Kajian Akademis Hutan Kemasyarakatan

KAJIAN AKADEMIS HUTAN KEMASYARAKATAN
AGUS PURWOKO, S.HUT
Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN
Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat
yang masih memiliki nilai-nilai dan kultur tradisional. Sejak jaman dahulu, mereka
tidak hanya melihat hutan sebagai sumberdaya potensial saja, melainkan memang
merupakan sumber pangan, obat-obatan, energi, sandang, lingkungan dan sekaligus
tempat tinggal meraka. Bahkan ada sebagian masyarakat tradisional yang meyakini
bahwa hutan memiliki nilai spiritual, yakni percaya bahwa hutan atau komponen
biotik dan abiotik yang ada di dalamnya sebagai obyek yang memiliki kekuatan
dan/atau pesan supranatural yang mereka patuhi.
Sebagai sumber pangan, masyarakat sekitar hutan mengelola lahan hutan
dengan pola shifting cultivation (perladangan berpindah). Peladang membuka hutan
seluas sekitar 2 ha setiap KK untuk ditanami dengan tanaman pangan (palawija)
selama 2-3 tahun, kemudian berpindah-pindah secara berputar dengan daur rotasi
normal sekitar 15-20 tahun (Soemarwoto, 1991). Menurut para pakar arkeolog,
sistem perladangan seperti ini sudah ada sejak 7000 tahun Sebelum Masehi.
Sebagai

sumber
obat-obatan
dan
energi,
masyarakat
tradisional
memanfaatkan tumbuhan-tumbuhan liar yang hidup di hutan sebagai bahan obatobatan dan bahan bakar. Bahan obat ini mereka peroleh dengan cara pemungutan
langsung dari alam baik dengan kegiatan pengayaan maupun tanpa pengayaan.
Sebagai contoh, menurut Jacob (1982) di hutan Kalimantan saja diperkirakan
terdapat sekitar 560-900 spesies tumbuhan yang biasa digunakan sebagai bahan
obat-obatan. Di Asia Timur dan Asia Tenggara terdapat sekitar 6.000 spesies yang
digunakan secara tradisional untuk kebutuhan medis masyarakat, dan di Indonesia
sendiri terdapat lebih dari 50 % jenis tanaman obat yang berada di Asia. Begitu
pula dalam hal pemenuhan kebutuhan akan sandang, masyarakat sekitar hutan
memiliki teknologi sederhana yang cukup arif dalam memanfaatkan sumberdaya
hutan sebagai bahan baku sandang.
Dalam perkembangan peradaban selanjutnya, masyarakat tradisional tidak
lagi menggantungkan sumber pangan, pakaian dan obat-obatan dari hutan secara
langsung. Akan tetapi mereka menjadikan hutan sebagai sumber kegiatan ekonomi.
Produk-produk hasil hutan yang mereka peroleh tidak lagi berorientasi kepada

kebutuhan komsumsi mereka, melainkan juga diperdagangkan sebagai sumber mata
pencaharian mereka.
Menurut Zakaria (1994), nilai ekonomis ini muncul dari
kemampuan paroduk-produk hutan tersebut memenuhi sejumlah kebutuhan rumah
tangga, bahan baku untuk sejumlah produk dagangan, maupun melalui perannya
sebagai pengumpul bahan baku di dalam sistem yang lebih besar.
Kegiatan pengusahaan hutan di Indonesia secara besar-besaran dimulai
secara
de yure sejak adanya UUPK No. 5 tahun 1967, dan mulai menjamur sejak
dicanangkannya PMA pada awal dekade 70-an. Pada saat itu pengusahan hutan
melalui sistem pengelolaan oleh perusahaan-perusahaan besar merupakan alternatif
solusi yang diambil oleh pemerintah Orde Baru dalam mengalami krisis
perekonomian nasional. Kita akui secara jujur bahwa langkah ini secara efektif
mampu menjadi salah satu solusi dalam mengatasi krisis ekonomi nasional yang
terjadi di saat itu. Bahkan devisa negara yang bersumber dari sektor ini sempat
menjadi andalan sumber dana pembangunan nasional sampai awal dekade 80-an

2002 digitized by USU digital library

1


disamping sektor migas, sebelum akhirnya tergeser oleh perkembangan sektor
industri yang cukup pesat. Berikut disajikan data nilai ekspor hasil hutan kayu dan
non kayu pada awal dekade 70-an sampai dengan awal dekade 80-an.
Tabel 1. Nilai ekspor hasil hutan periode 1973 s.d. 1982
Ekspor HHK
Ekspor HHNK
Ekspor
Tahun
(juta US $)
(juta US $)
Total
(juta US $)
1973
583,4
1974
725,5
1975
527,0
1976

885,0
1977
943,2
1978
1.130,6
1979
2.172,3
1980
1.762,1
1981
951,8
1982
899,4
1983
1.161,1
Sumber: Zakaria, 1994.

17,0
24,9
21,6

34,7
48,3
58,6
114,0
125,6
106,0
120,0
127,0

600,4
750,4
548,6
919,7
991,5
1.189,5
2.286,3
1.797,7
1.057,8
1.019,4
1.288,1


Di samping sisi positif di atas, ternyata ada sisi lain dalam kegiatan
pengusahaan hutan di Indonesia yang layak kita cermati, yaitu bagaimana eksistensi
kepentingan masyarakat sekitar hutan. Kegiatan pengelolaan hutan dengan sistem
HPH dan HTI yang diterapkan Pemerintah Indonesia menitikberatkan kepada
bagaimana memperoleh pendapatan negara yang besar dalam waktu secepat
mungkin (sesuai dengan latar belakang nya), sehingga melibatkan pengusahapengusaha besar dalam pelaksanaannya. Kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan
hutan oleh masyarakat tradisional sama sekali tidak termasuk dalam sistem
pengelolaan hutan. Masyarakat terkesan disingkirkan dari kawasan konsesi masingmasing pemegang HPH atau HPHTI. Kegiatan ekonomi tradisional masyarakat tidak
lagi dibenarkan diakukan di kawasan konsesi, sementara kawasan milik masyarakat
adat yang secara hukum diakui sepanjang kenyataannnya masih ada, ternyata di
lapangan hampir tidak lagi dijumpai pengakuannya.
Paket-paket kegiatan hutan kemasyarakatan pada kenyataanya hanya
menjadi proyek sosial dari HPH dan HPHTI. Secara teknis, paket-paket kegiatan
kehutanan masyarakat seperti PMDH bukanlah mengoptimalkan peran masyarakat
dalam kegiatan pengelolaan hutan, namun lebih berupa pelayanan sosial (seperti
bantuan-bantuan sosial, pendidikan masyarakat, usaha kecil, dan sebagainya)
sebagai lip service dari pengusaha. Pembinaan kegiatan ekonomi masyarakat sekitar
kawasan hutan hanya berkisar dari kegiatan pemungutan hasil hutan non kayu
(HHNK) yang memang sudah dilakukan oleh masyarakat sejak dahulu. Dari data

ekspor tahun 1973 sampai dengan tahun 1983 terlihat bahwa hasil hutan non kayu
yang umumnya merupakan produk hutan yang dinikmati oleh masyarakat masih
sangat kecil proporsinya, yakni berkisar antara 2,8 % sampai dengan 11,8 % (ratarata 6,1 %) dari total ekspor hasil hutan.

II. MISPERSEPSI TERHADAP KEGIATAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN

2002 digitized by USU digital library

2

Ada sebuah fenomena yang perlu dikoreksi bersama berkaitan dengan peran
masyarakat dalam pengelolaan hutan. Aktivitas ekonomi masyarakat di dalam hutan
yang
sudah
merupakan
kegiatan
turun-temurun
dan
menjadi
sumber

ketergantungan hidup selalu dicap sebagai sesuatu yang negatif. Sebutan “liar”
selalu
dilekatkan
kepada
kelompok
masyarakat
yang
sudah
terbiasa
menggantungkan hidupnya dari mengelola lahan hutan untuk tanaman pangan
dengan berladang.
Kelompok masyarakat yang melakukan kegiatan ekonomi
dengan mangumpulkan hasil hutan sebagai bahan baku untuk diperjualbelikan
maupun untuk konsumsi sendiri selalu disebut dengan “pencuri “. Padahal mereka
memang kelompok masyarakat yang berprofesi sebagai “pencari" kayu atau hasil
hutan lainnya.
Masyarakat sering dituding sebagai penyebab berbagai kerusakan hutan,
mulai dari pembukaan hutan, kebakaran hutan sampai pada terjadinya kelangkaan
vegetasi dan satwa.
Hasil perhitungan yang dilakukan oleh The World Bank

misalnya, menempatkan konversi lahan oleh kegiatan petani kecil sebagai penyebab
utama deforestasi di Indonesia. Selengkapnya data perkiraan laju kerusakan hutan
di Indonesia tersebut disajikan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2. Perkiraan penyebab deforestasi
Penyebab Deforestasi
Kisaran Perkiraan
Perkiraan Ter(ha/tahun)
baik
(ha/tahun)
Awal Dekade 70-an
Awal Dekade 80-an
Akhir Dekade 80-an (tahun
1989)
• Konversi oleh petani kecil
• Proyek pembangunan
• Pembalakan
• Kebakaran hutan
Sumber: FAO, 1990: 38

700.0001.200.000

350.000-650.000
200.000-300.000
80.000-150.000
70.000-100.000

300.000
600.000
900.000
500.000
250.000
80.000
70.000

Angka tersebut di atas dijadikan oleh pemerintah sebagai acuan kebijakan
dan kebepihakan.
Soemarwoto (1990) mempertanyakan angka perkiraan ini dan
menyatakan bahwa angka ini terlalu dibesar-besarkan. Dengan perhitungan apabila
memang benar bahwa perkiraan jumlah peladang berpindah di Indonesia pada tahun
1985 mencapai 1,2 juta keluarga atau sekitar 6 juta jiwa (versi laporan Bank Dunia
dalam FAO, 1990) dengan luas areal perladangan sebesar 11,5 juta ha, berarti

kemampuan rata-rata peladang dalam menggarap ladangnya hanya seluas 1,97
ha/jiwa. Artinya dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.25 % per tahun
maka laju konversi lahan untuk peladangan berpindah hanya sebesar 143.750 ha
/tahun.
Begitu juga dengan deforestasi yang disebabkan oleh proyek
pembangunan.
Menurut Soemarwoto, selama Repelita IV saja pemerintah
mentransmigrasikan sebanyak 750.000 KK. Dengan jatah per KK seluas 2.5 ha,
maka luas areal yang dikonversi sebesar 1.875.000 ha, atau sebesar 375.000
ha/tahun. Belum lagi ditambah dengan proyek-proyek pemerintah non transmigrasi
lainnya.
Memang diakui bahwa ada kelompok masyarakat yang dalam kegiatan
ekonominya di hutan bermotifkan keserakahan dan terorganisir, namun tidak bisa
digeneralisir baik kasus maupun penangannya.
Dengan dalih untuk menghindari kegiatan pemanfaatan hutan yang “liar,
tidak arif dan boros” inilah yang membuat sistem pengusahaan hutan kita dalam
pelaksaannya cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat setempat. Aktivitas

2002 digitized by USU digital library

3

ekonomi masyarakat cenderung dihalau ke luar kawasan konsesi. Hal ini terbukti
dengan timbulnya berbagai konflik sosial yang terjadi antara masyarakat sekitar
hutan dengan pemegang konsesi.
Dari sisi teknis pengelolaan hutan, sampai saat ini masih banyak kritik dan
perdebatan berkaitan dengan efektifitas manajemen pengelolaan hutan yang
diterapkan saat ini (TPTI) dalam kaitannya dengan kelestarian hutan. Terlebih jika
kita mengacu kepada fenomena HPH-HPH yang ada di Indonesia, dimana dari
565.unit HPH yang menguasai 60,1 juta ha hutan di Indonesia, 111 unit diantaranya
dicabut haknya dan 524 (90%) diantaranya belum melaksanakan usaha
perlindungan dan pengamanan hutan (Dephut, 1996).
III. PARADIGMA BARU PEMBANGUNAN KEHUTANAN INDONESIA
a. Azas Pembangunan Hutan
Seperti yang telah diulas sebelumnya, pembangunan kehutanan di Indonesia
selama ini lebih berorientasi kepada penerimaan sebesar-besarnya bagi negara
dengan prinsip-prinsip kelestarian (melalui azas sustainable yield). Kesejahteraan
masyarakat sekitar hutan sendiri sebagai “pemilik” relatif terabaikan dengan
digusurnya peran masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan. Adanya fenomena
bahwa masyarakat sekitar hutan yang selama ini identik dengan kemiskinan tetap
saja pada predikat semula, miskin, adalah bukti yang lebih konkrit lagi.
Perkembangan tingkat pendidikan yang terjadi tidaklah menampakkan perbedaan
yang berarti antara ada dan tidak adanya kegiatan pengusahaan hutan. Sementara
hasil dari eksploitasi hutan menumpuk di pemerintahan pusat dengan alokasi
penggunaan yang seringkali disinyalir lari dari sektor kehutanan dan sering beririsan
sama sekali dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
Sebuah paradigma baru dalam pembangunan kehutanan Indonesia menapaki
abad ke-21 membuka harapan baru bagi masyarakat sekitar hutan.
Asas
pembangunan kehutanan yang berkeadilan dan berkelanjutan (Just and Sustainable
Yield Principle), meletakkan masyarakat sebagai subyek dalam kegiatan pengelolaan
hutan secara aktif dan intrasistem. Orientasi pembangunan kehutan tidak lagi
dititikberatkan pada penerimaan yang sebesar-besarnya bagi negara, melainkan juga
sebagai sumber pendapatan masyarakat melalui perannya baik secara individu
maupun dalm bentuk koperasi.
b. Orientasi Pembangunan Kehutanan
Misi Pemerintah Indonesia yang tertuang dalam GBHN 1999-2004 salah
satunya adalah perwujudan kesejahteraan rakyat yang ditandai oleh meningkatnya
kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat serta memberi perhatian utama pada
tercukupinya kebuthan dasar yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan,
dan lapangan kerja.
Dalam bidang sumberdaya alam dan lingkungan hidup, pembangunan
Indonesia berorientasi mengelola sumber daya alam dan memelihara daya
dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke
generasi. Di samping itu pembangunan juga berorientasi mendayagunakan sumber
daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan
kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang
berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan
ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang.
IV. HUTAN KEMASYARAKATAN SEBAGAI SUATU KONSEPSI

2002 digitized by USU digital library

4

Pada awal dekade 90-an (Pelita V) berkembanglah sutau sistem pengelolaan
lahan yang mengintegrasikan kepentingan peningkatan kelestarian fungsi hutan dan
kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan
hutan atau yang dikenal dengan hutan kemasyarakatan.
Konsep dasar yang
dikembangkan dalam hutan kemasyarakatan adalah partisipasi aktif masyarakat di
dalam dan sekitar kawasan hutan dalam mengelola hutan dengan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraannya serta meningkatkan kelestarian fungsi hutan
(Departemen
Kehutanan,
1996).
Pengembangan
hutan
kemasyarakatan
menggunakan metode pemanfaatan ruang tumbuh atau bagian-bagian tertentu dari
tanaman hutan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat
dan
kualitas sumberdaya hutan. Adapun komoditas yang bisa dikembangkan adalah
aneka usaha kehutanan ataupun jenis-jenis tanaman multi guna (multi purpose tree
spesies).
Jadi, hutan kemasyarakatan menurut Departemen Kehutanan (1996) adalah
suatu sistem pengelolaan hutan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan dengan tetap memperhatikan
kelestarian fungsi hutan.
Reformasi dalam bidang kehutanan menyempurnakan konsepsi tentang hutan
kemasyarakatan dengan memfokuskan kegiatan pada kawasan hutan negara (bukan
hutan rakyat). Hutan kemasyarakatan dirumuskan berdasarkan Kepmenhutbun No.
677/Kpts-II/1998 sebagai hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh
menteri untuk dikelola oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan
hutan, dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan
menitikberatkan pada kepentingan menyejahterakan masyarakat. Prinsip-prinsip
yang dikembangkan lebih berpihak lagi kepada masyarakat, yakni:
1) Masyarakat sebagai pelaku utama,
2) Masyarakat sebagai pengambil keputusan,
3) Kelembagaan pengusahaan ditentukan oleh pengambil keputusan,
4) Kepastian hak dan kewajiban semua pihak,
5) Pemerintah sebagai fasilitator dan pemantau program,
6) Pendekatan didasarkan pada keanekaragaman hayati dan keanekaragaman
budaya (Dephutbun, 1999).
Secara teoritis konsep ini sudah mengarah kepada pola yang konstruktif,
yakni menempatkan rakyat sebagai pelaku secara intrasistemik dalam kegiatan
pengelolaan hutan. Hanya saja konsep ini belum terealisir dalam level operasional
dan terbukti secara teknis mampu menjamin terwujudnya prinsip-prinsip
pengelolaan di atas.
V. HUTAN KEMASYARAKATAN SEBAGAI PENDEKATAN SOLUTIF
Konversi hutan oleh peladang berpindah memang merupakan masalah.
Secara ekologis sistem perladangan tersebut secara drastis menurunkan kualitas
daya dukung lingkungan dari lahan hutan. Perburuan oleh masyarakat tradisional
juga bisa merupakan ancaman bagi kelestarian jenis-jenis satwa tertentu yang
kelimpahannya dibawah kemampuan daya dukung lingkungan (carring capacity).
Begitu juga pemungutan hasil hutan kayu dan non kayu oleh masyarakat dalam
skala tertentu juga merupakan ancaman bagi kelestarian. Akan tetapi penghentian
aktivitas-aktivitas ekonomi masyarakat dalam dan sekitar hutan tersebut
menimbulkan masalah baru, yaitu dari mana mata pencaharian mereka selanjutnya.
Penggusuran peran masyarakat tradisional dalam kegiatan pengelolaan hutan berarti
memutuskan sumber kehidupan mereka.

2002 digitized by USU digital library

5

Di sisi lain, sistem pengelolaah hutan yang berlaku selama ini banyak disorot
karena memiliki banyak kelemahan, terutama berkaitan dengan kontribusinya
terhadap negara dan masyarakat.
Dari aspek finansial, menurut Kartodiharjo
(1998), nilai investasi HPH hanya sebesar 1 % dari pendapatan tahunannya,
sehingga HPH dijuluki sebagai free rider (penunggang gratis). Apabila digunakan
kriteria kelayakan dengan tingkat suku bunga riil sebesar 11 %, secara finansial
pengusahaan hutan tergolong layak dengan nilai IRR sebesar 38,98. Akan tetapi
dalam kenyataannya biaya operasional pengusahaan hutan naik sebesar rata-rata 40
% sehingga nilai IRR turun menjadi 8.08 %. Secara normal kondisi ini sama sekali
tidak menguntungkan swasta, sehingga memicu pengusaha untuk melakukan
penebangan ilegal di luar areal penebangan yang di sahkan dan/atau di kawasan
untuk penggunaan lain. Hal ini terbukti dari laju berkurangnya primary forest (PF)
pada areal yang seharusnya tidak ditebang sebesar rata-rata 2.5 % per tahun dan
luas areal yang sudah ditebang rata-rata mencapai 140 % dari luas yang seharusnya
diperbolehkan. Secara kelembagaan, ketidakpastian status kepemilikan dan jangka
waktu pengelolaan sering disinggung sebagai penyebab yang mendorong hal ini. Dari
aspek teknis, kenyataan menunjukkan bahwa kewajiban melaksanakan kegiatan
perlidungan hutan hanya dilaksanakan sebesar 33.75 % dari kewajiban seharusnya
sesuai dengan standar pemerintah. Terakhir, hasil perhitungan Darusman (1992),
nilai rente ekonomi kegiatan pengusahaan hutan yang diterima oleh pemerintah
hanya sebesar 31 %. Padahal APHI meyakini bahwa rente ekonomi yang diterima
pemerintah tidak kurang dari 84 %. Berarti ada sekitar 53 % bagian dari rente
ekonomi yang alokasinya tidak jelas dan menjadikan ekonomi biaya tinggi. Nilai ini
jauh lebih dari cukup untuk bisa dinikmati oleh masyarakat secara langsung apabila
masyarakat terlibat sebagai komponen intrasistem kegiatan pengelolaan hutan.
Hutan Kemasyarakatan sebagai sebuah konsepsi yang mempertemukan
semua kepentingan tersebut (kesejahteraan masyarakat, produktifitas sumberdaya
hutan dan kelestarian fungsi hutan) merupakan pendekatan yang diharapkan mampu
menjadi alternatif solusi dalam kegiatan pengelolaan hutan. Melalui konsep ini
bisa lebih luas dijabarkan dalam pola-pola managemen lahan hutan yang mampu
secara efektif melibatkan masyarakat secara langsung dalam sistem pengelolaan
hutan, memberikan kontribusi secara real bagi kesejahteraan masyarakat, secara
teknis mampu meningkatkan produktivitas sumberdaya hutan dan secara ekologis
mampu menjamin kelestarian fungsi hutan. Sebagai contoh, pelaksanaan hutan
kemasyarakatan pada kawasan produksi menurut Departemen Kehutanan (1999)
dapat dilakukan dengan memanfaatkan hasil hutan kayu dan non kayu dan atau jasa
lingkungan rekreasi melalui model agroforestry (agosilviculture, silvopastoral,
silvofishery, sericulture, dll), baik untuk tujuan bisnis maupun keperluan sendiri.
Dari aspek ekologis maupun produktivitas lahan diharapkan hutan
kemasyarakatan merupakan alternatif yang lebih baik, karena banyak penelitian
yang membuktikan bahwa persaingan antara tanaman hutan/perkebunan dengan
tanaman palawija lebih menguntungkan dibandingkan dengan persaingan dengan
alang-alang. Sepanjang penanaman tanaman pangan di lahan hutan dan kebun
untuk produksi pangan harus tidak menggangu fungsi hutan sehingga sesuai dengan
salah satu kesepakatan Quebec 1997 yaitu pemanfaatan sumberdaya alam (hutan)
yang menjamin kelestarian lingkungan hidup termasuk air.
VI. POTENSI PENGEMBANGAN
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutan No. 622/Kpts-II/1995 tentang
Pedoman Hutan Kemasyarakatan, disebutkan bahwa hasil hutan dari hutan
kemasyarakatan adalah komoditi hasil hutan bukan kayu. Akan tetapi menurut
Departemen Kehutanan (1999), hasil komoditi bisa berupa kayu dan non kayu, baik
untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk diusahakan. Komoditi kayu

2002 digitized by USU digital library

6

sudah jelas merupakan komiditi yang sangat prospektif, terutama jenis-jenis kayu
lunak yang umumnya banyak diproduksi dari kegiatan hutan kemasyarakatan dan
hutan rakyat seperti sengon (Paraserianthes falcataria) dan Pinus (Pinus spp). Data
dari FAO menunjukkan bahwa pada tahun 1997 defisit ekspor-impor kita untuk
bahan baku kayu pulp sebesar 6.108.984 US$ (FAO, 1997). Sementara kebutuhan
kayu untuk komsumsi masyarakat saja cukup tinggi, mengingat tingkat konsumsi
perkapita masyarakat Indonesia akan kayu masih jauh dari normal.
Hasil hutan non kayu yang dimungkinkan bisa berupa komoditi pangan,
sumber energi, bahan baku obat-obatan dan kosmetik, bahan baku pakaian,
kerajinan, satwa dan lain-laian termasuk komoditi pariwisata alam. Untuk komoditi
pangan, menurut Dephutbun (1999a), dari hasil perhitungan kasar dari 52 juta ha
hutan yang kita kelola dapat menghasilkan selain kayu juga pangan sebanyak
1.560.000 ton per tahun. Dengan potensi ini apabila dapat diwujudkan kiranya
Indonesia suatu saat justru dapat menjadi pusat cadangan pangan dunia. Beberapa
contoh tanaman pangan nasional non padi yang direkomendasikan untuk
diprioritaskan dalam kegiatan hutan kemasyarakatan melalui program Hutan
Cadangan Pangan antara lain ubi kayu/cassava roots (Manihot utilissima),
garut/arrowrot (Maranta arundinacea), Ganyong/a tuber (Canna edulis), sukun
(Artocarpus communis), Ubi jalar/sweet potato (Ipomoea batatas), jagung/maize
(Zea mays), Kacang tanah/peanuts (Arachis hypogea), Kedelai/soybean (Glycine
max), Talas komoditi tanaman pangan tersebut merupakan sumber kalori dan gizi
yang tinggi dan sangat dibutuhkan pagi peningkatan kualitas sumberdaya manusia
Indonesia. Untuk mencapai hal ini pengembangan program Hutan Cadangan pangan
hendaknya bukan sekedar proyek mercusuar belaka.
Secara ekonomis, usaha tani komoditi-komoditi tersebut pun memiliki tingkat
keuntungan yang tinggi. Komoditi hutan kemasyarakatan non pangan juga memiliki
prospek yang sangat bagus. Komoditi rotan misalnya, FAO dan Dephut (1990)
memproyeksikan produksi rotan Indonesia pada tahun 2000 mencapai 170.464 ton.
Komoditi hasil hutan kemasyarakatan non pangan umumnya merupakan bahan baku
kegiatan industri hilir padat karya, sehingga memiliki multiplier efect yang tinggi
terhadap kegiatan ekonomi masyarakat, khususnya kelas menengah dan kecil.

VII. KENDALA DAN TANTANGAN
a. Status dan fungsi lahan
Permasalahan yang cukup pelik dalam hal lahan, khususnya untuk kegiatan
hutan kemasyarakatan di luar hutan milik adalah masalah kepemilikan lahan. Salah
satu karakter transformasi masyarakat tradisional menuju modern adalah adanya
perubahan orientasi dari orientasi memenuhi kebutuhan fisik menuju orientasi
komersial dan keutungan yang besar (Panadji, 19995). Hal ini memicu keserakahan
masyarakat untuk tidak sekedar memanfaatkan hutan dengan komoditi yang tidak
merusak fungsi hutan, melainkan mengeliminir fungsi hutan itu sendiri dan
menguasai lahanya. Hal ini yang sering memicu konflik lahan dalam programprogram hutan kemasyarakatan.
b. Tingkat penguasaan teknologi masyarakat
Kemampuan manajemen lahan yang dimiliki masyarakat relatif rendah,
terutama jika dikaitkan dengan manajemen lahan yang lestari.
Indegenous
technology yang dimiliki masyarakat tradisional tidaklah komprehenshif sehingga

2002 digitized by USU digital library

7

belum mampu memecahkan masalah manajemen lahan hutan yang lestarai sesuai
prinsip-prinsip hutan kemasyarakatan.
c. Model-model Kehutanan Masyarakat
Belum adanya model kehuatan masyarakat sesuai dengan paradigma baru
kehutanan konsep reformatif hutan kemasyarakatan, terutama untuk lokasi di
kawasan produksi hutan alam. Model-model hutan kemasyarakatan yang ada lebih
berupa optimalisasi lahan rakyat baik yang bervegetasi hutan maupaun non hutan
dengan introdusir multi purpose tree spesies, seperti model kebun campuran, alley
cropping, hutan pekarangan, kebun talun dan lain-lain. Sedangkan model hutan
kemasyarakatan untuk kawasan produksi kebanyakan baru dikembangkan di hutan
tanaman, terutama di Jawa (Perum Perhutani), dengan model tumpangsari,
cemplongan, perhutanan sosial, management regim dan sebagainya.
Secara keseluruhan masih banyak kendala yang perlu dikaji bersama secara
komprehensif yang melibatkan semua kalangan yang terkait, baik itu pemerintah,
institusi akademik, lembaga-lembaga riset dan kalangan LSM. Hal itu perlu diawali
adanya penyamaan persepsi tentang kehutanan masyarakat sebagai sebuah
konsepsi pengelolaan hutan yang berpihak kepada masyarakat.
--------------000-------------

DAFTAR PUSTAKA
Darusman, 1996.
Komitmen dan Realisasi Prinsip-Prinsip Kehutanan. Makalah
Seminar “Country Assesment Penerapan Hasil Pertemuan Rio. WALHI. Jakarta.
Dephut, 1995. Himpunan Peraturan Perundangan Bidang Pengusahaan Hutan.
Departemen Kehutanan. Jakarta
Dephut, 1996. Daftar HPH yang Dicabut, Diperpanjang dan Patungan dengan PT.
Inhutani. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Dephutbun,
1999.
Hutan dan Kebun sebagai Sumber Pangan Nasional.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. Jakarta.
Dephutbun, 1999. Panduan Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan dan
Perkebunan Republik Indonesia. Jakarta.
Dephutbun, 1999. Dinamika Proses Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia
No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Departemen Kehutanan dan
Perkebunan. Jakarta.
FAO, 1997. Wood Trade of Indonesia. Website. Jakarta.
FAO & Dephut, 1990. Situation and Outlook of Forestry Sector in Indonesia, Vol.
IV.
Directorste Genral of Forest Utilization, Ministry of Forestry, Gov of
Indonesia - Food and Agriculture Organization. Jakarta.
Kartodiharjo, H. 1998. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Alam Produksi Di
Indonesia. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

2002 digitized by USU digital library

8

Nasution, M, 1999. Untuk Mewujudkan Pembangunan Kehutanan dan Perkebunan
yang Berkeadilan dan Berkelanjutan. Kumpulan Orasi dan Pidato. Departemen
Kehutanan dan Perkebunan. Edisi ke-2. Jakarta.
Pranadji, 1995. Wirausaha, Kemitraan dan Pengembangan Agribisnis Secara
Berkelanjutan. Analisis CSIS Th xxiv No. 5. Jakarta.
Soemarwoto, 1991. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. Gramedia.
Jakarta.
Soemarwoto, 1990. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan.
Jakarta.
Wood, P.J & Burley, J. 1991. A Tree for All Reasons. International Centre for
Research in Agroforestry. Nairobi.
Zakaria, Yando. 1994. Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat. Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (WALHI). Jakarta

2002 digitized by USU digital library

9