BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Proklamasi kemerdekaan adalah buah perjuangan untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia dalam kehidupan bangsa yang lebih baik, adil, dan sejahtera. Nilai
dasar yang terkandung dalam proklamasi adalah perjuangan yang berperan sebagai pemicu bangkitnya semangat bangsa dalam upaya pembangunan segala bidang, baik
ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan agama. Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, kebhinnekaan
merupakan kekayaan Negara Indonesia yang harus diakui, diterima, dan dihormati. Kemajemukan sebagai anugerah juga harus dipertahankan, dipelihara, dan
dikembangkan yang kemudian diwujudkan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Keberagaman tersebut telah diakomodasi dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Kekuasaan yang dikenal secara klasik dalam teori hukum maupun politik,
yaitu fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Baron de Montesquieu 1689-1785 mengidealkan ketiga fungsi negara itu dilembagakan masing-masing dalam tiga organ
negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi
functie
, dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika tidak
demikian, maka kebebasan terancam www.academia.edu Konsepsi yang kemudian disebut dengan
trias politica
itu tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi
tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukan bahwa hubungan antarcabang
kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip
checks and balances
Jimly Asshiddiqie, 2006 : v Dunia ketatanegaraan mengenal dua macam sistem pemerintahan yang paling
banyak dianut oleh negara-negara di dunia yang berasaskan demokrasi, yaitu sistem presidensialisme dan sistem parlementer. Presidensialisme, sebagaimana dianut oleh
pemerintahan Indonesia, memiliki ciri utama yaitu menempatkan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Menurut Muswadi Rauf, “Kedudukan
presiden dalam sistem presidensialisme selain sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, juga tidak tunduk kepada pa
rlemen, akan tetapi, sama kuat” Muswadi Rauf, 2009:30.
Presiden dipilih oleh rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung. Presiden memegang kendali pemerintahan sebagai kepala lembaga eksekutif yang
menunjuk menteri-menteri yang akan duduk dalam kabinet, sekaligus sebagai simbol sebuah negara. Dalam hubungannya dengan parlemen, seperti yang diuraikan
sebelumnya, presiden ada dalam posisi yang sama kuat dengan parlemen Muswadi Rauf, 2009:30. Keduanya memiliki legitimasi masing-masing melalui pemilu yang
terpisah. Selain itu, keduanya tidak bisa saling menjatuhkan atau membubarkan. Sejalan dengan perubahan struktur sistem kelembagaan negara dan dengan di
amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta perubahan dinamika perpolitikan yang terus melangkah maju dan menata kearah
perpolitikan yang sehat dan demokratis, maka pengamatan terhadap DPR sebagai salah satu lembaga perwakilan lembaga sangatlah penting. Kenyataan yang
berkembang menunjukan adanya fenomena baru terhadap peran lembaga perwakilan tersebut. Peran Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya disebut DPR seakan di sulap
dari yang tak berdaya tatkala berhadapan dengan pemerintah, tiba-tiba berubah menjadi lembaga yang kuat terutama dalam fungsinya mengawasi gerak-gerik
keberadaan lembaga eksekutif http:wordskripsi .blogspot .com201003016 -peran-
dpr-dalam- pengangkatan duta.html .
Secara legal formal peran DPR terlebih dalam fungsi pengawasan mengalami perubahan besar setelah dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Fungsi pengawasan yang dimiliki legislatif misalnya, menjadikan setiap kebijakan pemerintah yang akan dibuat maupun akan
dilaksanakan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR. Hak prerogatif yang dimiliki presiden semakin sempit karena di sisi lain DPR menempatkan diri sebagai
lembaga penentu dalam bentuk memberi persetujuan dan beberapa pertimbangan terhadap agenda-agenda pemerintah.
Proses pengangkatan duta besar, presiden harus terlebih dahulu memperhatikan pertimbangan DPR. Demikian juga dalam hal presiden menerima
penempatan duta besar dari negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR pula. Kekuasaan yang dimiliki DPR pada fungsi pengawasan terlihat pula dalam
pengangkatan Duta Besar Republik Indonesia. Pasal 13 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah perubahan, menyebutkan
“Dalam hal pengangkatan duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR”.
Menurut ketentuan yang baru tersebut diisyaratkan bahwa dalam pengangkatan duta besar tidak hanya merupakan hak prerogratif presiden namun juga
melibatkan peran DPR untuk memberikan pertimbangan. Duta besar yang akan ditempatkan di suatu negara oleh pemerintah, harus
terlebih dahulu melalui dengar pendapat yang dilakukan DPR. Hal ini kemudian menjadikan hubungan antara presiden dan DPR berkaitan dengan pencalonan duta
besar mulai dipersoalkan, ketika keputusan DPR yang mempermasalahkan calon- calon dubes yang diajukan oleh pemerintah, khususnya oleh presiden.
Maka berdasarkan pemaparan mengenai permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan kajian dengan judul
“PURIFIKASI SISTEM PRESIDENSIAL DALAM PENGANGKATAN DUTA BESAR REPUBLIK
INDONESIA”.
B. Perumusan Masalah