Communication model BMT with farmer in two type different villages in Ciamis and Bantul

(1)

MODEL KOMUNIKASI

BAITUL MAAL WATTAMWIL (BMT) DENGAN PETANI

(Studi Kasus Dua Tipe Desa Berbeda

di Bantul dan di Ciamis)

Suraya

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Komunikasi BMT dengan Petani Dua Tipe Desa Berbeda di Bantul dan di Ciamis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian disertasi ini.

Bogor, Mei 2012

Suraya NIM I362070031


(3)

SURAYA. Communication Model BMT with Farmer in Two Type Different Villages in Ciamis and Bantul. Advisor Commision of SUMARDJO, SJAFRI MANGKUPRAWIRA, and DIDIN HAFIDHUDDIN

This research aims to (1) describe how the farmers in Ciamis and Bantul construct their social reality including the processes, motives, and their self-concepts owned by their own views (2) to synthesize behavioral change of farmers in Ciamis and Bantul in managing their communications and analyze the major components of communications on the farmers that make up communication events that are effective in developing social capital of BMT. (3) to devise strategies of developing efective communication patterns in developing the social capital of farmers and BMT. This study uses qualitative research, which emphasizes understanding the phenomenon of what is experienced by research subjects such as behavior, perception, motivation, action, etc., holistically, and by way of description in the form of words and language. The results of the result show that (1) the process of social contraction in rural areas (Bantul) and sub urban area (Ciamis) begins when the farmer has motivation to interact with BMT. Three motives arise: economic incentives (capital), religious (Islamic) and social motives. Farmers self-concept is a reflection of the human capital as sharia farmers, namely: openness, trustful and tawadhu (humble), Tabliq, helpful, afraid of Riba, keep his word and healthy spirit and body. (2). The process of communication that occurs between BMT and the farmers are dialogical communication, listening, understanding and occurs through face to face communication, group communication (discussion, training, mentoring, teaching), organizational communication (annual members' meeting) and even, in BMT Miftahussalam, through the internet. They use not only verbal communication but also non verbal symbols. Non-verbal communication can be seen from the gesture, expression or facial expression which is friendly and always smiling so farmers feel comfortable communicating with BMT. (3). Interaction between BMT and the farmers uses trust communication. When the farmers as members of farmer groups based on social motives , the farmer will get support and solidarity from fellow members of farmer groups. Farmer as a religious being based on religious motives, so that it would give priority to the implementation of the BMT farmers to comply with the provisions of sharia compliance. Farmers as clients of the BMT is based on economic motives. When farmers are getting into Islamic financing, then BMT should provide guidance and training to customers who obtain the finance method. Training and assistance can be in the form of mental, technical and management. If all of these are implemented there will be any changes in the self as an individual farmer. This change will happen if he undertake communication acts. Communication action is mainly in the form of interpersonal communication through verbal and nonverbal communication that prioritizes communication competence. Competent communication actions will affect social change. Social changes that increase will affect the welfare of society. This is done by BMT in the suburban area that reach a maximum well-being. This is different from BMT in the rural areas, which do not conduct training and guidance so that the maximum welfare is obtained


(4)

SURAYA. Model Komunikasi Baitul Maaal Wat Tamwil (BMT) dengan Petani (Studi Kasus Dua Tipe Desa Berbeda di Bantul dan di Ciamis, Dibimbing oleh SUMARDJO, SJAFRI MANGKUPRAWIRA, dan DIDIN HAFIDHUDDIN

Sektor pertanian saat ini menjadi andalan mata pencaharian sebagian besar masyarakat Indonesia dan berperan sebagai penyumbang penting Produk Domestik Bruto (PDB), menjadi sumber devisa negara, serta menjadi pemasok bahan baku sekaligus sebagai pasar bagi sektor industri. Hal ini menimbulkan paradoks sehingga perkembangan sektor pertanian menjadi lambat. Petani memiliki keterbatasan modal/dana yang disebabkan oleh kesulitan akses pembiayaan, ketidak mampuan menyediakan agunan, terbatasnya jumlah dan jangkauan bank. Sebagian besar petani lebih akrab dengan sumber-sumber pembiayaan informal karena lebih mengerti kebutuhan petani. Hal ini menjadi peluang bagi Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) untuk membantu petani mengatasi persoalan permodalan. Perilaku petani dalam mendapatkan pembiayaan syariah dari BMT merupakan fenomena sosial yang dikonstruksikan menurut pengalaman masing-masing. Penelitian ini melihat konstruksi realitas petani di daerah Bantul dengan etnis Jawa dan Ciamis dengan etnis Sunda dalam mengembangkan modal sosial BMT.

Konstruksi realitas sosial yang dibangun oleh petani di Kabupaten Ciamis dan Bantul melalui pengalaman hidup yang pernah dilalui oleh petani pada masa lalu dan saat ini, menentukan ruang lingkup dalam memandang kebutuhan akan modal dari pembiayaan syariah di BMT. Etos kerja yang berciri resiprokal ini masih memerankan dasar moral penting bagi komunitas setempat baik di Ciamis maupun di Bantul dalam menanggapi dan menerangkan keperluan dan masalah hidup, terutama mendapatkan modal pembiayaan syariah dari BMT. Setidaknya ada tiga motif yang berhasil dikenali dan paling sering muncul, yaitu motif ekonomi (modal), spiritual, dan sosial. Perilaku usaha seorang petani sangat ditentukan oleh modal yang dimiliki, karena tanpa modal petani tidak dapat berbuat banyak. Hasrat petani untuk berusaha sangat tinggi dalam merubah taraf hidup menuju kesejahteraan keluarganya. Motif petani yang kedua adalah spiritual. Sesuai dengan agama yang dianutnya yaitu Islam dan kebanyakan petani di Bantul berafiliasi ke Muhamadiyah. Sementara BMT Miftahussalam di Ciamis berdiri di bawah yayasan pesantren Miftahussalam, kebanyakan petani berafiliasi ke Nahdatul Ulama (NU). Motif petani yang ketiga adalah sosial. Para petani ini selalu berinteraksi dengan kelompok taninya. Tujuan individu dan kelompok tani adalah sama yaitu memajukan keluarga dan kelompoknya. Mereka berusaha saling berbagi


(5)

syariah. Petani syariah ini memiliki konsep diri atau memiliki karakteristik sebagai petani yang terbuka, amanah dan tawadhu, tabligh, saling menolong, takut pada riba yang sifatnya haram dan menepati janji serta petani yang sehat jiwa dan raganya.

Petani di Ciamis dan Bantul mengelola proses komunikasi ketika berinteraksi dengan BMT maupun dengan anggota kelompok taninya di lingkungan tempat tinggalnya. Ternyata di antara keduanya tidak ditemukan perbedaan penggunaan bahasa verbal antara proses komunikasi tersebut. Petani biasa menggunakan bahasa Indonesia ataupun bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Beberapa simbol nonverbal yang dikelola oleh petani dalam memberikan kesan kepada BMT baik di Ciamis maupun di Bantul dibagi ke dalam kelompok : isyarat dan gerakan tubuh, penampilan, ekspresi wajah. Kebanyakan informan ketika berkomunikasi dengan sesama anggota kelompok tani ataupun dengan BMT adalah sambil menggenggam kedua tangan, dan menggerak-gerakan tangan untuk menjelaskan sesuatu sangatlah bersemangat sehingga perlu penegasan dengan menggerak-gerakan kedua tangannya mengikuti verbalnya. Secara verbal petani mengekspresikan komunikasinya melalui pembicaraan secara langsung dengan pihak BMT atau secara tidak langsung melalui kelompok tani. Tindakan komunikasi petani selalu menciptakan komunikasi terbuka, bersedia mendengarkan, mempersuasi dan mengutamakan dialog (komunikasi dialogis).

BMT Miftahussalam mendapatkan penghargaan Ketahanan Pangan dari Gubernur Jawa Barat berkat usahanya memberikan pembiayaan dan pembinaan kepada petani nasabahnya. Hal ini memperlihatkan adanya kesadaran petani sebagai anggota kelompok tani berkomunikasi dengan BMT agar mendapatkan pembiayaan. Setelah petani mendapatkan pembiayaan, BMT memberikan pelatihan dan pendampingan berupa teknis, mental dan manajemen. Setelah petani mengambil keputusan untuk mengelola pembiayaan modal syariah dalam usaha pertaniannya dan menjalankan pertanian dan pelatihan yang didapat maka taraf kehidupannya bisa berubah menuju yang dicita-citakan, yaitu hidup sejahtera.

Modal sosial menfokuskan pada jaringan, yaitu hubungan antar individu, saling percaya dan norma yang mengatur jaringan kerjasama, baik dalam kelompok tani dan BMT. Petani yang mengajukan pembiayaan modal ke BMT terjadi interaksi, jaringan komunikasi dan informasi antar individu terutama adanya peran pemimpin dalam kelompok taninya maka dengan sendirinya akan melakukan kerjasama dengan pihak lain (BMT) melalui hubungan sosial dan jaringan informasi. Proses komunikasi yang dialogis ini ditentukan oleh kemampuan modal manusia, yaitu konsep diri petani dan kompetensi komunikasinya. Hal ini


(6)

meliputi konsep diri petani, memandang manusia sebagai individu yang otonom. Kemampuan leadership di kedua BMT tersebut adalah kepemimpinan kharisma. Perbedaannya adalah : di BMT Miftahussalam, kabupaten Ciamis, petani sebagai modal manusia yang mendapatkan pembiayaan syariah diberikan pendampingan dan pelatihan di bidang mental, teknis dan manajemen, sehingga petani menjadi lebih maju dan sejahtera. Kemampuan komunikasi dan kerjasama adalah dua kompetensi pada individu yang akan berpotensi dalam membangun jaringan informasi secara kolektif. Modal manusia yang tinggi dalam kegiatan usaha tani akan meningkatkan interaksi, komunikasi dan jaringan kerjasama sehingga dapat mempengaruhi modal sosial. Sebaliknya, modal sosial yang kuat akan memperkuat modal manusia sehingga keduanya mempunyai hubungan timbal balik. Sumber informasi utama bagi petani adalah sesama petani, pemimpinnya dan/atau kelompok tani, tetangga kebun/sawah, tetangga rumah, petani berhasil, kios sarana produksi, tokoh masyarakat, PINBUK, BMT, Puskopsyah, dinas pertanian, dinas koperasi dan sumber lain yang diyakini petani memiliki informasi yang dapat dipercaya. Komunikasi interpersonal yang paling dominan digunakan petani dalam melakukan komunikasi dan mengakses informasi yang dibutuhkan.

Modal struktural pada model etnis Sunda terdiri dari inovasi terhadap pengolahan lahan, seperti: padi, jagung, coklat, perikanan, sapi, kambing. Inovasi juga dibidang pemasaran baik secara offline maupun online. Proses operasional yang dilakukan dengan proses syariah. Organisasi yang awalnya adalah organisasi dari pesantren akhirnya berkembang menjadi organisasi menengah. Modal struktural pada model etnis Jawa baik produk dan pemasarannya belum dilakukan inovasi. Proses operasional BMT berdasarkan syariah. Organisasinya masih kecil, yaitu berupa koperasi kecil.

Modal kepemimpinan di model etnis Sunda berdasarkan filosofi sunda terdiri dari

Nyantri : memiliki modal spiritual karena besar dan hidup di lingkungan pesantren. Nyakola, pemimpin yang ada berlatarbelakang pendidikan tinggi dan berpengalaman. Nyunda, pemimpin yang ada memiliki sifat-sifat sebagai orang sunda, seperti low profil (rendah hati), penyemangat, dan menyatu dengan masyarakatnya sehingga selalu mendengarkan aspirasi masyarakatnya. Modal kepemimpinan pada model etnis Jawa mengikuti filosofi Jawa, yaitu tanah : teguh pendirian, api : disegani, angin : Merakyat maksudnya mendengarkan aspirasi, air : tenang, angkasa : bijaksana, bulan : penyemangat, matahari : pemberi energi, bintang : menjadi teladan di masyarakatnya.


(7)

dipercaya (trust communication). Ketika petani sebagai anggota kelompok tani didasari oleh motif sosial-nya maka petani akan mendapatkan dukungan dan solidaritas dari sesama anggota kelompok tani. Petani sebagai mahluk religi didasari oleh motif agama, karena itu petani akan mengutamakan pelaksanaan BMT dengan mematuhi ketentuan syariah (syariah compliance-nya). Petani sebagai nasabah dari BMT didasari oleh motif ekonomi. Ketiga hal tersebut mendasari petani agar mendapatkan pembiayaan syariah dari BMT. Tindakan komunikasi petani terutama berupa komunikasi interpersonal melalui komunikasi verbal dan nonverbal yang mengutamakan kompetensi komunikasi. Tindakan komunikasi yang kompeten ini akan mempengaruhi perubahan sosial. Perubahan sosial yang meningkat akan mempengaruhi kesejahteraan hidup masyarakat yang meningkat pula. Hal ini dilakukan oleh BMT di wilayah Ciamis sehingga kesejahteraan yang dicapai menjadi maksimal. BMT di wilayah Bantul, yang tidak melakukan pelatihan dan pendampingan sehingga kesejahteraan yang didapat tidak maksimal. Kemampuan komunikasi dan kerjasama adalah dua kompetensi pada individu yang akan berpotensi dalam membangun jaringan informasi secara kolektif. Modal manusia yang tinggi dalam kegiatan usaha tani akan meningkatkan interaksi, komunikasi dan jaringan kerjasama sehingga dapat mempengaruhi modal sosial. Sebaliknya, modal sosial yang kuat akan memperkuat modal manusia sehingga keduanya mempunyai hubungan timbal balik.


(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

BAITUL MAAL WAT TAMWIL

(BMT) DENGAN PETANI

(Studi Kasus Dua Tipe Desa Berbeda di Ciamis dan Bantul)

SURAYA

I362070031

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Komunikasi Pembangunan dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Sarwititi Sarwoprasodjo 2. Dr. Irfan Syauqi Beik, M.Sc

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. M. Amin Aziz, M.Sc 2. Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala Hubeis, MS


(11)

(studi Kasus Dua Tipe Desa Berbeda di Ciamis dan di Bantul Nama : Suraya

NIM : I362070031

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Sumardjo, MS Ketua

Prof. Dr. Sjafri Mangkuprawira Prof. Dr. Didin Hafidhuddin, MS Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Komunikasi Pembangunan dan Pedesaan

Dr. Djuara P. Lubis, MS Dr. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(12)

Puji Syukur Alhamdulillah bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat terselesaikan juga. Segala daya dan upaya disertai dengan pengorbanan di sana-sini, terutama pada waktu dan keluarga harus dikeluarkan agar disertasi ini dapat terwujud. Kenapa hal tersebut diungkap ? Disertasi ini adalah wujud dari jerih payah dan effort yang sangat besar karena di tengah penulisan ini harus dibarengi oleh perjalanan kuliah dan penelitian Magister Bisnis dan Keuangan Islam di Universitas Paramadina, kesibukan mengajar di program studi Ilmu Komunikasi Paramadina serta yang tak kalah pentingnya adalah kewajiban mengayomi keluarga.

Tema penelitian disertasi ini berawal dari keprihatinan terhadap nasib petani Indonesia yang sering sudah terjatuh tertimpa tangga pula. Maksudnya, mereka sering kali meminjam modal kepada patron/majikan bahkan kepada rentenir/tengkulak. Belum selesai mereka mencicil ataupun membayar hutang, mereka harus berhadapan dengan resiko lain seperti pemakaian pupuk palsu ataupun gagal panen. Petani perlu didukung ketersediaan pembiayaan dalam jumlah yang memadai dan sesuai dengan karakteristik usaha pertanian. Selain itu, ketersediaan sumber pembiayaan di pedesaan yang mudah diakses menjadi sebuah kebutuhan dalam pembangunan pertanian.

Penyusunan disertasi ini tidak terlepas dari banyaknya pihak yang memberikan kontribusi. Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak Prof. Dr. Sumardjo, Prof. Dr. Sjafri Mangkuprawira, dan Prof. Dr. Didin Hafidhuddin selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam membimbing dan mengarahkan penulis selama kuliah di mayor Komunikasi pembangunan serta dalam penyusunan disertasi sehingga bisa rampung. Ucapan terimakasih penulis sampaikan atas jasanya telah memberikan beasiswa kepada penulis, yaitu kepada Bapak Ir. Beni Subianto yang telah memberikan Paramadina Fellowship, Bapak. Anies R. Baswedan, Ph.D selaku Rektor Paramadina, Totok A. Soefijanto Ed.D, Deputi Rektor I Bidang Akademik dan Riset; Bima Priya Santosa, Ak., BAP, MFM., Deputi Rektor II Bidang Keuangan dan Operasional; Wijayanto, MPP, Deputi Rektor III Bidang Kerjasama, Pengembangan Bisnis dan Keuangan serta Kurniawaty Yusuf, Direktur Fellowship dan Kerjasama.

Penghargaan penulis haturkan atas segala bantuan kepada Bapak Ahmad Agung, Ketua PINBUK Kabupaten Ciamis, Bapak Dadan, ketua BMT Miftahussalam, dan Bapak Dwi


(13)

Ucapan terimakasih secara special juga penulis haturkan kepada teman program studi Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina (Nurhayani Saragih, Rini Sudarmanti, Juni Alfiah Chusjairi, AG. Eka Wenats, Wahyutama, Ika Karlina) terimakasih atas dukungan dan pengertiannya.

Penulis menghaturkan terimakasih banyak bagi kedua orang tua, serta ibu mertua yang telah memberikan doa, membesarkan dan mendidik dan yang telah mengajarkan bahwa harta yang paling berharga adalah ilmu yang bermanfaat. Tesis ini juga penulis persembahkan bagi keempat anak, Fatimah Azzahra, Ali Syariati Kamil, Huzaifah Malahayati dan Ayu Sabrina Anshari serta suami tercinta (Muflihun) yang telah mengikhlaskan waktu dan kasih sayang mereka bagi penulis.

Buat teman-teman satu angkatan (KMP 2007) selain ucapan terimakasih atas kekompakan dan diskusi-diskusinya. Juga buat teman, rekan sejawat lainnya serta pihak-pihak lainnya yang tidak bisa penulis uraikan satu persatu. Semoga segala dukungan, bantuan baik materil maupun moril serta doa bagi penulis akan dibalas Allah dengan kebaikan yang berlimpah pula. Mudah-mudahan karya ini dapat bermanfaat dan Allah SWT meridhoi ikhtiar kita semua.

Jakarta, Mei 2012


(14)

Penulis dilahirkan di Jakarta, 27 Nopember 1968 dari Abu Mansur Amin dan Umi Mahyuni. Penulis merupakan putri pertama dari lima bersaudara. Pendidikan Dasar dan menengah ditempuh pada : SD Negeri Depok Baru II Depok (1976-1981), SMP Negeri II Depok (1981-1984), dan SMA Negeri I Depok (1984-1987). Memperoleh gelar Sarjana Sosial dari Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta, Fakultas Ilmu Komunikasi, Jurusan Ilmu Jurnalistik (1987-1991) dengan IPK 3.23 dengan judul skripsi Perbandingan penyajian Tata Letak Suratkabar Berita Buana Sebelum dan Sesudah edisi 1 Desember 1990 Hubungannya dengan Ketertarikan Pembaca Pelanggannya di Mariyo-riyo Agency. Kemudian melanjutkan studi pasca sarjana pada Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (1997-1999) dengan IPK 3.51 menyusun tesis yang berjudul studi Ideologi Melalui Pemberitaan Kasus Aceh dalam wacana Pers Indonesia. Selanjutnya melanjutkan studi pasca sarjana kedua pada program Magister Bisnis dan Keuangan Islam (MBKI) Paramadina Graduate School of Business (2006-2010). Saat ini sedang melanjutkan Program Doktor Mayor Komunikasi Pembangunan di Institut Pertanian Bogor (IPB) (2007-sekarang).

Saat ini penulis tinggal di Komplek Pondok Indah Pancoran Mas (Poin Mas) Blok H2 Nomor 2B RT 02/RW 11 Kelurahan Rangkapan Jaya Kecamatan Pancoran Mas, Kotip Depok, telpon 021-77215854 dan 08121913353. Di rumah ini penulis tinggal bersama suami dan 3 orang putri serta seorang putra. Sejak 2002 hingga sekarang bergabung sebagai Dosen Tetap pada Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina.


(15)

iv

Teks Halaman

2.1. Bentuk dan Implikasi Komunikasi ……….. 82

2.2. Perbedaan Lembaga Keuangan Konvensional dan Syariah ………… 96

2.3. Perbedaan antara Bank Syariah dan Konvensional ………. 96

3.1. Lembaga Keuangan Mikro didirikan oleh petani ……… 129

3.2. Profil Singkat Petani Informan ……… 132

3.3. Teknik Pengumpulan Data Fenomenologi ………. 133

3.4. Teknik Analisa Dalam Fenomenologi ……… 142

4.1. Indikator Kependudukan Kabupaten Ciamis 2010 ..………. 143

4.2. Tata Guna Lahan Bantul 2009 ..……… 146

4.3. Data Kependudukan Bantul 2009 ……… 147

4.4. Kepadatan Penduduk Geografis Bantul 2010 ..………. 147

4.5. Kepadatan Penduduk Agraris Bantul 2010………. 148

4.6. Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ……….. 150

4.7. Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian ……… 151

4.8. Data Perkembangan BMT Miftahussalam ……….. 154

4.9. Data Perkembangan BMT Al Barokah ……… 162

4.10. Gambaran Umum, Potensi, Desa, Profil BMT di Ciamis dan Bantul.. 163

5.1. Etos Kerja dan norma Masyarakat Ciamis dan Bantul ………….…. 171

6.1. Aspek pendorong dan Penarik Sebagai Motif Mendapatkan Pembiayaan Syariah ……….. 194

6.2. Konstruksi Realitas Petani ……… 209

7.1. Kecenderungan Model Komunikasi Antar Pelaku dalam Permodalan Syariah ……….. 213

7.2. Proses Komunikasi,Makna Simbolik dan Kompetensi Komunikasi … 262 8.1. Analisis Proses komunikasi dalam Interaksi Petani dan Pihak BMT ……….. 294

8.2. Analisis Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Interaksi Petani dengan BMT ……….………. 296

8.3. Analisis Faktor Internal Petani di Ciamis dan Baatul …..……… 298

8.4. Dampak Kebutuhan Modal Bagi Petani dan BMT di Ciamis dan Bantul ………..……….. 299


(16)

v

DAFTAR GAMBAR

Teks Halaman

2.1. Pandangan Hidup Orang Sunda tentang Manusia sebagai pribadi dalam konteks Hubungan Penguasa dan Rakyat (Balarea) – Pola I ………

48 2.2. Pandangan Hidup Orang Sunda tentang Manusia sebagai pribadi dalam

konteks sebagai Kelompok Sosial – Pola II ………. 49

2.3. Pola Pandangan Hidup Orang Jawa ………. 53

2.4. Model Komunikasi Gudykunst and Kim ………. 75

2.5. Model Komunikasi Schramm ……….. 76

2.6. Kerangka Perilaku Konsumen Mendapatkan Mashalah dan Berkah ….. 99

2.7. Cara Kerja dan Perputaran Dana di BMT ……… 100

2.8. Kerangka Konseptual ……… 115

2.9. Kerangka Pemikiran Teoritik ……… 117

2.10. Posisi Penelitian dibanding Penelitian Sebelumnya ……… 125

5.1. Pandangan Hidup Orang Sunda di Ciamis ……… 168

5.2. Pandangan Hidup Orang Jawa di Bantul ……….. 170

6.1. Aspek Pendorong dan Penarik Menjadi Motif Berinteraksi dengan BMT 196 6.2. Karakter Petani di Sub urban Area Ciamis ………. 199

6.3. Karakter Petani di Rural Area(Bantul) ……… 203

6.4. Pola Konstruksi Sosial Petani ……….. 209

7.1. Keterkaitan Antar Pelaku ………. 212

7.2. Proses Komunikasi Pengajuan Pembiayaan Syariah ……….. 232

7.3. Alur Akad Mudharabah ………... 235

7.4. Alur Akad Murabahah ………. 235

7.5 Proses Komunikasi Pada Akad Murabahah……..………. 236

7.6 Proses Komunikasi Pada Akad Mudharabah ……… 237

7.7. Pembiayaan dalam Bentuk Akad Al Qardhul Hasan……….. 238

7.8. Pola Komunikasi Antara PINBUK, Petani dan BMT ……….. 239

7.9. Pola Komunikasi BMT dan Petani setelah Mendapat Pembiayaan Syariah ……….. 240

7.10. Pola Komunikasi Antara BMT, Petani dan Tokoh Masyarakat ………. 241

7.11. Pola Komunikasi Syariah ………. 242

8.1. Konsep Diri Petani Syariah ………. 280


(17)

i

Teks Halaman

BAB I PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang Masalah ... 1

Perumusan Masalah ... 10

Tujuan Penelitian ... 12

Kegunaan Penelitian ... 13

Novelty ... 13

BAB II KERANGKA TEORITIS ... 15

Tinjauan Pustaka ... Manusia Melakukan Tindakan Sosial ... Fenomenologi dan Petani Sebagai Aktor Sosial dan Subyektif ... Konstruksi Realitas Sosial Petani ... Petani dalam Konsep Interaksi Simbolik ... Etos Kerja sebagai Dasar Moral ………. Budaya Sunda ………. Budaya Jawa ……….. Pandangan Hidup Orang Sunda Sebagai Manusia Pribadi ……… Pandangan Hidup Orang Jawa Sebagai Manusia Pribadi ……….. Modal Sosial ... Komunikasi yang dapat di percaya (Trust Communication)... Bahasa Sebagai Alat Komunikasi ……….. Perilaku Kredit Petani ... 15 15 18 20 24 37 39 44 47 51 54 70 91 93 Lembaga Keuangan Mikro Syariah ... 95

Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) ... 97

Produk-produk BMT ... Proposisi ... 103 113 Kerangka Berfikir ……….. 114

Kerangka Pemikiran Konseptual………... ... 115

Kerangka Pemikiran Teoritik ………... 117

Hasil Penelitian Sebelumnya... 119

Hasil Penelitian dengan Perspektif Obyektif... Hasil Penelitian Trust Communication... Hasil Penelitian tentang BMT………... Hasil Penelitian dengan Perspektif Subyektif... Posisi Penelitian dibanding Penelitian Sebelumnya... 119 119 119 124 125 BAB III METODE PENELITIAN ... 126

Paradigma Penelitian ... 126

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 128

Informan Penelitian ... Gambaran Umum Informan ……… Teknik Pengumpulan Data ... Fokus Penelitian ………. 130 131 132 135 Proses Pendekatan ke Subyek Penelitian ... 136

Teknik Keabsahan Data ... 137


(18)

ii

DAN DESA BLAWONG KABUPATEN BANTUL

Kabupaten Ciamis ………. 143

Kabupaten Bantul ……….. 144

Desa Cijeunjing Kabupaten Ciamis ……….. 149

Desa Blawong Kabupaten Bantul ………. 150

BMT Miftahussalam ………. 151

BMT Al Barokah ……….. 154

BAB V ETOS KERJA MASYARAKAT DESA CIJEUNJING DAN DESA BLAWONG 165 Etos Kerja Orang Sunda pada Warga Desa Cijeunjing Ciamis ………. 165

Etos Kerja Orang Jawa pada Warga Desa Blawong Bantul ……….. 168

BAB VI KONSTRUKSI REALITAS SOSIAL PETANI 174 Proses Mendapatkan Pembiayaan di BMT (Motif) di Kabupaten Ciamis …… 174

Aspek Pendorong ……….. 174

Aspek Penarik ……… 181

Proses Mendapatkan Pembiayaan di BMT (Motif) di Desa Blawong Kabupaten Bantul ……….. 186 Aspek Pendorong ……… 186

Aspek Penarik ………. 191

Konsep Diri/Karakter Petani ……….. 196

Petani di Desa Cijeunjing Kabupaten Ciamis ………. 196

Petani di Desa Blawong Kabupaten Bantul ……… 199

Pembahasan Hasil Penelitian ……….. 203

Eksplorasi Kebenaran Empirik Logik ………. 204

Aspek Kebenaran Empirik Etik Komunikasi Petani ……….. 205

Aspek Kebenaran empirik Transendental ……… 207

. BAB VII MODEL KOMUNIKASI SYARIAH 212 Proses Komunikasi Petani ………. 212

Proses Komunikasi Petani dan BMT Ketika Mengajukan Pembiayaan Syariah di Ciamis ……….……… 213

Proses Komunikasi Petani dan BMT Ketika Mengajukan PEmbiayaan Syariah di Bantul ……… 215 Makna Simbolik pada Petani ………. 216

Kompetensi Komunikasi Petani ……… 222

Petani sebagai aktor kehidupan ……….. 224

Pesan Komunikasi Islami ……….………. 226

Proses Komunikasi dalam Proses Akad Kredit……….. 232

Pembahasan Penelitian ……….. 245

Eksplorasi Kebenaran Empirik Logik ……… 245

Eksplorasi Kebenaran Empirik Etik ……… 249

Eksplorasi Kebenaran Empirik Transendental ……… 251


(19)

iii

BMT dalam Pembangunan ………..……… 266

Kabupaten Ciamis dan Bantul ……… 268

Pembentukan Modal Sosial BMT ……….………. 269

BMT di Ciamis dan Bantul ………. 275

Sumber Daya Manusia dan Kepemimpinan ………... 276

Kepemimpinan di Ciamis …..……… 281

Kepemimpinan di Bantul ……….. 284

Refleksi Teoritik ………. 303

BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN 309 Kesimpulan ………. 309

Saran ………... 312

DAFTAR PUSTAKA ……… 313


(20)

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Lembaga keuangan Mikro Syariah mengalami perkembangan yang sangat pesat saat ini, terutama BMT. Ada sekitar 3.900 BMT yang yang beroperasi di Indonesia pada akhir tahun 2010. Aset BMT-BMT berkisar di atas 1 milyar (4,5 persen), 500 juta - 1 milyar (7 persen), 250 juta - 500 juta (39.5 persen), 50 juta – 250 juta (40 persen), dan dibawah 50 juta (9 persen) (Pinbuk.org, 2012)

Selama ini menurut Hafidhuddin (2008) BMT telah membuktikan bahwa dari sisi bisnis, pembiayaan pada UMK merupakan bisnis sektor riil, terbukti menurut catatan BMT centre

terdapat pertumbuhan aset sebesar 59,71 persen pada tahun 2004-2005 dan peningkatan SHU sebesar 46,71 persen pada tahun yang sama. Penerimaan masyarakat yang semakin besar pada adanya manfaat dari kehadiran BMT ini terlihat dari pesatnya pertumbuhan BMT di daerah-daerah. Berdasarkan data terakhir, terdapat sekitar 2.938 unit BMT di seluruh Indonesia. Di Jawa Barat hampir 22 persen, 20 persen di Jawa Timur, 17,5 persen di Jawa Tengah, di luar Jawa yang terbesar adalah di Sulawesi Selatan 6 persen, dan Sumatera Utama 5 persen. Berdasarkan data tahun 2000, rata-rata setiap BMT memiliki sekitar 199 penabung dan 83 orang peminjam, dengan rata-rata simpanan sebesar Rp. 265.000 dan rata-rata pinjaman sebesar Rp. 698.000.

Kesejahteraan petani menurut BPS tahun 2005-2007 menunjukkan fluktuatif pada tahun 2005-2007 berturut-turut kesejahteraan petani mencapai 102,99 persen, 105,07 persen dan 104,62 persen. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa petani sudah sejahtera. Faktanya di lapangan petani berhadapan dengan harga kebutuhan yang terus meningkat, termasuk harga bahan konsumsi dan bahan produksi untuk lahan pertanian. Sementara sebelumnya dari hasil survei BPS (2005) lebih dari 60 persen petani mengatakan kondisi ekonomi rumah tangga mereka tidak berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Survei tersebut juga memperlihatkan rata-rata penghasilan tertinggi petani dalam setahun adalah Rp. 11,3 juta (di Sumatera Barat) dan terendah Rp. 7,7 (di Nusa Tenggara Barat). Pendapatan tersebut masih jauh dikatakan layak untuk mencukupi kebutuhan keluarga petani.

Perbankan syariah di masa awal pertumbuhannya terbilang lamban antara tahun 1992-1998, kemudian tumbuh sangat pesat dalam satu dasawarsa terakhir. Pertumbuhan jumlah Bank Unit Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) diikuti


(21)

oleh peningkatan nilai indikator-indikator perbankan syariah, seperti aset, dana pihak ketiga (DPK), dan pembiayaan. Sebagai contoh, aset perbankan syariah (belum termasuk BPRS) telah berkembang sekitar 54 kali lipat selama 10 tahun, dari Rp 1,79 trilyun pada akhir tahun 2000 menjadi Rp 97,52 trilyun pada akhir tahun 2010. Selama kurun itu, pertumbuhan rata-rata setiap tahunnya adalah sekitar 54 persen. Dana Pihak Ketiga yang berhasil dihimpun pada kurun waktu yang sama meningkat sekitar 74 kali lipat, dari Rp 1,03 trilyun menjadi Rp 76,04 trilyun. Sedangkan pembiayaan yang diberikan juga meningkat sekitar 54 kali lipat, dari Rp 1,27 trilyun menjadi Rp 68,18 trilyun (2010).

Perbankan Syariah sudah melakukan ekspansi dengan memberikan pembiayaan kepada sektor pertanian bagi masyarakat di pedesaan. Sektor pertanian saat ini menjadi andalan mata pencaharian sebagian besar masyarakat Indonesia dan berperan sebagai penyumbang penting Produk Domestik Bruto (PDB), menjadi sumber devisa negara, serta menjadi pemasok bahan baku sekaligus sebagai pasar bagi sektor industri. Menurut data BPS (2008) GNP tahun 2008, 20,9 juta rupiah dengan growth index 24,3 persen atau dalam USD $2.190,6. Cadangan devisa Indonesia hingga awal Februari 2008 turun sebesar USD$ 960 juta menjadi USD $ 56 miliar. Salah satu masalah penting yang sampai saat ini masih dihadapi bangsa ini adalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi antara kelompok kaya dan miskin.

Menurut data BPS (2008) jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 34,96 juta orang atau 15,42 persen dari total penduduk. Mengutip data BPS 2006, Hafidudin dan Syukur (2008) mengatakan walaupun sektor pertanian menyerap jumlah tenaga kerja yang paling banyak dan menggunakan sebagian besar lahan yang ada, namun sumbangan sektor ini pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tidak sebesar kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja dan penggunaan lahan. Pada tahun 2005 sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan hanya memberikan kontribusi sebesar 254,9 triliun rupiah (13,4 persen dari total PDB).

Menghadapi persoalan tersebut, kabinet Indonesia bersatu telah menetapkan program pembangunannya dengan menggunakan strategi tiga jalur (triple track strategy) yang berazas

pro-growth, pro-employment dan pro-poor. Operasionalisasi konsep strategi tiga jalur tersebut dirancang melalui : (1) peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6,5 persen per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor; (2) pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru; dan (3) revitalisasi sektor pertanian dan perdesaan untuk kontribusi pada pengentasan kemiskinan (Deptan, 2005).


(22)

Ada paradoks pada kondisi pertanian saat ini, di satu sisi, sektor pertanian menyerap tenaga kerja yang sangat besar sekitar 44 persen dari total tenaga kerja di Indonesia dan pertanian berperan memberikan 13,4 persen pada PDB, selebihnya dari sektor perdagangan, industri, jasa, dan lain-lain (BPS, 2005). Paradoks ini menimbulkan masalah serius sehingga perkembangan sektor pertanian menjadi lambat. Pertama, keterbatasan modal/dana petani yang disebabkan oleh kesulitan akses pembiayaan, ketidak mampuan menyediakan agunan, terbatasnya jumlah dan jangkauan bank. Kedua, SDM yang rendah, rata-rata petani mengenyam pendidikan hanya sampai tingkat pendidikan yang rendah. Hal ini menyebabkan pengelolaan pertanian menjadi tidak optimal, rendahnya daya saing dan terbatasnya penguasaan sarana dan teknologi. Ketiga, persepsi negatif bahwa sektor pertanian beresiko tinggi, ketergantungan pada musim dan ketersediaan air, jaminan harga yang fluktuatif, dan sebagainya. Keempat, kondisi petani lokal di pedesaan seperti yang dikatakan Scott (1981) bahwa mereka memiliki persepsi moral yang tidak akan mengambil resiko yang berbahaya, beresiko tinggi dan mengancam subsistensi mereka. Secara dialektis Samuel Popkins (1979) menunjukkan bahwa bukan soal moral yang paling menentukan setiap tindakan petani melainkan rasionalitas kerjanya. Maksudnya, petani bukan tidak mau mengambil resiko dalam segala tindakannya tetapi juga ada aspek-aspek spekulatif dan perhitungan untung rugi yang sangat cerdik.

Pemerintah setidaknya berkewajiban untuk meningkatkan dan melakukan pemerataan terhadap kesejahteraan para petani. Hal-hal yang harus diperhatikan untuk mendukung pengembangan revitalisasi pertanian ini, antara lain : aspek kebijakan, lintas sektoral, aspek teknologi, aspek kelembagaan, aspek sumber daya manusia dan aspek permodalan. Pada aspek permodalan ini yang menjadi masalah paling krusial yang dialami para petani.

Kementrian Pertanian (2005) telah mengidentifikasi permasalah permodalan yang dialami oleh para petani, antara lain : (a) Sistem dan prosedur penyaluran kredit masih rumit, birokratis dan kurang memperhatikan kondisi lingkungan sosio budaya pedesaan sehingga sulit menyentuh kepentingan petani yang sebenarnya; (b) Kemampuan petani dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan sangat terbatas. Hal ini disebabkan lembaga keuangan perbankan dan non perbankan menerapkan prinsip 5-C (Character, Collateral, Capacity, Capital, dan Condition) dalam menilai usaha pertanian yang tidak semua persyaratan yang diminta dapat dipenuhi oleh petani; (c) Usaha di sektor pertanian masih dianggap beresiko tinggi oleh pihak investor, sehingga menghambat aliran modal investasi maupun modal kerja ke sektor pertanian; (d) Skim kredit


(23)

pada umumnya masih membiayai usaha produksi, belum menyentuh kegiatan praproduksi, pasca produksi, dan pascapanen. Padahal kegiatan off farm ini memberikan tingkat keuntungan yang lebih baik bila dibandingkan dengan kegiatan on farm; (e) Belum berkembangnya lembaga penjaminan usaha di bidang pertanian (Asuransi Pertanian) yang mengakibatkan lembaga keuangan maupun investor enggan untuk menyalurkan dananya pada kegiatan agribisnis; (f) Belum adanya lembaga keuangan yang khusus membiayai sektor pertanian. Hal ini mengakibatkan dukungan pembiayaan sektor pertanian tidak sesuai dengan tuntutan pembangunan nasional yang memprioritaskan pertanian sebagai tulang punggung perekonomian nasional; dan (g) Belum berkembangnya Lembaga Keuangan Pedesaan/Lembaga Kredit Mikro di pedesaan sehingga terjadi ketidakseimbangan antara kemampuan masyarakat untuk menabung dengan jumlah modal yang keluar pedesaan (capital outflow).

Sebagian besar petani lebih akrab dengan sumber-sumber pembiayaan informal karena sangat mengerti dengan kebutuhan petani. Hal ini menjadi tantangan pada pihak BMT, karena pada dasarnya pengembangan pelayanan pembiayaan mikro pertanian masih terbatas dan belum ada kesesuaian antara pihak lembaga pembiayaan sebagai penyedia dana dan pihak petani sebagai pengguna dana. Bagi sebagian Bankir dan praktisi keuangan, pertanian masih dianggap sebagai sektor yang memiliki resiko sangat besar dan dianggap kurang menguntungkan. Munculnya stigma ini terjadi karena buruknya komunikasi dan koordinasi antara para pemangku kepentingan (stakeholder) sektor pertanian dan lembaga keuangan (Hafidhuddin dan Syukur, 2008). Pihak perbankan sebagai lembaga intermediasi sering menerapkan prinsip kehati-hatian yang didasarkan pada kepercayaan. Bagaimana membangun kepercayaan antara BMT dan petani diperlukan strategi komunikasi yang baik. Faktanya, keberpihakan perbankan secara nasional terhadap sektor pertanian sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari data Bank Indonesia (2007), penyaluran kredit bank nasional per-Maret 2007 hanya 5,4 persen untuk sektor pertanian dari total kredit sebesar 800,373 miliar. Selebihnya, kredit didominasi oleh sektor jasa sebesar 37,21 persen, sektor perindustrian 22,93 persen, perdagangan 20,93 persen. Pertumbuhan kredit di sektor pertanian mengalami fluktuatif, sejak tahun 2004 sampai tahun 2009 masing-masing 27,3 persen, 25,8 persen, 14,0 persen, 26,0 persen, 30,8 persen dan menurun di tahun 2009 sebesar 10,5 persen (data BI dan CEIC diolah Kompas, 2009). Berdasarkan hal ini maka peranan perbankan syariah sangat diharapkan turut menggerakan sektor pertanian. Masyarakat petani


(24)

ataupun umum juga harus memiliki persepsi bahwa dalam menjalankan usaha tidak ada keuntungan tanpa resiko yang harus dihadapi.

Bank Indonesia menilai perbankan syariah memiliki produk yang paling cocok untuk mengembangkan pembiayaan di sektor pertanian yang memiliki karakter berbeda dengan sektor lainnya karena adanya faktor cuaca dan musim tanam. Pembiayaan syariah dapat mendorong pertumbuhan perekonomian di sektor pertanian yang menyediakan lahan kerja sekitar 40,3 persen dalam lima tahun terakhir. (Republika, 2 Maret 2011)

Menurut hasil survey Bank Indonesia 2011, sekitar 97,5 persen atau 24 juta petani di Indonesia mengaku tidak pernah menerima kredit dari pemerintah. Hanya 2,5 persen atau 616 ribu petani yang mengaku pernah mendapatkan kredit dari pemerintah. Komposisi jenis kreditnya adalah uang 55,1 persen, sarana produksi 37,3 persen dan lainnya 7,6 persen. Sebanyak 95,1 persen atau 23 juta petani mengaku tidak pernah mendapatkan kredit dari lembaga non pemerintah. Hanya sekitar 4,9 persen atau 1,2 juta petani yang mengaku sebaliknya. Jenis bantuan seperti benih 38,2 persen, pupuk 15,2 persen, pestisida 2,7 persen, alat pertanian 1,3 persen, ternak 6 persen dan lainnya 36,6 persen. Sisi penyuluhan, sebanyak 86 persen atau 21 juta petani tidak pernah mendapatkan penyuluhan pertanian. Hanya 13,7 persen atau sekitar 3 juta petani mengaku pernah mendapatkannya. Jenis penyuluhan yang didapat petani, berupa budidaya 40,1 persen, pengolahan hasil 25,2 persen, pemasaran hasil 13,2 persen dan lainnya 21,6 persen. Sementara, untuk jenis lahan, survey BI menunjukan adanya pengurangan lahan pertanian di Pulau Jawa hingga 4,845 hektar, di wilayah luar Jawa terdapat penambahan lahan pertanian hingga 64,834 hektar. Sampai akhir 2010 penyaluran kredit kepada sektor pertanian mencapai Rp. 91 triliun atau 5,15 persen dari total kredit perbankan. Perbankan syariah hanya memberikan kontribusi sebesar 1,76 triliun atau 5,15 persen untuk sektor pertanian. (dalam Republika, 2 Maret 2011)

Berdasarkan hasil penelitian BI tersebut sangatlah jelas bahwa masyarakat membutuhkan pendanaan untuk modal pertanian yang mereka kelola. Masyarakat ini dapat kita bagi yaitu yang berada di perdesaan dan perkotaan dan semi perkotaan (rural, urban, semi urban). Pedesaan dan perkotaan memiliki peran yang sama dalam mengembangkan ekonomi suatu wilayah. Jika masing-masing memainkan peranannya secara baik maka akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.


(25)

Terdapat persepsi masyarakat bahwa pasar non-syariah atau pasar konvensional selalu lebih menguntungkan secara finansial dibandingkan pasar syariah karena sistem bunganya. Pasar syariah sendiri hanya dipahami sebagai pasar kaum muslim saja, seolah merupakan pasar yang tertutup untuk kalangan non muslim. Padahal, sistem bagi hasil yang merupakan salah satu elemen penting dari pasar syariah sudah sejak lama diterapkan di negara-negara Eropa dan negara-negara Arab (Kartajaya & Syula, 2006:xxv).

Pasar syariah bagi pembiayaan sektor riil sangatlah diutamakan. Sumber pembiayaan pembangunan pertanian di Indonesia juga disediakan oleh pemerintah dan lembaga keuangan sebagai bagian dari paket pembangunan pertanian. Kredit memberikan manfaat bagi pelaku usaha pertanian terutama yang menjalankan usaha skala kecil. Ada beberapa manfaat kredit bagi pelaku usaha pertanian menurut Hafiduddin dan Syukur (2008), yaitu : Pertama, kredit merupakan modal kerja bagi pelaku usaha pertanian yang memiliki keterbatasan modal sendiri.

Kedua, kredit dapat menjadi pendorong bagi pelaku usaha pertanian untuk mandiri sehingga dapat terlepas dari ketergantungan pada pedagang perantara, toke maupun tengkulak yang merugikan pelaku usaha pertanian. Ketersediaan kredit untuk pembiayaan pertanian masih sangat minim, ditambah lagi penyebaran informasi mengenai hal ini yang jauh dari kata sangat kurang. Sejak lama, pembiayaan dengan pola syariah ini sebenarnya tidak terlalu asing bagi masyarakat karena sudah terbiasa dengan sistem bagi hasil, seperti sistem maro dalam tanaman pangan, sistem gaduhan dalam peternakan dan sistem bagi hasil dalam perikanan tangkap.

Pemahaman masyarakat di daerah pedesaan mengenai lembaga keuangan mikro syariah sangat diperlukan. Hal ini dikarenakan masyarakat di daerah dan pedesaan masih sulit tersentuh oleh bank, maka dibutuhkan lembaga keuangan alternatif yang menyentuh masyarakat pedesaan. Potensi pendanaan masyarakat yang ada belum dikelola secara optimal. Hal ini diduga berkaitan dengan jumlah penyebaran bank terbatas, tersebar di ibukota propinsi, sehingga peranan lembaga keuangan mikro yang ada belum melayani masyarakat secara optimal.

Model pembiayaan syariah untuk masing-masing kelompok pertanian berbeda. Pada pertanian skala kecil, yaitu : bai’as-salam (pembiayaan yang nilainya sama dengan biaya pokok produksi ditambah dengan keuntungan bagi pelaku usaha pertanian, hasil panen diberikan kepada LKMS dan dijual, keuntungan untuk LKMS) dengan melibatkan LKMS (lembaga Keuangan Mikro Syariah) seperti BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah), BMT (Baitul Maal Wat Tamwil) dan Koperasi Syariah yang ada di daerah-daerah. Usaha Mikro kecil ini menyerap


(26)

banyak tenaga kerja/masyarakat miskin, namun dukungan permodalan masih minimal. Usaha Mikro Kecil, Menengah dan Koperasi (UMKMK) berperan sangat strategis, karena 99,9 persen dari 43 juta unit usaha di Indonesia adalah usaha mikro dan kecil. 99,5 persen kesempatan kerja disediakan oleh UMKMK. 57 persen kebutuhan barang dan jasa disediakan oleh UMKMK. 19 persen ekspor merupakan hasil UMKMK yang keseluruhannya memberikan kontribusi 2-4 persen terhadap pertumbuhan nasional(PT.Permodalan Nasional Madani, 2007).

Lembaga keuangan syariah ini mempunyai peluang yang besar dalam menggerakan sektor riil. Hal ini dapat terwujud apabila dapat mengoptimalkan pembiayaan mikro syariah ini. Menurut data statistik BI, (2007) porsi produk pembiayaan murabahah mencapai 60,67 persen,

musyarakah 14,32 persen dan mudharabah 20,40 persen. Rendahnya porsi pembiayaan pada bank syariah ini umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain persepsi dan preferensi nasabah di daerah pada pola pembiayaan syariah.

Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Antonio (1999) mengenai kendala yang timbul berkaitan dengan perkembangan perbankan syariah, yaitu : (1) Pemahaman masyarakat yang belum tepat terhadap kegiatan operasional bank syariah, (2) Peraturan perbankan yang berlaku belum sepenuhnya mengakomodasi operasional bank syariah, (3) Jaringan kantor bank syariah yang belum luas, (4) Sumber daya manusia yang memiliki keahlian dalam bank syariah masih sedikit. Pola-pola pembiayaan syariah yang ditemukan di lapangan yang bersumber dari lembaga perbankan syariah adalah mudharabah/musyarakah, bai salam, dan bai murabahah.

Umumnya nasabah perbankan syariah ini masih kurang paham terhadap jenis produk dan karakteristik produk pembiayaan syariah. Praktik pembiayaan dengan pola syariah masih ada kesenjangan antara konsep yang diatur dalam fikih muamalat dengan saat implementasinya.

Bagi dunia perbankan, masalah perkreditan adalah menyangkut masalah prudential

(kehati-hatian) terhadap masyarakat, terutama petani. Fokus perkreditan bagi petani memiliki resiko yang tinggi, karena hasil yang didapat tidak pasti, semua tergantung pada alam. Permasalahan yang timbul adalah bagaimana perbankan melakukan komunikasi agar dapat dipercaya dan percaya pada masyarakatnya. Di sini yang berperan adalah bagaimana membangun kepercayaan diantara BMT dengan petani? Menurut Jahi (1988) komunikasi pembangunan di sini adalah bagaimana peranan proses komunikasi ataupun media massa sehingga dapat menyediakan informasi kepada khalayak dan memotivasi mereka agar mengadopsi inovasi pertanian, kesehatan, dan keluarga berencana, mengirimkan anak-anak


(27)

mereka ke sekolah yang lebih tinggi, dan lebih tahu tentang berita nasional dan internasional. Jahi melanjutkan bahwa dalam pembangunan yang partisipatif, partisipan harus mampu mengekspresikan kebutuhan mereka dan memiliki kesempatan untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan melalui saluran-saluran komunikasi yang tersedia. BMT haruslah memberikan edukasi informasi kepada petani melalui saluran-saluran informasi yang tersedia, misalnya komunikasi interpersonal, kelompok diskusi atau majlis ta’lim, suratkabar, majalah, radio, atau televisi bahkan melalui internet.

Salah satu lembaga pembiayaan syariah yang menfokuskan kepada petani adalah Lembaga keuangan mikro agribisnis syariah yang dikelola oleh Kementrian Pertanian. Kelompok Tani ini mendapatkan bantuan penguatan modal dari pemerintah Jepang lewat program CF-SKR yang dikelola oleh sub direktorat pembiayaan pertanian di Kementrian pertanian yang dikelola dengan menggunakan sistem syariah, sehingga pembiayaan ini dinamakan lembaga keuangan mikro agribisnis syariah. Daerah yang menjadi percontohan dan berhasil dalam mengelola lembaga keuangan mikro syariah ini (Deptan, 2005) adalah BMT Miftahussalam Kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis Jawa Barat dan Kelompok Tani yang mendirikan BMT Al Barokah Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Penyaluran pembiayaan dengan sistem syariah ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani. Bergulirnya pembiayaan syariah ini diharapkan dapat menyebabkan bergeraknya roda perekonomian di daerah tersebut.

Penelitian ini memilih daerah Bantul Yogyakarta yang memiliki ciri sebagai wilayah Rural

(pedesaan) dengan etnis Jawa dan daerah Ciamis yang memiliki ciri sub urban (semi perkotaan) dengan etnis Sunda dengan segala ciri-cirinya. Karakter atau ciri wilayah perdesaan dan semi perkotaan berbeda. Perdesaan sebagai setiap permukiman para petani. Masyarakat desa memiliki karakteristik : (1) Peranan kelompok primer yang sangat besar; (2) Faktor geografik sangat menentukan pembentukan kelompok masyarakat; (3) Hubungan lebih bersifat intim dan awet; (4) Struktur masyarakat bersifat homogen; (5) Tingkat mobilitas rendah; (6) Keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi. Sementara wilayah semi urban dicirikan sebagai wilayah yang memiliki sifat kekotaan dan kedaerahan. Wilayah perkotaan merupakan wilayah yang didominasi oleh bentuk pemanfaatan lahan non agraris sedangkan wilayah perdesaan adalah wilayah yang didominasi oleh bentuk pemanfaatan lahan agraris (Yunus, 2010)


(28)

Penduduk di kedua wilayah tersebut, baik Bantul maupun Ciamis, sama-sama memiliki mata pencaharian sebagai petani. Mereka mengolah lahan pertaniannya menanam padi maupun jagung. Para petani memiliki kendala dalam hal permodalan untuk membiayai produksi lahan pertaniannya. Permodalan tersebut bisa didapatkan dari pembiayaan kredit syariah di BMT yang ada di sekitar wilayah pertaniannya.

Menurut Ancok (2007) pertumbuhan ekonomi suatu bangsa akan lebih maju bila masyarakatnya memiliki kepercayaan satu sama lain sebagai pengikatnya dan menjadi modal sosial. Menurut Fukuyama (2007) trust adalah sebagai perekat modal sosial. Pada saat ini tidak lagi bisa memisahkan antara kehidupan ekonomi dengan kehidupan budaya. Selanjutnya Ia berpendapat bahwa dalam sebuah era dimana faktor modal sosial sudah sepenting modal fisikal, hanya masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan sosial tinggi yang akan mampu menciptakan organisasi-organisasi bisnis fleksibel berskala besar yang diperlukan untuk bersaing di arena ekonomi global baru.

Membangun kepercayaan menurut Ancok (2007) harus dimulai dengan membangun sistem sosial yang bercirikan adanya kompetensi, keterbukaan, reliabilitas dan keadilan. Apabila BMT akan berkomunikasi dengan calon nasabahnya, terlebih dahulu adalah membangun kepercayaan di antara keduanya (kreditur dan debitur). Apakah BMT tersebut memiliki kompetensi, dapat berkomunikasi secara terbuka, dapat diandalkan dan memiliki rasa keadilan? Kepercayaan itu pulalah yang membuat Muhamad Yunus (2007) melakukan gebrakan yang berani untuk memberikan kredit mikro kepada kaum miskin. Ketika mengawali program kredit mikro di desa Jobra, Yunus mendebat manajer bank yang bersikeras bahwa bank tidak mungkin memberi pinjaman tanpa jaminan pada kaum miskin karena resiko tidak kembalinya sangat

besar. Yunus membantah :”mereka sangat punya alasan untuk membayar anda kembali, yakni

untuk mendapatkan pinjaman lagi dan melanjutkan hidup esok harinya ! Itulah jaminan terbaik

yang bisa anda dapatkan : Nyawa mereka!” Kepercayaan pada kaum miskin inilah sebenarnya

inti filosofi Grameen Bank. Namun, program penyaluran kredit Grameen Bank yang ditujukan kepada kelompok-kelompok ibu rumah tangga agar dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga, namun masih menggunakan unsur bunga dalam perhitungan keuntungannya.

Berdasarkan kasus di atas, ada tiga hal permasalahan yang terjadi, yaitu : (1) penyaluran perkreditan yang tidak lancar; (2) kepercayaan antara petani dan lembaga keuangan belum terbangun; (3) terjadi permasalahan komunikasi antara petani dan lembaga keuangan. Fenomena


(29)

yang terjadi antara petani dengan BMT sebagai sebuah fakta sosial. Para petani melihat bahwa perbankan adalah “lembaga yang sulit disentuh” dan agar mengena pada masyarakat petani di perdesaan maka disentuh melalui BMT. BMT sendiri menganggap usaha yang dilakukan oleh petani sebagai “usaha dengan resiko tinggi (high risk)” sehingga resiko penyaluran kredit kepada petani sangat tinggi. Padahal tidak ada usaha yang akan mendapatkan keuntungan tanpa menghadapi resiko. Pandangan seperti ini bukanlah pandangan yang salah, namun hanyalah merupakan sudut pandang orang luar (pandangan etik), sebagai sebuah fakta yang semestinya berlaku seperti itu, bukan pandangan emik (bagaimana petani dan lembaga keuangan mikro syariah melihat kehidupan mereka sendiri). Menurut pandangan kedua lebih bersifat interpretif atau fenomenologis, petani dan lembaga keuangan syariah sebagai subyek (aktor kehidupan) memiliki keinginan, harapan, dan kehidupan sendiri yang unik. Pandangan subyektif ini dibutuhkan untuk mengimbangi pandangan sebelumnya yang obyektif yang melihat bahwa petani sebagai korban kehidupan, kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan sosial, bukan sebagai anggota masyarakat yang memiliki pemikiran dan pengalaman hidup yang mereka rasakan dan alami sendiri.

Pendekatan interaksi simbolik sebagai salah satu pendekatan komunikasi dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena bagaimana para petani berinteraksi di antara mereka dan petani dengan lembaga keuangan mikro syariah. Apa yang ditampilkan oleh petani untuk mendorong lembaga keuangan mikro syariah agar mempercayainya dalam menyalurkan pembiayaan syariah, melalui bahasa verbal atau non verbal, apa dan bagaimana proses komunikasi yang terjadi di antara sesama petani, penuh dengan simbol-simbol yang khas.

Perumusan Masalah

Menurut penelitian yang dilakukan Couchman dan Fulop (2006) mengenai membangun

trust lewat komunikasi dalam bidang R&D (Research & Development) bahwa yang menjadi masalah adalah kolaborasi antar organisasi dalam bidang R&D pada sektor publik dan privat. Mereka memiliki perbedaan kepentingan, tujuan, model operasinya, kapabilitas, sumber dan komitmen yang bisa menimbulkan konflik dan kekuatan kekuasaan, sehingga ketika mereka berhubungan harus dengan mengkomunikasikan kepercayaan dan bagaimana membangun kepercayaan di antara mereka. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Paul Dwyer (2007) apabila suatu organisasi atau perusahaan akan membangun kepercayaan maka mereka dapat


(30)

membangun kepercayaan tersebut melalui blog perusahaan (Corporate Blog). Perilaku komunikasi dalam membangun kepercayaan juga harus dilakukan seperti terungkap dalam penelitian yang dilakukan pada kolaborasi team secara Online di internet (Bulu & Yildirim, 2008), pada team virtual multikultural (Lateenmahki, et all, 2007; Jarmon & Keating, 2007).

Peranan komunikasi interpersonal sangatlah penting dalam mengembangkan kepercayaan dan kedekatan pada klien. Hal ini diteliti oleh Kirchmajer dan Petterson (2003) pada konteks pelayanan profesional provider dan perencana keuangan pada usaha kecil menengah (Small to Medium Enterprise/SME) di Australia dan New Zealand. Ada juga penelitian yang dilakukan oleh Botan dan Taylor (2005) yang meneliti masalah peranan kepercayaan terhadap media sebagai strategi komunikasi dalam membangun masyarakat madani (civil Society). Penelitian lain dilakukan Wilson (2000) mengenai masalah kepercayaan dalam ekonomi agribisnis sehingga membentuk kapital sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia (2000) bekerjasama dengan IPB, UNDIP telah melihat sejauhmana ada potensi, preferensi dan perilaku masyarakat mengenai lembaga keuangan syariah di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Hasil analisisnya menunjukkan bank syariah lebih diminati kalangan berpenghasilan menengah ke bawah. Hal ini terutama karena didukung dengan sistem jemput bola yang merupakan andalan utama dalam melayani nasabah (terutama BPRS) yang sangat diminati masyarakat dari kalangan tersebut. Temuan hasil studi menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat terhadap bank syariah baik yang berkaitan dengan sistem maupun jenis layanan/jasa, masih dapat dikatakan rendah. Selain itu aksesibilitas/keberadaan bank syariah juga menjadi salah satu faktor yang menentukan keinginan masyarakat untuk mengadopsi (terus mengadopsi) bank syariah.Yan Orgianus (2004) meneliti bagaimana Rekayasa Model Bagi Hasil dan Bagi Resiko Pembiayaan Usaha Kecil dan Menengah Agroindustri dengan Pola syariah pada agroindustri kentang. Pada pembiayaan dengan pola syariah dilakukan bagi hasil dan bagi resiko antara pihak bank sebagai pemilik modal dan nasabahnya sebagai pengelola dana.

Penelitian yang dilakukan Endang L. Hastuti dan Supadi (2007) mengenai aksesibilitas masyarakat terhadap kelembagaan pembiayaan pertanian di pedesaan membuktikan bahwa aksesibilitas masyarakat sangatlah sulit. Analisis Perilaku penawaran kredit perbankan kepada sektor UMKM di Indonesia selama kurun 2002-2006 yang dilakukan Meydianawati (2007) menunjukkan apabila perbankan bisa menaikan modal maka akan mampu menyalurkan kredit investasi dan modal kerja kepada sektor UMKM di Indonesia. Sementara menurut Nurmanaf


(31)

(2007) lembaga informal pembiayaan mikro dinilai lebih dekat dengan petani. Penelitian yang dilakukan Asif Dowla (2005) mengenai “dengan kredit kami percaya : membangun modal sosial oleh Grameen Bank di Bangladesh, menunjukkan dengan menggunakan jaringan secara horizontal dan vertikal, dapat digunakan untuk membangun norma baru dan meningkatkan kepercayaan sosial, memecahkan masalah kolektif dari orang-orang miskin agar dapat mengakses modal.

Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, menunjukkan penelitian menggunakan asumsi bahwa komunikasi yang dapat dipercaya atau bagaimana membangun kepercayaan melalui komunikasi adalah sangat penting. Terkait dengan penelitian ini bahwa BMT dituntut untuk berkomunikasi dengan petani, yaitu ketika mengaplikasikan sikap kehati-hatian (prudential-nya). BMT dituntut dapat membangun kepercayaan dan meyakinkan produk pembiayaannya kepada para petani agar mereka mau menggunakan pembiayaan tersebut guna mengatasi permodalan mereka sehingga berimplikasi pada kenaikan kesejahteraan para petani dan keluarganya. Beberapa pertanyaan pokok timbul dari pemikiran di atas, yaitu :

(1) Bagaimana petani di kota Ciamis dan Bantul mengkonstruksikan realitas sosial meliputi proses, motif, dan konsep diri yang dimiliki menurut pandangan mereka sendiri ?

(2) Bagaimana petani di kota Ciamis dan Bantul mengelola komunikasi mereka dan komponen utama komunikasi manakah yang membentuk peristiwa-peristiwa komunikasi tersebut yang efektif dalam mengembangkan modal sosial BMT dengan petani? (3) Bagaimana rancangan pengembangan pola-pola komunikasi yang tepat untuk

mengembangkan modal sosial petani BMT?

Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana proses komunikasi dalam membangun kepercayaan melalui penyaluran pembiayaan mikro syariah kepada petani. Berdasarkan uraian permasalahan, kegiatan penelitian ini bertujuan untuk :

(1) Menganalisis perubahan petani di kota Ciamis dan Bantul dalam mengkonstruksikan realitas sosial meliputi proses, motif, dan konsep diri yang dimiliki menurut pandangan mereka sendiri.

(2) Menganalisis/mensintesakan perubahan perilaku petani di kota Ciamis dan Bantul dalam mengelola komunikasi mereka dan menganalisis komponen utama komunikasi pada


(32)

petani yang membentuk peristiwa-peristiwa komunikasi yang efektif dalam mengembangkan modal sosial BMT.

(3) Merancang strategi pengembangan pola-pola komunikasi yang tepat untuk mengembangkan modal sosial petani dan BMT.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian diharapkan berguna untuk memahami bagaimana proses komunikasi yang terjadi dalam membangun kepercayaan antara petani dan BMT. Secara spesifik kegunaan penelitian ini adalah :

(1) Membantu mengembangkan kelembagaan dan memperjelas posisi BMT dalam kehidupan petani dimulai dengan mempercayai BMT dapat meningkatkan kesejahteraan petani di Indonesia khususnya.

(2) Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu komunikasi, khususnya bagi penelitian konstruktivis dalam membangun kepercayaan melalui proses komunikasi yang terjadi pada masyarakat petani.

(3) Selain itu sebagai masukan praktis bagi perbankan syariah khususnya BMT di Indonesia dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan petani.

Novelty

Penelitian ini telah berusaha mengungkapkan keunikan perilaku komunikasi petani berdasarkan pendekatan subyektif atau berdasarkan petani yang mengalaminya sendiri sehingga diperoleh data yang menyuarakan aspirasi kebutuhan dan kepentingan khas petani dalam mendapatkan pembiayaan syariah. Kebanyakan penelitian perilaku kredit petani menyatakan bahwa petani kesulitan dalam mengakses kredit melalui bank. Perilaku kredit tersebut berhubungan dengan lembaga keuangan umum, sementara penelitian terhadap BMT masih sedikit. Setidaknya dari hasil penelitian ini diperlihatkan bahwa nasabah dengan strata dhuafa -lah yang lebih dapat dipercaya dibandingkan dengan kalangan atas, dari masyarakat bawah untuk dapat membentuk modal sosial yang kuat dalam masyarakat tersebut.

Penelitian ini telah menelaah secara mendalam dan memahami makna subyektif petani secara fenomenologi dengan pendekatan interaksi simbolik dalam memahami penyaluran kredit oleh lembaga keuangan mikro syariah dipilih setting budaya Jawa dan berada di wilayah rural di


(33)

kota Yogyakarta dan budaya sunda yang berada di wilayah sub urban di Jawa Barat dalam mengembangkan modal sosial BMT. Penelitian ini mencoba menghasilkan rumusan pola strategi komunikasi syariah yang berlaku di lingkup BMT. Penelitian ini menganalisis seberapa jauh model komunikasi dalam pengembangan konstruksi sosial perbankan syariah (BMT) dengan membandingkan antara petani yang hidup di Bantul dan Ciamis.


(34)

BAB II KERANGKA TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Permasalahan yang dianalisis dalam penelitian ini berkenaan dengan situasi dan kondisi subyektif yang dialami sendiri oleh petani ketika akan mendapatkan pembiayaan syariah melalui BMT. Pada penelitian objektif–kuantitatif, teori digunakan sebagai landasan penelitian yang penting karena teori tersebut harus diuji oleh penelitinya sehingga teori tersebut akan terus menempel peneliti sampai akhir penelitian. Sedangkan pada penelitian interpretif-kualitatif (subyektif) teori hanya digunakan sebagai arahan bagi peneliti.

Pada penelitian ini teori digunakan sebagai pedoman atau arahan untuk mengungkapkan fenomena agar lebih fokus. Selanjutnya dikembangkan konsep-konsep yang sejalan dengan kenyataan yang ada di lapangan. Kerangka berfikir yang diuraikan dalam penelitian ini menjelaskan keterkaitan satu dengan yang lainnya. Kerangka pemikiran dibangun untuk menjelaskan mengenai fenomena proses komunikasi dalam masyarakat petani terkait dengan BMT sebagai bagian dari struktur dan lapisan masyarakat. Sedangkan wujud komunikasi yang terjadi ditentukan oleh (1) pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi (komunikator dan komunikannya); (2) cara yang ditempuh; (3) kepentingan dan tujuan komunikasi; (4) ruang lingkup yang melakukannya; (5) saluran yang digunakan; dan (6) isi pesan yang disampaikan. Proses komunikasi dalam masyarakat dapat berupa komunikasi tatap muka yang terjadi pada proses komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, bahkan komunikasi yang terjadi dalam komunikasi massa.

Perilaku petani berinteraksi dengan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) syariah guna mendapatkan pembiayaan ini merupakan fenomena sosial. Petani berinteraksi melakukan komunikasi baik dengan dirinya sendiri maupun dalam masyarakatnya dan BMT.

Manusia Melakukan Tindakan Sosial

Fenomena sosial perilaku petani merupakan perilaku sosial, yang oleh Weber disebut sebagai tindakan sosial. Max Weber (Ritzer, 2008) merupakan perintis Sosiologi yang lahir di Erfurt, Jerman, 21 April 1864, berasal dari keluarga kelas menengah dan meninggal tahun 1920. Max Weber memberikan pengaruh besar pada lahirnya pemahaman mengenai keterkaitan antara etika protestan dan munculnya kapitalisme di Eropa Barat. Weber tampil dengan menawarkan


(35)

pendekatan terhadap kehidupan sosial yang jauh lebih bervariasi ketimbang Marx. Marx lebih banyak memasuki ranah kajian ekonomi sedangkan Weber lebih tertarik pada berbagaia spek fenomena sosial. Konsep Weber mengenai “tindakan sosial” ini telah memberikan arahan bagi perkembangan teori sosiologi yang membahas mengenai interaksi sosial.

Weber (2007) menyatakan :

By action in this definition is meant human behavior when and to the extent that the agents or agents see it as subjectively meaningful : the behavior may be either internal or external, and may consist in the agent’s doing something, omitting to do something, or having something done to him. By sosial, action is meant an action in which the meaning intended by the agent or agents involves a relation to another

person’s behavior and in which that relation determines the way in which the action

proceeds.

Weber membedakan tindakan sosial dari tingkah laku pada umumnya dengan mengatakan bahwa sebuah gerakan bukanlah sebuah tindakan kalau gerakan itu tidak memiliki makna subyektif untuk orang-orang yang bersangkutan. Tindakan sosial merupakan sesuatu yang lebih dari sekedar kesamaan diantara tingkah laku banyak orang (tingkah laku massa), walaupun tidak perlu mengandung kesadaran timbal balik karena satu orang bisa bertingkah laku dengan sadar menuju orang lain tanpa yang lainnya itu sadar akan fakta ini.

Selanjutnya menurut Weber (2007) ada banyak kelompok dalam masyarakat, didalamnya terdapat 3 macam keteraturan yang mengikat orang dengan sesamanya, yaitu ekonomi, politik, dan kebudayaan. Masing-masing tatanan ini mempengaruhi perilaku manusia dengan hasil yang tidak sama untuk semua orang. Jadi pada kenyataannya masyarakat terdiri dari institusi-institusi yang tunduk pada keteraturan ekonomi, politik dan kebudayaan.

Lebih lanjut, Weber (2007) mengemukakan tindakan sosial memiliki makna-makna. Ada dua pertanyaan mendasar yang dikemukakan Weber mengenai berbagai makna yang merupakan hal yang penting, yaitu : pertama, seseorang haruslah menyadari tentang fakta bahwa perilaku bermakna samar dalam bentuk-bentuk yang tidak bermakna. Banyak perilaku tradisional begitu biasa seakan-akan hampir tidak bermakna. Disisi lain, banyak pengalaman magis tampak begitu sulit untuk dikomunikasikan. Weber memandang bahwa penggunaan empatik simpatik dengan

verstehen sekedar kebutuhan sekunder. Prosedur Weber yang sesungguhnya terutama berisi konstruksi tipologi-tipologi perilaku lembaga pengkajian komparatif atas dasar berbagai tipologi.


(36)

Pernyataan Kedua, Hakikat kausal dari makna : sejauhmana makna menjadi kausa perilaku? Seseorang harus menyadari keberadaan rentang pengalaman ilmu makna dapat tampil secara beragam. Sesuatu fakta tidaklah memiliki makna akan tetapi penting untuk menjelaskan aksi menyangkut berbagai fenomena psikologis seperti kelesuan, kebiasaan, kegembiraan, dan sebagainya. Kajian mengenai perilaku manusia menunjukan bahwa makna hanyalah satu dari elemen kausa aksi. Makna merupakan suatu hubungan yang terasa secara sadar antara cara-cara dan tujuan-tujuan. Berbagai makna dapat diorganisasikan dengan sejumlah cara, dengan efisiensi menetapkan keunggulan tujuan dan cara yang benar menurut agama, dengan munculnya emosi, penetapan tradisi-tradisi dan kebiasaan-kebiasaan.

The meaning to which we refer may be either (a) meaning actually intended by an individual agent on a particular historical occasion or by a number of agents on an approximate average in a given set a cases, or (b) the meaning attributed to the agents, as types, in a pure type constructed in the abstract. In the neither case is the meaning to be throught of as somehow objectively correct or true by some metaphysical criterion. This is the different between the empirical sciences of action, such as sociology and history, and any kind a priori discipline (Weber, 2007:7).

Not every kind of human contact is sosial in character : it is only sosial when

one’s person behavior is related in its meaning to the behavior of other people.

Sosial action in not to be identified either (a) with several people acting in a similarway together, or (b) with one person’s acting under the influence of the behavior of others. It is a familiar fact that an individual who finds himself in the midst of a crowd gathered together in the same place will be strongly influenced in his action by that fact. Behaviour which is traditional in a strong sense lies, like purely reactive imitation, directly on and often beyond, the boundary marking out the are of what can in general be called meaningful action. (Weber, 2007)

Seorang manusia tidaklah pasif menghadapi dunia sosialnya, ia akan melakukan tindakan sosial. Seperti yang diungkapkan oleh Weber bahwa manusia itu melakukan tindakan sosial

dengan proses berfikir. Ia mengatakan, “masyarakat adalah suatu entitas aktif yang terdiri dari orang-orang yang berfikir dan melakukan tindakan-tindakan sosial yang bermakna” (Mulyana, 2008).

Bagi Weber jelas bahwa tindakan sosial pada dasarnya bermakna, karena melibatkan penafsiran, berfikir dan kesengajaan. Tindakan sosial baginya adalah tindakan yang disengaja bagi orang lain dan sang aktor sosial sendiri. Sang aktor memiliki pikiran-pikiran yang aktif saling menafsirkan perilaku orang lainnya, saling berkomunikasi dan mengendalikan perilaku dirinya masing-masing sesuai dengan maksud dan tujuan komunikasinya. Tindakan sosial


(37)

merupakan tindakan atau perilaku subyektif yang bermakna yang melalui proses berfikir dan ditujukan untuk mempengaruhi atau berorientasi kepada khalayaknya atau perilaku orang lain.

Pada penelitian ini, petani sebagai aktor sosial melakukan tindakan-tindakan komunikasi agar dipercaya mendapatkan pembiayaan kredit dari BMT. Petani aktif memaknai lingkungan sosial (masyarakat)–nya secara subyektif. Petani melakukan tindakan-tindakan yang tidak saja bermakna bagi dirinya sendiri tapi juga bermakna bagi BMT bahkan bagi masyarakatnya.

Fenomenologi dan Petani Sebagai Aktor Sosial dan Subyektif

Asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh Weber mengenai tindakan sosial di atas dikembangkan oleh Alfred Schutz, seorang sosiolog kelahiran Wina Austria, tahun 1899 (Ritzer, 2008). Schutz memusatkan perhatian pada cara orang memahami kesadaran orang lain sementara mereka hidup dalam kesadaran mereka sendiri. Schutz juga menggunakan perspektif subjektifitas dalam memahami kehidupan lebih sosial, terutama mengenai ciri sosial pengetahuan.

Banyak pemikiran Schutz yang dipusatkan pada satu aspek dunia sosial yang disebut kehidupan dunia (life-world) atau dunia kehidupan sehari-hari. Inilah yang dimaksud schutz sebagai dunia intersubjektif. Orang dalam dunia intersubjektif ini menciptakan realitas sosial dan dipaksa oleh kehidupan sosial yang telah ada dan struktur kultural ciptaan leluhur mereka. Dunia kehidupan itu banyak aspek kolektifnya, tetapi juga ada aspek pribadinya (yang dapat diungkap melalui biografi). Schutz membedakan dunia kehidupan antara hubungan tatap muka yang akrab (relasi kami) dan hubungan interpersonal dan renggang (relasi mereka). Hubungan tatap muka yang akrab sangat penting dalam kehidupan dunia yang dilandasi oleh kesadaran, makna, dan motif tindakan individual. Secara keseluruhan, Schutz memusatkan perhatian pada hubungan dialektika antara cara individu membangun realitas sosial dan realitas kultural yang mereka warisi dari para pendahulu mereka dalam dunia sosial.

Pemikiran Schutz ini dalam ilmu sosial dikenal sebagai studi fenomenologis. Studi ini merupakan hasil pemikiran Schutz yang berangkat dari pemikiran Weber dan kritikannya terhadap fenomenologi Edmund Husserl. Husserl mengemukakan bahwa aktivitas kesadaran melibatkan kemampuan manusia mempersepsi suatu objek, sedangkan Shutz lebih menekankan pada kesadaran intersubjektif kehidupan manusia sehari-hari.


(38)

Schutz setuju dengan pemikiran Weber tentang pengalaman dan tindakan sosial manusia dalam kehidupannya sehari-hari sebagai realitas yang bermakna secara sosial. Schutz menyebut

manusia yang berperilaku tersebut sebagai “aktor”. Ketika seseorang mendengar dan melihat

apa yang dikatakan atau diperbuat aktor, dia akan memahami makna dari tindakan sosial

tersebut, dan dunia sosial seperti itu disebut sebagai sebuah ‘realitas interpretif’.

Fenomenologi Schutz ini digunakan untuk mengupas dan memahami bagaimana suatu tindakan sosial manusia yang diperoleh dari pengalaman subyektif dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan sosial ini dilihat dari bagaimana manusia berkomunikasi berdasarkan pengalaman yang pernah mereka alami sendiri sebagai sesuatu yang bermakna dan membentuk gambaran mengenai dunia keseharian intersubjektif.

Menurut Schutz (Mulyana, 2008) orang-orang begitu saja menerima bahwa dunia keseharian itu eksis dan orang lain berbagi pemahaman atas segala hal yang ada di dunia ini. Lebih dari itu, orang-orang merujuk pada obyek dan tindakan dengan mengasumsikan bahwa mereka berbagi perspektif dengan orang lain. Setiap fenomenologis, yakni konteks ruang, waktu dan historis yang secara unik menempatkan individu, memiliki pengetahuan mengenai hal tersebut (stock of knowledge) yang terdiri dari semua fakta, kepercayaan, keinginan, prasangka dan aturan yang dipelajari dari pengalaman pribadi dan pengetahuan siap pakai yang tersedia di dunia sejak lahir.

Kategori pengetahuan menurut pandangan Schutz, yang pertama bersifat pribadi dan unik ketika berinteraksi tatap muka dengan orang lain. Kategori pengetahuan yang kedua adalah berbagai pengkhasan (typication) yang telah terbentuk dan dianut semua anggota suatu budaya, terdiri dari mitos, pengetahuan, budaya, dan akal sehat (common sense). Berdasarkan hal itu, intersubjektivitas berlangsung dalam berbagai macam hubungan dengan orang lain, termasuk orang-orang dekat yang berbagi ruang dan waktu (dalam komunikasi tatap muka), yang hidup sejaman tetapi tidak dikenal (pembaca, pendengar atau pemirsa lain yang belum pernah ditemui), mereka yang telah mendahului sebelum dilahirkan, dan mereka yang akan datang setelah mati. Pengetahuan mengenai diri berubah ketika masuk dan keluar dari hubungan dengan orang lain.

Shutz mengatakan, para aktor sosial menafsirkan sifat realitas yang relevan dengan kepentingan mereka, dan realitas menjadi fungsi struktur relevansi mereka mengenai dunia sosial. Tugas utama analisis fenomenologis adalah mengkonstruksikan dunia kehidupan manusia sebenarnya dalam bentuk yang mereka alami sendiri. Realitas dunia tersebut bersifat


(1)

Weingart, Peter; Anita Engels and Petra Pansegrau, 2000, Risk of Communication : Discourse on Climate Change in Science, Politics, and the Mass Media, Public Understanding of Science, 2000.9.261, http://pus.sagepub.com/cgi/content/abstract/9/3/261

Wilson, Paul. N., 2000, Social Capital, Trust and the Agribusiness of Economics, Journal of Agricultural and Resource Econmis, Western Agricultural Economics Association, Amerika

Wray, Ricardo; Jennifer Rivers; Amanda Whitworth; Keri Jupka; Bruce Clements, 2006, Public Perceptions About Trust in Emergency Risk Communication: Qualitative Research Findings, International Journal of Mass Emergencies and Disasters, March 2006, Vol. 24, No. 1, pp. 45-75

Yin, Robert K., 2002, Studi Kasus, Desain & Metode, Terjemahan : M. Djauzi Mudzakir, PT. Rajawali Press, Jakarta

Yunus, Muhammad, 2007, Bank Kaum Miskin, Kisah Yunus dan Grameen Bank Memerangi Kemiskinan, Alih Bahasa : Irfan Nasution, PT. Cipta Lintas Wacana, Depok

Zulkifli, Sunarto, 2003, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah – Edisi Mahasiswa, Zikrul Hakim : Jakarta

Lain-lain :

Bank Indonesia, 2005, PBI No. 7 Tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah

Bank Indonesia : Laporan Perkembangan Perbankan Syariah 2004-2008; Jakarta : Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia

Bank Indonesia, 2007, Statistik Perbankan Syariah (Islamic Banking Statistic), Direktorat Perbankan Syariah, Jakarta

Bank Indonesia, 2010

Data Biro Pusat Statistik, GNP Indonesia 2008

Data Biro Pusat Statistik, Index Kesejahteraan Petani 2005-2007

Pusat Pembiayaan Pertanian, Direktori Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) TA. 2007, Sekretariat Jendral Departemen Pertanian

Direktorat Jendral Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Revitalisasi Pertanian, Departemen Pertanian, 2005


(2)

Data Monograf Desa Blawong Kecamatan Imogrori Bantul, 2009

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), 2006, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Jakarta: DSN-MUI dan Bank Indonesia

Republika, Ups… 97,5 Persen Petani Tak Pernah Dapat Kredit Pemerintah, Rabu, 2 Maret 2011 Republika, Perbankan Syariah Dinilai Cocok Kembangkan Kredit Pertanian, Rabu, 2 Maret 2011 Republika : PKB Pelajar Islam Indonesia. 27 Januari 2006) dalam Lokakarya Dakwah Islam

Berbasis Budaya Sunda


(3)

GLOSARY

(1) Akhlak : Norma dalam berperilaku, budi pekerti.

(2) As sunnah : Cara, adat istiadat, dan kebiasaan hidup (costum, habit of life) yang mengacu kepada perilaku Rasulullah Saw. Yang dijadikan teladan kehidupan seorang muslim. As sunnah ini merujuk pada perkataan (qaul), perbuatan (fi’il) dan pengakuan atau persetujuan Rasulullah terhadap perkataan atau perbuatan orang lain (tagrir), Sementara hadis adalah berita (al-khabar) atau perkataan tentang suatu As sunnah sehingga ia merupakan bagian dari as sunnah. Dalam praktiknya kata As sunnah dan hadis sering kali digunakan secara bergantian dan tidak dibedakan karena memang keduanya bermuara pada perilaku Rasulullah Saw.

(3) Berkah : Atau barakah, berasal dari bahasa arab (barakatun) yang memiliki makna kearifan atau keberuntungan yang bersifat spiritual yang diberikan oleh Tuhan (allah) kepada setiap ciptaan-Nya yang Dia kehendaki. Berkah juga digambarkan sebagai suatu kebaikan yang selalu bertambah (ziyadah al-khoir) yang diakibatkan dari setiap kegiatan.

(4) Falah : Dalam pengertian literal, falah adalah kemuliaan dan kemenangan, yaitu kemuliaan dan kemenangan dalam hidup. Kehidupan yang mulia ini merupakan kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan hakiki, baik di dunia maupun di akhirat. Setiap Muslim bertujuan untuk meraih falah dalam hidupnya.

(5) Gharar : Secara bahasa berarti risiko, atau ketidakpastian. Menurut Ibn Taimiyah Gharar as things with unknown fate, so selling such things is maysir or gambling. Dengan kata lain, gharar terjadi karena seseorang sama sekali tidak (dapat) mengetahui kemungkian kejadian sesuatu sehingga bersifat perjudian atau game of change.

(6) Halal : Ketentuan hukum Islam yang berarti diperbolehkan (lawful). Ajaran Islam yang lengkap tentang hal ini adalah halalan thayyibah, yaitu diperbolehkan dari sisi hukum Islam dan mengandung kebaikan, kepantasan, kelayakan, Lawan dari halal adalah haram (unlawful), yaitu dilarang secara hukum. Ketentuan lain yang relevan adalah mubah, yaitu tak ada larangan maupun anjuran dari syariah Islam.

(7) Ijma’ : Hasil kesepakatan atau konsensus dari para sahabat atau para mujtahid atas masalah tertentu yang tidak dijelaskan secara explisit dalam Alquran dan As sunnah. Ijma’ sering kali disebut sebagai ijtihad jami’, yaitu ijtihad kolektif.


(4)

(8) Ihktikar : Mengambil keuntungan di atas tingkat normal dengan cara menjual sedikit untuk harga yang lebih tinggi. Pada saat menjual sedikit ini pelaku ihktikar menimbun barang-barangnya (menahan dari pasar) dan akan melemparnya lagi ke pasar sesuai dengan pengendalian harga yang ia lakukan.

(9) Kaffah : Menyeluruh, totalitas. Pengertian implementasi Islam secara kaffah ini adalah (a) ajaran Islam dilaksanakan secara keseluruhan, jadi tidak diambil beberapa bagian saja secara parsial, dan (b) meliputi seluruh aspek kehidupan harus dibingkai ajaran Islam. Dengan menjalankan Islam secara kaffah berarti menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan (way of life), bukan sekadar pedoman ritual antara manusia dengan Tuhan saja.

(10) Maqashid asy syari’ah : Tujuan akhir dari syariat Islam, yaitu mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat (falah) serta kehidupan yang baik dan terhormat (hayyah thayyibah)

(11) Mashlahah : Manfaat, lebih tepatnya mashlahah al-‘ibab, yaitu kemanfaatan bagi kehidupan manusia untuk mencapai kehidupan yang baik (hayyah thayyibah) dan kemuliaan (falah) dalam bingkai nilai-nilai keislaman. Mashlahah al-‘ibab adalah tujuan utama dari syariah Islam. Mashlahah juga menjadi tujuan dari konsumsi Islami, yang dibedakan dengan utility.

(12) Mudharabah, trust financing : Kerja sama antara dua pihak atau lebih dalam suatu mu’amalah, di mana satu pihak memberikan kontribusi permodalan, sementara pihak lain memberikan kontribusi kewirausahaan yang dapat berupa tenaga, pikiran/ide, dan manajemen. Pihak yang pertama disebut sebagai sahib al-maal (financier), sedangkan pihak yang kedua disebut sebagai mudharib (enterpreneur). Dalam kerja sama ini mereka bersepakat untuk melakukan loss profit sharing.

(13) Musyarakah, partnership : Kerja sama antara kedua belah pihak atau lebih dalam mu’amalah di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dalam permodalan. Disebut juga syirkah atau Qirad. Dalam kerja sama ini mereka bersepakat untuk melakukan loss-profit sharing.

(14) Qiyas : Mengukur dan menyamakan sesuatu hal dengan hal yang lain. Secara definitif berarti menyamakan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya dalam Alquran dan Sunnah dengan hal lain yang ketentuannya telah disebutkan dalam Alquran dan Sunnah, karena adanya persamaan penyebab (‘illat/cause effective)


(5)

(15) Riba : Secara bahasa adalah ziyadah yang berarti tambahan (addiction), pertumbuhan (growth), naik (rise), membengkak (swell), dan bertambah (increase), Akan tetapi, pengertian riba secara teknis adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil (wrongful devouring of property), baik dalam utang-piutang maupun jual beli. Riba ini secara garis besar terbagi atas (1) riba nasi’ah, yaitu riba dalam utang-piutang, yaitu bunga, dan (2) riba fadhl, yaitu riba dalam jual beli. Dalam hukum Islam riba adalah haram.

(16) Syariah : Ketentuan atau aturan main (rule of the game) dari Allah tentang bagaimana manusia menjalani kehidupannya. Syariah ini mencakup aturan yang berkaitan dengan ibadah –yaitu hubungan manusia dengan Allah (habuluminallah)—maupun yang berkaitan dengan mu’amalah –yaitu hubungan manusia dengan sesama makhluk khususnya manusia (hablumiannas). Secara luas syariah menyangkut keseluruhan ajaran Islam, yaitu akidah, akhlak, dan ibadah.

(17) Qaulan Sadida (Kata yang benar)

Pembicaran, ucapan, atau perkataan yang benar, baik dari segi substansi (materi, isi, pesan) maupun redaksi (tata bahasa). Segi substansi, komunikasi Islam harus menginformasikan atau menyampaikan kebenaran, faktual, hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta.

(18) Qaulan Baligha (Kata yang efektif/sama makna) berarti tepat, lugas, fasih, dan jelas maknanya. Qaulan Baligha artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the point), dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele. Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah disesuaikan dengan kadar intelektualitas komunikan dan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh mereka. Kata-kata yang digunakan adalah kata dan kalimat yang sederhana sesuai dengan komunikannya sehingga langsung dapat dipahami dan dimengerti.

(19) Qaulan Ma’rufa (Kata yang sopan dan bermanfaat) Kata Qaulan Ma`rufa disebutkan Allah dalam QS An-Nissa :5 dan 8, QS. Al-Baqarah:235 dan 263, serta Al-Ahzab: 32. Qaulan Ma’rufa artinya perkataan yang baik, ungkapan yang pantas, santun, menggunakan sindiran (tidak kasar), dan tidak menyakitkan atau menyinggung perasaan. Qaulan Ma’rufa juga bermakna pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat).


(6)

(20) Qaulan Karima (Kata yang mulia) Perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, enak didengar, lemah-lembut, dan bertatakrama. Makna ayat tersebut, perkataan yang mulia wajib dilakukan saat berbicara dengan kedua orangtua. Kita dilarang membentak mereka atau mengucapkan kata-kata yang sekiranya menyakiti hati mereka. Qaulan Karima harus digunakan khususnya saat berkomunikasi dengan kedua orangtua atau orang yang harus kita hormati. Pada konteks jurnalistik dan penyiaran, Qaulan Karima bermakna mengunakan kata-kata yang santun, tidak kasar, tidak vulgar, dan menghindari “bad taste”, seperti jijik, muak, ngeri, dan sadis.

(21) Qaulan Layina (Kata Lemah Lembut) Pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati. Pada Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, yang dimaksud layina ialah kata kata sindiran, bukan dengan kata kata terus terang atau lugas, apalagi kasar. Ayat di atas adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Harun agar berbicara lemah-lembut, tidak kasar, kepada Fir’aun. Apabila menggunakan kata Qaulan Layina, hati komunikan (orang yang diajak berkomunikasi) akan merasa tersentuh dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan komunikasi kita. Komunikasi Islam, semaksimal mungkin dihindari kata-kata kasar dan suara (intonasi) yang bernada keras dan tinggi.

(22) Qaulan Maysura (Kata yang mudah dipahami) Bermakna ucapan yang mudah, yakni mudah dicerna, mudah dimengerti, dan dipahami oleh komunikan. Makna lainnya adalah kata-kata yang menyenangkan atau berisi hal-hal yang menggembirakan. Komunikasi dilakukan oleh pihak yang memberitahukan (komunikator) kepada pihak penerima (komunikan). Komunikasi efektif terjadi apabila sesuatu (pesan) yang diberitahukan komunikator dapat diterima dengan baik atau sama oleh komunikan, sehingga tidak terjadi salah persepsi.