PENDAHULUAN Communication model BMT with farmer in two type different villages in Ciamis and Bantul

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah Lembaga keuangan Mikro Syariah mengalami perkembangan yang sangat pesat saat ini, terutama BMT. Ada sekitar 3.900 BMT yang yang beroperasi di Indonesia pada akhir tahun 2010. Aset BMT-BMT berkisar di atas 1 milyar 4,5 persen, 500 juta - 1 milyar 7 persen, 250 juta - 500 juta 39.5 persen, 50 juta – 250 juta 40 persen, dan dibawah 50 juta 9 persen Pinbuk.org, 2012 Selama ini menurut Hafidhuddin 2008 BMT telah membuktikan bahwa dari sisi bisnis, pembiayaan pada UMK merupakan bisnis sektor riil, terbukti menurut catatan BMT centre terdapat pertumbuhan aset sebesar 59,71 persen pada tahun 2004-2005 dan peningkatan SHU sebesar 46,71 persen pada tahun yang sama. Penerimaan masyarakat yang semakin besar pada adanya manfaat dari kehadiran BMT ini terlihat dari pesatnya pertumbuhan BMT di daerah- daerah. Berdasarkan data terakhir, terdapat sekitar 2.938 unit BMT di seluruh Indonesia. Di Jawa Barat hampir 22 persen, 20 persen di Jawa Timur, 17,5 persen di Jawa Tengah, di luar Jawa yang terbesar adalah di Sulawesi Selatan 6 persen, dan Sumatera Utama 5 persen. Berdasarkan data tahun 2000, rata-rata setiap BMT memiliki sekitar 199 penabung dan 83 orang peminjam, dengan rata-rata simpanan sebesar Rp. 265.000 dan rata-rata pinjaman sebesar Rp. 698.000. Kesejahteraan petani menurut BPS tahun 2005-2007 menunjukkan fluktuatif pada tahun 2005-2007 berturut-turut kesejahteraan petani mencapai 102,99 persen, 105,07 persen dan 104,62 persen. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa petani sudah sejahtera. Faktanya di lapangan petani berhadapan dengan harga kebutuhan yang terus meningkat, termasuk harga bahan konsumsi dan bahan produksi untuk lahan pertanian. Sementara sebelumnya dari hasil survei BPS 2005 lebih dari 60 persen petani mengatakan kondisi ekonomi rumah tangga mereka tidak berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Survei tersebut juga memperlihatkan rata- rata penghasilan tertinggi petani dalam setahun adalah Rp. 11,3 juta di Sumatera Barat dan terendah Rp. 7,7 di Nusa Tenggara Barat. Pendapatan tersebut masih jauh dikatakan layak untuk mencukupi kebutuhan keluarga petani. Perbankan syariah di masa awal pertumbuhannya terbilang lamban antara tahun 1992-1998, kemudian tumbuh sangat pesat dalam satu dasawarsa terakhir. Pertumbuhan jumlah Bank Unit Syariah BUS, Unit Usaha Syariah UUS dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah BPRS diikuti oleh peningkatan nilai indikator-indikator perbankan syariah, seperti aset, dana pihak ketiga DPK, dan pembiayaan. Sebagai contoh, aset perbankan syariah belum termasuk BPRS telah berkembang sekitar 54 kali lipat selama 10 tahun, dari Rp 1,79 trilyun pada akhir tahun 2000 menjadi Rp 97,52 trilyun pada akhir tahun 2010. Selama kurun itu, pertumbuhan rata-rata setiap tahunnya adalah sekitar 54 persen. Dana Pihak Ketiga yang berhasil dihimpun pada kurun waktu yang sama meningkat sekitar 74 kali lipat, dari Rp 1,03 trilyun menjadi Rp 76,04 trilyun. Sedangkan pembiayaan yang diberikan juga meningkat sekitar 54 kali lipat, dari Rp 1,27 trilyun menjadi Rp 68,18 trilyun 2010. Perbankan Syariah sudah melakukan ekspansi dengan memberikan pembiayaan kepada sektor pertanian bagi masyarakat di pedesaan. Sektor pertanian saat ini menjadi andalan mata pencaharian sebagian besar masyarakat Indonesia dan berperan sebagai penyumbang penting Produk Domestik Bruto PDB, menjadi sumber devisa negara, serta menjadi pemasok bahan baku sekaligus sebagai pasar bagi sektor industri. Menurut data BPS 2008 GNP tahun 2008, 20,9 juta rupiah dengan growth index 24,3 persen atau dalam USD 2.190,6. Cadangan devisa Indonesia hingga awal Februari 2008 turun sebesar USD 960 juta menjadi USD 56 miliar. Salah satu masalah penting yang sampai saat ini masih dihadapi bangsa ini adalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi antara kelompok kaya dan miskin. Menurut data BPS 2008 jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 34,96 juta orang atau 15,42 persen dari total penduduk. Mengutip data BPS 2006, Hafidudin dan Syukur 2008 mengatakan walaupun sektor pertanian menyerap jumlah tenaga kerja yang paling banyak dan menggunakan sebagian besar lahan yang ada, namun sumbangan sektor ini pada Produk Domestik Bruto PDB Indonesia tidak sebesar kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja dan penggunaan lahan. Pada tahun 2005 sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan hanya memberikan kontribusi sebesar 254,9 triliun rupiah 13,4 persen dari total PDB. Menghadapi persoalan tersebut, kabinet Indonesia bersatu telah menetapkan program pembangunannya dengan menggunakan strategi tiga jalur triple track strategy yang berazas pro-growth, pro-employment dan pro-poor . Operasionalisasi konsep strategi tiga jalur tersebut dirancang melalui : 1 peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6,5 persen per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor; 2 pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru; dan 3 revitalisasi sektor pertanian dan perdesaan untuk kontribusi pada pengentasan kemiskinan Deptan, 2005. Ada paradoks pada kondisi pertanian saat ini, di satu sisi, sektor pertanian menyerap tenaga kerja yang sangat besar sekitar 44 persen dari total tenaga kerja di Indonesia dan pertanian berperan memberikan 13,4 persen pada PDB, selebihnya dari sektor perdagangan, industri, jasa, dan lain-lain BPS, 2005. Paradoks ini menimbulkan masalah serius sehingga perkembangan sektor pertanian menjadi lambat. Pertama, keterbatasan modaldana petani yang disebabkan oleh kesulitan akses pembiayaan, ketidak mampuan menyediakan agunan, terbatasnya jumlah dan jangkauan bank. Kedua, SDM yang rendah, rata-rata petani mengenyam pendidikan hanya sampai tingkat pendidikan yang rendah. Hal ini menyebabkan pengelolaan pertanian menjadi tidak optimal, rendahnya daya saing dan terbatasnya penguasaan sarana dan teknologi. Ketiga, persepsi negatif bahwa sektor pertanian beresiko tinggi, ketergantungan pada musim dan ketersediaan air, jaminan harga yang fluktuatif, dan sebagainya. Keempat, kondisi petani lokal di pedesaan seperti yang dikatakan Scott 1981 bahwa mereka memiliki persepsi moral yang tidak akan mengambil resiko yang berbahaya, beresiko tinggi dan mengancam subsistensi mereka. Secara dialektis Samuel Popkins 1979 menunjukkan bahwa bukan soal moral yang paling menentukan setiap tindakan petani melainkan rasionalitas kerjanya. Maksudnya, petani bukan tidak mau mengambil resiko dalam segala tindakannya tetapi juga ada aspek-aspek spekulatif dan perhitungan untung rugi yang sangat cerdik. Pemerintah setidaknya berkewajiban untuk meningkatkan dan melakukan pemerataan terhadap kesejahteraan para petani. Hal-hal yang harus diperhatikan untuk mendukung pengembangan revitalisasi pertanian ini, antara lain : aspek kebijakan, lintas sektoral, aspek teknologi, aspek kelembagaan, aspek sumber daya manusia dan aspek permodalan. Pada aspek permodalan ini yang menjadi masalah paling krusial yang dialami para petani. Kementrian Pertanian 2005 telah mengidentifikasi permasalah permodalan yang dialami oleh para petani, antara lain : a Sistem dan prosedur penyaluran kredit masih rumit, birokratis dan kurang memperhatikan kondisi lingkungan sosio budaya pedesaan sehingga sulit menyentuh kepentingan petani yang sebenarnya; b Kemampuan petani dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan sangat terbatas. Hal ini disebabkan lembaga keuangan perbankan dan non perbankan menerapkan prinsip 5-C Character, Collateral, Capacity, Capital, dan Condition dalam menilai usaha pertanian yang tidak semua persyaratan yang diminta dapat dipenuhi oleh petani; c Usaha di sektor pertanian masih dianggap beresiko tinggi oleh pihak investor, sehingga menghambat aliran modal investasi maupun modal kerja ke sektor pertanian; d Skim kredit pada umumnya masih membiayai usaha produksi, belum menyentuh kegiatan praproduksi, pasca produksi, dan pascapanen. Padahal kegiatan off farm ini memberikan tingkat keuntungan yang lebih baik bila dibandingkan dengan kegiatan on farm; e Belum berkembangnya lembaga penjaminan usaha di bidang pertanian Asuransi Pertanian yang mengakibatkan lembaga keuangan maupun investor enggan untuk menyalurkan dananya pada kegiatan agribisnis; f Belum adanya lembaga keuangan yang khusus membiayai sektor pertanian. Hal ini mengakibatkan dukungan pembiayaan sektor pertanian tidak sesuai dengan tuntutan pembangunan nasional yang memprioritaskan pertanian sebagai tulang punggung perekonomian nasional; dan g Belum berkembangnya Lembaga Keuangan PedesaanLembaga Kredit Mikro di pedesaan sehingga terjadi ketidakseimbangan antara kemampuan masyarakat untuk menabung dengan jumlah modal yang keluar pedesaan capital outflow. Sebagian besar petani lebih akrab dengan sumber-sumber pembiayaan informal karena sangat mengerti dengan kebutuhan petani. Hal ini menjadi tantangan pada pihak BMT, karena pada dasarnya pengembangan pelayanan pembiayaan mikro pertanian masih terbatas dan belum ada kesesuaian antara pihak lembaga pembiayaan sebagai penyedia dana dan pihak petani sebagai pengguna dana. Bagi sebagian Bankir dan praktisi keuangan, pertanian masih dianggap sebagai sektor yang memiliki resiko sangat besar dan dianggap kurang menguntungkan. Munculnya stigma ini terjadi karena buruknya komunikasi dan koordinasi antara para pemangku kepentingan stakeholder sektor pertanian dan lembaga keuangan Hafidhuddin dan Syukur, 2008. Pihak perbankan sebagai lembaga intermediasi sering menerapkan prinsip kehati-hatian yang didasarkan pada kepercayaan. Bagaimana membangun kepercayaan antara BMT dan petani diperlukan strategi komunikasi yang baik. Faktanya, keberpihakan perbankan secara nasional terhadap sektor pertanian sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari data Bank Indonesia 2007, penyaluran kredit bank nasional per-Maret 2007 hanya 5,4 persen untuk sektor pertanian dari total kredit sebesar 800,373 miliar. Selebihnya, kredit didominasi oleh sektor jasa sebesar 37,21 persen, sektor perindustrian 22,93 persen, perdagangan 20,93 persen. Pertumbuhan kredit di sektor pertanian mengalami fluktuatif, sejak tahun 2004 sampai tahun 2009 masing-masing 27,3 persen, 25,8 persen, 14,0 persen, 26,0 persen, 30,8 persen dan menurun di tahun 2009 sebesar 10,5 persen data BI dan CEIC diolah Kompas, 2009. Berdasarkan hal ini maka peranan perbankan syariah sangat diharapkan turut menggerakan sektor pertanian. Masyarakat petani ataupun umum juga harus memiliki persepsi bahwa dalam menjalankan usaha tidak ada keuntungan tanpa resiko yang harus dihadapi. Bank Indonesia menilai perbankan syariah memiliki produk yang paling cocok untuk mengembangkan pembiayaan di sektor pertanian yang memiliki karakter berbeda dengan sektor lainnya karena adanya faktor cuaca dan musim tanam. Pembiayaan syariah dapat mendorong pertumbuhan perekonomian di sektor pertanian yang menyediakan lahan kerja sekitar 40,3 persen dalam lima tahun terakhir. Republika, 2 Maret 2011 Menurut hasil survey Bank Indonesia 2011, sekitar 97,5 persen atau 24 juta petani di Indonesia mengaku tidak pernah menerima kredit dari pemerintah. Hanya 2,5 persen atau 616 ribu petani yang mengaku pernah mendapatkan kredit dari pemerintah. Komposisi jenis kreditnya adalah uang 55,1 persen, sarana produksi 37,3 persen dan lainnya 7,6 persen. Sebanyak 95,1 persen atau 23 juta petani mengaku tidak pernah mendapatkan kredit dari lembaga non pemerintah. Hanya sekitar 4,9 persen atau 1,2 juta petani yang mengaku sebaliknya. Jenis bantuan seperti benih 38,2 persen, pupuk 15,2 persen, pestisida 2,7 persen, alat pertanian 1,3 persen, ternak 6 persen dan lainnya 36,6 persen. Sisi penyuluhan, sebanyak 86 persen atau 21 juta petani tidak pernah mendapatkan penyuluhan pertanian. Hanya 13,7 persen atau sekitar 3 juta petani mengaku pernah mendapatkannya. Jenis penyuluhan yang didapat petani, berupa budidaya 40,1 persen, pengolahan hasil 25,2 persen, pemasaran hasil 13,2 persen dan lainnya 21,6 persen. Sementara, untuk jenis lahan, survey BI menunjukan adanya pengurangan lahan pertanian di Pulau Jawa hingga 4,845 hektar, di wilayah luar Jawa terdapat penambahan lahan pertanian hingga 64,834 hektar. Sampai akhir 2010 penyaluran kredit kepada sektor pertanian mencapai Rp. 91 triliun atau 5,15 persen dari total kredit perbankan. Perbankan syariah hanya memberikan kontribusi sebesar 1,76 triliun atau 5,15 persen untuk sektor pertanian. dalam Republika, 2 Maret 2011 Berdasarkan hasil penelitian BI tersebut sangatlah jelas bahwa masyarakat membutuhkan pendanaan untuk modal pertanian yang mereka kelola. Masyarakat ini dapat kita bagi yaitu yang berada di perdesaan dan perkotaan dan semi perkotaan rural, urban, semi urban. Pedesaan dan perkotaan memiliki peran yang sama dalam mengembangkan ekonomi suatu wilayah. Jika masing-masing memainkan peranannya secara baik maka akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Terdapat persepsi masyarakat bahwa pasar non-syariah atau pasar konvensional selalu lebih menguntungkan secara finansial dibandingkan pasar syariah karena sistem bunganya. Pasar syariah sendiri hanya dipahami sebagai pasar kaum muslim saja, seolah merupakan pasar yang tertutup untuk kalangan non muslim. Padahal, sistem bagi hasil yang merupakan salah satu elemen penting dari pasar syariah sudah sejak lama diterapkan di negara-negara Eropa dan negara-negara Arab Kartajaya Syula, 2006:xxv. Pasar syariah bagi pembiayaan sektor riil sangatlah diutamakan. Sumber pembiayaan pembangunan pertanian di Indonesia juga disediakan oleh pemerintah dan lembaga keuangan sebagai bagian dari paket pembangunan pertanian. Kredit memberikan manfaat bagi pelaku usaha pertanian terutama yang menjalankan usaha skala kecil. Ada beberapa manfaat kredit bagi pelaku usaha pertanian menurut Hafiduddin dan Syukur 2008, yaitu : Pertama, kredit merupakan modal kerja bagi pelaku usaha pertanian yang memiliki keterbatasan modal sendiri. Kedua , kredit dapat menjadi pendorong bagi pelaku usaha pertanian untuk mandiri sehingga dapat terlepas dari ketergantungan pada pedagang perantara, toke maupun tengkulak yang merugikan pelaku usaha pertanian. Ketersediaan kredit untuk pembiayaan pertanian masih sangat minim, ditambah lagi penyebaran informasi mengenai hal ini yang jauh dari kata sangat kurang. Sejak lama, pembiayaan dengan pola syariah ini sebenarnya tidak terlalu asing bagi masyarakat karena sudah terbiasa dengan sistem bagi hasil, seperti sistem maro dalam tanaman pangan, sistem gaduhan dalam peternakan dan sistem bagi hasil dalam perikanan tangkap. Pemahaman masyarakat di daerah pedesaan mengenai lembaga keuangan mikro syariah sangat diperlukan. Hal ini dikarenakan masyarakat di daerah dan pedesaan masih sulit tersentuh oleh bank, maka dibutuhkan lembaga keuangan alternatif yang menyentuh masyarakat pedesaan. Potensi pendanaan masyarakat yang ada belum dikelola secara optimal. Hal ini diduga berkaitan dengan jumlah penyebaran bank terbatas, tersebar di ibukota propinsi, sehingga peranan lembaga keuangan mikro yang ada belum melayani masyarakat secara optimal. Model pembiayaan syariah untuk masing-masing kelompok pertanian berbeda. Pada pertanian skala kecil, yaitu : bai’as-salam pembiayaan yang nilainya sama dengan biaya pokok produksi ditambah dengan keuntungan bagi pelaku usaha pertanian, hasil panen diberikan kepada LKMS dan dijual, keuntungan untuk LKMS dengan melibatkan LKMS lembaga Keuangan Mikro Syariah seperti BPRS Bank Perkreditan Rakyat Syariah, BMT Baitul Maal Wat Tamwil dan Koperasi Syariah yang ada di daerah-daerah. Usaha Mikro kecil ini menyerap banyak tenaga kerjamasyarakat miskin, namun dukungan permodalan masih minimal. Usaha Mikro Kecil, Menengah dan Koperasi UMKMK berperan sangat strategis, karena 99,9 persen dari 43 juta unit usaha di Indonesia adalah usaha mikro dan kecil. 99,5 persen kesempatan kerja disediakan oleh UMKMK. 57 persen kebutuhan barang dan jasa disediakan oleh UMKMK. 19 persen ekspor merupakan hasil UMKMK yang keseluruhannya memberikan kontribusi 2-4 persen terhadap pertumbuhan nasional PT.Permodalan Nasional Madani, 2007. Lembaga keuangan syariah ini mempunyai peluang yang besar dalam menggerakan sektor riil. Hal ini dapat terwujud apabila dapat mengoptimalkan pembiayaan mikro syariah ini. Menurut data statistik BI, 2007 porsi produk pembiayaan murabahah mencapai 60,67 persen, musyarakah 14,32 persen dan mudharabah 20,40 persen. Rendahnya porsi pembiayaan pada bank syariah ini umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain persepsi dan preferensi nasabah di daerah pada pola pembiayaan syariah. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Antonio 1999 mengenai kendala yang timbul berkaitan dengan perkembangan perbankan syariah, yaitu : 1 Pemahaman masyarakat yang belum tepat terhadap kegiatan operasional bank syariah, 2 Peraturan perbankan yang berlaku belum sepenuhnya mengakomodasi operasional bank syariah, 3 Jaringan kantor bank syariah yang belum luas, 4 Sumber daya manusia yang memiliki keahlian dalam bank syariah masih sedikit. Pola-pola pembiayaan syariah yang ditemukan di lapangan yang bersumber dari lembaga perbankan syariah adalah mudharabahmusyarakah, bai salam, dan bai murabahah. Umumnya nasabah perbankan syariah ini masih kurang paham terhadap jenis produk dan karakteristik produk pembiayaan syariah. Praktik pembiayaan dengan pola syariah masih ada kesenjangan antara konsep yang diatur dalam fikih muamalat dengan saat implementasinya. Bagi dunia perbankan, masalah perkreditan adalah menyangkut masalah prudential kehati-hatian terhadap masyarakat, terutama petani. Fokus perkreditan bagi petani memiliki resiko yang tinggi, karena hasil yang didapat tidak pasti, semua tergantung pada alam. Permasalahan yang timbul adalah bagaimana perbankan melakukan komunikasi agar dapat dipercaya dan percaya pada masyarakatnya. Di sini yang berperan adalah bagaimana membangun kepercayaan diantara BMT dengan petani? Menurut Jahi 1988 komunikasi pembangunan di sini adalah bagaimana peranan proses komunikasi ataupun media massa sehingga dapat menyediakan informasi kepada khalayak dan memotivasi mereka agar mengadopsi inovasi pertanian, kesehatan, dan keluarga berencana, mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah yang lebih tinggi, dan lebih tahu tentang berita nasional dan internasional. Jahi melanjutkan bahwa dalam pembangunan yang partisipatif, partisipan harus mampu mengekspresikan kebutuhan mereka dan memiliki kesempatan untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan melalui saluran-saluran komunikasi yang tersedia. BMT haruslah memberikan edukasi informasi kepada petani melalui saluran-saluran informasi yang tersedia, misalnya komunikasi interpersonal, kelompok diskusi atau majlis ta’lim, suratkabar, majalah, radio, atau televisi bahkan melalui internet. Salah satu lembaga pembiayaan syariah yang menfokuskan kepada petani adalah Lembaga keuangan mikro agribisnis syariah yang dikelola oleh Kementrian Pertanian. Kelompok Tani ini mendapatkan bantuan penguatan modal dari pemerintah Jepang lewat program CF-SKR yang dikelola oleh sub direktorat pembiayaan pertanian di Kementrian pertanian yang dikelola dengan menggunakan sistem syariah, sehingga pembiayaan ini dinamakan lembaga keuangan mikro agribisnis syariah. Daerah yang menjadi percontohan dan berhasil dalam mengelola lembaga keuangan mikro syariah ini Deptan, 2005 adalah BMT Miftahussalam Kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis Jawa Barat dan Kelompok Tani yang mendirikan BMT Al Barokah Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Penyaluran pembiayaan dengan sistem syariah ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani. Bergulirnya pembiayaan syariah ini diharapkan dapat menyebabkan bergeraknya roda perekonomian di daerah tersebut. Penelitian ini memilih daerah Bantul Yogyakarta yang memiliki ciri sebagai wilayah Rural pedesaan dengan etnis Jawa dan daerah Ciamis yang memiliki ciri sub urban semi perkotaan dengan etnis Sunda dengan segala ciri-cirinya. Karakter atau ciri wilayah perdesaan dan semi perkotaan berbeda. Perdesaan sebagai setiap permukiman para petani. Masyarakat desa memiliki karakteristik : 1 Peranan kelompok primer yang sangat besar; 2 Faktor geografik sangat menentukan pembentukan kelompok masyarakat; 3 Hubungan lebih bersifat intim dan awet; 4 Struktur masyarakat bersifat homogen; 5 Tingkat mobilitas rendah; 6 Keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi. Sementara wilayah semi urban dicirikan sebagai wilayah yang memiliki sifat kekotaan dan kedaerahan. Wilayah perkotaan merupakan wilayah yang didominasi oleh bentuk pemanfaatan lahan non agraris sedangkan wilayah perdesaan adalah wilayah yang didominasi oleh bentuk pemanfaatan lahan agraris Yunus, 2010 Penduduk di kedua wilayah tersebut, baik Bantul maupun Ciamis, sama-sama memiliki mata pencaharian sebagai petani. Mereka mengolah lahan pertaniannya menanam padi maupun jagung. Para petani memiliki kendala dalam hal permodalan untuk membiayai produksi lahan pertaniannya. Permodalan tersebut bisa didapatkan dari pembiayaan kredit syariah di BMT yang ada di sekitar wilayah pertaniannya. Menurut Ancok 2007 pertumbuhan ekonomi suatu bangsa akan lebih maju bila masyarakatnya memiliki kepercayaan satu sama lain sebagai pengikatnya dan menjadi modal sosial. Menurut Fukuyama 2007 trust adalah sebagai perekat modal sosial. Pada saat ini tidak lagi bisa memisahkan antara kehidupan ekonomi dengan kehidupan budaya. Selanjutnya Ia berpendapat bahwa dalam sebuah era dimana faktor modal sosial sudah sepenting modal fisikal, hanya masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan sosial tinggi yang akan mampu menciptakan organisasi-organisasi bisnis fleksibel berskala besar yang diperlukan untuk bersaing di arena ekonomi global baru. Membangun kepercayaan menurut Ancok 2007 harus dimulai dengan membangun sistem sosial yang bercirikan adanya kompetensi, keterbukaan, reliabilitas dan keadilan. Apabila BMT akan berkomunikasi dengan calon nasabahnya, terlebih dahulu adalah membangun kepercayaan di antara keduanya kreditur dan debitur. Apakah BMT tersebut memiliki kompetensi, dapat berkomunikasi secara terbuka, dapat diandalkan dan memiliki rasa keadilan? Kepercayaan itu pulalah yang membuat Muhamad Yunus 2007 melakukan gebrakan yang berani untuk memberikan kredit mikro kepada kaum miskin. Ketika mengawali program kredit mikro di desa Jobra, Yunus mendebat manajer bank yang bersikeras bahwa bank tidak mungkin memberi pinjaman tanpa jaminan pada kaum miskin karena resiko tidak kembalinya sangat besar. Yunus membantah :”mereka sangat punya alasan untuk membayar anda kembali, yakni untuk mendapatkan pinjaman lagi dan melanjutkan hidup esok harinya Itulah jaminan terbaik yang bisa anda dapatkan : Nyawa mereka” Kepercayaan pada kaum miskin inilah sebenarnya inti filosofi Grameen Bank. Namun, program penyaluran kredit Grameen Bank yang ditujukan kepada kelompok-kelompok ibu rumah tangga agar dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga, namun masih menggunakan unsur bunga dalam perhitungan keuntungannya. Berdasarkan kasus di atas, ada tiga hal permasalahan yang terjadi, yaitu : 1 penyaluran perkreditan yang tidak lancar; 2 kepercayaan antara petani dan lembaga keuangan belum terbangun; 3 terjadi permasalahan komunikasi antara petani dan lembaga keuangan. Fenomena yang terjadi antara petani dengan BMT sebagai sebuah fakta sosial. Para petani melihat bahwa perbankan adalah “lembaga yang sulit disentuh” dan agar mengena pada masyarakat petani di perdesaan maka disentuh melalui BMT. BMT sendiri menganggap usaha yang dilakukan oleh petani sebagai “usaha dengan resiko tinggi high risk” sehingga resiko penyaluran kredit kepada petani sangat tinggi. Padahal tidak ada usaha yang akan mendapatkan keuntungan tanpa menghadapi resiko. Pandangan seperti ini bukanlah pandangan yang salah, namun hanyalah merupakan sudut pandang orang luar pandangan etik, sebagai sebuah fakta yang semestinya berlaku seperti itu, bukan pandangan emik bagaimana petani dan lembaga keuangan mikro syariah melihat kehidupan mereka sendiri. Menurut pandangan kedua lebih bersifat interpretif atau fenomenologis, petani dan lembaga keuangan syariah sebagai subyek aktor kehidupan memiliki keinginan, harapan, dan kehidupan sendiri yang unik. Pandangan subyektif ini dibutuhkan untuk mengimbangi pandangan sebelumnya yang obyektif yang melihat bahwa petani sebagai korban kehidupan, kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan sosial, bukan sebagai anggota masyarakat yang memiliki pemikiran dan pengalaman hidup yang mereka rasakan dan alami sendiri. Pendekatan interaksi simbolik sebagai salah satu pendekatan komunikasi dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena bagaimana para petani berinteraksi di antara mereka dan petani dengan lembaga keuangan mikro syariah. Apa yang ditampilkan oleh petani untuk mendorong lembaga keuangan mikro syariah agar mempercayainya dalam menyalurkan pembiayaan syariah, melalui bahasa verbal atau non verbal, apa dan bagaimana proses komunikasi yang terjadi di antara sesama petani, penuh dengan simbol-simbol yang khas. Perumusan Masalah Menurut penelitian yang dilakukan Couchman dan Fulop 2006 mengenai membangun trust lewat komunikasi dalam bidang RD Research Development bahwa yang menjadi masalah adalah kolaborasi antar organisasi dalam bidang RD pada sektor publik dan privat. Mereka memiliki perbedaan kepentingan, tujuan, model operasinya, kapabilitas, sumber dan komitmen yang bisa menimbulkan konflik dan kekuatan kekuasaan, sehingga ketika mereka berhubungan harus dengan mengkomunikasikan kepercayaan dan bagaimana membangun kepercayaan di antara mereka. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Paul Dwyer 2007 apabila suatu organisasi atau perusahaan akan membangun kepercayaan maka mereka dapat membangun kepercayaan tersebut melalui blog perusahaan Corporate Blog. Perilaku komunikasi dalam membangun kepercayaan juga harus dilakukan seperti terungkap dalam penelitian yang dilakukan pada kolaborasi team secara Online di internet Bulu Yildirim, 2008, pada team virtual multikultural Lateenmahki, et all, 2007; Jarmon Keating, 2007. Peranan komunikasi interpersonal sangatlah penting dalam mengembangkan kepercayaan dan kedekatan pada klien. Hal ini diteliti oleh Kirchmajer dan Petterson 2003 pada konteks pelayanan profesional provider dan perencana keuangan pada usaha kecil menengah Small to Medium EnterpriseSME di Australia dan New Zealand. Ada juga penelitian yang dilakukan oleh Botan dan Taylor 2005 yang meneliti masalah peranan kepercayaan terhadap media sebagai strategi komunikasi dalam membangun masyarakat madani civil Society. Penelitian lain dilakukan Wilson 2000 mengenai masalah kepercayaan dalam ekonomi agribisnis sehingga membentuk kapital sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia 2000 bekerjasama dengan IPB, UNDIP telah melihat sejauhmana ada potensi, preferensi dan perilaku masyarakat mengenai lembaga keuangan syariah di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Hasil analisisnya menunjukkan bank syariah lebih diminati kalangan berpenghasilan menengah ke bawah. Hal ini terutama karena didukung dengan sistem jemput bola yang merupakan andalan utama dalam melayani nasabah terutama BPRS yang sangat diminati masyarakat dari kalangan tersebut. Temuan hasil studi menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat terhadap bank syariah baik yang berkaitan dengan sistem maupun jenis layananjasa, masih dapat dikatakan rendah. Selain itu aksesibilitaskeberadaan bank syariah juga menjadi salah satu faktor yang menentukan keinginan masyarakat untuk mengadopsi terus mengadopsi bank syariah.Yan Orgianus 2004 meneliti bagaimana Rekayasa Model Bagi Hasil dan Bagi Resiko Pembiayaan Usaha Kecil dan Menengah Agroindustri dengan Pola syariah pada agroindustri kentang. Pada pembiayaan dengan pola syariah dilakukan bagi hasil dan bagi resiko antara pihak bank sebagai pemilik modal dan nasabahnya sebagai pengelola dana. Penelitian yang dilakukan Endang L. Hastuti dan Supadi 2007 mengenai aksesibilitas masyarakat terhadap kelembagaan pembiayaan pertanian di pedesaan membuktikan bahwa aksesibilitas masyarakat sangatlah sulit. Analisis Perilaku penawaran kredit perbankan kepada sektor UMKM di Indonesia selama kurun 2002-2006 yang dilakukan Meydianawati 2007 menunjukkan apabila perbankan bisa menaikan modal maka akan mampu menyalurkan kredit investasi dan modal kerja kepada sektor UMKM di Indonesia. Sementara menurut Nurmanaf 2007 lembaga informal pembiayaan mikro dinilai lebih dekat dengan petani. Penelitian yang dilakukan Asif Dowla 2005 mengenai “dengan kredit kami percaya : membangun modal sosial oleh Grameen Bank di Bangladesh, menunjukkan dengan menggunakan jaringan secara horizontal dan vertikal, dapat digunakan untuk membangun norma baru dan meningkatkan kepercayaan sosial, memecahkan masalah kolektif dari orang-orang miskin agar dapat mengakses modal. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, menunjukkan penelitian menggunakan asumsi bahwa komunikasi yang dapat dipercaya atau bagaimana membangun kepercayaan melalui komunikasi adalah sangat penting. Terkait dengan penelitian ini bahwa BMT dituntut untuk berkomunikasi dengan petani, yaitu ketika mengaplikasikan sikap kehati-hatian prudential-nya. BMT dituntut dapat membangun kepercayaan dan meyakinkan produk pembiayaannya kepada para petani agar mereka mau menggunakan pembiayaan tersebut guna mengatasi permodalan mereka sehingga berimplikasi pada kenaikan kesejahteraan para petani dan keluarganya. Beberapa pertanyaan pokok timbul dari pemikiran di atas, yaitu : 1 Bagaimana petani di kota Ciamis dan Bantul mengkonstruksikan realitas sosial meliputi proses, motif, dan konsep diri yang dimiliki menurut pandangan mereka sendiri ? 2 Bagaimana petani di kota Ciamis dan Bantul mengelola komunikasi mereka dan komponen utama komunikasi manakah yang membentuk peristiwa-peristiwa komunikasi tersebut yang efektif dalam mengembangkan modal sosial BMT dengan petani? 3 Bagaimana rancangan pengembangan pola-pola komunikasi yang tepat untuk mengembangkan modal sosial petani BMT? Tujuan Penelitian Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana proses komunikasi dalam membangun kepercayaan melalui penyaluran pembiayaan mikro syariah kepada petani. Berdasarkan uraian permasalahan, kegiatan penelitian ini bertujuan untuk : 1 Menganalisis perubahan petani di kota Ciamis dan Bantul dalam mengkonstruksikan realitas sosial meliputi proses, motif, dan konsep diri yang dimiliki menurut pandangan mereka sendiri. 2 Menganalisismensintesakan perubahan perilaku petani di kota Ciamis dan Bantul dalam mengelola komunikasi mereka dan menganalisis komponen utama komunikasi pada petani yang membentuk peristiwa-peristiwa komunikasi yang efektif dalam mengembangkan modal sosial BMT. 3 Merancang strategi pengembangan pola-pola komunikasi yang tepat untuk mengembangkan modal sosial petani dan BMT. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian diharapkan berguna untuk memahami bagaimana proses komunikasi yang terjadi dalam membangun kepercayaan antara petani dan BMT. Secara spesifik kegunaan penelitian ini adalah : 1 Membantu mengembangkan kelembagaan dan memperjelas posisi BMT dalam kehidupan petani dimulai dengan mempercayai BMT dapat meningkatkan kesejahteraan petani di Indonesia khususnya. 2 Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu komunikasi, khususnya bagi penelitian konstruktivis dalam membangun kepercayaan melalui proses komunikasi yang terjadi pada masyarakat petani. 3 Selain itu sebagai masukan praktis bagi perbankan syariah khususnya BMT di Indonesia dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan petani. Novelty Penelitian ini telah berusaha mengungkapkan keunikan perilaku komunikasi petani berdasarkan pendekatan subyektif atau berdasarkan petani yang mengalaminya sendiri sehingga diperoleh data yang menyuarakan aspirasi kebutuhan dan kepentingan khas petani dalam mendapatkan pembiayaan syariah. Kebanyakan penelitian perilaku kredit petani menyatakan bahwa petani kesulitan dalam mengakses kredit melalui bank. Perilaku kredit tersebut berhubungan dengan lembaga keuangan umum, sementara penelitian terhadap BMT masih sedikit. Setidaknya dari hasil penelitian ini diperlihatkan bahwa nasabah dengan strata dhuafa- lah yang lebih dapat dipercaya dibandingkan dengan kalangan atas, dari masyarakat bawah untuk dapat membentuk modal sosial yang kuat dalam masyarakat tersebut. Penelitian ini telah menelaah secara mendalam dan memahami makna subyektif petani secara fenomenologi dengan pendekatan interaksi simbolik dalam memahami penyaluran kredit oleh lembaga keuangan mikro syariah dipilih setting budaya Jawa dan berada di wilayah rural di kota Yogyakarta dan budaya sunda yang berada di wilayah sub urban di Jawa Barat dalam mengembangkan modal sosial BMT. Penelitian ini mencoba menghasilkan rumusan pola strategi komunikasi syariah yang berlaku di lingkup BMT. Penelitian ini menganalisis seberapa jauh model komunikasi dalam pengembangan konstruksi sosial perbankan syariah BMT dengan membandingkan antara petani yang hidup di Bantul dan Ciamis.

BAB II KERANGKA TEORITIS