Ibadah penahbisan pejabat-pejabat.

Ibadah penahbisan pejabat-pejabat.

Sesuai dengan organisasinya sebagai "gereja-negara", G.P.I. mengenal bermacam-macam pejabat: pendeta, pendeta-pembantu (dan kemudian) pendeta pribumi atau pengajar pribumi. Penahbisan mereka, sesuai dengan kebiasaan dalam Gereja ini, ditetapkan secara reglementer: pendeta-pendeta oleh "Haagsche Commissie" (**Van Boetzalaer II, blz. 285. Juga mereka, yang pernah ditahbis sebagai pendeta dan yang pernah bekerja di suatu Jemaat, harus "ditahbis" sekali lagi, kalau mereka mau pergi bekerja di Indonesia.), pendeta-pendeta- pembantu oleh "Kerkbestuur" di Betawi (**Voorschriften, blz. 83 v.) dan pendeta-pendeta pribumi (= pengajar-pengajar pribumi) oleh pendeta-pendeta pembantu (**Voorschriften, blz. 91.), dengan penumpangan tangan. Penahbisan ini -- sama seperti penahbisan penatua- penatua dan diaken-diaken (**Mula-mula hal ini hanya berlaku bagi Jemaat-jemaat Belanda. Baru kemudian Jemaat-jemaat pribumi mempunyai Majelis Jemaat sendiri.) -- dilakukan menurut formulir yang diambil-alih dari Gereja Hervormd di Belanda.

Pendeta-pendeta-sending, yang bekerja di Indonesia-Timur, tidak tergolong pada pejabat- pejabat ini. Mereka tidak ditahbis di Indonesia. Menurut ketetapan, yang berlaku pada waktu itu, mereka dengan resmi "diutus" dalam suatu kebaktian, sebelum mereka meninggalkan negeri Belanda. (**Bnd Handelingen in de buitengewone vergadering der directeuren van het Nederlandsch Zendelinggenootschap te Rotterdam, gehouden den 10 Augustus 1803 en volgende dagen (dalam: Stukken behorende tot de handelingen van het N.Z.G.), z.j., blz. 11.) Di Indonesia mereka hanya "diperkenalkan kepada Jemaat" oleh seorang rekan mereka. (**J.N. Wiersma, Uit mijn werkkring (dalam: Mededeelingen vanwege het Nederlandsch Zendelinggenootschap), 1866, blz.2 v.)

Pada pertengahan abad ke-XIX terjadi suatu perobahan dalam kebijaksanaan N.Z.G. terhadap hidup, pelayanan dan peribadahan Jemaat-jemaat di Indonesia. Perobahan kebijaksanaan itu, seperti yang nyata dari "surat umum" N.Z.G. kepada pendeta-pendeta-sendingnya (**Uittreksel van den algemeenen brief van Bestuurders van het Nederlandsch Zendelinggenootschap aan zijne zendelingen, naar aanleideng van de inspectie geschreven (dikutip: Algemeene brief), 1857, blz. 259-267.), adalah akibat dari kunjungan ispeksi, yang Van Rhijn, atas nama N.Z.G. adakan (pada tahun 1847-1848) kepada Jemaat-jemaat itu. Isi perobahan kebijaksanaan itu ialah permintaan, supaya pertumbuhan Jemaat-jemaat di Indonesia dipergiat, agar Jemaat-jemaat itu dapat berdiri sendiri. Sebagai salah satu alat untuk itu N.Z.G. sebut "penggunaan suatu tatagereja" yang memuat hal-hal yang berikut. Pertama: Pada pertengahan abad ke-XIX terjadi suatu perobahan dalam kebijaksanaan N.Z.G. terhadap hidup, pelayanan dan peribadahan Jemaat-jemaat di Indonesia. Perobahan kebijaksanaan itu, seperti yang nyata dari "surat umum" N.Z.G. kepada pendeta-pendeta-sendingnya (**Uittreksel van den algemeenen brief van Bestuurders van het Nederlandsch Zendelinggenootschap aan zijne zendelingen, naar aanleideng van de inspectie geschreven (dikutip: Algemeene brief), 1857, blz. 259-267.), adalah akibat dari kunjungan ispeksi, yang Van Rhijn, atas nama N.Z.G. adakan (pada tahun 1847-1848) kepada Jemaat-jemaat itu. Isi perobahan kebijaksanaan itu ialah permintaan, supaya pertumbuhan Jemaat-jemaat di Indonesia dipergiat, agar Jemaat-jemaat itu dapat berdiri sendiri. Sebagai salah satu alat untuk itu N.Z.G. sebut "penggunaan suatu tatagereja" yang memuat hal-hal yang berikut. Pertama:

Tentang yang kedua ini N.Z.G. a.l. menulis: "Sudah sejak dahulu (= waktu purba) Jemaat- jemaat Kristen mempunyai bentuk-bentuk ibadah, doa, puji-pujian, dan lain-lain, yang tetap. Juga bagi Jemaat-jemaat kita di Indonesia bentuk-bentuk itu kami anggap cocok dan berguna untuk membangkitkan makna keagamaan, terutama dalam Jemaat-jemaat, di mana ibadah- ibadah harus dipimpin oleh guru-guru atau pembantu-pembantu lain. Tetapi apa yang dipakai dalam Gereja-gereja Injili di Belanda, tidak dapat digunakan dalam Jemaat-jemaat pribumi di Indonesia. Bentuk-bentuk itu harus disesuaikan dengan kebutuhan yang ada, dengan sifat, cara berpikir dan kebiasaan anggota-anggota Jemaat. Hal itu harus dijalankan dengan hati- hati. Di Jemaat-jemaat, di mana liturgi dari Gereja Hervormd di Belanda telah biasa dipakai dalam ibadah baptisan, perjamuan, pemberkatan nikah, dan lain-lain, tidaklah bijaksana untuk terlalu banyak merobahnya. Tetapi jika hal itu mungkin, tanpa menimbulkan kesan yang salah, dapat diadakan perobahan di sana-sini ......... Jika anggota-anggota Jemaat tidak merasa diri terikat lagi pada bentuk-bentuk yang ada, dapat lebih banyak diadakan perobahan. Tetapi harus dijaga, supaya antara Jemaat-jemaat yang berbeda-beda itu sebanyak mungkin terdapat persetujuan dan keseragaman, dan janganlah abaikan pembicaraan bersama! Secara umum kami berpendapat, bahwa perhatian anggota-anggota Jemaat dapat diperbesar oleh khotbah dan pidato (= percakapan), tetapi khotbah dan pidato (= percakapan) itu harus sangat singkat, sangat sederhana dan mudah dimengerti. Oleh nyanyian, yang sangat disukai oleh orang- orang Indonesia, tetapi harus selalu diulang dan diperagung. Oleh usaha mengaktifkan Jemaat, dengan jalan berdiri dan bertelut, dengan jalan memberikan jawaban-jawaban pendek (umpamanya bersama-sama mengucapkan "Amin" atas doa pelayan). Juga dapat dipertimbangkan untuk menghiasi gedung-gedung-ibadah dengan bunga pada hari-hari-raya, seperti yang dibuat oleh beberapa Gereja. (**Algemeene brief, blz. 264 vv.)

Dari surat ini nyata, bahwa maksud N.Z.G. bukanlah untuk memaksakan bentuk-bentuk ibadah yang lengkap kepada Jemaat-jemaat di Indonesia. Sebab hal itu bukan saja akan bertentangan dengan keyakinannnya sendiri, tetapi terutama dengan "tujuan"-nya. Apa yang ia lakukan ialah hanya menunjuk kepada "prinsip-prinsip" yang secara bebas" dapat dipakai oleh pendeta-pendeta-sending dalam pekerjaan mereka selanjutnya. (**Algemeene brief, blz. 267.)