Uji Potensi Fungi Pelapuk Putih Pada Batang Kayu Eukaliptus (Eucalyptus grandis) Sebagai Pendegradasi Lignin

LAMPIRAN
Lampiran 1. Komposisi Media Ligninase Cair
Komposisi Media Ligninase
KH2PO4

2g

MgS04.7H2O

0,5 g

K2HPO4

1g

Alkaline Lignin

2g

NH4NO3


2g

KCL

0,5 g

MgSO4.7H2O

0,5 g

FeSO4.7H2O

10 mg

MnCL2.2H2O

5 mg

CuSO4.5H2O


1 mg

Kemudian semua komposisi ini dilarutkan dalam akuades sebanyak 1
liter dan disterilkan dengan autoclave.

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 2. Isolasi dan Pemurnian Fungi Pendegradasi Lignin dari Batang
Kayu Eukaliptus Lapuk

KayuPinusL

Dimasukkan ke dalam plastik

Dipotong menjadi ukuran yang

Disebarkan di atas media

Diinkubasi pada suhu ruang selama


Dibuat

biakan

murni

dari

Hasil

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 3. Skrining Aktivitas Enzim Ligninolitik dengan Uji Bavendamm

Isolat

BiakanJam

Ditumbuhkan pada media
PDA+asam tanin 0,1% pada suhu

ruang

Diinkubasi pada suhu

Diamati endapan coklat yang
terbentuk

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 4. Persiapan Sumber Enzim

Biakan Jamur Yang
Mampu
M b
kE d

Dibiakkan pada 30 ml
media ligninase cair

Diinkubasi selama 14

hari pada suhu ruang

Disentrifugasi dengan kecepatan 10000
rpm
P d
h 40C l
15
it

Supernatan

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 5. Pengukuran Aktivitas Lignin Peroksidase (LiP)
0,2 ml Supernatan

Ditambahkan 2,8 ml larutan penyangga tartrat(pH

Ditambahkan 1 ml veratril alkohol 2


Ditambahkan 1 ml H2O2 0.4

Dihomogenkan

Diinkubasi selama 30 menit pada suhu

Hasil

Diukur jumlah veratraldehida yang
terbentuk dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 310 nm

Dihitung jumlah veratraldehida yang
terbentuk berdasarkan rumus Lambert-Beer

Universitas Sumatera Utara

Dihitung aktivitas unit

Aktivitas Unit

Lampiran 6. Perhitungan Nilai Absorbansi per Satuan Waktu
Isolat FPP A
A
ari

0

t
0.
736
1.
332
1.
086
1.
402
1.
265
0.
789

0.
749

0
2
4

Δ

A
abs
0.
736
1.
342
1.
324
1.
442
1.

315
0.
815
0.
758

0
0.
001075
0.
025591
0.
004301
0.
005376
0.
002796
0.
000968


Konsentras
i Enzim
U/ml
0.000
0.001
0.021
0.004
0.004
0.002
0.001

Isolat FPP B
A
ari

0
2
4

0


t
0.
748
1.
318
1.
005
1.
251
1.
304
0.
93
0.
851

Δ

A
abs
0.
748
1.
35
1.
32
1.
415
1.
345
0.
97
0.
86

0
0.
003441
0.
033871
0.
017634
0.
004409
0.
004301
0.
000968

Konsentras
i Enzim
U/ml
0.000
0.003
0.028
0.015
0.004
0.004
0.001

Isolat FPP C

Universitas Sumatera Utara

A
ari

0
2
4

0

t
0.
754
1.
309
1.
123
1.
107
1.
315
1.
094
0.
426

Δ

A
abs
0.
754
1.
333
1.
315
1.
523
1.
456
1.
115
0.
435

0
0.
002581
0.
020645
0.
044731
0.
015161
0.
002258
0.
000968

Konsentras
i Enzim
U/ml
0.000
0.002
0.017
0.037
0.013
0.002
0.001

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 7. Aktivitas Enzim Lignin Peroksidase (LiP)
Waktu
(Hari)

Isolat
Exidia
sp

Phaneroch
aete sp 1

Phanerocha
ete sp. 2

2

0.000

0.000

0.000

4

0.001

0.003

0.002

6

0.021

0.028

0.017

8

0.004

0.015

0.037

10

0.004

0.004

0.013

12

0.002

0.004

0.002

14

0.001

0.001

0.001

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 8. Gambar Dokumentasi Penelitian

Isolat jamur pada media Ligninase cair

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA
Artiningsih, T. 2006. Aktivitas Ligninolitik Jenis Ganoderma pada Berbagai
Sumber Karbon. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bogor.
Burdsall, H. H. and Eslyn. 1974. The Taxonomy Of Sporotrichum Pruinosum And
Sporotrichum Pulverulentum/Phanerochaete Chrysosporium. Madison.
U.S. Department of Agriculture, Forest Service.
Crawford, D. L., A.L. Pometto, & R.L. Crawford. 1983. Lignin degradation by
Streptomyces viridosporus: Jenision and characterization of a new
polymeric lignin degradation intermediate. Appl. Environ. Microbiol.
45(3):898-904.
Falah, F. 2012. Pemamfaatan Limbah Lignin Dari Proses Pembuatan Bioetanol
Dari TKKS Sebagai Bahan Aditif Pada Mortar. Universitas Indonesia.
Fitria, R. A., Ermawar, W. Fatriasari, T. Fajriutami, D. H. Y. Yanto, F. Falah dan
E. Hermiati. 2006. Biopulping Bambu Menggunakan Jamur Pelapuk Putih
Schizophylum commune. UPT Balai Penelitian dan Pengembangan
Biomaterial- LIPI.
Fitriasari, W., 2009. Pulping Soda Panas Terbuka Bambu Betung Dengan
Praperlakuan Fungi Pelapuk Putih (Pleorotus ostreotus dan Treametes
versicolor). Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan.
Gandjar, I. S., Wellyzar dan Aryanti. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta.
Hatakka A.1994. Lignin Modifying Enzyme from Selected White-rot Fungi:
Production and Role in Lignin Degradation. FEMS Microbiol Rev
13:125-135.
Harvey, P.J., G.F. Gilardi, M.L. Goble & J.M. Palmer. 1993. Charge transfer
reactions and feedback control of lignin peroxidase by phenolic
compounds: significance in lignin degradation. J. Biotechnol. 30:57-69.
Herliyana, E.N. 1997. Studi Pertumbuhan Fungi White-Rot Phanerochaet
chrysosporium Pada Berbagai Macam Suhu, pH Media dan Sumber N. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.

Isroi. 2008. “Keunikan Jamur Pelapuk Putih: Selektif Mendegradasi Lignin”.
hhtp://www.isroiwordpress.com, diakses tanggal 17 Februari 2016.
Kerem, Z. and Hadar, Y. 1998. Lignin Degrading Fungi Mechanisms and
Utilization. The Heberw University of Jerusalem. Israel.

Universitas Sumatera Utara

Kuo, M. 2007 Exidia glandulosa Http://www.mushroomexpert.com. [Diakses
pada tanggal 30 Maret 2016, pukul 20.00 WIB].
Latifah, S. 2004. Pertumbuhan dan Hasil Tegakan Eucalyptus grandis di Hutan
Tanaman Industri. Universitas Sumatra Utara. Sumatera Utara.
Munir, E. 2006. Pemanfaatan Mikroba dalam Bioremediasi Suatu Teknologi.
Orth, A. B. D. J. Royse and M. Tien. 1993. Ubiquity of lignindegrading
peroxidases among various wood-degrading fungi. Appl Environ
Microbiol 59:4017-4023.
Perez, J., Dorado, J. Rubia, T. and Martinez, J. 2002. Biodegradation and
Biological Treatments of Cellulose, Hemicellulose and Lignin. An
overview. Int. Microbiol.
Prasetya, B. 2005. Mencermati Proses Pelapukan Biomassa Untuk Pengembangan
Proses dan Produk Ramah Lingkungan (White Biotechnology). Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Prayudyaningsih, R. H., Tikupang dan N.A. Malik, 2007. Jamur Pendegradasi
Lignin Pada Serasah Eboni (Diospyros celebica Bakh.). Prosiding
Ekspose.
Pujirahayu, N. dan S. N. Marsoem. 2006. Efisiensi Pemasakan Bio-Kraft Pulp
Kayu Sengon dengan Jamur Phanerochaete chrysosporium. Agrosains 19
(2): 202-203.
Rayner A.D. dan Boddy L.1988. Fungal Decomposition of Wood. It’s Biology and
Ecology. John Wiley dan Sons : Chichester. New York, Brisbane.
Toronto.Singapore.
Risdianto, H. 2007. Pemilihan Spesies Jamur Dan Media Imobilisasi Untuk
Produksi Enzim Ligninolitik. ITB Press. Bandung.
Siagian, R. M., Suprapti, S. dan Komarayati, S. 2003. Peranan fungi Pelapuk
Putih Dalam Proses Biodelignifikasi Kayu Sengon (Paraserianthes
falcataria (L) Nielsen). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis. Vol 1 No.
1 Januari 2003.
Sigit, M. 2008. Pola Aktivitas Enzim Lignolitik Jamur Tiram (Pleorotus
ostreatus) Pada Media Sludge Industri Kertas. [Skripsi]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Suhartono M.T. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Depdikbud, Dirjen Dikti,
Bioteknologi. IPB.

Universitas Sumatera Utara

Supriyanto, A. 2009. Manfaat Jamur Pelapuk Putih Phanerochaete
Chrysosporium L1 Dan Pleurotus Eb9 Untuk Biobleaching Pulp Kardus
Bekas. Skripsi. UGM. Yogyakarta.
Surthikanthi, D., Suranto dan Susilowati, A. 2005. Biokonversi Kompleks
Lignoselulosa Eceng Gondok (Eichorrnia crassipes (Martz) Solms)
Menjadi Gula Pereduksi oleh Phanerochaete chrysosporium
Sutisna, U., T. Kalima dan Purnadjaja. 1998. Pedoman Pengenalan Pohon Hutan
di Indonesia. Disunting oleh Soetjipto, N. W dan Soekotjo. Yayasan
PROSEA Bogor dan Pusat diklat Pegawai & SDM Kehutanan. Bogor.
Tambunan, B. dan Nandika. 1989. Deteriorasi Kayu oleh Faktor Biologis.
Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Thompson, A. and L. Gloria. 1965. Laboratory Manual of Tropical Mycology and
Elementary Bacterology. University of Malaya Press. Kuala Lumpur.
Wariishi, H., Dunford H.B., MacDonald, I.D., Gold M.H. 1989. Manganase
Peroxidase from the Lignin-degrading Basidiomycete Phanerochaete
chrysosporium: Transient-state Kinetics and Reaction Mechanism. J Biol
Chem 264 : 3335 – 3340.
Widjaja, A., Ferry dan Musmariadi. 2004. Pengaruh Berbagai Konsentrasi
Mediator Pada Biodelignifikasi Menggunakan Enzim Kasar Lignin
Perosidase. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.
Zmitrovich, I. V. Malysheva, V. F. and Spirin, W. A. A new morphological
arrangement of the Polyporales. I. Phanerochaetineae. Mycena. 2006.
Vol. 6. P. 4.56.

Universitas Sumatera Utara

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Oktober
2015. Pengambilan sampel batang Eukaliptus grandis di PT. Kesatuan
Pengelolaan Hutan Lindung Tobasa, Sumatera Utara. Isolasi jamur di
Laboratorium Bioteknologi, Program Studi Kehutanan,

Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, dan Pengukuran aktivitas LiP di Laboratorium
Mikrobiologi Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Sumatera Utara.
Bahan dan Alat
Alat yang diperlukan pada penelitian ini antara lain neraca analitik,
sentrifuse, spektrofotometer, vortex, pH meter, shaker, pipet serologi, cawan petri,
inkubator jamur, sedangkan bahan yang diperlukan pada penelitian ini antara lain
penyangga tartrat (pH 2.5), H2O2, guaiakol, MnSO4, penyangga sitrat fosfat (pH
5.5), penyangga sodium asetat (pH 5.5)veratryl alcohol,Potato Dextrose Agar
(PDA), KH2PO4, MgSO4.7H2O, tanin, K2HPO4, Alkaline Lignin, NH4NO3, KCL,
MgSO4.7H2O, FeSO4.7H2O, MnCL2.2H2O, CuSO4.5H2O.
Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan di areal PT. Kesatuan Pengelolaan Hutan
Lindung Tobasa, Sumatera Utara. Kriteria sampel yang digunakan adalah batang
Eukaliptus yang sudah lapuk. Metode yang digunakan untuk pengambilan sampel
yaitu menggunakan metode sensus dengan mengamati secara langsung kayu lapuk
yang terinfeksi fungi, dan dilihat secara visual kayu lapuk lalu diambil sampelnya

Universitas Sumatera Utara

kemudian sampel dibersihkan dan dimasukkan kedalam kantung kertas dan
disimpan didalam ruangan pada suhu kamar sampai proses isolasi.

Gambar 1. Batang kayu Eucalyptus grandis
Isolasi Jamur Pendegradasi Lignin dari Eukaliptus
Sampel kayu eukaliptus diambil secara aseptik dari pangkal batang
eukaliptus dan selanjutnya dibawa ke dalam laboratorium. Sampel dipotong
menjadi ukuran 0,5 x 0,5 cm kemudian disebarkan di atas media PDA dan
diinkubasi pada suhu ruang selama 3 x 24 jam. Koloni jamur yang tumbuh
dipindahkan pada media PDA yang baru dan dibuat biakan murninya.
Skrining Aktivitas Enzim Ligninolitik
Skrining aktivitas enzimatik secara kualitatif dilakukan dengan uji
Bavendamm yang bertujuan untuk mendapatkan jamur pelapuk putih.Isolat yang
didapat ditumbuhkan pada media PDA yang ditambahkan 0,1 % asam tanin. Bila
terbentuk endapan cokelat pada media, mengindikasikan adanya aktivitas fenol
oksidase,maka fungi tersebut termasuk ke dalam kelompok fungi pelapuk putih.

Universitas Sumatera Utara

Persiapan Sumber Enzim
Sumber enzim untuk uji kuantitatif dipersiapkan dengan membiakkan
isolat jamur pada media ligninase cairpada suhu ruang selama 14 hari. Suspensi
jamur disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm pada suhu 4 °C selama 15
menit. Suspensi berupa ekstrak enzim kasar digunakan untuk pengukuran aktivitas
ligninolitik secara kuantitatif. Pengukuran aktivitas enzim ligninolitik dilakukan
setiap 2 hari selama 14 hari dengan metode sebagai berikut :
Pengukuran Aktivitas Ligninolitik Secara Kuantitatif
Pengukuran Aktivitas Lignin Peroksidase (LiP)
Pengukuran aktivitas enzim LiP dilakukan menurut metode Bonnen et al.
(1994). Ekstrak enzim sebanyak 0,2 ml ditambahkan ke dalam 2,8 ml larutan
penyangga tartrat (pH 2.5). Campuran ini ditambahkan veratryl alcohol 2 mM
dan H2O2 0.4 mM masing-masing sebanyak 1 ml. Campuran tersebut selanjutnya
dihomogenkan dengan vortex dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu kamar.
Jumlah

veratraldehida

yang

terbentuk

diukur

dengan

menggunakan

spektrofotometer pada panjang gelombang 310 nm. Untuk larutan blanko
digunakan 1 ml veratryl alcohol 2 mM dan 1 ml H2O2 0.4 mM dan 0,2 ml akuades
yang dipanaskan pada suhu 60 °C selama 5 menit.
Jumlah veratraldehida yang terbentuk dihitung berdasarkan rumus
Lambert-Beer, yaitu,
ΔC =

(��−�0)
(�.�)

Keterangan :

ΔC = jumlah vetraldehida yang terbentuk selama t menit
(mol/liter)
At = nilai absorbansi pada t menit

Universitas Sumatera Utara

Ao = nilai absorbansi pada awal reaksi
b = diameter kuvet (1 cm)
k = konstanta (veratraldehida = 9,300/M/cm)
Aktivitas enzim dinyatakan dalam satuan unit yang setara dengan 1 nmol
veratraldehida yang dihasilkan per menit dari perlakuan 1 ml enzim yang
direaksikan dalam kondisi asam, sehingga aktivitas enzim yaitu :
Unit U/ml =

∆C x Vtot (ml)x 109
t (menit)x V enzim (ml)

Keterangan : Unit

=

jumlah lignin yang terdegradasi

Vtot

=

jumlah keseluruhan larutan

t

=

waktu (menit)

V enzim =

jumlah/volume enzim

Universitas Sumatera Utara

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi Jamur Pelapuk Kayu

Sampel jamur untuk isolasi diambil dari tegakan Eucaliptus grandis di
areal PT. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Tobasa, Sumatera Utara.
Selanjutnya dilakukan pengisolasian terhadap jamur menggunakan media PDA
(Potato Dextrose Agar). Sampel jamur di ambil dari batang kayu Eucaliptus
grandis yang dipotong dengang ukuran 0,5 x 0,5 cm, selanjutnya potongan kayu
di masukkan kedalam cawan petri yang sebelumnya sudah dituangkan media PDA
(Potato Dextrose Agar). Isolat jamur didiamkan dalam 3-5 hari pada suhu ruang
dan steril untuk menjaga agar isolat jamur tidak terkontaminasi. Setelah
didapatkan hasil isolat, kemudian dilakukan pemurnian jamur terhadap hasil isolat
yang sudah didapatkan sebelumnya. Hasil pemurnian isolat jamur kemudian
dikelompokkan menjadi 3 kelompok dari 12 isolat jamur yang sudah di murnikan.
Kelompok A terdiri dari 3 isolat murni, kelompok B terdiri dari 2 isolat murni
serta kelompok C terdiri dari 7 isolat jamur yang telah dimurnikan sebelumnya.
Penentuan kelompok isolat jamur didasarkan pada pengamatan visual yang
meliputi pengamatan warna jamur dan bentuk koloni. Hal ini bertujuan untuk
menentukan perbedaan dan persamaan dari setiap isolat jamur sehingga dapat
dikelompokkan.
Hasil pengamatan karakteristik isolat jamur secara makroskopis dapat
dilihat dalam Tabel 1. Penampakan secara visual dari setiap hasil isolat jamur
dapat dilihat pada Gambar 1.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1. Karateristik Makroskopis Isolat Jamur pada Kayu Eukaliptus.
Isolat Jamur

Warna Koloni

Bentuk Permukaan

(3-5 hari)

Koloni (3-5 hari)

Isolat A

Putih Sedikit Kehijauan

Merata

Isolat B

Putih Kecoklatan

Merata

Isolat C

Putih

Tidak Merata

B

A

C
Gambar 2 . Penampakan visual Jamur Pelapuk Kayu Eukaliptus. (a) Isolat A, (b)
Isolat B, (c) Isolat C

Universitas Sumatera Utara

Skrining Aktivitas Enzim Lignolitik Menggunakan Uji Bavendamm
Isolat jamur jamur yang telah di kelompokkan selanjutnya dilakukan
skrining aktivitas enzim lignolitik menggunakan uji bavendamm. Uji bavendam
dilakukan pada ruang tertutup dan gelap. Hasil uji bavendam memperlihatkan
bahwa pada seluruh isolat jamur yang diuji terdapat endapan coklat,. Hal ini
menyimpulkan bahwa isolat jamur positif merupakan kelompok dari jenis jamur
pelapuk putih.
Uji bavendamm merupakan metode yang digunakan untuk menentukan
fungi pelapuk putih. Isroi (2008) menyatakan metode untuk menentukan jenis
jamur pelapuk putih dikembangkan oleh Bavendamm pada tahun 1928, karena itu
uji ini sering disebut dengan Bavendamm test dan medium untuk mengujinya
disebut dengan medium Bavendamm. Metode uji ini sangat sederhana, mudah,
cepat, dan akurat. Medium bavendamm adalah medium jamur yang umum (PDA
atau MEA) yang diberi tambahan Tannic Acid, Galic Acid, atau Guaiacol.
Apabila terdapat endapan coklat dalam isolat jamur pada media asam tanin maka
jamur tersebut positif tergolong dalam kelompok jamur pelapuk putih.
Prayudyaningsih et al., (2007) menyatakan pembentukan endapan cokelat
merupakan hasil sekresi enzim lignolitik oleh karena kemampuan isolat jamur
dalam menggunakan asam tanat sebagai sumber karbon, dan diasumsikan sebagai
hasil dari aktifitas polifenol menjadi kuinon yang menghasilkan polimer yang
berwarna gelap.

Universitas Sumatera Utara

A1

A

B

B1

C

C1

Gambar 3 . Hasil Uji Bavendamm Isolat Fungi Pelapuk Kayu Eukaliptus ; (a)
Isolat A, (b) Isolat B, dan (c) Isolat C merupakan isolat yang
memiliki endapan
Identifikasi mikroskopis Fungi Pelapuk Putih
Hasil dari pengujian bavendam didapatkan jamur yang dikategorikan
masuk kedalam

kelompok fungi

pelapuk

putih, selanjutnya

dilakukan

Universitas Sumatera Utara

pengidentifikasian fungi pelapuk putih secara mikroskopis. Hasil pengamatan
secara mikroskopis menujukkan terdapat 2 jenis Panerochaete, sp. dan 1 jenis
Exidia sp.
Tabel 2. Hasil Karakterisasi Mikroskopis Fungi Pelapuk kayu Eukaliptus grandis
Isolat

Hifa

Spora Aseksual

Bentuk dan Pengaturan
Spora Aseksual

Isolat A

Tidak Bersepta

-

-

Isolat B

Bersepta

Konidiospora

Konidia berbentuk bulat,
banyak sel, dan
diproduksi tunggal.

Isolat C

Bersepta

Konidiospora

Konidia berbentuk bulat,
banyak sel, dan
diproduksi tunggal.

Phanerochaete, sp.
Berdasarkan hasil identifikasi secara mikroskopis isolat B dan isolat C
merupakan jenis fungi Panerochaete, sp. Fungi ini termasuk dalam keluarga
Phanerochaetaceae dan genus Phanerochaete.

A

B

C

Gambar 4, (A) Struktur mikroskopis Phanerochaete sp. (Burdsall, 1981), (B)
Struktur mikroskopis Isolat B, (C) Struktur mikroskopis Isolat C.
(a:spora, b:clamp connection, c: Hifa berseptat)

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan gambar 4 tersebut hifa dari isolat B dan Isolat C yaitu
bersekat, memiliki clamp connection, sporanya diproduksi tunggal dan
mengelompok, hal ini sesuai dengan pernyataan dari Zmitrovich et al. (2006)
yang menyatakan Phanerochaete sp. memiliki hifa bersekat (septa) dan bersifat
totipoten serta berminyak, memiliki clamp connection dan sporanya diproduksi
tunggal dan mengelompok yaitu pada ujung hifa. Herliyana (1997) taksonomi P.
chrysosporium adalah sebagai berikut : Klas Basidiomycetes, Subklas
Holobasidiomycetidae,

Ordo

Aphyllopholares

dan

Famili

Corticiaceae.

Karakteristik miselium jamur pelapuk kayu Aphylloporales, P. chrysosporium
mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut : Laccase (α-naphthol);
kecepatan tumbuh >70 mm dalam 7 hari; aerial miselium berbentuk seperti butirbutiran (aerial mycelium farinaceous atau granulose); aerial mycelium floccose;
hifa generatifnya berdinding tebal (thick-walled generatif hyphae); lebar hifa ≥7,5
μm; extraneous material on hyphae atau hifa mengandung tetesan minyak
(hyphae containing oil droplets); kristal dalam aerial miselium; artrokonidia
(oidia); klamidospora; blastokonidia. Biasanya P. chryosporium ditumbuhkan
dengan

menggunakan

spora

aseksual

dapat

berupa

oidia/artrokonidia,

klamidospora dan blastokonidia, tetapi dapat juga menggunakan siklus seksual
untuk memproduksi basidiospora. P. Chrysosporium bersifat termotoleran yaitu
dapat tumbuh pada kisaran suhu 25°C sampai 50°C
Exidia sp.
Hasil identifikasi secara mikroskopis isolat A merupakan jenis Exidia sp
yang digolongkan dalam keluarga Auriculariaceae dan genus Exidia sp. Secara
mikroskopis Exidia sp. dapat dilihat dalam Gambar 5.

Universitas Sumatera Utara

Terdapat clamp connection (sambungan apit) pada Gambar 5 yang
merupakan ciri dari Basidiomycetes yang bertujuan untuk memindahkan inti sel
dalam proses perkembangan hifa (Thompson dan Gloria, 1965).

A

B

Gambar 5. (A) Exidia sp, (B) Isolat A. (a: hifa, b: clamp conection)

Exidia sp. merupakan jenis fungi yang mampu hidup berkoloni pada kayu
yang baru mati. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kuo (2007) bahwa exidia sp.
erat kaitannya dengan pembusukan cabang mati di pohon hidup. Secara khusus,
perannya adalah untuk menghancurkan jaringan dari kambium vaskular pada
kayu.
Aktivitas Enzim LigninPeroksidase (LiP)
Pengukuran enzim ligninperoksidase (LiP) dilakukan sebanyak 7 kali
pengukuran dalam waktu 14 hari, sehingga pengukuran dilakukan 1 kali dalam 2
hari. Isolat jamur yang sebelumnya dikulturkan dalam media cair menunjukkan
hasil yang bervariasi. Pengukuran aktivitas enzim LiP menggunakan alat
spektrofotometer dengan panjang gelombang 310 nm.

Universitas Sumatera Utara

Isolat
Waktu (Hari)

Exidia sp.

Phanerochaete sp. 1

Phanerochaete sp. 2

2

0,000

0,000

0,000

4

0,001

0,003

0,002

6

0,021

0,028

0,017

8

0,004

0,015

0,037

10

0,004

0,004

0,013

12

0,002

0,004

0,002

14

0,001

0,001

0,001

Tabel 3. Aktivitas enzim Lignin Peroksidase (LiP) dari Isolat Jamur Pelapuk Kayu
Ekaliptus (Eucaliptus grandis) (U/ml).

Berdasarkan hasil pengukuran aktivitas enzim LiP selama 14 hari data
tertinggi pada isolat jamur Exidia sp. didapatkan pada hari ke-6 yaitu 0,021
(U/ml), selanjutnya aktivitas enzim LiP menurun hingga hari ke-14 yaitu 0,001
(U/ml). Pada Phanerochaete sp.1 aktivitas enzim LiP menunjukkan aktivitas
tertinggi terjadi pada hari ke-6 yaitu 0, 028 (U/ml), selanjutnya aktivitas enzimn
LiP menurun hingga hari ke-14 yaitu 0,001 (U/ml). Pada Phanerochaete sp. 2
aktivitas enzim LiP tertinggi ditunjukkan pada hari ke-8 dengan nilai 0,037
(U/ml), selanjutnya penurun aktivitas enzim berlangsung hingga hari ke-14
dengan nilai 0,001 (U/ml).
Berdasarkan hasil pengukuran aktivitas enzim LiP tersebut dapat diurutkan
aktivitas enzim tertinggi yaitu terjadi pada isolat Phanerochaete sp. 2 dengan nilai
0,037 (U/ml) diikuti dengan isolat Phanerochaete sp. 1 dengan nilai 0,028 (U/ml)
dan selanjutnya yang terendah Exidia sp. dengan nilai 0,021 (U/ml).
Pada tabel di atas dapat dilihat perbedaan aktivitas enzim yang terjadi pada
masing-masing isolat jamur. Perbedaan ini disebabkan oleh kemampuan isolat

Universitas Sumatera Utara

jamur dalam mengubah substrat pada media, jenis substrat dan komposisi subsrat
pada media. Hal ini sesuai dengan pernyataan Supriyanto (2009) bahwa faktorfaktor utama yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah konsentrasi enzim,
substrat, produk, senyawa inhibitor dan aktivator, pH dan jenis pelarut, kekuatan
ion dan suhu.

Kurva Aktivitas LiP (Eucalyptus grandis)

Unit Aktivitas (U/ml)

0,040
0,035
0,030

Isolat A

0,025

Isolat B

0,020
Isolat C

0,015
0,010
0,005
0,000
2

4

6

8

10

12

14

Hari KeGambar 6. Aktivitas Enzim Lignin Peroksidase (LiP) dari Isolat
Jamur Pelapuk Kayu Eucalyptus grandis.
Kurva di atas menunjukkan adanya berbagai fase yang terjadi pada
aktivitas enzim LiP yang dihasilkan oleh jamur pelapuk putih. Menurut Gandjar
(2006), pada hari ke-2 terjadi fase lag pada ketiga isolat yaitu fungi masih
beradaptasi dengan lingkungan dan pembentukan enzim. Kemudian pada hari ke 4
mulai terjadi fase akselerasi pada isolat dimana pada fase ini sel-sel mulai
membelah dan mulai aktif. Fase deselerasi terjadi pada hari ke-6 pada isolat A dan
B, sedangkan pada isolat C fase deselerasi terjadi pada hari ke-8, pada fase ini
pembelahan sel sudah mulai berkurang. Kemudian penurunan aktivitas terjadi

Universitas Sumatera Utara

pada hari ke-8 pada isolat A dan B, sedangkan pada isolat C terjadi padahari ke10. Selanjutnya aktivitas isolat A, B dan C benar benar berhenti pada hari ke-14.
Terjadinya peningkatan dan penurunan nilai aktivitas enzim akibat
perubahan pH disebabkan karena perubahan tingkat ionisasi pada enzim atau
substrat. Faktor pH sangat mempengaruhi terhadap aktivitas enzim, pH yang
terlalu tinggi atau rendah dapat menghambat aktivitas enzim dan memungkinkan
strukturnya menjadi rusak. Menurut Rayner dan Boddy (1988), bahwa aktivitas
kerja enzim yang optimal berkisar antara pH 3-5.
Jamur dalam melangsungkan hidupnya memerlukan enzim untuk sintesis
dan degradasi. Menurut Hataka (1994) bahwa enzim yang berperan dalam proses
sintesis yaitu enzim intraseluler dan untuk proses degradasi yaitu enzim
ekstraseluler. Fungsi dari enzim intraseluler adalah mensintesis bahan seluler dan
menguraikannya untuk menyediakan energi yang dibutuhkan oleh sel. Enzim
ekstraseluler berfungsi untuk melangsungkan perubahan seperlunya pada nutrien
disekitarnya sehingga memungkinkan nutrien tersebut masuk ke sel.
Ketiga isolat jamur yang diukur menunjukkan hasil yang berbeda-beda.
Diantara ketiga isolat jamur pelapuk putih tersebut, isolat yang diasumsikan
berpotensi untuk biopulping adalah isolat jamur jenis Phanerochaete sp2. Hal ini
dikarenakan isolat jamur Phanerochaete sp2 adalah yang paling banyak
mendegradasi lignin. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pujirahayu dan Marsoem
(2006) bahwa fungi pelapuk putih yang telah banyak dicoba yaitu fungi
Phanerochaete chrysosporium yang dapat memperbaiki sifat pulp dan fungi
Ceriporiopsis subvermispora yang mempunyai tingkat selektifitas sangat tinggi
dalam mendegradasi lignin .

Universitas Sumatera Utara

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan

1.

Hasil dari uji Bavendam ditemukan 3 jenis fungi yang positif masuk
dalam kelompok jenis fungi pelapuk putih yaitu Phanerochaete sp. 1,
Phanerochaete sp. 2, dan Exidia sp.

2.

Akivitas

ezim LiP tertinggi selama pengukuran 14 hari sampai

terendah secara berturut-turut yaitu Phanerochaete sp. 2 dengan nilai
0,037 (U/ml) diikuti dengan Phanerochaete sp. 1, dengan nilai 0,028
(U/ml) dan selanjutnya yang terendah Exidia sp., dengan nilai 0,021
(U/ml).
3.

Hasil pengukuran akivitas LiP, Phanerochaete sp. 2 merupakan fungi
yang paling berpotensi digunakan untuk biopulping karena memiliki
nilai aktivitas Lip paling tinggi.

Saran
Diperlukan pengembangan dan pemanfaatan potensi jamur pelapuk putih
pada proses biopulping.

Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA
Eucalyptus grandis
Nama Botani dari Eucalyptus grandis adalah Eucalyptus grandis Hill
exMaiden. Eucalyptus grandis adalah nama lain dari Eucalyptus saligna var.
pallidivalvis Baker et Smith. Di dunia perdagangan sering disebut Flooded gum,
rose gum. Tanaman Eucalyptus pada umumnya berupa pohon kecil hingga besar,
tingginya 60-87 m. Batang utamanya berbentuk lurus, dengan diameter hingga
200 cm. Permukaan pepagan licin, berserat berbentuk papan catur. Daun muda
dan daun dewasa sifatnya berbeda,daun dewasa umumnya berseling kadangkadang berhadapan, tunggal, tulang tengah jelas, pertulangan sekunder menyirip
atau sejajar, berbau harum bila diremas. Perbungaan berbentuk payung yang rapat
kadang-kadang berupa malai rata di ujung ranting. Buah berbentuk kapsul, kering
dan berdinding tipis, biji berwarna coklat atau hitam (Latifah, S, 2004).
Penyebaran dan Habitat Eucalyptus
Marga Eucalyptus terdiri atas 500 jenis yang kebanyakan endemik di
Australia dibagi lagi menjadi beberapa seksi dan seri. Hanya 2 jenis tersebar di
wilayah Malesia (Maluku, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Filiphina) yaitu
Eucalyptus urophylus dan Eucalyptus deglupta. Beberapa jenis menyebar dari
Australia bagian utara menuju Malesia bagian timur. Keragaman terbesar di
daerah-daerah pantai New South Wales dan Australia bagian Baratdaya. Pada saat
ini beberapa jenis ditanam di luar daerah penyebaran alami, misalnya di kawasan
Malesia, juga di Benua Asia, Afrika bagian Tropika dan Subtropika, Eropa bagian
Selatan, Amerika Selatan danAmerika Tengah. Hampir semua jenis Eucalyptus
berdaptasi dengan iklim muson. Beberapa jenis bahkan dapat bertahan hidup di

Universitas Sumatera Utara

musim yang sangat kering, misalnya jenis-jenis yang telah dibudidayakan yaitu
Eucalyptus alba, Eucalyptus camaldulensis, Eucalyptus citriodora, Eucalyptus
deglupta adalah jenis yang beradaptasi pada habitat hutan hujan dataran rendah
dan hutan pegunungan rendah, pada ketinggian hingga 1800 meter dari
permukaan laut, dengan curah hujan tahunan 2500-5000 mm, suhu minimum rata0

0

rata 23 dan maksimum 31 di dataran rendah, dan suhu minimum rata-rata 13

0

0

dan maksimum 29 di pegunungan (Sutisna, Kalima dan Purnadjaja, 1998).
Lignin
Lignin adalah suatu polimer yang terdiri dari unit-unit fenilpropana
dengan sedikit ikatan yang dapat dihidrolisis. Seringkali lignin disebut pula
sebagai substansi kerak, karena kaku. Lignin melindungi selulosa dan bersifat
tahan terhadap hidrolisis karena adanya ikatan arialkil dan ester. Karena struktur
senyawa kompleks dan bersifat kaku, maka secara alamiah lignin sukar
didekomposisi dan hanya sedikit mikroorganisme yang mampu mendegradasinya
(Artiningsih, 2006).
Lignin adalah senyawa aromatik heteropolimer dari unit phenil-propanoid
yang memberikan kekuatan pada kayu dan rigiditas struktural pada jaringan tanaman
serta melindungi kayu dari serangan mikrobial dan hidrolitik. Lignin merupakan

polimer yang strukturnya heterogen dan kompleks yang terdiri dari koniferil
alkohol, sinaphil alkohol, dan kumaril alkohol sehingga sulit untuk dirombak.
Sekitar 30% material pohon adalah lignin yang berfungsi sebagai penyedia
kekuatan fisik pohon, pelindung dari biodegradasi dan serangan mikroorganisme
(Fitria, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Lignin sendiri adalah komponen utama penyusun kayu selain selulosa dan
hemiselilosa. Lingnin terdiri dari molekul-molekul senyawa polifenol yang
berfungsi sebagai pengikat sel-sel kayu satu sama lain, sehingga bahan perekat
pada kayu lapis, komposit dan berbagai produk kayu lainnya. Lignin juga dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan lignosulfonat. Lignosulfonat adalah
salah satu derivate lignin yang diperoleh dengan cara sulfonasi lignin, merupakan
polimer polielektrolit yang larut dalm air (Falah, 2012).
Lignin merupakan senyawa kimia yang umumnya diperoleh pada kayu
dan merupakan bagian integral dari dinding sel tumbuhan. Lignin adalah bahan
polimer alam terbanyak kedua setelah selulosa. Lignin merupakan polimer yang
sukar larut dalam asam dan basa kuat dan sulit terdegradasi secara kimiawi
maupun secara enzimatis. Lignin pada kayu terdapat pada lamela tengah antara
selulosa, hemiselulosa, dan pektin yang berfungsi sebagai perekat atau penguat
dinding sel. Lignin berperan sangat penting bagi tumbuhan sebagai pengangkut
air, nutrisi, dan metabolis dalam sel tumbuhan. Lignin sulit didegradasi karena
strukturnya yang kompleks dan heterogen yang berikatan dengan selulosa dan
hemiselulosa dalam jaringan tanaman. Lebih dari 30% tanaman tersusun atas
lignin yang memberikan bentuk yang kokoh dan memberikan proteksi terhadap
serangga dan patogen. Disamping memberikan bentuk yang kokoh terhadap
tanaman, lignin juga membentuk ikatan yang kuat dengan polisakarida yang
melindungi polisakarida dari degradasi mikroba dan membentuk struktur
lignoselulosa (Orth, Royse dan Tien, 1993).
Lignin dari hasil isolasi digunakan sebagai media selektif untuk pengujian
jamur pelapuk putih. Jamur pelapuk putih kelas Basidiomycetes merupakan jamur

Universitas Sumatera Utara

yang efektif mendegradasi lignin. Hal tersebut karena jamur pelapuk putih mampu
menghasilkan enzim lakase (Lac), lignin peroksidase (Li-P) serta Mn-peroksidase
(Mn-P) dengan aktivitas yang bervariasi. Jamur yang termasuk dalam jenis.
Basidiomycetes yang umum digunakan untuk mendegradasi lignin. Jamur pelapuk
putih dapat digunakan untuk biodelignifikasi kayu sengon, ditinjau dari terjadinya
penurunan kadar lignin dan juga zatekstraktif kayu (Siagian, Suprapti dan
Komarayati, 2003).
Lignin merupakan fenol, berbentuk amorf serta bukan merupakan
karbohidrat, meskipun tersusun atas C, H dan O. Lignin, polimer aromatic kompleks
yang terbentuk melalui polimerisasi tiga dimensi dari sinamil alcohol (turunan
fenilpropana). Lignin membungkus polisakarida sehingga meningkatkan kekuatan
kayu dan menjadikannya lebih resisten terhadap serangan mikroorganisme
(Supriyanto, 2009).

Degradasi Lignin
Degradasi lignin adalah tahap perubahan karbon dari lingkungan. Di alam,
terjadi degradasi tanaman yang telah mati oleh mikroorganisme saprofit.
Meskipun pengendalian terhadap mikroorganisme telah banyak dilakukan namun
masih banyak mikroorganisme yang dapat mendegradasi lignin dengan
menggunakan sistem enzimatik (Orth, Royse dan Tien, 1993).
Degradasi lignin akan mengakibatkan kandungan lignin pada kayu
berkurang. Jamur pelapuk lignin adalah jamur yang mampu merombak selulosa
dan lignin yang dikenal sebagai jamur pelapuk putih. Percobaan Siagian, Suprapti
dan Komarayati (2003) pada serbuk kayu sengon yang diinokulasi dengan jamur
P. chrysosporium menunjukkan turunnya kadar lignin 1,07%.

Universitas Sumatera Utara

Degradasi lignin oleh jamur pelapuk putih merupakan proses oksidatif.
Enzim oksidatif merupakan enzim non-spesifik dan bekerja melalui mediator
bukan protein yang berperan dalam degradasi lignin (Perez et al., 2002). Enzim
pendegradasi lignin terdiri dari Lignin Peroksidase, Manganase Peroksidase dan
Lakase (Kerem dan Hadar, 1998).
Harvey dkk. (1996) menyebutkan bahwa LiP mengkatalisis proses
oksidasi sebuah elektron dari cincin aromatik lignin dan akhirnya membentuk
kation-kation radikal. Senyawa-senyawa radikal ini, secara spontan atau bertahap
akan melepaskan ikatan antarmolekul dan beberapa diantaranya akan melepaskan
inti pada cincin aromatik. Enzim MnP mengoksidasi Mn2+ menjadi Mn3+ dan
H2O2 sebagai katalis untuk menghasilkan gugus peroksida. Mn3+ yang
dihasilkan dapat berdifusi ke dalam substrat dan mengaktifkan proses oksidasi.
Hal ini didukung pula oleh aktivitas kation radikal dari veratril alkohol dan enzim
penghasil H2O2.
Pertumbuhan dan produksi enzim ligninolitik oleh jamur pelapuk putih
(Marasmius sp.) dalam bioreaktor dapat dilakukan dengan mengimobilisasi kultur
jamur pada media tertentu. Imobilisasi adalah pembatasan mobilitas sel dalam
ruang yang terbatas. Imobilisasi sel sebagai biokatalis hampir secara umum
digunakan pada imobilisasi enzim. Imobilisasi sel mempunyai beberapa kelebihan
dibandingkan kultur tersuspensi yaitu antara lain menghasilkan konsentrasi sel
tinggi, sel dapat digunakan kembali dan mengurangi biaya pemisahan sel,
mengurangi sel yang terbawa pada laju dilusi yang tinggi, kombinasi konsentrasi
sel tinggi dan laju aliran tinggi memungkinkan memperoleh produktivitas
volumetris yang tinggi, menguntungkan kondisi lingkungan mikro yaitu kontak

Universitas Sumatera Utara

antar sel, gradien produk nutrisi, gradien pH untuk sel, menghasilkan unjuk kerja
yang lebih baik sebagai biokatalis (sebagai contoh, perolehan dan laju yang
tinggi), memperbaiki stabilitas genetik (pada beberapa kasus tertentu), melindungi
sel dari kerusakan akibat pergeseran. Keuntungan lain teknik imobilisasi adalah 1)
memungkinkan untuk dilakukannya reaksi enzim beberapa tahap, 2) aktivitas
enzim yang tinggi dengan teknik imobilisasi, 3) stabilitas operasional secara
umum tinggi, 4) tidak diperlukan tahap ekstraksi/pemurnian enzim dan 5)
biomassa yang diimobilisasi dapat digunakan untuk konsentrasi substrat yang
lebih tinggi dan dapat dilakukan pemisahan sel dengan mudah serta umur sel
dapat diperpanjang (Risdianto, 2007).
Degradasi lignin pada P. chrysosporium terjadi ketika ketersediaan
substrat yang mudah dimetabolisme dalam kultur terbatas sehingga tidak
mencukupi untuk mendukung pertumbuhan. Keterbatasan nitrogen juga
memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap proses dekomposisi lignin
dibanding keterbatasan karbon. Degradasi lignin akan berhenti jika ditambahkan
sumber nitrogen atau karbon yang mudah dimetabolisme. Regulasi sekresi enzim
ligninolitik seperti ini disebut sebagai repressi katabolik (Surthikanthi, Suranto
dan Susilowati, 2005).
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi

aktivitas enzim adalah

konsentrasi enzim, substrat, produk, senyawa inhibitor dan aktivator, pH dan jenis
pelarut yang terdapat pada lingkungan, kekuatan ion dan suhu (Supriyanto, 2009).
Degradasi lignin akan mengakibatkan kandungan lignin pada kayu
berkurang. Jamur pelapuk lignin adalah jamur yang mampu merombak selulosa
dan lignin yang dikenal sebagai jamur pelapuk putih. Percobaan Siagian, Suprapti

Universitas Sumatera Utara

dan Komarayati, (2003) pada serbuk kayu sengon yang diinokulasi dengan jamur
Phanerochaete chrysosporium menunjukkan turunnya kadar lignin 1,07%.
Lignin Peroksidase (LiP)
Lignin Peroksidase (LiP) merupakan enzim yang mengandung gugus
heme dengan potensial redoks yang tinggi dan disekresikan keluar sel. Lignin
Peroksidase mengoksidasi gugus metoksil pada cincin aromatik non fenolik
dengan menghasilkan radikal bebas. PH optimum dari enzim LiP adalah dibawah
3 tetapi enzim menunjukkan ketidakstabilan apabila berada pada kondisi yang
asam, mendekati pH 4. LiP memerlukan dua jenis metabolit agar dapat berfungsi
dengan baik. Kedua jenis metabolit tersebut adalah hidrogen peroksida yang juga
diperlukan oleh MnP dan veratil alkohol (VA) yang digunakan sebagai mediator
dalam reaksi redoks (Sigit, 2008).
Manganase Peroxidase (MnP)
Manganase Peroxidase (MnP) merupakan enzim ekstraseluler yang
mengandung glikosilat heme yang disekresikan oleh berbagai jenis jamur pelapuk
putih dan menggunakan H2O2 untuk mengkatalis oksidasi dari Mn (II) menjadi
Mn (III). Aktivitas MnP dirangsang oleh asam organik yang berfungsi sebagai
pengkelat atau penstabil Mn3+. Mekanisme reaksinya pada keadaan awal MnP
dioksidasi oleh H2O2 membentuk MnP senyawa I yang dapat direduksi oleh Mn2+
dan senyawa fenol membentuk MnP senyawa II (Sigit, 2008).
Enzim mangan peroksidase (MnP) diketahui memiliki kemampuan
mengoksidasi baik komponen fenolik maupun non fenolik senyawa lignin. Prinsip
fungsi mangan peroksidase adalah bahwa enzim tersebut mengoksidasi Mn2+
membentuk Mn3+ dengan adanya H2O2 sebagai oksidan. Aktivitasnya

Universitas Sumatera Utara

dirangsang oleh adanya asam organik yang berfungsi sebagai pengkelat atau
menstabilkan Mn3+ (Supriyanto, 2009).
MnP diketahui memiliki kemampuan mengoksidasi baik komponen
fenolik maupun non fenolik senyawa lignin. Prinsip fungsi MnP adalah
bahwaenzim tersebut mengoksidasi Mn2+ membentuk Mn3+ dengan adanya
H2O2sebagai oksidan. Aktivitasnya dirangsang oleh adanya asam organik yang
berfungsi sebagai pengelat atau pengstabil Mn3+. Mekanisme reaksi yakni MnP
pada keadaan awal dioksida oleh H2O2 membentuk MnP-senyawa I yang dapat
direduksi oleh Mn2+ dan senyawa fenol membentuk MnP-senyawa II. Senyawa
tersebut kemudian direduksi kembali oleh Mn2+ tetapi tidak oleh fenol
membentuk enzim keadaan awal dan produk (Wariishi dkk., 1989). Adanya
Mn2+bebas sangat penting untuk menghasilkan siklus katalitik yang sempurna.
Fungi Pelapuk Putih
Fungi pelapuk putih menguraikan lignin secara sempurna menjadi air
(H2O) dan karbondioksida (CO2). Fungi pelapuk cokelat mendegradasi selulosa
dan hemiselulosa daripada lignin (Prasetya, 2005).
Pujirahayu dan Marsoem (2006) menyatakan bahwa fungi pelapuk putih
yang telah banyak dicoba yaitu fungi Phanerochaete chrysosporium yang dapat
memperbaiki sifat pulp dan fungi Ceriporiopsis subvermispora yang mempunyai
tingkat selektifitas sangat tinggi dalam mendegradasi lignin .
Berdasarkan tipe pelapukan kayu akibat serangan jenis-jenis jamur,
terdapat 3 (tiga) macam jamur perusak kayu antara lain (Tambunan dan Nandika,
1989) :
1. Brown-rot

Universitas Sumatera Utara

Yaitu tingkat tinggi dari kelas Basidiomycetes. Golongan jamur ini menyerang
hemiselulosa dan selulosa kayu dan meninggalkan residu kecoklatan yang kaya
akan lignin.
2. White-rot
Yaitu jamur dari kelas Basidiomycetes, juga menyerang hemiselulosa,
selulosa dan lignin, menyebabkan warna kayu lebih muda dari warna normal.
3. Soft-rot
Yaitu jamur dari kelas Ascomycetes atau fungiimperfectie, menyerang
selulosa dan komponen dinding sel lainnya. Akibat serangan jamur ini yaitu
permukaan kayu menjadi lebih lunak.
Metode untuk menentukan jenis fungi pelapuk putih dikembangkan oleh
Bavendamm pada tahun 1928, karena itu uji ini sering disebut dengan
Bavendammtest dan medium untuk mengujinya disebut dengan medium
Bavendamm. Metode uji ini sangat sederhana, mudah, cepat, dan akurat. Medium
bavendamm adalah medium jamur yang umum (PDA atau MEA) yang diberi
tambahan Tannic Acid, Galic Acid, atau Guaiacol. Konsentrasinya bermacammacam antara 0,01%-1,5% (Isroi, 2008).
Pembentukan endapan cokelat merupakan hasil sekresi enzim lignolitik
oleh karena kemampuan isolat jamur dalam menggunakan asam tanat sebagai
sumber karbon, dan diasumsikan sebagai hasil dari aktifitas polifenol menjadi
kuinon yang menghasilkan polimer yang berwarna gelap

(Prayudyaningsih,

Tikupang dan Malik, 2007).
Fungi pelapuk putih merupakan kelompok basidiomycetes yang paling
efektif mendegradasi lignin dari kayu. Referensi lain menyatakan bahwa jamur ini

Universitas Sumatera Utara

paling efektif dalam perlakuan pendahuluan secara biologis pada bahan-bahan
berlignoselulosa. Fungi ini memproduksi serangkaian enzim yang terlibat
langsung dalam perombakan lignin, sehingga sangat membantu proses
delignifikasi pada biomassa lignoselulosa. Peningkatan perhatian ke lingkungan
mendorong makin berkembangnya kombinasi proses biologis dengan pulping
konvensional karena proses ini lebih

ramah lingkungan dan

diharapkan

mendorong penurunan biaya proses (Fitriasari, 2009).
Pujirahayu dan Marsoem (2006) menyatakan bahwa fungi pelapuk putih
yang telah banyak dicoba yaitu fungi Phanerochaete chrysosporium yang dapat
memperbaiki sifat pulp dan fungi Ceriporiopsis subvermispora yang mempunyai
tingkat selektifitas sangat tinggi dalam mendegradasi lignin. Fungi pelapuk putih
dikenal

paling

potensial

sebagai

pendegradasi

lignin

dari

kebanyakan

mikroorganisme dan mampu memproduksi enzim ekstraseluler ligninolitik. Saat
ini dikenal tiga tipe enzim ekstraseluler ligninolitik yaitu lignin peroksidase
(LiP), manganese peroxidase (MnP), dan laccase (Lac). Secara umum LiP
mendegradasi

komponen

non-fenolik

sedangkan

MnP

mampu

dalam

mendegradasi komponen fenolik dari lignin.
Fungi pelapuk putih dari kelas Basidiomycetes merupakan organisme yang
bekerja efisien dan efektif dalam proses degradasi lignin. Proses degradasi lignin
ini dimulai saat jamur pelapuk putih menembus dan membentuk koloni dalam sel
kayu, lalu mengeluarkan enzim yang berdifusi melalui lumen dan dinding sel.
Fungi ini menyerang komponen lignin dari kayu hingga menyisakan selulosa dan
hemiselulosa yang tidak terlalu berpengaruh. Akibatnya, terjadi penurunan
kekuatan fisik kayu dan pembengkakan jaringan kayu (Sigit, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Fungi Pelapuk Putih (FPP) dari kelas Basidiomycetes merupakan
organisme yang bekerja efisien dan efektif dalam proses biodelignifikasi. Ada
jenis jamur lain yang juga mampu mendegradasi lignin, seperti fungi pelapuk
coklat (brown-rotfungus) namun enzim yang dihasilkan oleh jenis jamur ini tidak
bekerja se-efektif enzim yang dihasilkan FPP. Proses biodelignifikasi ini mulai
saat FPP menembus dan membentuk koloni dalam sel kayu lalu mengeluarkan
enzim yang berdifusi melalui lumen dan dinding sel. Hal ini menyebabkan
terjadinya penurunan kekuatan fisik kayu dan pembengkakan jaringan kayu.
Intinya fungi pelapuk putih (FPP), yang menggunakan selulosa sebagai sumber
karbon, memiliki kemampuan yang unik untuk mendegradasi lignin secara
keseluruhan membentuk karbon dioksida untuk memperoleh molekul selulosa
(Munir, 2006).
Enzim Pendegradasi Lignin
Enzim merupakan katalisator organik yang dibuat oleh sel hidup.Enzim
diperlukan dalam proses fisiologi yang memungkinkan terjadinya reaksi-reaksi
biokimia. Reaksi-reaksi biokimia dapat terjadi pada batas keadaan pH, tekanan,
suhu dan kondisi tertentu (Cowling 1958 diacu dalam Herliyana 1997). Menurut
Suhartono (1989) bahwa faktor-faktor utama yang mempengaruhi aktivitas enzim
adalah konsentrasi enzim, substrat, produk, senyawa inhibitor dan aktivator, pH
dan jenis pelarut yang terdapat pada lingkungan, kekuatan ion dan suhu.
Isolasi enzim yang berperan dalam proses degradasi lignin yang dilakukan
oleh fungi pelapuk putih kemudian akan mengaplikasikan proses degradasi lignin
secara in vitro dan mampu mempercepat proses biodelignifikasi. Fungi pelapuk
putih menghasilkan enzim peroksidase yang mampu mendegradasi lignin. Dalam

Universitas Sumatera Utara

metabolismenya fungi pelapuk putih memproduksi suatu zat dengan berat
molekul rendah yang merupakan konfaktor atao mediator bagi kerja enzim. Pada
biodelignifikasi secara in vitro, mediator ini tidak perlu ditambahkan kedalam
sistem karena mediator ini secara otomatis diproduksi oleh fungi pelapuk putih.
Tapi jika degradasi lignin dilakukan bukan oleh fungi pelapuk putih tetapi oleh
lignin peroksidase yang dihasilkan dari fungi ini (biodelignifikasi secara in vitro),
maka perlu ditambahkan mediator kedalam sistem reaksi. Mediator ini akan
bersama-sama dengan enzim lignin peroksidase akan berfungsi aktif dalam
pendegradasian lignin. Mediator yang dibutuhkan oleh enzim lignin peroksidase
adalah veratryl alkohol (VA) dan hidrogen peroksida (H2O2) (Widjaja, Ferry dan
Musmariadi, 2004).

Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Industri kertas di Indonesia jarang yang mempunyai proses biopulping.
Kebanyakan industri menggunakan bahan-bahan kimia dalam proses pembuatan
pulping. Hal ini menyebabkan banyaknya limbah produksi yang mencemari
lingkungan. Dalam industri kertas yang mengolah pulp secara kimia, harus
tersedia unit pengolah limbah, sehingga biaya dalam mengolah limbah pulp kertas
sangat mahal.
Teknologi pulping yang umum di Indonesia yaitu mechanical pulping
(fisik) dan chemical pulping (kimia). Mechanical pulping bertujuan memisahkan
serat dari serpih yang lunak menjadi serat individu. Selain metodenya sederhana
dan biaya relatif murah proses penggilingan menghasilkan pemendekan serat,
terbentuknya fines (serat bubuk kertas yang sangat halus), fibrilisasi dan
delaminasi serat. Chemical pulping bertujuan merombak sebagian ikatan lignin
melalui proses pemasakan dengan bahan kimia. Metode kimia menghasilkan
kekuatan pulp yang tinggi dan waktu pemasakan yang relatif pendek selain itu
juga menimbulkan permasalahan pencemaran lingkungan karena sisa bahan kimia
(Siagian, Suprapti dan Komarayati, 2003).
Alternatif baru untuk mengatasi pencemaran lingkungan dan kualitas
rendah yang dihasilkan sesuai dengan pernyataan Siagian, Suprapti dan
Komarayati, (2003) adalah dengan biopulping. Biopulping memanfaatkan agensia
hayati dalam pembuatan pulp yaitu mikroba yang bisa menghancurkan lignin
tetapi tidak merusak serat selulosa. Hal ini juga didukung oleh pernyataan dari
Fitria dkk. (2006) yang menyatakan bahwa penggunaan proses biologis dalam

Universitas Sumatera Utara

proses pembuatan pulp selain mereduksi pencemaran lingkungan juga diharapkan
mampu memperbaiki ikatan antar serat dan menghemat energi serta berpengaruh
terhadap rendemen dan sifat pulp hasil pemasakan yaitu bilangan kappa dan
selektifitas delignifikasinya.
Mikroba pendegradasi kayu adalah fungi pelapuk putih (white rot fungi)
dan fungi pelapuk cokelat (brown rot fungi), keduanya sebagian besar tergolong
Basidiomycetes. Peran utama fungi pelapuk putih yaitu mendegradasi komponen
lignin (Isroi, 2008).
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1.

Untuk mendapatkan isolat fungi pelapuk putih yang terdapat pada proses
pelapukan kayu Eukaliptus.

2.

Untuk mengukur kemampuan Enzim Lignin Peroksidase (LiP) jamur pelapuk
putih asal kayu Eukaliptus sebagai pendegradasi lignin.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini berguna untuk memperoleh isolat jamur dan mengukur
kemampuan Enzim Lignin Peroksidase (LiP) yang dapat dimanfaatkan sebagai
pendegradasi lignin serta berpotensi dalam proses biopulping.

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK
GEPSY ONARDO SILABAN. Uji Potensi Fungi Pelapuk Putih Pada
Batang Kayu Eukaliptus (Eucalyptus grandis) Sebagai Pendegradasi Lignin.
Dibawah bimbingan EDY BATARA MULYA SIREGAR dan LUTHFI
HAKIM.

Lignin merupakan polimer yang strukturnya heterogen dan kompleks yang
terdiri dari koniferil alkohol, sinaphil alkohol, dan kumaril alkohol sehingga sulit
untuk dirombak. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat jamur pelapuk
putih yang terdapat pada proses pelapukan kayu Eukaliptus dan untuk mengukur
kemampuan Enzim Lignin Peroksidase (LiP) jamur pelapuk putih asal kayu
Eukaliptus sebagai pendegradasi lignin. Pengambilan sampel dilakukan di areal
PT. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Tobasa, Sumatera Utara. Jenis jamur
yang ditemukan pada pelapukan batang kayu Eucalyptus grandis merupakan jenis
jamur pelapuk putih Phanerochaete sp1, Phanerochaete sp2, dan Exidia sp.
Berdasarkan hasil pengukuran akivitas LiP, Exidia sp paling berpotensi digunakan
untuk biopulping karena memiliki nilai aktivitas LiP paling tinggi yaitu dengan
nilai 0,037 (U/Ml).
Kata kunci : lignin peroksidase, kayu eukaliptus, uji Bavendam, uji LiP.

Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT

GEPSI ONARDO SILABAN Test of Potential White Rot Fungi of
Eucalyptus Wood (Eucalyptus Grandis) as degrading lignin. Under the guidance
of EDY BATARA MULYA SIREGAR and LUTHFI HAKIM.

Lignin is a polymer wich is has heterogen and complex structure and
composed of alcohol koniferil, alcohol sinaphil, and alcohol kumaril so that hard
to changed. This research aimed to get white rot fungi isolat at eucalyptus wood
weathering process and measure ability of Lignin Peroksidase Enzim (LiP) of
white rot fungi from eucalyptus wood as degrading lignin. Sample was get from
PT. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Tobasa area, North Sumatera. Kind of
white rot fungi that has got at Eucalyptus grandis wood weathering was kind of
Phanerochaete sp1, Phanerochaete sp 2, and Exidia sp. Based on measure of LiP
activity result, Exidia sp was the most potential for biopulping because it has
highest activity point about 0,037 (U/MI).
Key word : peroksidase lignin, eucalyptus wood, Bavendam test, LiP test.

Universitas Sumatera Utara

UJI POTENSI FUNGI PELAPUK PUTIH ASAL BATANG
KAYU EUKALIPTUS (Eucalyptus grandis ) SEBAGAI
PENDEGRADASI LIGNIN

SKRIPSI

Oleh:
GEPSY ONARDO SILABAN
111201148/ BUDIDAYA HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2016

Universitas Sumatera Utara

UJI POTENSI FUNGI PELAPUK PUTIH ASAL BATANG
KAYU EUKALIPTUS (Eucalyptus grandis ) SEBAGAI
PENDEGRADASI LIGNIN

OLEH:
GEPSY ONARDO SILABAN
111201148/ BUDIDAYA HUTAN

Skripsi sebagai salah sat