8
2.2 Teknik Penginderaan Jauh Habitat Perairan Dangkal
Konsep dasar penginderaan jauh karang pertama kali dikembangkan dengan cara penginderaan jarak dekat
proksimal Fussell
et al. 1986. Menurut
Andrefouet dan Riegl 2004 bahwa prosedur proksimal
dari pengukuran radiometer
in-situ tersebut penting untuk memahami prinsip dasar interaksi
energi elektromagnetik dengan permukaan bumi yang mencirikan kenampakan individu karang yang diperiksa dari
spectral reflectance SR.
Tujuan umum karakterisasi proksimal
karang adalah klasifikasi spektral citra
hyperspectral secara konsisten meniru cara pembentukan spektral
library kesehatan terumbu karang. Pemanfaatan Radiometer
hyperspectral untuk
mengukur reflectance
in-situ dari spectral
downwelling irradiance DI dan
upwelling radiance
UR tepat di atas target karang benthos Lawson et al.
2006. Pemetaan habitat perairan dangkal dari satelit dipengaruhi oleh atmosfir
dan kolom air. Radiasi harus melalui dua media, yaitu atmosfir dan air, dan naik kembali hingga direkam oleh sensor. Oleh karena itu untuk mengidentifikasi
pantulan dasar perairan citra harus dikoreksi secara atmosferik dan kolom air. Ilustrasi kemampuan satelit penginderaan jauh ke badan air disajikan pada
Gambar 2-3 Edwards 1999:
Gambar 2-3 Ilustrasi kemampuan radiasi sensor satelit ke badan air
9
Lima kemampuan remote sensing
untuk memaksimalkan penentuan kelas karang, yaitu; i diskriminasi kelas dasar ekologi, ii separabilitas spektral, iii
kedalaman attenuasi untuk penentuan kemampuan separabilitas, iv ekstraksi informasi separabilitas dengan sensor, dan v diskriminasi kelas bentik melalui
analisis resultan data Hedley dan Mumby 2002. Terdapat 5 cara klasifikasi penginderaan jauh habitat terumbu karang
Mumby 1998; 2000, yaitu: pertama,
pendefinisian kategori habitat. Pendekatan ini tidak termasuk pengumpulan data baru dan digunakan jika seorang analisis
familiar dengan areaskema klasifikasi habitat yang diperlukan. Pendekatan ini relatif murah dan beberapa sering tidak menguntungkan. Penentuan dasar kelas
mungkin tidak benar dan tidak sesuai dengan area yang ada, meskipun skema kelas tepat, tetapi mungkin habitat tidak dapat diidentifikasi. Contoh intrepretasi
citra tidak akurat hanya didominasi 1 spesies dan klasifikasi hanya difokuskan pada sebagian area;
kedua, penelusuran studi aplikasi spesifik. Pendekatan ini
memungkinkan diterapkan pada kenampakan permukaan dan tidak difokuskan pada semua area peta habitat. Contoh sebagian area citra didominasi dengan
satu spesies dan klasifikasinya hanya difokuskan pada sebagian area; ketiga
, klasifikasi geomorfologi. Pendekatan ini biasa digunakan dalam studi
penginderaan jauh. Klasifikasi ini relatif baik, karena menghasilkan skema klasifikasi standar.
keempat, klasifikasi ekologi berdasarkan habitat. Pembatasan
habitat pada klasifikasi ekologi biasanya berlaku pada spesies tanaman, hewan dan substrat; dan
kelima , kombinasi secara hirarki klasifikasi geomorfologi dan
ekologi. Pendekatan ini merupakan gabungan geomorfologi dan ekologi. Umumnya reflektansi substrat perairan dangkal
shallow water ke iluminasi
panas merupakan suatu fungsi dari; i reflektansi substrat, ii kedalaman air, dan iii sifat optik air bahan organik,
total suspended solid TSS,
total dissolved solid
TDS. Variasi karakteristik pengaruh optik dalam kolom air erat hubungannya dengan kedalaman, proses
scattering dan absorbsi di kolom air.
Peningkatan informasi tipe dasar perairan dapat dikembangkan metode “ depth
invariant index” . Konsep tersebut didasarkan bahwa reflektansi radian
merupakan fungsi linear reflektansi substrat dasar dan fungsi eksponensial kedalaman perairan Lyzenga 1981.
10
Pengaruh kedalaman pada reflektan dasar perairan dapat dihilangkan memerlukan: i pengukuran kedalaman untuk setiap pixel citra, dan ii
pengetahuan karakteristik kedalaman attenuasi dari kolom air misalnya konsentrasi
total dissolved solid TDS Mumby
et al. 1998.
Koreksi atmosfir dan kolom air berpengaruh terhadap akurasi pemetaan habitat terumbu karang berdasarkan karakteristik spektral dan spasial dari sensor
satelit itu sendiri Nurlidiasari 2004. Spectral signature
dari hasil analisis reflektansi spektral yang diukur secara radiometrik menggunakan
spektroradiometer dapat dijadikan sebagai kunci
penginderaan jauh mendeterminasi ekosistem terumbu karang Nurjannah 2006. Penggunaan citra satelit berbeda
multispectral scanner MSS, Landsat
TM thematic mapper
, Système Probatoire dObservation de la Terre
SPOT- XS dan SPOT-Pan,
airborne multi-spectral imagery CASI dapat dilakukan untuk
menilai pengaruh koreksi kolom air dan contextual editing
untuk pemetaan terumbu karang di Pulau Turks dan Caicos, Barat Inggris. Perluasan titik survey
ground truth yang dikumpulkan hingga 600 titik, tercatat bahwa kekasaran
resolusi spasial dan spektral sebagian dan campuran sesuai pixel
MSS dan SPOT pan
menyulitkan klasifikasi. Jika diterapkan koreksi kolom air berdasarkan pasangan citra sinar tampak
visible band sebagai data
input , maka resolusi
spasial dan spektral semakin rendah Mumby et al
. 1998a. Sensor satelit SPOT-5 mampu mendeteksi objek di bawah air karena
memiliki band sinar tampak hijau B1, merah B2 dan inframerah dekat B3. Kedalaman dapat ditembus oleh B1 0,49-0,61µm sekitar 15 m, B2 0,61-
0,68µm sekitar 5 m, B3 0,78-0,89µm sekitar 0,5 m dan inframerah seluruhnya diserap oleh perairan CNES 1999 dan Green
et al. 2000.
Pendekatan koreksi permukaan dan kedalaman air, selain yang tidak terhitung menunjukkan
overall accuracy klasifikasi habitat terumbu karang
disetiap lokasi berbeda antara citra IKONOS 42 – 84 dan Landsat 42 – 71 Andrefout 2003.
Perubahan deteksi terumbu karang di Taman Laut Karang Florida menggunakan 20
time series citra Landsat-TM dapat dianalisis dengan
temporal- texture deviation processing technique
. Teknik generalisasi nilai tekstur dalam domain spasial menunjukkan nilai tekstur yang tinggi mewakili perubahan tekstur
dan nilai-nilai yang rendah mewakili stabilitas. Sensor Landsat memungkinkan untuk mendeteksi perubahan dalam tingkat komunitas karang dan diperlukan
11
suatu peralatan diagnostik untuk memantau kondisi terumbu karang. Secara temporal, perubahan hanya terjadi dalam dua arah, yaitu; pendahulu dan
penerus, sehingga tipe perubahan habitat tidak dapat diidentifikasi Dobson dan Dustan 2000.
Kemampuan sensor multi-spasial dan multispektral
dapat diuji melalui pengukuran
spectral reflectance SR
in-situ untuk klasifikasi tiga kelas dasar
komunitas karang terumbu, alga dan karbonat. Pengujian tersebut dilakukan terhadap dua sensor
hyperspectral udara, yaitu AAHIS
Advanced. Airborne
Hyperspectral Imaging System
dan AVIRIS Air
-borne VisibleInfrared Imaging Spectrometer, tiga satelit
broadband sensor
multi-spektral IKONOS,
Landsat ETM dan POT-HRV, dan dua satelit sensor multispectral
sempit Proto dan Crespo. Resolusi spasial sensor AAHIS, AVIRIS, Proto, Crespo, Ikonos,
Landsat ETM, dan SPOT-HRV masing-masing adalah 2, 2, 20, 10, 4, 30, dan 20 m. Analisis menunjukkan ketidakpastian
pixel kelas terumbu dalam
pixel besar
berdasarkan berbagai tingkatan spektrum
pencampuran. Namun pixel
kecil 2 x 2 m memberikan spektrum campuran yang lemah. Resolusi
spectral dari sensor
citra h yperspectral
memberikan kontras spektrum yang sangat tinggi antara karang dan alga sebagaimana ditunjukkan statistik penutupan areal yang lebih
akurat. Ikonos, Landsat ETM dan SPOT-HRV lemah dalam memberikan pendugaan klasifikasi campuran area penutupan karang atau berdasarkan
pixel alga dan karang Hochberg dan Atkinson 2003.
Metode klasifikasi dari beberapa citra satelit yang dikembangkan untuk memetakan habitat terumbu karang dengan tingkat akurasi yang berbeda-beda
disajikan pada Tabel 4-7 De Mazieres 2008:
Tabel 2-2 Beberapa teknik penginderaan jauh satelit untuk pemetaan terumbu
karang
Referensi Subyek
pemetaan Data citra
Metode klasifikasi
Akurasi
Andréfouët et al
. 2003 3-15 kelas
bentik IKONOS
Landsat ETM
• Klasifikasi
Unsupervised danatau
supervised •
Contextual editing
77 untuk 4-5 kelas, 71
untuk 7-8 kelas, 65
dalam 9-11 kelas, dan
53 untuk lebih dari 13
kelas Landsat: 56
untuk 5-11 kelas
12
Tabel 2-2 Lanjutan... Referensi
Subyek pemetaan
Data citra Metode
klasifikasi Akurasi
Andréfouët Guzman
2005 Geomorfologi
dan keragaman bentik
Landsat ETM
Landsat TM
• Intrepretasi
visual •
Klasifikasi Supervised
• Contextual
editing Penilaian
kualitatif
Capolsini et al.
2003 3 tingkat
klasifikasi kelas 3,4,5,7,9
Landsat ETM
ASTER SPOT
HRV IKONOS
MASTER •
Klasifikasi Supervised
Landsat ETM: 48-81
IKONOS: 86-65
Joyce et al. 2004
5 kelas bentik Landsat
ETM •
Klasifikasi Unsupervised
Keseluruhan 41 dari 74
sampai 12 untuk lokasi
dari 72 sampai 0
untuk tipe bentik
Mumby et al. 1998
2 tingkat klasifikasi, 4
karang, alga, pasir, lamun –
9 kelas bentik CASI
• Klasifikasi
Supervised •
Contextual editing
89 dan 81 untuk pasir
kasar dan tingkatan yang
baik dari diskriminasi
habitat
Neil et al.
2000 10 kelas
geomorfologi Landsat
TM Klasifikasi
Unsupervised Tidak tersedia
Roelfsema et al.
2002 Mikroalga bentik
konsentrasi chlorophyll
Landsat TM
• Spectral
reflectance •
Klasifikasi Supervised
Keseluruhan 62 dari 11
sampai 82
Sumber : De Mazieres 2008 Pengembangan algoritma ISODATA untuk memetakan habitat bentik
perairan tropik diperoleh overall accuracy
81 Mishra et al
2006. Klasifikasi unsupervised
berbasis klasifikasi computer atau pengetahuan local habitat, peta local dan pengalaman lapang menggunakan data lapang dari posisi yang
diketahui menghasilkan peta habitat karang dengan overall accuracy
rendah 50 dibandingkan 70 menggunakan klasifikasi
supervised Green
et al .
2000
13
2.3 Quickbird