Pendapat PT Grand Indonesia

2. Pembahasan

2.1. Pendapat PT Grand Indonesia

PT GI melalui kuasa hukumnya Juniver Girsang menyatakan bahwa anggapan terkait pembangunan gedung perkantoran Menara BCA dan apartemen Kempinski yang dianggap melanggar hukum karena tidak tercantum dalam perjanjian dan berpotensi merugikan keuangan negara adalah keliru. Sebab, menurutnya, gedung perkantoran dan apartemen itu termasuk dalam kategori bangunan-bangunan lainnya seperti tercantum dalam perjanjian BOT itu sendiri. Meski demikian, tentu tidak wajar bahwa dua bangunan sebesar itu dengan nilai investasi triliunan tidak diperjanjikan sebelumnya dan ha ya di uat erdasarka frasa a gu a lai ya . Penulisan frasa tersebut dalam perjanjian memang mengundang ambiguitas. Hal ini diperparah de ga frasa a tara lai ya g e a g se ara harfiah memungkinkan adanya penafsiran terbuka mengenai hal – hal yang tidak belum disebutkan dalam perjanjian. Gambar 3: Kutipan Perjanjian BOT Gambar 4: Kutipan Definisi dalam Perjanjian BOT Berdasarkan argumentasi yang telah dikeluarkan PT GI, maka kita tidak dapat secara langsung menyalahkan tindakan yang telah dilakukannya karena telah merujuk pada perjanjian yang telah disepakati. Namun, apabila meninjau aturan PMK 78PMK.062014 tentang Tata Cara Pemanfaatan BMN, setidaknya ada dua pasal yang dapat dijadikan dasar pertimbangan. Pasal 124 1 Mitra BGSBSG harus melaksanakan pembangunan gedung dan fasilitasnya sebagaimana ditentukan dalam perjanjian BGSBSG. Pasal 106 Dalam pelaksanaaan BGSBSG, mitra BGSBSG dapat melakukan perubahan danatau penambahan hasil BGSBSG setelah memperoleh persetujuan Pengelola Barang dan dilakukan addendum perjanjian BGSBSG. Terkait apakah PT GI melanggar ketentuan dalam PMK tersebut juga masih sangat debatable karena frasa dalam perjanjian BOT memiliki ambiguitas dan penafsiran terbuka sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Selain itu, perjanjian yang diteken pada tahun 2004 tersebut juga tidak dapat serta – merta dikupas dengan PMK 78 karena dalam ketentuan pemberlakuannya tidak berlaku surut sehingga tidak mengikat secara hukum perjanjian – perjanjian yang terjadi sebelum tahun 2014 saat PMK tersebut disahkan. Dengan demikian, satu – satunya argumentasi yang dapat diajukan terkait keberadaan dua gedung bermasalah di komplek Hotel Indonesia adalah potensi kerugian negara dari kontribusi tahunan yang terlalu rendah dengan keberadaan dua gedung tersebut. Besaran kontribusi tahunan merupakan hasil perkalian dari besaran persentase kontribusi tahunan dengan nilai wajar BMN yang akan dilakukan BGSBSG. Apabila terdapat lebih banyak bangunan apalagi bangunan mewah daripada yang semula direncanakan, maka nilai wajar yang didapat pastilah lebih tinggi dan karenanya negara seharusnya mendapatkan kontribusi tahunan yang lebih tinggi pula, namun potensi peningkatan ini tidak diakomodir secara jelas dalam perjanjian sehingga menimbulkan pertentangan dari masing – masing pihak.

2.2. Pendapat PT Hotel Indonesia Natour HIN