media yang mempunyai efek cukup besar terhadap publik. Suatu profesi memang memerlukan semangat dan kesungguhan tertentu. Disiplin profesi mengikat setiap
anggota yang telah bergabung ke dalam lingkaran profesi tersebut, sekaligus menolak hadirnya orang-orang yang tidak memenuhi disiplin di dalamnya.
Keadaan yang sama juga diungkapkan informan penelitian ini yang berstatus karyawan tetap Tempo. Agung Sedayu, Staf Redaksi Investigasi dan Edisi Khusus
Majalah Tempo mengatakan tak jauh beda dengan pandangan Sohirin. Pendapatnya tentang kategori wartawan disebut sebagai buruh. “Wartawan ya
buruh. Kita kan orang yang berpofesi sebagai buruh media,” katanya kepada saya. Belum lagi kehadiran internet di era media baru semakin terbukti tidak
hanya memberikan pengaruh positif dalam konteks praktik jurnalisme. Di sisi lain, kehadiran dunia maya dengan teknologinya ini telah menggugat dunia media
dengan indikasi munculnya masalah-masalah baru terkait standar etika dan hilangnya kontrol skill kewartawanan yang semuanya berujung pada erosi
keprofesian mereka. Kondisi ini kemudian memunculkan ide soal pentingnya menggagas kursus atau pendidikan khusus bersertifikasi bagi wartawan.
Adanya sertifikasi untuk wartawan yang digagas oleh Dewan Pers, didukung sepenuhnya oleh Wahyu Muryadi, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo.
“Sertifikasi ini kan untuk supaya wartawan itu terjaga profesionalismenya. Selalu diuji kualifikasinya, diuji kompetensinya, seperti pilot, jam
terbangnya berapa, mampukah dia? ya kita dukung. Meskipun di Tempo masih belum semuanya, maka kami lebih memercayai bagaimana
masyarakat mempercayai kami, itu yang lebih penting, daripada aspek-aspek yang sifatnya formalitas kayak gitu. Kalau lulus dari sertifikat seperti itu
kalau masyarakat tidak mempercayai buat apa. Tapi juga alangkah baiknya kalau wartawan yang diuji kompetensinya kemudian lolos. Itu kan cuma
diuji aja dari tes-tes itu, menurut saya masih kurang profesional sehingga perlu diperbaiki ya.”
3.1.1.1. 1. Kesadaran Profesi Wartawan
Dalam melaksanakan pekerjaannya, wartawan dituntut menyadari norma-norma etika dan berbagai ketentuan hukum yang berkaitan dengan karya jurnalistik.
Sementara, dalam meniti karirnya, wartawan juga harus menyadari arti penting profesionalisme dalam melaksanakan pekerjaannya, yaitu peran kompetensi atas
kesadaran bagi peningkatan kinerja pers dan profesionalismenya. Agung Sedayu mengatakan, sebagai karyawan tentu ada etika yang harus dipegang dengan jelas.
Terlebih menjadi pegawai berarti harus mengutamakan kerjanya sebagai pegawai, karena ada etika jurnalistik. Dengan demikian, menurutnya, wartawan dituntut
profesional semata-mata bukan hanya karena idealisme yang ada pada profesi tersebut, melainkan keprofesionalan itu mempengaruhi media yang mempunyai
efek cukup besar terhadap publik. Terlebih menurut Agung, kesadaran profesi dalam penentuan jam kerja bagi
wartawan juga tak ada standar patokan kerja. Secara kacamata pekerjaan wartawan itu bersifat profesi sama seperti seorang dokter. Itulah sebabnya,
analogi kerja wartawan seperti halnya kerja seorang dokter, barangkali bisa menerjemahkan filsafat kebebasan. Memang, tugas wartawan sama dengan tugas
dokter, yaitu menyelamatkan manusia untuk hidup bebas. Sementara, dokter memeriksa, menelisik, dan memberi obat, bahkan bila perlu melakukan operasi
bedah, sedangkan wartawan mewawancara, mencari, dan memberi informasi, bahkan bila perlu melakukan investigasi. Dokter mempunyai prosedur standar
kerja dan kode etik, begitu pula wartawan pun wajib bekerja sesuai dengan prosedur standar dan kode etiknya. Jika tidak, keduanya bisa dituduh malapraktik
dan dipecat dari profesinya. Lantas, siapa yang mau jadi dokter dan wartawan jika dalam setiap proses
kerjanya bisa diganggu gugat atau dikriminalisasi? Setiap intervensi dari siapa pun terhadap kerja mereka justru bisa mengacaukan hasil dan independensi
pekerjaannya. Di situlah dokter dan wartawan mempunyai kebebasan otonom dalam kerja profesinya. Kebebasan itu diberikan bukan untuk enak-enakan, kerja
semaunya, melainkan demi menjamin kemaslahatan hidup manusia. Pendapat Agung Sedayu kemudian diperkuat oleh Sohirin, wartawan yang
berstatus koresponden di salah satu grup Tempo. Menurutnya, kompetensi wartawan perlu adanya kesadaran profesi dan etika.
“Idealnya, jurnalis itu setia pada profesinya. Kalau sudah setia dalam profesinya, memulai dengan taat pada kode etiknya, itu tidak ada gugatan
hukum. Kalaupun ada kita bisa menghadapinya, karena kita sesuai dengan riil-nya, sesuai jalurnya. Idealnya kan begitu. Kenapa saya setia pada
profesi, artinya tidak bergantung kepada Tempo. Siapapun korespondennya, bekerja untuk siapapun namun dia tidak mengabdi kepada institusinya, tapi
mengabdi kepada profesinya. Jadi, suatu saat aku tidak di Tempo, aku jadi koresponden lain ya sama.”
Dari hasil wawancara secara mendalam terhadap informan, diketahui beberapa alasan mengapa mereka mengatakan profesi wartawan sama halnya dengan kuli
atau buruh. Sebab, yang disebut buruh menurut informan manakala seseorang apapun profesinya ketika dia mendapat honor atau bayaran dari apa yang
dikerjakan disebut buruh, termasuk didalamnya wartawan. Meski begitu, wartawan dalam menjalankan jurnalistiknya menuntut kinerja yang profesional
karena profesinya. Di Tempo sendiri belum sepenuhnya wartawan ikut sertifikasi, namun Tempo lebih memercayai bagaimana masyarakat memercayai Tempo. Di
samping itu, wartawan dituntut profesional semata-mata bukan hanya karena idealisme yang ada pada profesi tersebut, melainkan keprofesionalan itu
mempengaruhi media yang mempunyai efek cukup besar terhadap publik.
3.1.1.2. Kompetensi Wartawan