Pendahuluan Analisis Kasus Build Operate Transfer BO

Analisis Kasus Build, Operate, Transfer BOT Grand Indonesia

1. Pendahuluan

Isu keberadaan dua gedung tinggi di proyek BOT Hotel Indonesia akhir - akhir ini memang tengah mencuat. Parahnya lagi, kedua bangunan tersebut disinyalir tidak terdapat dalam perjanjian yang ditandatangani pada 11 Mei 2004 oleh PT Hotel Indonesia Natour HIN selaku wakil pemerintah cq. Kementerian BUMN dengan PT Cipta Karya Bersama Indonesia CKBI yang kemudian mendelegasikan hak BOT miliknya kepada PT Grand Indonesia GI. Latar belakang diadakannya perjanjian ini adalah kondisi Hotel Indonesia yang meskipun berada di tempat strategis, yakni di jalan M.H. Thamrin, namun pengelolanya tidak dapat dapat dengan mudah meraih keuntungan. Usia bangunan yang lebih dari lima dekade, serta minimnya perbaikan bangunan, membuat HI kesulitan menghadapi persaingan bisnis hotel di Jakarta. Peremajaan gedung tersebut bukan hal mudah. Dibutuhkan dana besar dan mitra yang dapat diandalkan untuk merevitalisasi aset nasional tersebut. Pada Bulan Februari 2003, pemerintah mengumumkan rencana pengembangan HIN melalui Harian Bisnis Indonesia, Jakarta Post, dan Sinar Harapan. Pada waktu itu ada sekitar 52 calon mitra strategis yang diundang, tapi hanya 8 yang berminat dan hanya 4 yang mengajukan penawaran. Dari 4 calon investor, PT CKBIPT GI menjadi penawar tertinggi dengan nilai Rp 1,26 Triliun. Akhirnya, dimulailah proses negosiasi kerjasama BOT dari bulan Juni 2003 sampai Februari 2004. Dalam proses itu, ada beberapa kali revisi proposal. Setelah dicapai kesepakatan BOT, lalu keluarlah persetujuan dari Meneg BUMN Laksamana Sukardi via surat S-247MBU2004 tanggal 11 Mei 2004. Dua hari kemudian ditandatanganilah kontrak kerjasama Build, Operate, Transfer antara kedua belah pihak tertanggal 13 Mei 2004. Bayu Atetiko Yanida Putera ŝƉƵďůŝŬĂƐŝŬĂŶƉĂĚĂϭϴƉƌŝůϮϬϭϲ Gambar 1: Kontrak Perjanjian dan Akta Notaris BOT Grand Indonesia Dalam pasal 1.2 perjanjian tersebut dise utka ahwa, Gedu g da fasilitas pe u ja g ya g wajib dibangun danatau direnovasi penerima hak BOT di atas tanah yaitu antara lain adalah pusat perbelanjaan, hotel, dan bangunan-bangunan lainnya berikut fasilitas parkir serta fasilitas penunjang, yang terdiri dari hotel bintang lima 42.815 meter persegi, pusat perbelanjaan I seluas 80.000 meter persegi, pusat perbelanjaan II seluas 90.000 meter persegi, dan fasilitas parkir seluas 175.000 meter persegi dengan kapasitas sekitar 4.000 kendaraan, yang merupakan ko i asi a tara ase e t da gedu g parkir. BPK dalam laporannya yang terbit pada 14 Januari 2016 mencatat ada banyak ketidaksesuaian antara perjanjian BOT dan Surat Persetujuan Kerja Sama Pengembangan HI dan Inna Wisata dari Menteri BUMN No. S-136MBU 2004. Ketidaksesuaian tersebut antara lain mengenai pemberian hak opsi perpanjangan BOT selama 20 tahun, pemberian kompensasi bukan berdasarkan persentase dan keuntungan minimum, pemberian hak kepada pemegang BOT yang memungkinkan memanfaatkan sertifikat tanah HI dan Inna Wisata sebagai alat agunan, pengalihan mitra strategis dari PT CKBI kepada PT GI, dan tidak adanya kewajiban laporan keuangan tahunan. Dalam hal keberadaan Menara BCA dan Apartemen Kempinski, BPK juga melihat adanya keanehan. Sebab, hak menambah gedung perkantoran dan apartemen itu tidak diatur secara jelas dalam perjanjian BOT. Dalam tulisan ini akan dibahas khusus mengenai kedua bangunan tersebut dari sudut pandang PT GI dan serta menurut pendapat PT HIN. Gambar 2: Laporan Hasil Pemeriksaan BPK

2. Pembahasan