita bisa melihat berita di detik.com atau apa pada hari yang sama kan sudah turun, ketika itu beritanya sama persis kan mencurigakan. Dan orang kantor pun di masih level Jakarta, mereka masih mendeteksi pergerakan reporternya kemana saja, mereka bisa diketahui. Misalkan saja reporter sedang jalan ke Jakarta Barat, terus dia tiba-tiba menulis di Jakarta Selatan itu kan hal yang aneh, itu bisa diketahui. Lha ini berita dari mana? Itu mungkin akan agak susah dideteksi ketika di daerah. Di daerah kan lebih rumit untuk mengawasi pergerakan koresponden di daerah itu kan. Kalau di daerah aku tidak tahu. Tapi kalau bicara kemungkinan ruang untuk bisa melakukan itu lebih besar di daerah bila dibandingkan dengan di sini.” Informan dalam penelitian ini menilai, plagiarisme sumber berita kloning di Tempo sangat dilarang, walaupun berlimpahnya informasi yang tersedia di jagad maya, tetap saja informan tidak ingin melanggar kode etik pers, dan kode etik Tempo. Sebagai gantinya, jika wartawan Tempo benar-benar melanggarnya, pemecatan akan menimpanya. Informan sendiri menyadari, perbuatan tersebut akan terdeteksi di lapangan ketika menjalankan jurnalistiknya.

3.1.1.2.2. Pengetahuan Teori Jurnalistik