Tunjangan dan Fasilitas di Tempat Kerja

3.1.2.3. Tunjangan dan Fasilitas di Tempat Kerja

Bagi wartawan yang kerap bekerja di tempat penuh risiko, misalnya daerah konflik atau daerah bencana, perlindungan atas keselamatan diri menjadi sangat penting. UU Nomor 13 tahun 2003 pasal 86 tentang Ketenagakerjaan menyatakan, buruh berhak mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja, jaminan moral dan kesusilaan, dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. Masalahnya, UU Ketenagakerjaan tersebut tidak mengatur secara jelas pola perlindungan atas pekerja di setiap bidang profesi. Pasal 87 hanya menyatakan, “Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terpadu dengan sistem manajemen perusahaan.” Perusahaan yang melanggar ketentuan ini mendapatkan sanksi administratif dari teguran hingga pencabutan izin usaha. Karena tak jelasnya aturan dan ringannya sanksi, banyak perusahaan media yang belum menyediakan asuransi bagi para wartawannya. Atas kondisi tersebut, Agung Sedayu, salah satu staf redaksi yang berstatus karyawan tetap di Majalah Tempo yang berada di Jakarta berpendapat: “Kalau tunjangan kesehatan hubungannya dengan asuransi kan, itu ada asuransinya. Kalau tunjangan perumahan itu bukan dalam arti dikasih rumah ataupun apa, cuma dikasih uang ya minimal setidaknya misalkan itu untuk ngontrak atau bayar kontrak, sekitar lima ratus ribu kalau tidak salah ya. Nilainya kan tergantung dari jenjang “pangkat dia”, semakin tinggi jabatan dia semakin besar tunjangannya.” Hal tersebut amat berbeda dengan yang dialami oleh koresponden. Menurut Sohirin, ada respon dari pihak Tempo, tapi hal tersebut selalu maju mundur dan itu dianggap sebagai hal yang wajar. Progress terakhir Tempo menurutnya, akan dibuka untuk karyawan daerah, bahkan akan ada polish asuransi bagi masing- masing koresponden. “Tapi sekali lagi itu baru wacana, belum terealisasi sudah tiga-empat tahun,” katanya. Begitu pula dengan masalah tunjangan pensiun, jika karyawan di Jakarta memperolehnya, sebaliknya bagi koresponden tidak ada. “Saya ikut asuransi pensiun, ya urus sendiri. Cuma tidak fair-nya Tempo kan begitu, namanya koresponden punya jasa berita, tapi dilarang menjual berita kepada kompetitor, kan lucu. Di satu sisi kita tidak bisa berharap banyak dari Tempo, tapi kita juga tidak bisa menjual karya berita kepada yang lain. Di situ tidak fair-nya. Ada beberapa media yang aturan ketenagakerjaannya lebih bagus, contohnya Jakarta Post, ada kejelasannya. Ya mungkin Tempo juga ada pertimbangan-pertimbangan lain.” Di samping itu, Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 juga mengatur kewajiban pengusaha menjamin kesejahteraan pekerjanya. Setiap buruh dan keluarganya berhak memperoleh jaminan sosial tenaga kerja pasal 99. Untuk meningkatkan kesejahteraan buruh dan keluarganya, pengusaha pun wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan, dengan memperhatikan kebutuhan buruh dan ukuran kemampuan perusahaan. Sementara itu, Sohirin, koresponden Tempo, yang menjadi informan dalam penelitian ini mengatakan, klaim biaya liputan yang menanggung adalah perusahaan, itu pun hanya berlaku di luar kota. “Patokannya adalah sekitar 60 km. Biasanya ada rental mobil atau transportasi ya, plus BBM-nya, uang makan, dan uang saku. Lha, kalau mobil, bensin ini kan sudah jelas ya, karena ada sasarannya. Misalnya di Semarang satu rental mobil sehari itu antara Rp. 250-300 ribu, bensin tergantung jaraknya. Yang repot itu sejak awal, saya 2001 sampai sekarang, biaya liputan luar kota untuk akomodasi sama uang makan untuk liputan itu Rp. 85 ribu. Jadi uang makannya itu Rp. 35 ribu, uang sakunya Rp. 50 ribu. Tapi sudah sebelas tahun tidak pernah berubah. Sebetulnya, asal bisa dipertanggungjawabkan, selain operasional itu bisa dinamis. Begitu pula untuk biaya liputan kepada orang yang lagi payah secara ekonomi, lagi sakit, atau lagi ada kematian, dengan memberi bingkisan tangan, jajan. Bahkan ketika mengintertain narasumber mengajak makan, asal ada buktinya bisa diganti perusahaan, tapi tentunya yang wajar.” Sama halnya yang dialami Agung Sedayu, Staf Redaksi Majalah Tempo tentang klaim biaya liputan selama menjamu narasumber. Menurutnya, ia tak merasakan hal yang sama seperti koleganya yang berstatus koresponden.” “Biasanya sih kalau strategi saya karena biasanya si sumber eyel-eyelan gitu, saya yang bayar, saya yang bayar itu kan, biasanya saya datang duluan ke tempat itu saya kasih uang dulu ke kasirnya nanti saya yang akan bayar. Ini uang DP-nya, sehingga selesai makan selesai keluar dan ketika si sumber mau membayar kasir sudah menolak. Sudah dibayar oleh bapak ini, dan itu seringkali lebih manjur. Dan biasanya sumber pun juga akan lebih akan menghormati kita, terlebih perusahaan menyediakan fasilitas itu. Di kantor disediakan dana untuk itu, namanya “dana lobby.” Skema kesejahteraan umumnya terjadi bukan hanya bagi karyawan tetap, termasuk juga untuk koresponden Tempo. Penghasilan yang diterima oleh wartawan di daerah ini sangat tergantung kepada berapa berita yang dia produksi – dan tentu saja yang dimuat oleh media tempatnya bekerja. Hal ini berimbas terhadap kondisi fasilitas buat wartawan. Selama ini tak ada standar minimal fasilitas yang harus diberikan perusahaan media kepada wartawan. Di Tempo, wartawan di Jakarta mendapatkan tunjangan perumahan, asuransi, dan pensiun yang disesuaikan dengan jenjang pangkatnya. Sementara pihak koresponden dalam progress terakhir, Tempo akan membuka untuk karyawan di daerah, bahkan akan ada polish asuransi bagi masing-masing koresponden yang sudah tiga-empat tahun terakhir ini, tapi hal itu masih baru wacana, belum terealisasi.

3.1.2.4. Perlindungan Atas Keselamatan Wartawan