Study of Microphytobenthos Primary Productivity in Pulau Lancang, Kepulauan Seribu

i

STUDI PRODUKTIVITAS PRIMER MIKROFITOBENTOS DI
PERAIRAN PULAU LANCANG, KEPULAUAN SERIBU

HEIDI RETNONINGTYAS

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini sanya menyatakan bahwa tesis “Studi Produktivitas Primer
Mikrofitobentos di Perairan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu” adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Heidi Retnoningtyas
NIM C551090131

iv

RINGKASAN
HEIDI RETNONINGTYAS. Studi Produktivitas Primer Mikrofitobentos di
Perairan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh TRI PRARTONO
dan RICHARDUS F. KASWADJI.
Wilayah substrat yang sangat luas di zona eufotik tidak hanya menjadi
habitat bagi vegetasi makroskopis, melainkan juga organisme mikro fotosintetik,
yang kelimpahan koloninya sangat mendominasi terutama di permukaan sedimen

yang diduga gersang. Vegetasi ini berupa koloni mikroalga yang lebih sering
disebut dengan mikrofitobentos, yang hidup menempel pada partikel substrat
sehingga keberadaannya tidak kasat mata. Pada dasarnya, taksonomi organisme
mikrofitobentos sama dengan fitoplankton pelagis. Persamaan lainnya adalah
mencakup sifat fotosintetik yang membutuhkan sinar matahari untuk melakukan
fotosintesis (Underwood and Kromkamp, 1999; Urban-Malinga and Wiktor,
2003). Organisme mikrofitobentos dapat dengan mudah tersuspensi ke dalam
kolom air dan merepresentasikan lebih dari 50% total klorofil mikroalga yang
terdapat di kolom air dan menjadi sumber makanan bagi deposit feederdan
suspension feeder. Perbedaan antara fitoplankton pelagis dan mikrofitobentos
terletak pada preferensi habitat.
Komunitas mikrofitobentos tidak hanya memiliki peranan penting dalam
rantai makanan di perairan dangkal, melainkan juga berkontribusi terhadap
stabilitas sedimen melalui ekskresi extracellular polymeric substances (EPS) dan
mempengaruhi fluks nutrien pada batas sedimen – air melalui aktivitas
fotosintetik dan aktivitas metaboliknya. Namun demikian, kajian produktivitas
primer mikrofitobentos, terutama di wilayah perairan Indonesia, masih jarang
dilakukan. Pengukuran produktivitas primer perairan selama ini hanya dilakukan
pada permukaan atau kolom air dan tidak memperhitungkan produksi primer oleh
mikroalga yang berasosiasi dengan sedimen. Penelitian mengenai produksi primer

dan komunitas mikrofitobentos penting dilakukan karena mikrofitobentos
memiliki peranan dalam fiksasi karbon terutama di wilayah perairan dangkal,
dimana substrat dasar masih menerima cahaya matahari sehingga fotosintesis
dapat berlangsung, sehingga berperan dalam suplai makanan bagi organisme
bentik lainnya. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari produktivitas primer
mikforitobentos dan menduga kontribusi mikrofitobentos terhadap produksi
primer perairan secara keseluruhan.
Pada penelitian ini, estimasi produksi primer didasarkan pada proses
fotosintesis dengan cara mengetahui selisih antara jumlah oksigen sebelum
fotosintesis dengan sesudah fotosintesis. Nilai produksi primer yang diperoleh
dari hasil penelitian di Pulau Lancang, Kepulauan Seribu, menunjukkan bahwa
produksi primer mikrofitobentos cenderung lebih tinggi dibandingkan produksi
primer di permukaan air.Bahkan pada eksperimen di hari ketiga, nilai produksi
primer bersih yang dihasilkan di sedimen mencapai 29 kali lipat dibandingkan
produksi primer bersih di permukaan air. Rerata produktivitas primer
mikrofitobentos sebesar 42.32 mg C m-3 jam-1, hamper dua kali lipat lebih tinggi
dibandingkan produktivitas primer fitoplankton sebesar 22.46 mg C m-3 jam-1.

v
Hasil analisis pigmen klorofil-a menggunakan spektrofotometri

menunjukkan bahwa konsentrasi klorofil-a di permukaan sedimen sebesar
4496.08 – 8937.12 mg l-1, lebih tinggi dibandingkan di permukaan air yaitu
0.0003339 – 0.000544 mg l-1. Hasil ini sejalan dengan tingginya nilai produksi
primer di permukaan sedimen yang diduga disebabkan oleh melimpahnya jumlah
biomassa mikroalga bentik yang berasosiasi dengan partikel sedimen.
Berdasarkan hasil pengukuran parameter fisika-kimia yang mendukung
produktivitas primer perairan, intensitas cahaya diduga sebagai parameter yang
berperan dalam mendukung produktivitas primer mikrofitobentos karena
intensitas cahaya yang sampai ke permukaan sedimen lebih optimal bagi aktivitas
fotosintetik mikrofitobentos.
Nilai produktivitas mikrofitobentos di sedimen memiliki perbedaan yang
signifikan pada prakteknya tidak lantas bisa menggambarkan kondisi kesuburan
perairan. Bagi ekosistem perairan dangkal seperti Pulau Lancang, diperlukan studi
lanjut mengenai produktivitas primer autorof lain (mangrove, lamun) untuk
mendapatkan informasi yang komprehensif. Namun demikian, produktivitas
primer mikrofitobentos yang lebih tinggi dibandingkan produktivitas primer
fitoplankton pelagis mengindikasikan bahwa mikrofitobentos memiliki kontribusi,
sehingga di masa mendatang, komponen mikrofitobentos layak dipertimbangkan
sebagai komponen penting dalam kajian produktivitas primer perairan.
Kata kunci: metode oksigen, mikrofitobentos, perairan dangkal, produktivitas

primer

vi

SUMMARY
HEIDI RETNONINGTYAS. Study of Microphytobenthos Primary Productivity
in Pulau Lancang, Kepulauan Seribu.Under direction of TRI PRARTONO and
RICHARDUS F. KASWADJI.
Vast and bare substrate area in euphotic zone is not only served as habitat
for macroscopic vegetation, but also photosynthetic microorganisms whose
abundance is dominating the upper sediment surface. These microorganisms are
composed of microalga colonies, called microphytobenthos, living attached to
sediment particles. Hence, their existence is sometimes neglected.
Microphytobenthos taxonomy is basically the same with pelagic phytoplankton.
Another similarity is their photosynthetic characteristic which requires light as
the main energy source in photosynthesis (Underwood and Kromkamp, 1999;
Urban-Malinga and Wiktor, 2003). Microphytobenthos were easily resuspended
to the water column and representing more than 50% of total cholorophyll
concentration, then become available as food source for deposit feeder and
suspension feeder. The only difference between pelagic phytoplankton and

microphytobenthos is their habitat preference.
Besides playing an important role in shallow water food chain,
microphytobenthos also give contribution to sediment stability, by excreting
extracellular polymeric substances (EPS) and influence nutrient flux on sediment
– water boundary through their photosynthetic and metabolic activity. However,
microphytobenthic community and their primary productivity, particularly in
Indonesian waters, were still less studied. Measurement of primary productivity
was usually performed only at the surface or water column, neglecting the
primary production by sediment-associated microalgae. Research on
microphytobenthic community and primary productivity is important since they
perform significant role in carbon fixation, particularly in shallow water system,
where sunlight intensity still penetrates and reach the sediment surface. The aim
of this study is to investigate microphytobenthic primary productivity and estimate
the contribution of microphytobenthos contribution towards entire aquatic
primary productivity.
In this study, primary productivity estimation was based on photosynthetic
process by calculating the difference of oxygen concentration before and after
photosynthesis. Primary productivity of microphytobenthos in Pulau Lancang was
higher compared to that in surface layer. Results from third-day experiment
shown an extremely high value from microphytobenthos primary production,

reached up to 29 times of surface layer primary productivity. Average of
microphytobenthos primary productivity was 42.32 mg C m-3 hour-1, almost two
fold higher than phytoplankton primary productivity which was 22.46 mg C m-3
hour-1.
Results from pigment analysis using spectrophotometer shown that
chlorophyll-a concentration in sediment surface was 4496.08 – 8937.12 mg l-1,
much higher than those in surface layer, 0.0003339 – 0.000544 mg l-1. These
results were in line with high primary productivity at the sediment surface which
strongly caused by the abundant biomass of sediment-associated benthic

vii
microalgae. According to the measurement of physical and chemical parameters,
light intensity was considered as the main factor supporting microphytobenthos
primary productivity.
Microphytobenthos primary productivity alone cannot describe the entire
aquatic productivity since there are a lot of other autotrophic components such as
seagrass and mangrove that compose marine ecosystem of Pulau Lancang.
However, significant contribution of microphytobenthos indicates that
microphytobenthos is feasible to be considered as important component in the
study of coastal primary productivity.

Key words: microphytobentos; primary productivity; oxygen method; shallow
coastal water

viii

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

ix

STUDI PRODUKTIVITAS PRIMER MIKROFITOBENTOS DI
PERAIRAN PULAU LANCANG, KEPULAUAN SERIBU


HEIDI RETNONINGTYAS
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

x

Penguji Luar Komisi: Dr. Ir. Enan Mulyana Adiwilaga, M.Sc.

Judul Tesis
Nama
NIM


Studi Produktivitas Primer Mikrofitobentos di Perairan Pulau
Lancang, Kepulauan Seribu
Heidi Retnoningtyas
C551090131

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

tr.n

Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc
Ketua

Richardus Kaswadji, Ph.D. (AIm.)
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Kelautan


ャp ォBeGiセNh@

Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc

Tanggal Ujian: 27 Juni 2013

Tanggal Lulus:

S@ G セ@ JDl 20'3

xi
Judul Tesis
Nama
NIM

: Studi Produktivitas Primer Mikrofitobentos di Perairan Pulau
Lancang, Kepulauan Seribu
: Heidi Retnoningtyas
: C551090131

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc
Ketua

Richardus Kaswadji, Ph.D. (Alm.)
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc

Tanggal Ujian: 27 Juni 2013

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

Tanggal Lulus:

xii

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan
karunia yang berlimpah sehingga pada akhirnya tesis ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012
sampai September 2012 ini adalah produktivitas primer, dengan judul Studi
Produktivitas Primer Mikrofitobentos di Perairan Pulau Lancang, Kepulauan
Seribu.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc. dan
Bapak (Alm.) Richardus F. Kaswadji, Ph.D. selaku komisi pembimbing, serta
Bapak Dr. Ir. Enan Mulyana Adiwilaga, M.Sc. yang telah banyak memberi kritik
dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan
juga penulis sampaikan kepada Ibu Anna Mariana (Lab. Produktivitas
Lingkungan, MSP), Bapak Afdal Djalius dan Bapak Sumijo Hadi Riyono (Poklit
Produktivitas, P2O LIPI), Bapak Prasetyo dan Mas Nurhadi (Lab. TIAB BPPT,
Puspiptek Serpong), keluarga besar Bagian Oseanografi ITK khususnya rekanrekan di Lab. Data Processing, Dr. Barbara Urban-Malinga (Centre for Ecological
Research, Polish Academy of Sciences), Dr. Ign. Boedi Hendrarto (Universitas
Diponegoro), serta rekan dan kolega penulis yang telah banyak membantu selama
penelitian ini berlangsung, yaitu Mokhamad Fahmi Fauzi, Lumban Nauli
Lumban Toruan (Universitas Nusa Cendana, Kupang), Citra Satrya Utama Dewi
(Universitas Brawijaya, Malang), Syamsul Bahri Agus (IPB), Adriani Sunuddin
(IPB), Nurul Najmi (IPB), Annisya Rosdiana (IPB), Yuliana Fitri Syamsuni (MST
Secretariat), Safrina Dyah Hardiningtyas (SBRC IPB), Ulfah Alifia (Universitas
Indonesia), serta Keluarga Pak Laloi di Pulau Lancang, Kepulauan Seribu.
Ungkapan terima kasih tak lupa penulis sampaikan pada kedua orang tua dan
mertua, suami, anak, serta adik-adik atas doa dan kasih sayangnya. Semoga karya
ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

Heidi Retnoningtyas

xiii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran
2. TINJAUAN PUSTAKA
Organisme Mikrofitobentik dan Karakteristik Habitatnya
Produktivitas Primer Mikrofitobentos
Pengukuran Produktivitas Primer Mikrofitobentos
Estimasi Biomassa Mikrofitobentos
3. BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penentuan Stasiun Pengamatan
Pengambilan Data
Pengukuran Kualitas Air
Pengukuran Produktivitas Primer di Permukaan Air
Pengukuran Produksi Primer Mikrofitobentos
Perbandingan Produktivitas Primer Permukaan Air dan Sedimen
Pengambilan Sampel dan Analisis Klorofil Air
Pengambilan Sampel dan Analisis Klorofil Sedimen
Koleksi Fitoplankton Pelagis
Analisis Data
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kondisi Umum Lokasi Sampling
Produktivitas Primer Permukaan Air dan Sedimen
Kondisi Lingkungan Saat Pengamatan
Suhu
Intensitas Cahaya
Kandungan Nutrien
Konsentrasi Klorofil-a di Permukaan Air dan Sedimen
Kelimpahan Fitoplankton Pelagis
Pembahasan
Pengambilan Sampel Produksi Primer Mikrofitobentos
Produksi Primer Permukaan dan Bentik
Faktor Fisika-Kimia yang Mempengaruhi Produktivitas Primer
Pendugaan Produktivitas Primer Perairan di Pulau Lancang
5. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

xiv
xiv
xiv
1
1
2
3
3
5
5
6
7
8
11
11
11
12
12
12
13
13
13
14
15
15
16
16
16
17
18
18
18
20
20
21
22
22
23
26
30
32
32
32
33
38
41

xiv

DAFTAR TABEL
1 Pigmen pada fitoplankton bahari
2 Parameter dan alat ukur yang digunakan
3 Hasil analisis butiran sedimen
4 Produktivitas primer bersih permukaan air dan sedimen
5 Suhu permukaan air dan permukaan sedimen selama penelitian
6 Intensitas cahaya
7 Hubungan antara produktivitas primer dan intensitas cahaya
8 Konsentrasi nitrat dan fosfat di lokasi penelitian
9 Konsentrasi chl-a di permukaan air dan sedimen
10 Hasil pencacahan fitoplankton pelagis di lokasi studi

10
12
16
17
18
19
19
20
20
21

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Alur pikir penelitian
Peta lokasi penelitian
Komposisi kelompok fitoplankton pelagis
Produksi primer di permukaan air ( ) dan sedimen ( ); (a) hari ke-1;
(b) hari ke-2; (c) hari ke-3; (d) hari ke-4; (e) rerata produktivitas
primer selama 4 kali percobaan
5 Hubungan antara konsentrasi klorofil-a dengan produktivitas primer di (a)
permukaan air; dan (b) sedimen
6 Perbandingan intensitas cahaya (a) dan suhu (b) di permukaan air (▪▪▪)
dan sedimen (▬ )
7 Perbandingan konsentrasi fosfat ( ) dan nitrat ( ) di permukaan air dan
permukaan sedimen

4
11
23

24
27
29
29

DAFTAR LAMPIRAN
1 Peralatan yang digunakan selama penelitian
2 Data suhu dan intensitas cahaya dari perekaman HOBO light and
temperature logger

38
40

1

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Wilayah substrat yang sangat luas di zona eufotik tidak hanya menjadi
habitat bagi vegetasi makroskopis, melainkan juga organisme mikro fotosintetik,
dengan kelimpahan koloni yang melimpah dan sangat mendominasi terutama di
permukaan sedimen yang diduga gersang. Pemahaman kegersangan dapat
dipahami karena vegetasi koloni mikroalga yang sering disebut mikrofitobentos,
hidup menempel pada partikel substrat sehingga keberadaannya tidak kasat mata.
Istilah mikrofitobentos merujuk pada alga eukariot uniseluler berukuran
mikroskopisyang hidup di permukaan sedimen. Habitat mikrofitobentos meliputi
substrat pasir dan lumpur intertidal, baji garam, hamparan vegetasi terendam,
hingga sedimen subtidal (Aberle-Malzhan, 2004).
Pada dasarnya, organisme mikrofitobentos secara taksonomi sama dengan
fitoplankton tapi berbeda morfologi dan preferensi habitat. Persamaan lainnya
adalah mencakup sifat fotosintetik (MacIntyre et al. 1996; Underwood and
Kromkamp, 1999; Urban-Malinga and Wiktor, 2003). Organisme mikrofitobentos
dapat dengan mudah tersuspensi ke dalam kolom air dan merepresentasikan lebih
dari 50% total klorofil mikroalga yang terdapat di kolom air (de Jonge and van
Bausekom 1992; Serodio and Catarino, 2000; Perissinotto et al. 2002) dan
menjadi sumber makanan bagi deposit feeder dan suspension feeder (Miller et al.
1996; Wainright et al. 2000).
Komunitas mikrofitobentos tidak hanya memiliki peranan penting dalam
rantai makanan di perairan dangkal, melainkan juga berkontribusi terhadap
stabilitas sedimen melalui ekskresi extracellular polymeric substances (EPS)
(Paterson 1989, Stal 2003) dan mempengaruhi fluks nutrien pada batas sedimen –
air melalui aktivitas fotosintetik dan aktivitas metaboliknya (Sundback and
Graneli 1988; Rysgaard et al. 1995). Namun demikian, kajian produktivitas
primer mikrofitobentos, terutama di wilayah perairan Indonesia, masih jarang
dilakukan.
Pengukuran produktivitas primer dari unsur mikrofitobentos sering
diabaikan karena pengukuran umumnya hanya dilakukan pada permukaan dan
kolom air. Substrat dasar merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
sebuah sistem perairan. Studi mengenai mikrofitobentos diduga jarang dilakukan
karena sulitnya melakukan analisis organisme mikrofitobentos, terutama bila
analisis dilakukan dengan cara menghitung individu per satuan volume.
Kelompok mikrofitobentos sebagian besar berukuran sangat kecil dan menempel
pada partikel sedimen sehingga sulit diidentifikasi. Sebagai alternatif, analisis
pigmen fotosintetik, khususnya klorofil-a, telah digunakan untuk mengestimasi
biomassa organisme mikroalga bentik. Analisis pigmen dapat memudahkan
proses identifikasi karena ada pigmen-pigmen tertentu yang dapat menjadi ciri
spesifik jenis fitoplankton tertentu. Kemotaksonomi bisa menjadi alat yang lebih
dapat digunakan untuk mempelajari struktur komunitas mikrofitobentos
dibandingkan metode identifikasi sel hidup, terutama untuk memudahkan
identifikasi individu alga yang menempel pada partikel sedimen dan sulit
dipisahkan dari partikel sedimen (Klein dan Riaux-Gobin 1991).

2
Prinsip analisis pigmen organisme mikrofitobentik adalah sama seperti pada
analisis pigmen fitoplankton pelagis, yaitu menggunakan spektrofotometer,
fluorometer, maupun kromatogram. Analisis pigmen menggunakan metode highperformance liquid chromatography (HPLC) saat ini semakin banyak digunakan
dalam analisis pigmen karena lebih sensitif dalam mendeteksi pigmen turunan
dibanding dengan metode spektrofotometri maupun fluorometri, yang dianggap
menimbulkan under-estimation dalam analisis pigmen. Hal ini disebabkan oleh
sifat klorofil-a yang sangat mudah terdegradasi pada saat proses diagenesis
berlangsung. Namun demikian, analisis HPLC cenderung lebih mahal
dibandingkan dengan kedua analisis lainnya, terutama untuk analisis yang bersifat
rutin dan jumlah sampel sedikit. Pendekatan dengan metode spektrofotometri dan
fluorometri masih layak digunakan apabila hasil yang diinginkan tidak untuk
mengetahui konsentrasi jenis pigmen secara spesifik.
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi produksi primer
mikrofitobentos dan kontribusinya terhadap produksi primer perairan, serta
menguraikan faktor-faktor yang melatarbelakangi besaran produksi primer di
permukaan sedimen. Penelitian mengenai produksi primer dan komunitas
mikrofitobentos penting dilakukan karena mikrofitobentos memiliki peranan
dalam fiksasi karbon terutama di wilayah perairan dangkal, dimana substrat dasar
masih menerima cahaya matahari sehingga fotosintesis dapat berlangsung,
sehingga berperan dalam suplai makanan bagi organisme bentik lainnya . Agar
hasil penelitian tidak mengalami bias, pengambilan sampel dilakukan di substrat
perairan yang tidak ditumbuhi lamun maupun mangrove, sehingga nilai produksi
primer dapat diasumsikan hanya berasal dari fotosintesis mikrofitobentos.
Pemilihan lokasi pengambilan sampel juga dilakukan berdasarkan jarak
tempuhnya dengan laboratorium untuk menjaga kondisi sampel yang harus selalu
berada dalam kondisi beku hingga analisis dilakukan. Pulau Lancang dipilih
mejadi lokasi studi karena letaknya yang relatif mudah dicapai dan cenderung
mudah untuk menemukan substrat sedimen yang tidak ditumbuhi lamun atau
mangrove. Alur pikir penelitian disajikan dalam bentuk bagan alir (Gambar 1).

Perumusan Masalah
Sistem biologi, terutama rantai makanan, di suatu perairan merupakan suatu
sistem yang kompleks karena melibatkan banyak komponen. Semua komponen
tersebut tersebar dari mulai permukaan hingga ke dasar perairan dan saling terkait
satu sama lain. Meski penting, produktivitas primer di permukaan maupun kolom
air tidak menjadi parameter tunggal yang dapat menggambarkan kondisi suatu
perairan secara keseluruhan, karena di dalam sistem perairan yang kompleks
tersebut penting pula diketahui ‘nasib’ atau fate dari produksi bahan organik oleh
organisme fotosintetik (Kowalewska, 2005). Untuk memahaminya, diperlukan
suatu pengetahuan mengenai komunitas mikrofitobentos, termasuk kontribusinya
terhadap produktivitas primer perairan.
Berdasarkan pada kebutuhan tersebut, muncul beberapa pertanyaan yang
ingin dicari solusinya melalui penelitian ini, yaitu:
1. Berapa nilai produksi primer mikrofitobentos dan fitoplankton pelagis yang
diperoleh di lokasi pengambilan contoh di Pulau Lancang, Kepulauan Seribu

3
dan bagaimana kontribusi produksi primer mikrofitobentos terhadap produksi
primer perairan secara keseluruhan?
2. Bagaimana peranan mikrofitobentos dalam produksi primer perairan secara
keseluruhan?

Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menduga kontribusi mikrofitobentos terhadap
produksi primer perairan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat,
yaitu:
1. Sebagai informasi dasar mengenai komunitas mikrofitobentos, khususnya di
perairan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu, dan kontribusinya dalam
produktivitas primer perairan.
2. Sebagai referensi penelitian mengenai produksi primer organisme bentik di
perairan, khususnya wilayah perairan dangkal.
3. Sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan wawasan peneliti dalam
mengembangkan teknik analisis pigmen yang merupakan metode alternatif
studi organisme mikrofita.

Kerangka Pemikiran
Sistem perairan di wilayah intertidal setidaknya dapat dibagi menjadi tiga
komponen, yaitu permukaan, kolom air, dan dasar perairan. Pada penelitian ini,
kolom air diasumsikan memiliki karakteristik yang mirip dengan permukaan
karena kedalamannya kurang dari 1 meter. Oleh sebab itu maka pengukuran
parameter dilakukan terhadap dua komponen, yaitu permukaan dan dasar perairan.
Gambar 1 merupakan bagan alir sebagai ilustrasi kerangka pemikiran penelitian
ini.

4
Wilayah Intertidal

Permukaan

Kolom air

Mikrofitobentos

Fitoplankton

Sampel air

Sampel sedimen

Pencacahan
dengan mikroskop
Analisis
Spektrofotometri

Substrat
dasar

Pengukuran
Produktivitas Primer
(Metode Oksigen)

Produksi Primer Fitoplankton dan Mikrofitobentos
Keluaran
Gambar 1 Alur pikir penelitian

Analisis
Spektrofotometri

5

2. TINJAUAN PUSTAKA
Organisme Mikrofitobentik dan Karakteristik Habitatnya
Mikrofitobentos terdiri dari alga uniseluler dan sianobakter yang hidup di
dasar laut, memiliki ukuran mikroskopis, dan mampu berfotosintesis (MacIntyre
et al. 1996). Lalli dan Parsons (2004) menyebut organisme mikrofitobentik
dengan istilah spesies epipsammic, yaitu produsen bentik yang hidup menempel
pada butiran pasir atau membentuk hamparan di permukaan sedimen (substrat
lumpur). Kelompok flora mikroskopis ini terdiri atas diatom pennate motile, alga
hijau-biru, dan dinoflagellata. Organisme tersebut sering ditemukan dalam jumlah
berlimpah. Walaupun ukurannya sangat kecil, peranannya sebagai produsen
primer di perairan dangkal sangat penting.
Seperti fitoplankton pada umumnya, mikrofitobentos terdiri dari
kelompokBaccilariophyceae, Chlorophyceae, Dinophyceae, dan Cyanobacteria
(Aberle-Malzahn 2004), dimana spesies dari kelompok diatom lebih dominan
(Blanchard et al. 2006). MacIntyre et al. (1996) mencatat beberapa penelitian
sebelumnya mengenai distribusi mikrofitobentos dari kelompok diatom yang
banyak ditemukan di substrat pasir dan hamparan lumpur (mudflat), sianobakter
dan flagellata yang melimpah di habitat terlindung, serta dinoflagellata bentik
yang menjadi organisme penting di sedimen laut tropis (Fenchel and Straarup
1971).
Kelompok mikrofitobentos memiliki heterogenitas spasial yang tinggi, yaitu
suatu kelompok spesies yang memiliki jumlah individu banyak dan tersebar di
suatu luasan area. Sebagian mikrofitobentos hidup menempel pada butiran pasir
(epipsammon/epipsammic) atau bergerak bebas di permukaan lumpur halus
(epipelon/epipelic) (Blanchard et al. 2006).
Sejumlah peneliti menyatakan bahwa kandungan klorofil-a di sedimen
berlumpur cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan di substrat pasir.
Cartaxanaet al. (2006) menyebutkan bahwa perbedaan karakteristik sedimen dapat
menyebabkan perbedaan struktur komunitas mikroalga termasuk sianobakter.
Mikrofitobentos menunjukkan bahwakomposisi pigmen dan spesies
mikrofitobentos bisa bersifat site-specific, namun biomassa cenderung
menunjukkan pola umum yang berkorelasi positif dengan tinggi pasang surut.
Pola biomassa mikrofitobentos cenderung dikendalikan oleh paparan pasang
surut, sedangkan keanekaragaman populasinya dikendalikan oleh tipe sedimen,
dimana keanekaragaman yang lebih tinggi terdapat pada jenis sedimen berpasir
(Jesus et al. 2009). Korelasi antara biomassa mikrofitobentos dengan pasang surut
juga diamati oleh Blanchard et al. (2006), dimana terjadi peningkatan biomassa
selama diurnal emersion dan penurunan biomassa selama periode immersion dan
nocturnal emersion. Kromkamp and Forster (2006) menyatakan bahwa di
sebagian besar estuari, biomassa mikrofitobentos menurun secara eksponensial
menurut kedalaman selama periode pasang rendah (low tide).
Sebagai organisme fotosintetik, komunitas mikrofitobentos hidup di bagian
permukaan sedimen yang masih mendapatkan sinar matahari. Sinar matahari
umumnya hanya mencapai kedalaman sedimen 2 – 3 milimeter dari permukaan,
menyebabkan bagian tersebut menjadi satu-satunya bagian bagi mikrofitobentos

6
untuk berfotosintesis dan sinar matahari menjadi faktor pembatas fotosintesis
mikrofitobentos (MacIntyre et al. 1996). Keterbatasan intensitas sinar matahari
menyebabkan stabilitas sedimen juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi
fotosintesis, karena kondisi sedimen yang stabil membuat mikrofitobentos lebih
leluasa mendapatkan sinar matahari untuk melakukan fotosintesis (Parsons et al.
1977). Sedimen berpasir cenderung lebih stabil dalam merespon perubahan
musiman dibandingkan sedimen berlumpur, dimana sedimen berlumpur lebih
sering terpapar oleh disturbansi yang tidak terprediksi (Jesus et al. 2009).
Fakta lain menunjukkan bahwa komunitas mikrofitobentik yang ada pada
sedimen berada pada kondisi keterbatasan nutrien (Jørgensen et al. 1979). Meski
demikian, keterbatasan nutrien dapat disebabkan baik oleh akumulasi maupun
tingkat-tingkat proses pada biomassa, dan bermacam faktor lain dalam sistem
estuari yang mempengaruhi mikrofitobentos. Biofilm mikrofitobentos memiliki
peran penting (juga sebagai pembatas) dalam pertukaran fluks nutrien antara fase
air dan sedimen, serta efisiensi proses bakteri (bacterial processes). Pada sistem
estuari yang miskin hara, pelepasan hara dari fase sedimen ke kolom air bisa
menurun disebabkan adanya pemanfaatan nutrien oleh mikrofitobentos, dan
dampaknya akan lebih nyata saat sedimen terendam dan cahaya tersedia, seperti
yang terjadi di wilayah estuari mikrotidal (Underwood and Kromkamp 1999).

Produktivitas Primer Mikrofitobentos
Produktivitas primer fitoplankton pelagis dan mikroalga bentik di estuari
menjadikan wilayah ini sebagai ekosistem yang paling produktif dibandingkan
ekosistem lain di seluruh dunia (Kromkamp and Forster 2006). Pada wilayah
pesisir tanpa vegetasi, mikrofitobentos merupakan produsen utama yang sangat
penting (Moreno-Garrido et al. 2009), terutama sebagai sumber makanan bagi
zoobenthos (de Jonge and van Beusekom 1992), bahkan ikut menentukan siklus
pertumbuhan dan reproduksi bivalvia intertidal (Kang et al. 2006). Meskipun
estimasi mengenai seberapa besar kontribusi mikrofitobentos terhadap total
produksi estuari bisa berbeda-beda di setiap lokasi, secara umum dapat dikatakan
bahwa aktifitas mikrofitobentik memiliki peran penting di dalam sistem estuari
(Underwood and Kromkamp, 1999). Lalli and Parsons (2006) menyatakan bahwa
produktivitas primer di substrat berpasir hanya sebesar 10 g C/m 2/tahun, namun di
area hamparan lumpur bisa mencapai 230 g C/m2/tahun, dan pada skala global,
produktivitas flora bentik hanya mencapai 10% dari total produktivitas primer
lautan. Menurut Barranguet et al. (1997) kontribusi mikrofitobentos mencapai
lebih dari sepertiga total fiksasi karbon dalam suatu estuari. Di perairan dangkal,
produksi primer oleh mikrofitobentos mencapai 50% dari total produktivitas
primer (Moreno-Garrido et al. 2009), dan di beberapa habitat, produktivitas
primer di permukaan sedimen lebih besar dibanding di laut terbuka yang ada di
perairan tersebut. Hasil penelitian di tiga estuari di Afrika Selatan, menunjukkan
bahwa rerata produksi mikrofitobentos mencapai 1 – 3 kali lebih besar
dibandingkan produksi fitoplankton (Perissinotto et al. 2003).
Variabilitas mikrofitobentos yang cenderung tinggi, baik skala vertikal yang
sempit (rentang milimeter) maupun skala horizontal yang lebih luas (rentang
sentimeter hingga meter), menyebabkan kesulitan pengukuran produktivitas

7
primer dan sekunder. Meski demikian, produksi di ekosistem bentik memiliki
fraksi yang lebih signifikan dibanding produksi di kolom air. Siklus tahunan
mikrofitobentos sering menunjukkan puncak produktivitas saat musim semi atau
musim panas, dimana produktivitas primer kotor (gross primary productivity)
mikrofitobentos di sedimen berlumpur cenderung lebih tinggi dibandingkan di
sedimen berpasir (MacIntyreet al. 1996).
Produktivitas primer mikrofitobentos merupakan fungsi dari biomassa,
karakteristik fotosintesis, dan karakteristik sedimen (ketersediaan nutrien dan
ketebalan sedimen yang dapat ditembus cahaya). Meski demikian, total produksi
primer tidak semata tergantung pada produktivitas, melainkan juga terhadap
waktu paparan mikrofitobentos di zona intertidal, tranparansi air (untuk kasus
fotosintesis di zona terendam), dan migrasi vertikal diatom yang dipengaruhi oleh
pasang surut dan sudut datang cahaya matahari (Pinckney and Zingmark 1991;
Kromkamp and Forster 2006).

Pengukuran Produktivitas Primer Mikrofitobentos
Penelitian mengenai produktivitas primer telah dilakukan dengan
menggunakan berbagai teknik dan metode. Seperti pada pengukuran produktivitas
yang biasa dilakukan di kolom air, produktivitas primer mikrofitobentos dapat
dihitung menggunakan tiga prinsip utama; yaitu pengukuran berbasis oksigen
(botol gelap-botol terang), pengikatan karbon (umumnya menggunakan radioaktif
14
C), dan pengukuran fluorosensi (Kromkamp and Forster 2006).
Pengukuran berbasis oksigen umumnya dilakukan melalui metode bell jar
atau benthic chamber (Lindeboom et al. 1985; Hendrarto dan Nitisuparjo 2011),
dan mikroelektroda (Revsbech et al. 1981; Krompkamp et al. 1995) serta optoda
(Glud et al. 1999) untuk mendapatkan profil oksigen. Optoda mendeteksi oksigen
dengan chromopohore (kumpulan atom dan elektron yang membentuk suatu
bagian dari molekul organik yang menyebabkan molekul tersebut memiliki
warna) khusus yang kemudian mengemisikan cahaya, dan cahaya tersebut
dideteksi oleh sebuah sensor. Pendekatan mikrosensor seperti mikroelektroda
oksigen dan optoda lebih akurat dalam menggambarkan dan mengkuantifikasi
fotosintesis serta proses-proses yang berkaitan pada komunitas bentik. Meski
demikian, ekstrapolasi spasial dan temporal dari pengukuran titik tunggal pada
sedimen subtidal yang heterogen merupakan hal yang sangat rumit (Glud 2006).
Metode berbasis oksigen lainnya yaitu inkubasi botol gelap-botol terang
dilakukan oleh Urban-Malinga and Wiktor (2003) di permukaan sedimen untuk
mengukur pertukaran oksigen selama periode fotosintesis.
Selain menghitung pertukaran oksigen, metode bell jar juga dapat
digunakan untuk mengukur pemanfaatan 14C dari air di permukaan sedimen
(overlying water) selama periode waktu tertentu (Colijn and de Jonge 1984).
Apabila metode bell jar diterapkan untuk mengetahui pertukaran oksigen, hasil
akhir yang diperoleh adalah berupa produksi bersih dan produksi kotor (bila
jumlah oksigen di botol gelap ditambah dengan oksigen botol terang, dengan
asumsi respirasi saat terang dan gelap tidak berbeda). Apabila teknik tersebut
digunakan untuk mengukur pemanfaatan 14C, hasil akhir cenderung menunjukkan
laju fiksasi karbon dibawah nilai sesungguhnya (underestimate) karena sangat

8
tidak mudah mengukur aktivitas spesifik karbon inorganik terlarut (dissolved
inorganic carbon) pada lapisan tipis tempat fotosintesis pada mikrofitobentos
berlangsung. Permasalahan ini membuat teknik 14C tidak cocok digunakan untuk
menghitung parameter fotosintesis mikrofitobentos (Underwood and Kromkamp
1999).
Penggunaan radioaktif 14C juga diterapkan melalui teknik slurry. Slurry
adalah istilah untuk cairan yang sangat tebal dan pekat seperti lumpur atau adonan
semen. Pada teknik ini, irisan teratas dari sedimen core dilarutkan dengan air laut
yang telah difilter. Slurry lalu diinkubasi dalam photosynthetron dengan
konsentrasi bikarbonat (yang telah diberi label 14C) tertentu dan kemudian
dihitung 14C yang tersisa setelah inkubasi selesai (Kromkamp and Froster 2006).
Teknik ini dinilai menghasilkan besaran parameter fotosintesis yang reliable
meskipun tidak dapat menggambarkan profil gradien karbon sedimen karena
lapisan-lapisan pada sampel sedimen sudah tercampur (Underwood and
Krompkamp 1999).
Pengukuran fotosintesis dengan metode fluorosensi saat ini semakin banyak
diaplikasikan pada studi mikrofitobentos (Barranguet and Kromkamp 2000;
Perkins et al. 2002; Serodio 2004). Sifat fluorometer yang non-intrusive dan
relatif mudah digunakan (portable) memudahkan pengukuran klorofil terutama
secara in situ. Prinsip kerja fluorometri klorofil adalah menghitung laju transport
elektron fotosintetik (electron transport rate - ETR) pada organisme, namun
dalam kasus biofilm mikrofitobentos, rentang waktu migrasi vertikal yang sangat
pendek mempengaruhi absortivitas biomassa, dan pada akhirnya dapat
mengurangi keakuratan kalkulasi.

Estimasi Biomassa Mikrofitobentos
Selain mengukur parameter fotosintesis seperti karbon dan oksigen,
pengukuran produktivitas primer mikrofitobentos juga melibatkan identifikasi
biomassa. Biomassa mikrofitobentos, sebagai salah satu unsur penting dalam
produktivitas primer, umumnya dihitung dengan mengambil sampel sedimen
menggunakan sediment core kecil (Barranguet et al. 1997), cawan petri (Brito et
al. 2009a), maupun alat suntik (syringe) dengan berbagai diameter (UrbanMalinga dan Wiktor 2003; Grinham et al. 2007).
Salah satu cara mengetahui biomassa mikrofitobentos adalah melalui
pengamatan mikroskop (Eaton and Moss 1996; Gillespie et al. 2000; Duet al.
2009). Namun pengamatan mikroskop sulit dilakukan karena organisme
mikrofitobentos menempel pada partikel sedimen dan tidak mudah dipisahkan.
Sebagai alternatif, dilakukan pendekatan dengan metode analisis pigmen
fotosintetik, dengan klorofil-a sebagai pigmen dominan yang dianalogikan dengan
jumlah biomassa mikrofitobentos. Saat ini penelitian mengenai pigmen mikroalga
semakin berkembang hingga dapat digunakan sebagai penunjuk kelas-kelas
takson alga. Pendekatan ini disebut dengan kemotaksonomi karena menggunakan
zat kimia (pigmen) sebagai dasar identifikasi organisme. Analisis pigmen
memudahkan proses identifikasi karena ada pigmen-pigmen tertentu yang dapat
menjadi ciri spesifik jenis fitoplankton tertentu (Klein and Riaux-Gobin 1991)
dan telah digunakan secara meluas untuk menentukan struktur komunitas

9
fitoplankton pada sampel air, sebagai suplemen maupun alternatif dari identifikasi
mikroskop (Tester et al. 1995). Jenis-jenis pigmen yang dimiliki fitoplankton
dijabarkan oleh Parsons et al. (1977) dalam Tabel 1.
Analisis pigmen umumnya dilakukan dengan tiga cara, yaitu
spektrofotometri, fluorometri, dan kromatografi. Prinsip kerja ketiga metode
tersebut hampir sama, yaitu menggunakan panjang gelombang tertentu untuk
‘membaca’ reflektansi pigmen alga. Dewasa ini, metode kromatografi (terutama
kromatografi performa tinggi – high performance liquid chromatography)
semakin banyak digunakan dalam identifikasi takson alga (Mackey et al. 1996;
Brotas dan Plante-Cuny 2003) karena memiliki akurasi lebih tinggi dibanding dua
metode lainnya. Produk degradasi chlorophyllide a memiliki karakteristik
absorbansi dan fluorosens yang identik dengan klorofil a, sehingga sulit
dibedakan oleh fluorometri (MacIntyre et al. 1996) sehingga menyebabkan overestimasi. Over-estimasi klorofil a melalui metode spektrofotometri dan
fluorometri dapat mencapai 35-40% (Riaux-Gobin et al. 1987). Pada metode
HPLC, setiap unsur dalam suatu campuran dipisahkan berdasarkan waktu elusi
(titik dimana sinyal muncul di layar), sedangkan luas area serta tinggi sinyal
tersebut menunjukkan proporsi jumlah zat terkait, sehingga diperoleh hasil berupa
data kualitatif maupun kuantitatif (Meyer 2010).
Tidak seperti metode HPLC yang melibatkan pemisahan pigmen, metode
spektrofotometri memiliki kekurangan dalam mendeteksi jenis pigmen klorofil
secara spesifik (klorofil a, b, c1, c2) dan pigmen turunannya (pheophytin,
chlorophyllide, dan pheophorbide), sehingga tidak cocok digunakan pada perairan
atau substrat dengan komposisi kelas fitoplankton yang beragam (Dos Santos et
al. 2003). Namun pada lingkungan perairan yang didominasi oleh cyanobacteria,
sebagian besar pigmen adalah berupa klorofil-a sehingga metode spektrofotometri
cocok digunakan, dengan mempertimbangkan bahwa lebih sedikit gangguan yang
terjadi. Jodlowska and Latala (2011) menyatakan bahwa metode spektrofotometri
merupakan cara yang sederhana dan cepat dan dapat digunakan secara universal
untuk keperluan analisis pigmen dan studi fotoaklimatisasi (respon sel terhadap
cahaya). Terlebih pada sampel yang tidak mengandung produk degradasi klorofil
a, spektrofotometri dapat memberikan hasil yang comparable terhadap metode
HPLC. Meskipun metode spektrofotometri dianggap menghasilkan nilai yang
lebih besar dari seharusnya (over-estimasi), hasilnya tetap layak digunakan untuk
kajian rutin dan cepat (rapid assessment) (Brotas et al. 2007).

10
10

Tabel 1 Pigmen pada fitoplankton bahari
Pigments
Chlorophyll

Carotene

a
b
c
α
β
c

Xantophylls
Fucoxanthin
Neofucoxanthin
Diadinoxanthin
Dinoxanthin
Peridinin
Neoperidinin
Lutein
Zeaxanthin
Flavoxanthin
Violaxanthin
Neoxanthin
Alloxanthin (1+2)
Monodoxanthin
Crocoxanthin
Myxoxanthin
Myxoxantophyll
Anthraxanthin
Siphonaxanthin
Number of uni-dentified
pigments
Phycobilins

Bacillariophyceae
+++

Dinophyceae
+++

Chrysophyceae
+++

++

++

+

+++

+++

+++

+++
++
++
+

(+)

+++
++
++

++
+
+++
+

+

Chlorophyceae
+++
++

+++

Myxophyceae
+++

+++

Xanthophyceae
+++

Cryptophyceae
+++

(+)

++
+++

+++

Prasinophyceae
+++
++

Haptophyceae
+++
++

+
+++
+

+++

+++

+++
++
++
+

++
+

+++
+
+
+

++
+
++
+++
+
++
++
++
(+)

+*
2

+

1

1
++

2

8

++

Keterangan: ( ) kehadiran tak pasti, +++ pigmen utama, ++ secara umum dilaporkan hadir, + terkadang hadir, * hanya pada anggota kelompok
siphonous (non-planktonik). Sumber: Parsons et al 1977.

1

11

3. BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian lapangan dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada bulan Mei dan
Juli 2012, yang meliputi pengukuran produksi primer secara in situ, pengukuran
dan pengamatan parameter fisika perairan, pengambilan sampel klorofil, serta
koleksi fitoplankton pelagis. Titik sampling terletak di perairan Pulau Lancang,
Kepulauan Seribu, pada koordinat 5o 56' 4"LS dan 106o 35' 29" BT (Gambar 2).

Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Analisis sampel klorofil dilakukan di Laboratorium Produktivitas
Lingkungan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB. Sampel nutrien
berupa nitrat dan fosfat dilakukan di Laboratorium Produktivitas, Puslit
Oseanografi LIPI Ancol, sedangkan analisis butiran sedimen dilakukan di
Laboratorium Lingkungan Akuakultur FPIK IPB.

Penentuan Stasiun Pengamatan
Secara umum stasiun pengamatan ditentukan berdasarkan kondisi substrat
dasar. Pemilihan stasiun pengamatan dilakukan pada perairan yang dangkal,
memiliki substrat berpasir cenderung berlumpur, tidak terdapat koloni karang, dan
tidak ditumbuhi vegetasi lain seperti mangrove atau lamun. Kedalaman perairan di
stasiun pengamatan adalah 80 cm dan dapat dipastikan bahwa cahaya matahari
dapat berpenetrasi hingga ke dasar perairan.

12
Pengambilan Data
Pengukuran Kualitas Air
Untuk mendapatkan gambaran umum perairan, dilakukan pengukuran
parameter salinitas, pH, suhu, intensitas cahaya, dan fraksinasi sedimen. Sampel
nutrien berupa nitrat dan fosfat diambil dari permukaan air dan permukaan
sedimen untuk melihat perbedaan konsentrasi nitrat dan fosfat di kedua media.
Dokumentasi peralatan yang digunakan selama penelitian dapat dilihat pada
Lampiran 1.
Tabel 2 Parameter dan alat ukur yang digunakan
Parameter
Alat
Salinitas
Refraktometer
pH
pH meter
Intensitas cahaya dan suhu
Lightmeter
Temperature-lightlogger
Nitrat
Spektrofotometer HACH
Fosfat
Spektrofotometer HACH
Fraksi sedimen
Sekop, saringan bertingkat

Unit

Lux
o
C
mg/L
mg/L
%

Pengukuran Produktivitas Primer di Permukaan Air
Pengukuran produktivitas primer berdasarkan prinsip perubahan konsentrasi
oksigen terlarut dilakukan secara in situ dengan teknik botol terang-botol gelap.
Prinsip kerja metode ini adalah mengukur perbedaan konsentrasi oksigen dalam
botol sebelum dan sesudah inkubasi. Inkubasi dilakukan di permukaan air pukul
10.00 – 14.00 WIB setiap harinya selama tiga hari berturut-turut di lokasi yang
sama, dan pengukuran konsentrasi oksigen terlarut dilakukan dengan
menggunakan elektroda dissolved oxygen meter (DO meter).
Produktivitas primer bersih dari nilai oksigen terlarut dikonversi ke dalam
satuan mg C m-3 jam-1 melalui persamaan (1) dan (2) yang merupakan modifikasi
dari APHA (2005):
NPP =

(

)

.

(

)

.

GPP =

……… (1)

……… (2)

dimana:
NPP
GPP
O2BT
O2BA
O2BG
PQ

=
=
=
=
=
=

Produktivitas primer bersih (mg C m-3 jam-1)
Produktivitas primer kotor (mg C m-3 jam-1)
Oksigen pada botol terang (BT) akhir setelah inkubasi (mg/l)
Oksigen pada botol terang awal (BA) (mg/l)
Oksigen pada botol gelap setelah inkubasi (mg/l)
Photosynthetic Quotient = 1,2

13
t
1000
0.375

= Waktu inkubasi (jam)
= Konversi liter menjadi m3
= Koefisien konversi oksigen menjadi karbon (12/32)

Nilai GPP digunakan dalam penghitungan rasio produksi:biomassa (P/B
ratio) untuk mendapatkan indeks asimilasi fotosintesis. Pada indeks ini,
pertumbuhan fitoplankton digambarkan melalui jumlah karbon (dalam satuan mg)
yang diproduksi oleh setiap mg klorofil-a setiap jam.

Pengukuran Produksi Primer Mikrofitobentos
Produksi primer mikrofitobentos diukur dengan pendekatan metode botol
terang-gelap seperti yang umum digunakan pada media air. Melalui metode ini,
lapisan teratas sedimen tempat hidup mikrofitobentos diinkubasi dengan
ditambahkan air laut setempat yang sebelumnya telah disaring, dan mengukur
perubahan oksigen yang terjadi pada air tersebut setelah diinkubasi selama empat
jam (Urban-Malinga dan Wiktor 2003).
Sedimen sebanyak 10 cm3 diambil dengan syringe yang telah dilubangi dan
dituang kedalam botol Winkler bervolume 125 cm3 (botol gelap dan botol terang),
kemudian diisi sampai penuh dengan air laut setempat yang telah disaring dengan
kertas saring Durapore 0.2 µm, dengan asumsi tidak ada lagi mikroorganisme
yang tertinggal. Perlakuan botol gelap dilakukan dengan cara membungkus botol
dengan alumunium foil dan plastik polybag.
Prinsip kerja yang dilakukan serupa dengan pengukuran produksi primer air,
yaitu mengukur perbedaan oksigen sebelum dan sesudah diinkubasi selama 4 jam.
Namun pada pengukuran produksi primer sedimen, sampel diinkubasi di sedimen
dengan cara “ditanam” kira-kira 3 cm dari permukaan sedimen. Setelah 4 jam,
konsentrasi oksigen diukur dengan DO meter, dan produksi karbon dihitung
dengan menggunakan persamaan (1) seperti produktivitas primer air.

Perbandingan Produktivitas Primer Permukaan Air dan Sedimen
Perbandingan antara produktivitas primer permukaan air dan sedimen
dilakukan dengan cara menghitung nilai produktivitas primer pada transek 1 meter
x 1 meter. Ketebalan kolom air adalah 80 cm sedangkan ketebalan permukaan
sedimen adalah 2 mm, dengan asumsi bahwa intensitas cahaya bagi fotosintesis
mikrofitobentos optimum pada ketebalan tersebut. Nilai akhir produktivitas
primer setiap komponen akan dikonversi kedalam satuan mg C m-2 jam-1.

Pengambilan Sampel dan Analisis Klorofil Air
Sampel air sebanyak 2 liter disaring menggunakan pompa vakum dan kertas
saring Millipore dengan diameter pori 0.45µm untuk mendapatkan filtrat klorofil.
Filtrat klorofil yang diperoleh lalu dibungkus dengan aluminium foil dan disimpan
dalam keadaan beku sebelum dianalisis di laboratorium. Analisis klorofil diawali
oleh ekstraksi sample dengan aseton 90% sebanyak 10 ml. Ekstrak kemudian

14
disimpan dalam freezer bersuhu -20oC dan dibungkus dengan aluminium foil.
Setelah 24 jam, ekstrak lalu disentrifugase selama 30 menit. Selanjutnya klorofil
ekstrakdiukur dengan spektrofotometer pada lima panjang gelombang yaitu 630
nm, 647 nm, 664 nm, dan 750 nm. Estimasi klorofil-a dengan metode
spektrofotometri menggunakan persamaan trikromatik (2) yang mengacu pada
Jeffrey dan Humphrey (Arar, 1997), yaitu:
CE,a = 11.85 (Abs 664) - 1.54 (Abs 647) - 0.08 (Abs 630) …………. (3)
dimana:
CE,a = konsentrasi (mg/L) chl-a di dalam ekstraksi
Abs 664 = absorbansi sampel pada panjang gelombang 664 nm
Abs 647 = absorbansi sampel pada panjang gelombang 647 nm
Abs 630 = absorbansi sampel pada panjang gelombang 630 nm
Untuk menghitung konsentrasi pigmen dalam keseluruhan sampel air, digunakan
persamaan berikut:

=

(

,

(

)

)

…………… (4)

dimana:
Cs = konsentrasi (mg/l) pigmen dalam keseluruhan sampel air
CE,a = konsentrasi (mg/l) pigmen dalam ekstrak yang diukur pada kuvet
Le = volume ekstrak (l)
DF =dilution factor (jika ada)
Ls = volume air sampel yang disaring (l), dan
Lc = panjang jalur optik kuvet (1 cm)

Pengambilan Sampel dan Analisis Klorofil Sedimen
Lapisan teratas dari permukaan sedimen diambil sebanyak 10 cm3
menggunakan syringe yang dipotong bagian ujungnya, kemudian dimasukkan ke
dalam plastik dan dibungkus alumunium foil agar terlindung dari cahaya. Sampel
segera disimpan dalam keadaan beku dan dibawa ke laboratorium menggunakan
coolbox dalam kondisi terlindung dari cahaya dan suhu tinggi.
Saat tiba di laboratorium, sampel diambil dan ditimbang sebanyak 1 gram
untuk kemudian diekstrak dengan aseton 90% sebanyak 10 ml. Ekstrak diaduk
menggunakan vortex kemudian disimpan dalam kondisi gelap di dalam freezer
bersuhu -20 oC selama 24 jam. Konsentrasi pigmen lalu dianalisis dengan
spektrofotometer menggunakan panjang gelombang yang sama dengan
penggunaan spektrofotometer untuk klorofil di permukaan air. Hasil akhir
konsentrasi klorofil dalam satuan µg/g (b/b) dikonversi menjadi mg/l (b/v)
berdasarkan berat sedimen yang terdapat dalam 10 cm3 sampel. Metode
spektrofotometri untuk menganalisi konsentrasi klorofil sedimen ini pada Brotas
et al. (2007), Brito et al. (2009), dan Farooq and Sidiqui (2011).

15
Koleksi Fitoplankton Pelagis
Koleksi sampel fitoplankton dilakukan dengan menyaring air sebanyak 100
liter menggunakan jaring fitoplankton yang memiliki mata jaring berukuran 40
µm. Sampel fitoplankton kemudian disimpan di dalam botol sampel, diberi
pengawet lugol, dan dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi menggunakan
mikroskop.

Analisis Data
Data hasil pengukuran diolah menggunakan Microsoft Excel dan disajikan
dalam bentuk grafik, lalu dilakukan analisis secara deskriptif untuk menjelaskan
fenomena yang terjadi selama penelitian berlangsung.

16

4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kondisi Umum Lokasi Sampling
Pulau Lancang merupakan salah satu pulau yang terdapat di bagian tengah
gugus Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Pulau Lancang terdiri dari dua bagian yaitu
Pulau Lancang Besar (05° 55' 41'' - LS 106˚ 35’ 07’’ BT) seluas 15,13 Ha yang
dihuni penduduk, dan Pulau Lancang Kecil (05° 56' 14'' LS - 106˚ 35’ 40’’ BT)
yang tidak berpenghuni. Salah satu ekosistem mangrove di Kepulauan Seribu
terdapat di Pulau Lancang Kecil yang memiliki luasan total 11,03 Ha. Perairan
Pulau Lancang merupakan area budidaya kerapu (Epinephelus sp) dan baronang
(Siganus sp), serta cumi-cumi (Sepia sp). Berdasarkan keterangan warga
setempat, Pulau Lancang pernah menjadi sentra pembibitan rumput laut di
Kepulauan Seribu, namun akibat pencemaran air yang semakin parah, kualitas air
di Pulau Lancang tidak lagi memenuhi kriteria untuk budidaya rumput laut. Hal
ini tampak jelas dari timbunan sampah yang terdampar di pinggir pantai dan
warna air yang keruh. Ekosistem terumbu karang pun sangat jarang dijumpai di
perairan Pulau Lancang.
Pengambilan sampel dilakukan di perairan sekitar Pulau Lancang Kecil,
karena w