ORTEGA Y GASSET : ANCAMAN MASSA
ORTEGA Y GASSET : ANCAMAN MASSA
Tampak dari dari luar, perdebatan ini seolah-olah cendrung mewakili pemikiran di Inggris. Elemen kritis budaya elitis terdapat dalam bagan analisa budaya Amerika yang bersifat reaktif, kecuali apa yang secara independen dilakukan oleh Marcuse. Marcuse menegaskan ketakutannya atas bentuk-bentuk keseragaman yang disebut sebagai ‘satu- dimensi’ dalam ekspresi dan hasrat manusia yang mengikuti bangkitnya seluruh elemen dalam konsumsi budaya populer. Dalam konteks Amerika, ide semacam ini lebih jauh dikembangkan oleh McCarthyite dalam trend politik ibarat teror kelompok sosialis dalam melakukan ‘penyeragaman’.
Terlepas dari perdebatan ini, di kemudian hari ada suatu penjelasan filosofis yang tajam mengenai perdebatan tersebut, yakni yang secara kreatif muncul dari seorang filsuf Spanyol Ortega y Gasset, yang bekerja di Madrid hingga tahun 1955. Minat Ortega y Gasset meliputi jangkauan yang luas termasuk estetika, metafisika, logika, eksistensialisme dan kehidupan kultural. Idenya yang tegas mengenai stratifikasi budaya muncul secara spontan hingga akhirnya kita temukan bahwa pemikiran yang serupa diberikan oleh banyak perguruan tinggi di Jerman yang memberikan pengaruh-pengaruh pemikiran neo-Kantianisme. Teori sosial Ortega y Gasset menekankan kerapuhan dan ketidakstabilan budaya secara absolut. Sementara itu Thomas Hobbes yang hidup beberapa abad sebelumnya, telah melihat keputusan penting yang menimbulkan ketidakstabilan sosial terletak dalam pengabaian dan kesewenang-wenangan kekuasaan negara sebagai ‘setan besar’ (Leviathan). Ortega y Gasset membayangkan peranan semacam ini diambil alih oleh sekelompok aristokrat yang terpilih dan berbudaya. Sementara menurut Hobbes, alternatif yang dapat mempertahankan dan menantang tatanan sosial merupakan suatu anarki yang melibatkan perang seluruh orang melawan semua orang. Bagi Ortega y Gasset, ketidaksinambungan stabilitas budaya akan ditandai oleh sebuah kemunduran ke dalam bentuk kebuasan dan kelesuan semangat manusia. Tidak semua kemanusiaan secara cukup dilengkapi atau tertarik untuk menjaga warisan kualitas yang membentuk budaya manusia itu sendiri. Oleh karena itu, kewaspadaan yang terus-menerus dibutuhkan untuk mempertahankan budaya dan moral dari proses pembusukan yang dimungkinan melalui kepemimpinan elit budaya, meskipun mreka adalah elit budaya yang liberal. Sebagian manusia pada umumnya, tidak dapat memberikan energi yang dibutuhkan dan berpikir untuk mengawasi budayanya sendiri, yakni terjadi ketika ia secara pasif menyetujui kepemimpinan elit.
Karena menjadi manusia bukan secara serta-merta merupakan hadiah yang diberikan padanya begitu saja, melainkan merupakan kemungkinan imajiner yang murni, karena spesies manusia merupakan suatu ketidakstabilan dan tidak konsisten, yang membuatnya tidak dapat dibandingkan dengan spesies binatang. Manusia sesungguhnya tidak ada yang setara, meskipun kaum egalitarian pada dua bad yang lalu yang menyetujui hal itu dan juga disetujui oleh rakyat yang
kolot di abad ini. 12
Kita dapat mendengarkan gaung Nietzcshe di sini. Sementara itu ada pengaruh lain karya Ortega y Gasset yang mengatakan bahwa, ‘jika anda memiliki budaya yang memerinthakan perlunya budak, sungguh tidak masuk akal untuk mendidiknya menjadi seorang tuan’. Sentimen yang tidak demokratis ini secara menyeluruh terrangkum dalam kontribusi utama Ortega y Gasset mengenai budaya massa melalui, The Revolt of the Masses / ‘Pemberontakan Massa” (1930). Baginya, kecenderungan terhadap masyarakat, repon-respon kolektif dan populer tidak dapat terpisahkan dengan kedalaman relasi-relasi sosial dunia industri, yakni suatu kecenderungan manusia yang tak bermartabat dan menyerupai binatang (subhuman) dan manusia yang termekanisasi. Masyarakat kebanyakan dan budaya massa, sekarang jelas lebih politis ketimbang deskritif, dan merupakan ancaman bagi ekspresi dan proyek kreatif manusia. Kehidupan sosial dan budaya tidak dapat berjalan seiring melalui ikatan perasaan yang bersifat egaliter dan Kita dapat mendengarkan gaung Nietzcshe di sini. Sementara itu ada pengaruh lain karya Ortega y Gasset yang mengatakan bahwa, ‘jika anda memiliki budaya yang memerinthakan perlunya budak, sungguh tidak masuk akal untuk mendidiknya menjadi seorang tuan’. Sentimen yang tidak demokratis ini secara menyeluruh terrangkum dalam kontribusi utama Ortega y Gasset mengenai budaya massa melalui, The Revolt of the Masses / ‘Pemberontakan Massa” (1930). Baginya, kecenderungan terhadap masyarakat, repon-respon kolektif dan populer tidak dapat terpisahkan dengan kedalaman relasi-relasi sosial dunia industri, yakni suatu kecenderungan manusia yang tak bermartabat dan menyerupai binatang (subhuman) dan manusia yang termekanisasi. Masyarakat kebanyakan dan budaya massa, sekarang jelas lebih politis ketimbang deskritif, dan merupakan ancaman bagi ekspresi dan proyek kreatif manusia. Kehidupan sosial dan budaya tidak dapat berjalan seiring melalui ikatan perasaan yang bersifat egaliter dan
Terlepas dari pengakuan kesamaan apapun dengan tradisi teorisasi Marxist yang terdapat pada bab 4, Leavis, Eliot, dan Ortega y Gasset, seakan-akan dipandang sebagai, intelektual yang reaktif, dan teorisi yang ‘benar’, sekaligus yang terburuk. Posisi mereka disetarakan dengan para pemikir lain yang secara terang-terangan bersikap konservatif seperti Jacques Ellul, Ernest van den Haag dan Russell Kirk. Bagaimanapun juga, kasus yang kita lihat disini adalah suatu bentuk tumpang-tindih yang membingungkan di dalam beberapa ide-ide mereka mengenai estetika, tradisi, serta representasi budaya. Sesuatu yang juga akan kita temui dalam ide-ide pemikiran para teorisi Jerman kritis yang terkumpul dalam sekolah pemikiran Frankfurt (the Frankfurt school). Jadi jelaslah bahwa semangat mengikuti waktu itu, secara temporer telah mengatasi perbedaan-perbedaan politik yang ada.