Reproduksi Budaya Menurut Perspektif Strukturalis
Reproduksi Budaya Menurut Perspektif Strukturalis
Strukturalisme memberikan input yang seakan-akan sudah final tetapi tetap meyakinkan, tentang reproduksi budaya. Reproduksi budaya menurut strukturalisme bukanlah suatu pendekatan yang seragam, tetapi secara internal membagi spektrum penyikapan terhadap masalah-masalah manusia yang terbagi atas tema-tema tertentu yang bersifat umum. Strukturalisme mengandung dan mengkombinasikan banyak elemen-elemen dalam pendekatannya dan berbasis pada dikotomi epistemologi klasik antara ‘esensi’ dan ‘kemunculan’ dalam pengertian yang terus berlanjut mengenai ‘kedalaman’ dan
‘permukaan’ suatu masalah. Adalah Lévi Strauss 19 yang sangat intrumental dalam mempraktekkan hal ini lewat metafora geologisnya. Dia membandingkan formasi
fenomena budaya ke dalam lapisan-lapisan, mengembangkan, memperluas, dan memasukkan unsur-unsur strata, ibarat ilmu topografi yang mempelajari elemen dalam lapisan-lapisan tanah yang masing-masing unik, tetapi tetap merupakan satu kesatuan fenomena budaya ke dalam lapisan-lapisan, mengembangkan, memperluas, dan memasukkan unsur-unsur strata, ibarat ilmu topografi yang mempelajari elemen dalam lapisan-lapisan tanah yang masing-masing unik, tetapi tetap merupakan satu kesatuan
berjalannya waktu, atau yang bersifat ‘diakronik’. Ferdinand de Saussure 20 , seorang ahli linguistik dari Swiss adalah yang pertama kali memberikan konsep tentang ‘tanda-tanda’
(signs), sesuatu yang mungkin saat ini menjadi penjelasan signifikan yang dapat merekatkan seluruh elemen-elemen strukturalisme. Pendekatan Saussure merupakan suatu konsep tentang pola-pola yang mendasari struktur atas fenomena budaya yang dapat dipahami melalui metafora linguistik. Kita mulai dapat mengerti bahwa struktur terdiri atas budaya, sebagaimana bila kita melihat perkembangan bahasa. Pengertian- pengertian leksikal atau bagian-bagian kosa-kata dalam suatu bahasa yang digunakan untuk simbol-simbol yang eksis dalam kehidupan sosial, yakni suatu representasi yang melekat atau muncul dari keadaan-keadaan materi yang riil, contohnya yang kita temui dalam peran-peran kekerabatan, sebagai ibu, anak, sepupu, kakek, dan seterusnya. Aturan-aturan gramatikal dalam metafora bahasa ini disediakan untuk dan oleh tindakan, suatu kebiasaan yang terus berlanjut, atau suatu keterkaitan, yang dapat memaklumi hubungan-hubungan antar kerabat, serta larangan bagi hubungan-hubungan tabu yang tidak boleh mereka lakukan. Sehingga berbagai macam cara dalam keberagaman budaya dapat dimengerti dan diartikulasikan dalam perbedaan ‘bahasa’ dimana simbol-simbol terkandung di dalamnya. Komplesitas sistem pemaknaan dibentuk melalui relasi perantaraan yang bersifat esensial antara obyek atau keadaan tertentu suatu masalah dan perangkat simbolik (linguistik), yang digunakan untuk menandai keberadaan obyek tersebut. Pendekatan yang menghubungkan obyek dengan sistem pemaknaan semacam ini dalam setiap budaya diturunkan, bukan melalui suatu korespondensi (suatu cara yang hanya dihubung-hubungkan saja) antara ‘siapa yang menamai dan menamai apa’, tetapi berasal dari proses strukturisasi yang seimbang dan halus tentang keberbedaan dalam ide-ide yang berisikan jaringan. Sesuatu tidaklah tampak seperti apa adanya, tetapi muncul melalui pengetahuan tentang apa yang bukan menjadi bagian dari sesuatu itu. Jadi kita dapat mengenali sesuatu, apabila kita mengetahui apa yang berlawanan dengan sesuatu tersebut, pemikiran semacam inilah yang kita kenal sebagai prinsip utama dari setiap kode biner. Sampai saat ini, kerapuhan yang terkandung dalam konsep ‘menstrukturkan perbedaan’ itu tetap tidak tersentuh oleh kritik apapun, bahkan konsep ini semakin berkembang kuat melalui kajian mengenai relasi-relasi kemasyarakatan, juga melalui kebertahanan dan reproduksi relasi-relasi yang belum saling terkait pada setiap pergantian (pergeseran) budaya. Makna, kemudian dalam setiap budaya tertentu muncul melalui kebiasaan yang mengatasi relasi perantaraan antara ‘pemberi tanda / yang menandai’ (the signifier) dengan ‘apa yang ditandai’ (the signified). Kebiasaan mereproduksi budaya, dan budaya bergantung pada reproduksi di dalam strukturalisme. Budaya bersifat konvensional (berdasarkan kebiasaan-kebiasaan), tetapi tetap merupakan praktek struktural yang mendalam, yakni berkenaan dengan aturan-aturan yang mungkin hanya sebagian diantaranya yang bersifat ‘tidak disadari’. Simbol-simbol budaya dan representasi merupakan permukaan suatu struktur.