kewenangan presiden dalam pembatalan pengangkatan budi gunawan sebagai kepala kepolisian republik Indonesia

(1)

KEWENANGAN PRESIDEN DALAM PEMBATALAN PENGANGKATAN BUDI GUNAWAN SEBAGAI KEPALA KEPOLISIAN

REPUBLIK INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:

FANNY FATWATI PUTRI NIM : 1111048000004

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

JAKARTA 1436 H / 2015 M


(2)

(3)

(4)

(5)

iv ABSTRAK

Fanny Fatwati Putri. NIM 1111048000004. KEWENANGAN PRESIDEN

DALAM PEMBATALAN PENGANGKATAN BUDI GUNAWAN

SEBAGAI KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. XI + 60 halaman + 3 halaman daftar pustaka + 37 halaman lampiran.

Skripsi ini membahas tentang kewenangan Presiden dalam pembatalan pengangkatan Budi Gunawan sebagai calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Hal ini dilatarbelakangi oleh kewenangan Presiden mengenai pengangkatan Kapolri yang diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Yang menyebutkan bahwa Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jadi, kewenangan Presiden hanya mengangkat dan memberhentikan sedangkan untuk membatalkan belum ada dasar hukum yang mengatur hal tersebut. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data penelitian pustaka (library research) yaitu dengan cara mengumpulkan data dengan bersumber pada bahan-bahan pustaka dan penelitian lapangan (field research) untuk menemukan secara spesifik dan realis tentang apa yang sedang terjadi saat itu. Metode yang digunakan penulis adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non-hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kasus pembatalan pengangkatan Budi Gunawan Presiden tidak memiliki kewenangan yang berlandaskan hukum, karena di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tidak disebutkan terkait pembatalan pengangkatan calon Kapolri. Dari adanya pembatalan ini berdampak terhadap Budi Gunawan secara pribadi dimana rusaknya nama baik beliau dimasyarakat. Secara institusi seperti DPR, hal ini tentunya mempengaruhi integritas DPR sebagai lembaga negara yang menyelenggarakan fit and proper test dan memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menjadikan Budi Gunawan sebagai Kapolri Polri. Dan terhadap Polri, jika dilihat dari segi etis ini telah menghina institusi Polri. Dimana Polri memiliki seorang tersangka yang akan dijadikan seorang pemimpin di institusi tersebut.

Kata Kunci : Kewenangan Presiden, Pembatalan Pengangkatan Kapolri, Budi Gunawan, Polri, DPR.

Pembimbing : Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A., M.H Daftar Pustaka : 1995 - 2014


(6)

v

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat, rahmat, dan taufik-Nya kepada penulis sebagai ummat-Nya untuk di perdayakan dalam menjalani proses hidup ini, tak ada niat sedikitpun untuk melupakan-Mu. Shalawat dan salam tak lupa penulis curahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, beliaulah yang membawa kita dari zaman Jahiliyyah menuju zaman Islamiyyah.

Tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, tetapi skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya yang maksimal. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui. Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan didalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri karena banyak pengalaman yang didapat dalam penulisan ini.

Skripsi ini tidak dapat penulis selesaikan tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada :


(7)

vi

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.,Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, serta para wakil Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H. MH., Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum, sekretaris Program Studi Ilmu Hukum. 3. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H. MA., Dosen Pembimbing yang telah bersedia

membimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran, perhatian, dan ketelitian memberikan masukan serta meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan hingga skripsi ini selesai.

4. Keluarga besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta baik dosen maupun staf, khususnya dosen program studi ilmu hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi penulis dan semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa mereka serta menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk mereka semua. 5. Kedua orang tua penulis, Ayahanda alm. Jupri Handoko skripsi ini untukmu

ayah semoga kau selalu tersenyum di SurgaNya, Ibunda Rani Handoko, perempuan terhebat yang telah mencurahkan cinta dan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan doa, semangat, serta dukungan tiada henti kepada penulis. 6. Lala Aulia Zandra adik kecilku yang sekarang telah beranjak dewasa,

terimakasih untuk doa dan kasih sayangnya. Serta Asep Sholahuddin terimakasih untuk semangatnya selalu, untuk pelajaran tentang kehidupan yang mendewasakan.


(8)

vii

penulis berkeluh kesah, tempat berbagi pengalaman dan melukis kenangan indah bersama. Semoga apa yang menjadi angan dan cita kita bersama kelak terealisasikan. AMIN. Serta Muhammad Caesal Regia, abang tercinta yang telah banyak memberikan pelajaran dan pengalaman hidup yang berharga. Terimakasih untuk semua nasehat yang selalu menguatkan.

8. Keluarga Kecilku di Rumah Progressif, Lini Zurlia, Nayla Fitria, Adis Puji Astuti dan Zakiatunnisa. Berproses bersama kalian adalah pengalaman luarbiasa bagi penulis.

9. Sahabat-sahabat penulis tercinta, Fajar Hendrawan, Lala Renata, Desy Kirana, Putri Elsa Susanti, Emma Kartika Sari, Erawati Putri, Shofi Aliyah Rahmi. Terimakasih telah menjadi tempat penulis berkeluh kesah.

10.Keluarga besar Ilmu Hukum Angkatan 2011, terkhusus Rachmatsyah Akbar, Shinta, Kiya, Endang, Ida, Tami, Hilda, Novita, Ummu, Shanti, Inggrit, Tiwi, Khadafi, Dini, dan yang lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan. Terimakasih untuk dorongan semangat dan sharing ilmu yang membuat skripsi ini akhirnya mampu penulis selesaikan.

11.Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam komisariat Fakultas Syariah dan Hukum Cabang Ciputat. Di tempat inilah penulis berproses menjadi insan yang lebih baik lagi. Terimakasih untuk semua pengalaman yang luar biasa.

12.Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ciputat dan KOHATI HMI Cabang Ciputat. Terimakasih untuk semua kanda dan yunda yang telah


(9)

viii

banyak memberikan ilmu serta pengalaman hidup yang membuat penulis menjadi insan yang lebih baik lagi.

13.KKN Fajar Nusantara, Mentari Faradiba, Syarifaeni Fahdiah, Yusri Nurhabibah, Febrina Rizka Zaibah, Ka Abdi Roziqin, Akbar Al-qadly, , Ibnu Nugraha, Reza Yusuf, Muhammad Editya, Sony Ramadhan, Dzulfikar dan Husni Mubarok. Kalian adalah sahabat terhebat yang pernah penulis kenal. Terimakasih untuk cinta serta dukungan selalu untuk penulis. Untuk kenangan satu bulan bersama yang sangat indah.

14.Kepada Kompolnas dan Divisi Humas Polri yang telah memberikan data dan bahan referensi sebagai penunjang dalam skripsi ini.

Tidak ada yang penulis bisa berikan selain doa dan ucapan terimakasih atas semua dukungan baik moril maupun materil, semoga Allah membalas semua kebaikan yang kalian berikan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan bagi kita semua dalam menjalani hari esok. Amin.

Ciputat, 2015


(10)

ix

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ……….…... v

DAFTAR ISI ………... .. ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………... ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ………... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………... .. 7

D. Metode Penelitian ... ... 8

E. Tinjauan Kajian Terdahulu ... 12

F. Kerangka Konseptual ... 13

G. Kerangka Teoritis ... 15

H. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG KEKUASAAN DAN

KEWENANGAN


(11)

x

1. Pengertian Kekuasaan ... 17 2. Teori Sumber Kekuasaan ... 18 3. Teori Pemisahan Kekuasaan ... 18 B. Teori Kewenangan

1. Pengertian Kewenangan ... 20 2. Sumber Kewenangan ... 20 3. Peralihan Kewenangan ... 23

BAB III PROFIL KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA, KEWENANGAN PRESIDEN DAN PERAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PENGANGKATAN KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA

A. Sejarah, Fungsi, Tugas, dan Wewenang Kepolisian Republik Indonesia 1. Sejarah Kepolisian Republik Indonesia ... 25 2. Fungsi Kepolisian Republik Indonesia ... 28 3. Tugas dan Wewenang Kepolisian Republik Indonesia ... 29 B. Kewenangan Presiden dan DPR Dalam Pengangkatan Kepala Kepolisian

Republik Indonesia

1. Kewenangan Presiden ... 31 2. Kewenangan DPR ... 38 C. Mekanisme Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia ... 41


(12)

xi

A. Kewenangan Presiden Dalam Pembatalan Pengangkatan Kapolri ... 44 B. Faktor Yang Mempengaruhi Presiden Dalam Pembatalan Pengangkatan Budi

Gunawan Sebagai Kapolri ... 52

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 58 B. Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara menurut Max Weber adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah. Sedangkan menurut Robert M. Maciver negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintahan yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa.1

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwasanya negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah tertentu yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah serta memaksa dan ditaati oleh rakyatnya. Negara sendiri memiliki sifat-sifat khusus yang merupakan manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya. Diantaranya adalah negara memiliki sifat memaksa, sifat monopoli dan sifat mencakup semua.2

Setiap negara tentunya memiliki sistem pemerintahan, sistem pemerintahan berbeda dengan bentuk pemerintahan dan berbeda juga dengan bentuk negara. Bentuk pemerintahan terdiri dari republik dan kerajaan. Sedangkan bentuk negara terdiri dari negara kesatuan, federasi, dan konfederasi. Walaupun berbeda, sistem pemerintahan memiliki hubungan kuat dengan bentuk

1

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ed.4 (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 48-49

2


(14)

pemerintahan. Negara yang menganut bentuk pemerintahan republik biasanya memiliki sistem pemerintahan presidensial, sedangkan negara yang menganut bentuk pemerintahan kerajaan memiliki sistem pemerintahan monarki. Selain dua sistem pemerintahan diatas terdapat juga sistem pemerintahan parlementer, sistem campuran (hybrid), dan sistem kolegial.3

Sistem pemerintahan yang banyak digunakan di berbagai negara saat ini adalah sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Kedua sistem tersebut didasarkan pada hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sistem pemerintahan dikatakan parlementer apabila sistem kepemimpinannya terbagi dalam jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan sebagai dua jabatan yang terpisah, dan jika sistem pemerintahannya ditentukan harus bertanggung jawab kepada parlemen sehingga dengan demikian; kabinet dapat dibubarkan apabila tidak mendapat dukungan parlemen dan sebaliknya parlemen juga dapat dibubarkan oleh kepala negara apabila diangkap tidak dapat memberikan dukungan kepada pemerintah.4

Sedangkan sistem Presidensil merupakan sistem pemerintahan negara dimana kekuasaan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasaan legislatif. Menurut Rod Hague, pemerintahan Presidensil terdiri dari tiga unsur yaitu : Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait, Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat memiliki masa jabatan yang tetap dan tidak bisa saling menjatuhkan, serta

3

Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 27

4

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2009), h.323


(15)

3

tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif.5 Presiden dalam sistem Presidensial memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan, namun masih ada mekanisme untuk mengontrol Presiden apabila melakukan pelanggaran kontitusi dan melakukan penghianatan terhadap negara, serta terlibat masalah kriminal.6

Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem pemerintahan Presidensial dalam sistem pemerintahannya dimana Presiden memegang kekuasaan tertinggi. Di Indonesia sendiri, kekuasaan Presiden diatur dalam konstitusi negara yaitu UUD 1945 Pasal 4 ayat 1 yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.

Menurut Inu Kencana Syafiie, kekuasaan Presiden dibagi menjadi dua macam, yaitu sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan.7 Sementara Abdul Ghoffar dalam bukunya menyebutkan ada 10 kekuasaan Presiden Republik Indonesia setelah perubahan UUD 1945, diantaranya kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan, yudisial, legislasi, dan kekuasaan tertinggi Angkatan Bersenjata.8

Mengenai kekuasaan Presiden dalam hal kekuasaan penyelenggaraan

5

Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia (Jakarta: Lemlit UIN Jakarta, 2011), h. 11-12

6

Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia...,h. 11-12 7

Titik Triwulan. T dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Kencana: Jakarta, 2011), h. 111

8

Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan Negara Maju, h. 98-113


(16)

pemerintahan, Presiden memiliki kekuasaan khusus yang bersifat prerogatif atau yang biasa disebut hak prerogatif. Hak prerogatif adalah hak yang dimiliki oleh Presiden tanpa adanya intervensi dari pihak manapun dalam menggunakan hak tersebut. Biasanya hak prerogatif ini digunakan dalam rangka mengisi jabatan sejumlah posisi seperti Menteri, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, dan pejabat lainnya setingkat menteri.9

Dalam hal mengangkat Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Presiden memiliki kekuasaan tersendiri yang diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dimana tercantum dalam Pasal 11 Ayat (1) yang berbunyi “Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Awal Tahun 2015 ini Presiden Joko Widodo menggunakan kewenangannya memberhentikan Jendral Polisi Drs.Sutarman dari jabatannya sebagai Kapolri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 03/POLRI/TAHUN 2015. Kemudian Joko Widodo mengusulkan Komjen. Pol. Budi Gunawan yang biasa dikenal Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri untuk menggantikan Jendral Sutarman dan meneruskan estafet kepemimpinan Kapolri.

Setelah diusulkan oleh Joko Widodo sebagai calon tunggal Kapolri, pada tanggal 13 Januari 2015 Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka korupsi saat ia menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi SDM Polri 2003-2006 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun hal tersebut tidak

9

Budi Nugraha, Hak Prerogatif Presiden terhadap Kementrian Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang kementrian Negara, Skripsi Sarjana, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta, 2013, h.18


(17)

5

menghentikan proses fit and proper tes pada Budi Gunawan sebagai calon Kapolri oleh Komisi III DPR-RI dan Budi Gunawan pun dinyatakan lulus uji fit and proper tes. Kemudian berdasarkan rapat paripurna DPR-RI menetapkan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman.

Hal ini pun menimbulkan reaksi dalam masyarakat yang mana calon Kapolri Indonesia merupakan seorang tersangka. Hal ini diperparah dengan disetujuinya Budi Gunawan oleh DPR menjadi Kapolri yang mana saat itu sudah berstatus tersangka. Kondisi ini membuat posisi Presiden Joko Widodo dilematis, yang mana setelah disetujui oleh DPR Presiden haruslah melantik Budi Gunawan. Dalam kondisi terdesak seperti itu, Presiden menunda pelantikan Budi Gunawan karena yang bersangkutan mengajukan pra-peradilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas penetapan statusnya sebagai tersangka oleh KPK.

Pengajuan gugatan dilakukan oleh Budi Gunawan karena dirinya merasa tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan menganggap prosedur penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK tidak sesuai. Hasilnya Pengadilan Negeri Jaksel memutuskan bahwa penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK salah. Tentunya ini adalah kabar baik bagi Budi Gunawan yang sudah dianggap buruk oleh kebanyakan masyarakat akibat penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK untuk dilantik sebagai Kapolri oleh Joko Widodo yang sebelumnya ditunda.

Langkah yang dilakukan oleh Presiden tersebut dinilai kurang tepat, seharusnya Presiden tidak perlu menunggu proses pra-peradilan tersebut karena Presiden memiliki hak prerogatif dalam mengangkat pejabat negara. Namun di


(18)

satu sisi, Presiden tersandera oleh status Budi Gunawan sebagai tersangka yang ditetapkan KPK, sehingga apabila dia tetap melantik, maka akan mengurangi kepercayaan publik terhadapnya.

Akan tetapi setelah Pengadilan Negeri Jaksel memenangkan gugatan pra-peradilan Budi Gunawan, Joko Widodo tidak juga melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri. Presiden Joko Widodo justru membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri dan mengajukan Komjen Badrodin Haiti sebagai calon Kapolri menggantikan Budi Gunawan.

Hal pengangkatan dan pemberhentian memang diatur dalam Pasal 11 Undang-undang Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang telah penulis sebutkan sebelumnya. Namun ternyata tidak ditemukan mekanisme yang jelas melalui peraturan perundang-undangan mengenai pembatalan pelantikan pejabat tinggi negara yang diduga melakukan pelanggaran hukum khususnya dalam hal Kapolri.

Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas masalah ini dengan judul “Kewenangan Presiden Dalam Pembatalan Pengangkatan Budi Gunawan Sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya pembahasan penelitian ini, maka Penulis akan membatasi permasalahan yang akan diteliti hanya pada kewenangan


(19)

7

Presiden dalam pembatalan pengangkatan Kapolri, dan faktor yang mempengaruhi Presiden dalam pembatalan pengangkatan Budi Gunawan.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang penulis jabarkan dan permasalahan yang penulis batasi, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimana kewenangan Presiden dalam pembatalan pengangkatan Kapolri?

b. Faktor apa saja yang mempengaruhi Presiden dalam pembatalan pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pembatasan dan rumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini adalah untuk :

a. Untuk mengetahui kewenangan Presiden dalam pembatalan pengangkatan Kapolri.

b. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi Presiden dalam mengangkat Budi Gunawan sebagai Kapolri.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :


(20)

Sebagai sumbangsih pemikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang hukum khususnya dalam hal kewenangan Presiden dalam pembatalan mengangkat Kapolri, dan faktor yang mempengaruhi Presiden dalam pembatalan pengangkatan.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi perkembangan hukum di Indonesia khususnya dalam hal kewenangan Presiden dalam pembatalan mengangkat Kapolri, dan faktor yang mempengaruhi Presiden dalam pembatalan pengangkatan.

c. Masyarakat Umum

Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi penjelasan bagi masyarakat umum agar senantiasa memiliki perhatian terhadap perkembangan hukum di Indonesia khususnya dalam pembatalan pengangkatan Kapolri.

D. Metode Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas :

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu suatu penelitian yang ditinjau melalui aspek hukum, peraturan-peraturan yang kemudian dihubungkan dengan kenyataan atau praktek yang terjadi di lapangan. Penulis juga mencari fakta-fakta yang akurat tentang peristiwa konkrit yang menjadi objek


(21)

9

penelitian. Penelitian ini dilakukan dan ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis dan bahan-bahan lain, serta menelaah peraturan perundangan-undangan yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

Sedangkan mengenai sifat penelitian ini yaitu bersifat deskriptif, yaitu menjelaskan suatu hal atau fenomena dengan rinci agar dapat memperkuat teori yang sudah ada, atau mencoba membuat suatu rumusan teori yang baru.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus.

Pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus.

a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)

Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekligus menjadi tema sentral suatu penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Hasil Amandemen) dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.


(22)

Pendekatan kasus dalam penelitian normative bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam eksplanasi hukum.10

3. Jenis Data

Dalam penelitian ini data yng dipakai adalah data sekunder yaitu data yang tidak diperoleh dari sumber pertama yang bisa diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian, surat kabar, makalah, dan lain sebagainya. Data sekunder dalam penelitian ini dapat dibagi atas tiga kelompok atau bagian, yaitu:

a. Bahan hukum primer yang penulis peroleh dari Undang-Undang Dasar

1945 dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia.11

b. Bahan hukum sekunder yang penulis peroleh dari buku-buku terkait isu yang penulis angkat dalam penelitian ini.12

10

Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bayumedia Publishing: Malang, 2007), h.321

11

Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Sinar Grafika: Jakarta, 2010), h.48. 12


(23)

11

c. Bahan hukum tersier yang penulis pergunakan bagi bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan kamus besar bahasa Indonesia.

4. Metode Pengumpulan Data

Dalam Penelitian ini metode yang digunakan yaitu metode pengumpulan data Penelitian Pustaka (library research) dan didukung oleh Penelitian Lapangan (Field Research)

a. Penelitian Pustaka (library research)

Yaitu dengan cara mengumpulkan data dengan bersumber pada bahan-bahan pustaka. Studi ini menganalisis objek penelitian dengan menggunakan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian dan kajian bahan-bahan pustaka.13

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan secara spesifik dan realis tentang apa yang sedang terjadi pada saat tertentu.14 Dimana dalam memperoleh data dilakukan melalui wawancara yang merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan mengajukan pertanyaan antara pewawancara dengan yang diwawancarai.15

13

Sri Mamudji, Metode Penelitian dan PenulisanHukum, (Badan Peneliti Fakultas Hukum Indonesia: Jakarta, 2003), h.28.

14

Mardalis, Metode Penelitian : Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995). Hal 28.

15

Sugiyono.Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabet, 2006.


(24)

E. Tinjauan Kajian Terdahulu

Untuk menghindari kesamaan dalam penulisan skripsi, maka penulis akan

mereview beberapa skripsi terdahulu yang relevan dengan judul yang penulis ajukan, diantaranya :

1. Judul : “Kewenangan Presiden dalam Pemberian Grasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang perubahan atas undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi”

Penulis : Suci Putri Marthalia, Fakultas Hukum, Universitas Andalas Padang

Uraian : Skripsi ini meneliti tentang bagaimana pengaturan kewenangan Presiden dalam memberikan grasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung.

2. Judul : Hak Prerogatif Presiden terhadap Kementrian Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang kementrian Negara

Penulis : Budi Nugraha

Uraian : Skripsi ini meneliti tentang kewenangan Presiden yang

berdasarkan pada UUD 1945 sebelum amandemen dengan

membandingkan setelah dikeluakannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Bagaimana hak Presiden dalam pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementerian Negara.


(25)

13

Dari uraian review studi terdahulu di atas, dan dari hasil pencarian penulis terhadap judul skripsi yang relevan dengan kewenangan Presiden dalam mengangkat pejabat negara, penulis belum menemukan skripsi yang membahas tentang kewenangan Presiden dalam mengangkat Kapolri. Begitupun dengan buku-buku yang penulis telusuri dibeberapa perpustakaan seperti, Perpustakaan FSH dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta penulis tidak menemukan buku yang membahas tentang kewenangan Presiden dalam mengangkat pejabat negara dalam hal ini Kapolri. Oleh karena itu penulis menyimpulkan bahwa judul skripsi yang penulis ajukan belum pernah diangkat dalam pembuatan skripsi atau penelitian sebelumnya.

F. Kerangka Konseptual

1. Kewenangan, Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah kekuasaan membuat keputusan memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya kewenangan adalah hak seseorang untuk memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu.

2. Presiden, menurut kamus hukum karya Setiawan Widagdo, Mpd, adalah kepala suatu negara yang berbentuk republic.16

3. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), menurut Pasal 3 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah hukum dasar dalm Peraturan Perundang-undangan.

16


(26)

4. Undang-Undang (UU), menurut UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR bersama dengan Presiden.

5. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 (UU No. 2 Tahun 2002), adalah undang-undang yang mengatur tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

6. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), adalah Kepolisian Nasional di Indonesia, yang bertanggungjawab langsung di bawah Presiden17

7. Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), pimpinan tertinggi di dalam institusi Polri.

8. Komisi Polisi Nasional (Kompolnas), adalah sebuah lembaga kepolisian nasional di Indonesia yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia.18

9. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.19

10. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menurut Pasal 1 Ayat (2) UU. No 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

17

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Lepolisian_Negara_Republik_Indonesia 18

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Komisi_Kepolisian_Nasional 19


(27)

15

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

G. Kerangka Teoritis

Setelah perubahan UUD 1945, Presiden Republik Indonesia juga mempunyai beberapa kekuasaan konstitusional dalam hal pengangkatan, pemberhentian, penetapan, maupun peresmian pejabat-pejabat negara tertentu yang diperolehnya setelah perubahan ketiga UUD 1945 pada Tahun 2001. Mengenai kekuasaan Presiden dalam hal kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan, Presiden memiliki kekuasaan khusus yang bersifat prerogatif atau yang biasa disebut hak prerogatif. Hak prerogatif adalah hak yang dimiliki oleh Presiden tanpa adanya intervensi dari pihak manapun dalam menggunakan hak tersebut.

H. Sistematika Penulisan

Agar lebih memudahkan dalam pembahasan penelitian ini, serta mendapatkan gambaran yang jelas mengenai apa yang akan dibahas pada setiap bab, maka penulis membuat sistematika penulisan ini menjadi 5 bab dan terdapat sub bab sesuai dengan pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:

BAB I : Pada bab ini merupakan pendahuluan yang akan membahas mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan


(28)

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu, kerangka konseptual, dan sistematika penulisan.

BAB II : Pada bab ini akan membahas mengenai landasan teori tentang Kekuasaaan, Kewenangan dan Kedaulatan.

BAB III : Pada bab ini akan membahas tentang Profil Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kewenangan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, serta mekanisme pengangkatan Kapolri.

BAB IV : Pada bab ini akan membahas tentang bagaimana kewenangan Presiden dalam Pembatalan Pengangkatan Kapolri, dan faktor apa saja yang mempengaruhi Presiden dalam pembatalan pengangkatannya.

BAB V : Pada bab ini berupa penutup, yang berisikan kesimpulan dari hasil penelitian yang penulis lakukan, dan saran yang penulis ajukan setelah melakukan penelitian ini.


(29)

17 BAB II

LANDASAN TEORI TENTANG KEKUASAAN DAN KEWENANGAN A. Teori Kekuasaan

1. Pengertian Kekuasaan

Kekuasaan merupakan suatu hal yang penting dalam suatu negara. Hal tersebut tercermin dalam suatu pemerintahan, baik dalam bentuk monarki oleh raja maupun dalam bentuk republik yang dipimpin oleh presiden. Suatu pemerintahan yang tidak memiliki kekuasaan tentunya tidak akan memiliki suatu resistensi terhadap perubahan dalam suatu masyarakat, sehingga akan mengganggu kestabilan dan keamanan negara. Hal tersebut dapat di lihat dalam proses revolusi Prancis pada abad ke-18, dimana kerajaan tidak memiliki kekuasaan dan kepercayaan dari rakyatnya.

Kekuasaan sendiri didefinisikan oleh Laswell dan Abraham Kaplan sebagai suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain kearah tujuan dari pihak pertama.1 Sedangkan menurut seorang ahli kontemporer Barbara Goodwin, kekuasaan didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengakibatkan seseorang bertindak dengan cara yang oleh yang bersangkutan tidak akan dipilih, seandainya ia dilibatkan. Dengan kata lain memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan

1

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta, 2009), h. 60.


(30)

kehendaknya.2 Sehingga dapat disimpulkan bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain sesuai keinginan para pelaku.

2. Teori Sumber Kekuasaan

Banyak teori yang mencoba menjelaskan dari mana kekuasaan berasal. Menurut teori teokrasi, sumber kekuasaan adalah dari Tuhan. Teori ini berkembang pada abad V sampai abad XV. Penganut teori ini adalah Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius. Sementara menurut teori hukum alam, kekuasaan itu berasal dari rakyat. Pendapat demikian dimulai dari aliran monaromen yang dipelopori oleh Johannes Althusius yang mengatakan bahwa kekuasaan berasal dari rakyat dan asal kekuasaan yang ada pada rakyat tersebut tidak dianggap lagi dari Tuhan, melainkan dari alam kodrat. Yang selanjutnya kekuasaan rakyat tersebut diserahkan kepada raja untuk menyelenggarakan kepentingan masyarakat.3

Dalam buku perihal ilmu politik karangan Leo Agustino, sumber kekuasaan terbagi dalam kategori : (1) sarana paksaan fisik; (2) kekayaan dan harta benda (ekonomi); (3) jabatan; (4) keahlian; (5) informasi; (6) status social; (7) popularitas pribadi, dan (8) massa yang terorganisasi.4

3. Teori Pemisahan Kekuasaan

Pemikiran pentingnya pembatasan kekuasaan mendasari lahirnya

2

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik…, h.60-61. 3

Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), h.9.

4


(31)

19

konsep check and balances, karena kekuasaan yang tidak dibatasi akan selalu cenderung untuk disalah gunakan. Dalam rangka pembatasan kekuasaan, maka dikembangkan teori pemisahan kekuasaan yang pertama kali dikembangkan oleh John Locke. Pemisahan kekuasaan dilakukan dengan memisahkan kekuasaan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk: kekuasaan eksekutif (executive power), kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan federatif (federative power).5

Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan legislatif merupakan lembaga perumus undang-undang dan peraturan-peraturan hukum fundamental negara lainnya.6 Mengenai kekuasaan federative, Locke berpendapat bahwa kekuasaan itu berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga dan aliansi antar negara, dan transaksi-transaksi dengan negara-negara asing.7

Pembenaran akan doktrin pemisahan kekuasaan Lock memperoleh pembenaran teoritis dengan dipublikasikannya karya Montesquieu, L’Esprit de Lois (Semangat Hukum), dalam karyanya Montesquieu mengemukakan teori Trias Politica.8 Secara garis besar ajaran Montesquieu sebagai berikut. Pertama, terciptanya masyarakat yang bebas.

5

Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, (PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2001), h.200-201.

6Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat …, h.201.

7

Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat …, h.203.


(32)

Kedua, jalan untuk mencapai masyarakat yang bebas adalah dengan memisahkan kekuasaan legislatif dengan kekuasaan eksekutif. Ketiga, kekuasaan yudisial harus dipisah dengan fungsi legislatif. Ketiga kekuasaan tersebut menurut Montesquieu harus terpisah satu sama lain mulai dari fungsi maupun mengenai alat perlengkapannya.9

B. Teori Kewenangan

1. Pengertian Kewenangan

Kewenangan adalah kekuasaan. Namun kekuasaan tidak selalu berupa kewenangan. Kedua bentuk pengaruh ini dibedakan dalam keabsahannya. Kewenangan merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan, sedangkan kekuasaan tidak selalu memiliki keabsahan.10 Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) kewenangan adalah kekuasaan membuat keputusan memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya kewenangan adalah hak seseorang untuk memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu.

2. Sumber Kewenangan

Menurut Ramlan Subakti dalam ilmu politk sumber kewenangan dapat dibedakan sebagai berikut :11

9

Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia …, h. 11-12. 10

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (PT.Grasindo: Jakarta, 2007), h.85. 11

Trubus Rahardiansah, Pengantar Ilmu Politik, (Universitas Trisakti: Jakarta, 2012), h.168-170.


(33)

21

a. Hak memerintah berasal dari tradisi. Artinya, kepercayaan yang telah berakar dipelihara secara terus-menerus dalam masyarakat. Kepercayaan yang mengakar berwujud keyakinan bahwa yang ditakdirkan menjadi pemimpin masyarakat adalah dari keluarga tertentu. Contoh, kewenangan Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk Daerah Istimewa Yogyakarta berasal karena beliau merupakan keturunan langsung dari Sultan sebelumnya.

b. Hak memerintah berasal dari Tuhan, dewa, atau wahyu. Hak memerintah ini dianggap bersifat sakral. Orang yang berkuasa berusaha menunjukkan pada khalayak kewenangannya memerintah masyarakat berasal dari kekuatan yang sakral. Contoh, Kaisar Hirohito dari Jepang (dan penggantinya) menunjukkan kewenangan sebagai kepala negara yang berasal dari Dewa Matahari (Amaterasu Omikami).

c. Hak memerintah berasal dari kualitas pribadi sang pemimpin. Seorang pemimpin yang kharismatis merpakan seseorang yang memiliki kualitas pribadi sebab mendapat anugerah istimewa dari kekuatan supernatural sehingga menimbulkan pesona dan daya tarik bagi anggot masyarakat. Pemimpin ini biasanya mampu memukau massa dengan penampilan dan kemampuan retorikanya. Contoh, Mahatma Gandhi dan Bung Karno yang memiliki kharisma karena penampilan dan kemampuan retorikanya.


(34)

d. Hak memerintah masyarakat berasal dari peraturan perundang-undangan. Apabila seseorang menjadi kepala pemerintahan melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan maka sumber kewenangannya berupa hukum. Contoh, seorang presiden dan wakil presiden.

e. Hak memerintah berasal dari sumber yang bersifat instrumental seperti keahlian dan kekayaan. Keahlian yang dimaksud terletak pada keahlian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara kekayaan yang dimaksud adalah pemilikan uang, tanah, barang-barang berharga, surat-surat berharga, dan lain-lain. Keahlian diperlukan untuk melaksanakan pemerintahan yang mampu mencapai tujuan masyarakat. Orang yang tidak memiliki keahlian akan patuh kepada orang yang memiliki keahlian.

Sedangkan menurut Jum Anggriani dalam bukunya yang berjudul Hukum Administrasi Negara sumber kewenangan dibagi menjadi :12

a. Atribusi, merupakan kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Kewenangan atribusi biasanya diberikan oleh Undang-Undang Dasar dalam bentuk pembagian kekuasaan negara.

b. Delegasi, adalah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau pejabat

12


(35)

23

tata usaha negara lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.

c. Sub Delegasi, adalah kewenangan yang diperoleh melalui delegasi dilimpahkan kepada badan/lembaga pejabat tata usaha negara yang lebih rendah untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab atas namanya sendiri.

d. Mandat, merupakan bentuk pelimpahan kekuasaan tetapi tidak sama dengan delegasi, karena mandataris (penerima mandat), dalam melaksanakan kekuasaannya tidak bertindak atas namanya sendiri, tetapi atas nama si pemberi kuasa, karenanya yang bertanggung jawab adalah si pemberi kuasa.

3. Peralihan Kewenangan

Jabatan bersifat relatif tetap, sedangkan orang yang memegang dan menjalankan fungsi (tugas dan kewenangan) jabatan bersifat tidak tetap. Hal ini karena manusia memiliki umur, kemampuan dan kearifan yang terbatas. Selain itu, semakin lama seseorang memegang suatu jabatan, semakin dia menganggap dan memperlakukan jabatan sebagai milik pribadinya. Akibatnya, jabatan yang dimilikinya cenderung di salah gunakan untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Maka dari itu perlu adanya peralihan kewenangan dari seseorang atau kelompok kepada seseorang atau kelompok lainnya.

Di Indonesia sendiri masa jabatan presiden dibatasi selama dua kali masa jabatan. Hal tersebut tertuang di dalam UUD yang berbunyi


(36)

“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan

selanjutnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk

satu kali masa jabatan”.13

Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki.

Menurut Paul Conn secara umum terdapat tiga cara peralihan kewenangan, yakni secara turun-temurun, pemilihan dan pemaksaan. Yang dimaksud dengan peralihan kewenangan secara turun-temurun ialah jabatan dan kewenangan dialihkan kepada keturunan atau keluarga pemegang jabatan terdahulu. Hal ini terjadi dalam system politik otokrasi radisional, seperti kerajaan dan kesultanan. Peralihan kewenangan dengan pemilihan dapat dilakukan secara langsung melalui badan perwakilan rakyat. Hal ini dipraktekan dalam sistem politik demokrasi. Peralihan kewenangan secara paksaan ialah jabatan dan kewenangan terpaksa dialihkan kepada orang atau kelompok lain tidak menurut prosedur yang sudah disepakati, melainkan dengan menggunkan kekerasan, seperti revolusi dan kudeta, dan ancaman kekerasan.14

13

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 7. 14


(37)

25 BAB III

PROFIL KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA, KEWENANGAN PRESIDEN DAN PERAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PENGANGKATAN KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA A. Sejarah, Fungsi, Tugas dan Wewenang Kepolisian Negara Republik

Indonesia

1. Sejarah Kepolisian Republik Indonesia

Kepolisian Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.1 Kepolisian Indonesia mempunyai sejarah yang panjang di Republik ini. Bahkan rantai perjalanan jejaknya lebih dahulu ada jika dibandingkan dengan kelahiran Republik Indonesia. Pada zaman kuno sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat, di Nusantara terdapat beberapa kerajaan besar seperti Sriwijaya, Majapahit, Aceh, Banten, Gowa, dan Bone.Kerajaan-kerajaan tersebut sudah mempunyai lembaga yang menjalankan fungsi kepolisian, walaupun belum merupakan kepolisian modern. Salah satu diantaranya ialah pasukan Bhayangkara di bawah

1

Arifin Firmansyah, dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, (Konsorium Reformasi Hukum Nasional : Jakarta, 2005), h.85.


(38)

pimpinan Gajah Mada di Majapahit.2 Bhayangkara dibentuk untuk menjadi pasukan pengaman yang bertugas melindungi raja dan kerajaan. Maka dari itu hingga kini sosok Gajah Mada merupakan symbol Kepolisian RI dan sebagai penghormatan Polri membangun patung Gajah Mada di depan Kantor Mabes Polri dan nama Bhayangkara dijadikan sebagai nama pasukan Kepolisian.

Kepolisian pada Zaman Hindia Belanda, secara administrasi Lembaga Kepolisian diurus oleh Binnenlandsch Bestuur. Rechts Politie berada dibawah Procureur Politie, tetapi operasional kepolisian sepenuhnya berada ditangan Resident. Pada zaman itu, peran polisi semata-mata adalah sebagai alat kolonial.3 Pada masa pendudukan Jepang, Jepang membagi Indonesia kedalam tiga pemerintahan militer yaitu : a. Jawa dan Madura dibawah kekuasaan Tentara Keenam Belas yang

berpusat di Jakarta.

b. Sumatera di bawah kekuasaan tentara Kedua Puluh Lima yang berpusat di Bukittinggi.

c. Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya dibawah kekuasaan Armada Selatan Kedua yang berpusat di Makassar.4

2

Awalloedin Djamin, dkk, Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia dari Zaman Kuno sampai Sekarang (Jakarta : Yayasan Brata Bhakti, 2013), h. 2.

3

Reformasi Menuju POLRI. yang Profesional, h. 12. 4


(39)

27

Kepolisian pada Zaman Revolusi Fisik dimulai setelah Jepang menyerah dan Indonesia Merdeka, Kepolisian Negara segera dibentuk dan diberlakukan perundang-undangan Hindia Belanda. Berdasarkan ketetapan pemerintah Nomor 11/SD/1946 tanggal 1 Juli 1946 dibentuk Jawatan Kepolisian Negara yang bertanggungjawab langsung kepada Perdana Menteri, yang kemudian diperingati sebagai “Hari Bhayangkara”. Pada saat itu Polri disamping melaksanakan tugasnya sebagai Penegak Hukum juga ikut bertempur di seluruh Wilayah RI dan menyatakan diri sebagai

Combattan”, kedudukan Polri berubah dibawah Presiden/WakilPresiden melalui ketetapan Pemerintah Nomor 1/1948 tanggal 4 February 1948.5

Selanjutnya masuk pada Zaman Demokrasi Parlementer dimana Kepolisian bertanggung jawab kepada Perdana Menteri, Polri melaksanakan tugas sebagai alat Negara Penegak Hukum, Pelindung, dan Pengayom Masyarakat dan ikut serta secara aktif dalam penumpasan pemberontakan dan operasi-operasi militer.6 Kepolisian pada Zaman Demokrasi Terpimpin sampai dengan Zaman Orde Baru, berdasarkan Keppres Nomor 153 Tahun 1959 tanggal 10 Juli 1959 Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan sebagai Menteri Negara ex-officio dan selanjutnya menjadi Menteri Muda Kepolisian sejajar dengan Menteri Muda Pertahanan, Menteri Muda Kehakiman dan Menteri Muda Veteran. Melalui Tap MPR Nomor II Tahun 1960, Kepolisian dinyatakan masuk

5

Reformasi Menuju POLRI. yang Profesional, h. 12. 6


(40)

dalam jajaran ABRI dan melalui Keppres Nomor 21 Tahun 60 sebutan Menteri Muda Kepolisian diganti dengan Menteri. Kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI lebih ditegaskan dalam UU Nomor 13 Tahun 1961 yang kemudian dikuatkan dengan UU Nomor 20 Tahun 1982 dan UU Nomor 28 Tahun 1997.7

Periode Reformasi adalah masa ketika Polri dipisahkan secara struktural dengan angkatan bersenjata. Melalui semangat Reformasi, ABRI mengalami reposisi yang fundamental. Polri mendefinisikan kembali fungsi vitalnya sebagai bhayangkara Negara dan abdi masyarakat, dan mulai memperoleh kembali bentuk-bentuk apresiasi simpatik dari masyarakat sipil.8 Pada reformasi ini Polri mendapatkan legitimasi hukum yang lebih besar. Tangan yuridisnya menjadi lebih luas. Muara dari semua itu adalah terwujudnya Grand Strategy Polri 2005-2025 yang mencakup tiga tahap dalam kebutuhan publik terhadap pelayanan Polri, yaitu membangun Kepercayaan, Kemitraan, dan Kesempurnaan.9

2. Fungsi Kepolisian Republik Indonesia

Secara tegas pada pasal 2 Undang-Undang Kepolisian No.2 Tahun 2002 menyatakan bahwa Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan

7

Reformasi Menuju POLRI. yang Profesional, h. 13. 8

Nurinwa K S. Hendrowinoto, dkk, POLRI. Mengisi Republik (Jakarta : Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, 2010), h. 15.


(41)

29

kepada masyarakat. Hal ini diteruskan dalam pasal 4, bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.10

3. Tugas dan Wewenang Kepolisian Republik Indonesia

Perubahan UUD 1945 mengenai Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 Ayat (3) dan ayat (4), menegaskan adanya pemisahan antara TNI dan Polri dalam menjalankan tugas. Untuk bidang pertahanan negara dilakukan oleh TNI, dan bidang keamanan dan ketertiban masyarakat dilakukan oleh Polri.11

Pengaturan dalam UUD 1945 pasal 30 ayat (4) yang berbunyi

“Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga

keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta meneggakkan hukum”, bunyi ayat tersebut menampakkan adanya semacam dwi fungsi tugas kepolisian, yaitu alat keamanan dan penegak hukum. sebagai alat kemanan, kepolisian bertugas menjaga dan menjamin keamanan, ketertiban, dan ketentraman umum. Sebagai penegak hukum, kepolisian bertugas menyelidik dan menyidik

10

Murtir Jeddawi, Hukum Administrasi Negara, (Total Media: Yogyakarta, 2012), h.179.

11 Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia

(edisi revisi), (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2010), h.233-234.


(42)

tindak pidana sebagai bagian dari sistem penegakkan hukum pidana terpadu.12

Adapun secara khusus, dalam melaksanakan tugas pokoknya kepolisian juga bertugas melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patrol terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dijalan; membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; turut serta dalam pembinaan hukum nasional; memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa, melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; serta tugas-tugas lain yang tercantum di dalam pasal 14 UU No.2 Tahun 2002.13

Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dan 14, Polri juga diberikan wewenang yang dijelaskan dalam pasal 15. Dimana Polri berwenang untuk menerima laporan dan/atau pengaduan; membantu menyelesaikan perselisihan warga

12Ni‟matul Huda,

Hukum Tata Negara Indonesia…, h.235. 13

Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Kencana: Jakarta, 2011), h.357.


(43)

31

masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; dan lainnya yang tercantum pada ayat (1) Pasal 15. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya Polri juga diberikan wewenang untuk memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya; menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor, dan lainnya yang juga diatur pada pasal 15 ayat (2).

B. Kewenangan Presiden dan DPR dalam Pengangkatan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

1. Kewenangan Presiden

Seperti yang kita ketahui bahwasanya konstitusi yang di pakai di Indonesia tidaklah serta merta mencapai kesempurnaan. Seiring berjalannya waktu konstitusi di Indonesia mengalami berbagai perubahan. Perubahan konstitusi tersebut pastinya berdampak pada kekuasaan Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan memberikan kekuasaan sangat besar kepada Presiden. Besarnya kekuasaan tersebut dalam praktiknya ternyata disalahgunakan sehingga menimbulkan pemerintahan otoriter, sentralistis, tertutup dan penuh KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), baik pada masa Presiden Soekarno maupun pada masa Presiden Soeharto. Hal inilah yang kemudian memunculkan tuntutan agar UUD 1945 dilakukan perubahan.


(44)

Pada masa Konstitusi RIS tahun 1949 dan UUD Sementara tahun 1950 Presiden hanyalah sebagai kepala negara yang tidak bisa dimintai pertanggung jawabannya dalam pemerintahan karena roda pemerintahan dipegang oleh perdana menteri. Namun setelah adanya dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang berarti kembali berlakunya UUD 1945. Pada masa berlakunya konstitusi ini kekuasaan Presiden kembali menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.14 Sebagai kepala pemerintahan Presiden memimpin dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dalam bidang eksekutif. Sedangkan dalam posisi sebagai kepala negara seorang Presiden melaksanakan segala kewenangan yang terkait dengan urusan dalam maupun luar negeri sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945.

Berbicara mengenai kekuasaan tidak lepas dari bahasan mengenai kewenangan. Karena diantaranya memiliki keterkaitan satu sama lain. Kekuasaan dan kewenangan sendiri memiliki pengertian yang berbeda namun sulit untuk dipisahkan. Kewenangan pada hakekatnya merupakan kekuasaan. Akan tetapi kekuasaan tidak selalu berupa kewenangan. Diantara keduanya, dibedakan dalam keabsahannya.15

Terkait dengan kewenangan Presiden dalam pengangkatan Kapolri, dimulai sejak era pemerintahan Presiden Soekarno yang mengangkat seorang Kapolri yang dulu disebut Kepala Djawatan Kepolisian Nasional melalui Maklumat Pemerintah tanggal 29 September 1945. Namun kala

14 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia …, h.75-76 15


(45)

33

itu, setelah Indonesia merdeka, pengaturan tentang tata cara pengangkatan dan pemberhentian seorang Kepala Djawatan Kepolisian Nasional belumlah dirumuskan.

Pada tahun 1950, saat Konsitusi RIS 1949 berlaku sebagai konstitusi sementara di Indonesia, melalui Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Serikat Nomor 25 Tahun 1950 Tentang Hak Pengangkatan dan Pemberhentian Pegawai-Pegawai Republik Indonesia Serikat. Dalam undang-undang ini, diatur tentang perihal pengangkatan dan pemberhentian Kepala Djawatan Kepolisian Nasional yaitu pada Pasal 2 Ayat 1 sub a yang berbunyi “Kecuali jika telah atau akan ditentukan dengan Undang-undang dan dengan tidak mengurangi kecualian-kecualian yang ditentukan dalam Undang-undang Darurat ini, maka pegawai-pegawai sipil Republik Indonesia Serikat, dengan mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku tentang hal itu, dipekerjakan untuk sementara, diangkat dalam jabatan tetap Republik Indonesia Serikat, diangkat untuk sementara atau tetap dalam jabatan-jabatannya, diperhentikan dari pekerjaannya sementara, diperhentikan dari jabatannya dan diperhentikan dari jabatan negeri oleh Presiden yang mengenai pegawai-pegawai yang menjabat pangkat-pangkat: Presiden-Direktur Bank Sirkulasi, Jaksa Agung, Direktur Kabinet Presiden R.I.S., Sekretaris Jenderal, Thesaurier-Jenderal, Direktur-Jenderal, Kepala Jawatan Kepolisian Negara, Kepala Jawatan Urusan Umum Pegawai dan


(46)

pangkatpangkat lain yang gaji tertingginya sedikit-dikitnya sama dengan gaji tertinggi pangkat-pangkat yang tersebut di atas”.16

Penjelasan mengenai Pasal 2 Ayat 1 sub a dijabarkan bahwa

“Dalam pasal ini kekuasaan mengangkat dan memberhentikan pegawai pertama-tama diletakkan dalam tangan Presiden semata-mata mengenai pangkat-pangkat yang tersebut dalam ayat 1 sub a pasal ini. Melalui penjelasan yang telah ditentukan oleh undang-undang darurat ini, maka pengangkatan dan pemberhentian Kepala Djawatan Kepolisian Nasional saat itu mutlak menjadi hak prerogatif Presiden.

Dalam perjalanan waktu, pada tanggal 13 Juli 1959 dengan Keppres No. 154/1959 Kepala Djawatan Polisi Nasional juga merangkap jabatan sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama 126 Yuridika: Volume 30 No 1, Januari – April 2015 No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara).17

Dua tahun kemudian, pemerintah membentuk Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian Negara (selanjutnya UU 13/1961) sebagai perwujudan amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor I/MPRS/1960 dan

16

Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Serikat tentang Hak Pengangkatan dan Pemberhentian Pegawai-Pegawai Reublik Indonesia Serikat.

17

http://id.wikipedia.org/wiki/Kepolisian_Negara_Republik_Indonesia, diakses tanggal 26 September 2015, pukul 15.30 WIB.


(47)

35

Nomor II/MPRS/1960. Saat UU 13/1961 berlaku, jabatan Kepala Djawatan Polisi Nasional sudah berubah menjadi Menteri Muda Kepolisian dan mekanisme mengenai pengangkatan serta pemberhentian Menteri Muda Kepolisian tidak diatur. Namun secara tidak langsung, persoalan tersebut menjadi hak prerogatif Presiden.

Pasal 6 berbunyi “Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas

Kepolisian Negara” dan dalam penjelasannya dijabarkan bahwa “Pemimpin tertinggi dari Kepolisian Negara ialah Presiden, karena menurut Undang-undang Dasar 1945 Presiden adalah Kepala Pemerintahan dan Menteri-menteri adalah Pembantu-pembantunya, yang masing-masing langsung bertanggung jawab kepada Presiden”.18

Penjelasan Pasal 6 menuntun kita untuk mengkorelasikan dengan Pasal 3 yang berbunyi “Kepolisian Negara adalah Angkatan Bersenjata”

dan penjelasan Pasal 3 menentukan “Ketentuan dalam ayat ini adalah sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara

Nomor II/MPRS/1960.” Ketetapan Majelis inilah yang menandakan

bahwa pengangkatan dan pemberhentian Menteri Muda Kepolisian dilalukan secara prerogtif oleh Presiden. Hal tersebut terbukti karena

dalam Pasal 10 Ketetapan Majelis menentukan “Memberikan kekuasaan penuh kepada Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang/Pemimpin Besar Revolusi Indonesia untuk melaksanakan putusan-putusan ini.” Secara khusus berarti, bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan

18

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian Negara.


(48)

persoalan Menteri Muda Kepolisian diserahkan sepenuhnya kepada Presiden.

Seiring UU 13/1961 yang sudah tidak relevan lagi dengan pertumbuhan dan perkembangan hukum serta ketatanegaraan di Indonesia, maka pada tahun 1997 UU 13/1961 diganti melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU 28/1997). Berlakunya undang-undang kepolisian yang baru ini ternyata tidak menghilangkan eksistensi hak prerogatif Presiden yang memang kala itu pemerintahan masih dipimpin oleh rezim Orde Baru. Prosedur pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diatur

dalam Pasal 11 Ayat 1 yang berbunyi “Kepala Kepolisian Republik

Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.”19

Efek dari perubahan terhadap UUD NRI 1945 ternyata juga berdampak pada mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Pembatasan kekuasaan Presiden selain memindahkan kekuasaan membentuk undang-undang menjadi kekuasaan DPR (Pasal 20A) dan mengubah kekuasaan Presiden menjadi kekuasaan bersama (Pasal 13 dan Pasal 14) juga berlanjut dalam undang-undang, seperti pengangkatan Panglima TNI, Kapolri, dan lain-lain yang semula semata-mata merupakan kekuasaan eksekutif, berubah menjadi kekuasaan bersama dengan DPR.

Mengikuti perubahan UUD NRI 1945, maka diberlakukanlah undang-undang kepolisian yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 2

19

Pasal 11 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.


(49)

37

Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya bahwa telah terjadi pergeseran kekuasaan, maka bukti yang paling konkret terdapat dalam Pasal 11 UU 2/2002 yaitu: 1) Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; 2) Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada DewanPerwakilan Rakyat disertai dengan alasannya.20

Ketentuan Pasal 11 Ayat 1 dan Ayat 2 UU 2/2002 tentang mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Kapolri yang disertai dengan penjelasannya, menandakan bahwa kewenangan prerogatif yang dahulu mutlak milik seorang Presiden telah bergeser kepada kekuasaan bersama, yang bertujuan agar checks and balances antara eksekutif dengan legislatif dapat terwujud dengan baik, dan dapat untuk mencegah eksekutif melakukan tindakan sewenang-wenang.

Untuk lebih mempermudah membedakan kewenangan Presiden dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Kapolri, berikut tabelnya :

Undang-Undang Jenis Pengangkatan

Undang-Undang nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian Negara.

Hak Prerogatif Presiden

20

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.


(50)

Undang-Undang nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Hak Prerogatif Presiden

Undang-Undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kewenangan Presiden

bersama dengan DPR

Dengan demikian, jaminan penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis berdasarkan asas kedaulatan rakyat dapat berjalan sebagaimana baiknya demi tujuan dan cita-cita bersama rakyat Indonesia. Sebelum reformasi, pengangkatan dan pemberhentian Kapolri mutlak sebagai hak prerogatif yang dilakukan oleh Presiden. Namun dalam perubahan undang-undang Kepolisian yang baru, kewenangan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Kapolri harus dengan persetujuan bersama DPR.

2. Kewenangan DPR

DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara tentunya memiliki fungsi. Fungsi tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Ketiga fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran tersebut dijalankan dalam kerangka representasi rakyat, dan juga untuk mendukung upaya Pemerintah dalam melaksanakan politik luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan21.

21

Pasal 69 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.


(51)

39

Fungsi pengawasan yang dilakukan DPR dalam rangka check and balances, tercantum dalam Pasal 20A ayat (1) 1945 dan Pasal 69 Ayat (1) UU No. 17 Tahun 2014. Secara teoritis, jika dirinci, fungsi-fungsi control atau pengawasan oleh parlemen dalam hal ini DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat dapat dibedakan, yaitu :

1. Pengawasan terhadap penentuan kebijakan (control of policy making);

2. Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (control of policy executing);

3. Pengawasan terhadap penganggaran dan belanja negara (control of budgeting);

4. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja negara (control of budgeting implementation);

5. Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan (control of government performences);

6. Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik (control of political aapoinment of public officials) dalam bentuk persetujuan atau penolakan, ataupun dalam bentuk pemberian pertimbangan oleh DPR.

Dalam menjalankan fungsinya terkait pengawasan pengangkatan pejabat publik yaitu Kapolri, DPR diberikan kewenangan dalam hal memberikan persetujuan kepada Presiden untuk mengangkat Kapolri diatur di dalam Undang-Undang Kepolisian No.2 Tahun 2002 Pasal 11


(52)

yang berbunyi “Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.22

Selain undang-undang diatas didalam Ketetapan MPR No.VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Kepolisian Negara RI, MPR juga mendelegasikan beberapa kewenangan kepada DPR, yaitu memberikan persetujuan kepada Presiden dalam hal hendak mengangkat seorang Panglima TNI demikian juga bila Presiden hendak mengangkat seorang Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.23

Artinya, dalam hal pengangkatan Kapolri ini posisi DPR hanya sebatas memberikan persetujuan terhadap nama calon Kapolri yang diajukan oleh Presiden. Dengan mempertimbangan hasil uji kelayakan atau fit and proper test. Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terhadap usul pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat. Usul pemberhentian Kapolri disampaikan oleh Presiden dengan disertai alasan yang sah, antara lain masa jabatan Kapolri yang bersangkutan telah berakhir, atas permintaan sendiri, memasuki usia pensiun, berhalangan tetap, dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menolak usul pemberhentian Kapolri, maka Presiden menarik kembali usulannya, dan dapat mengajukan kembali permintaan persetujuan pemberhentian Kapolri

22

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

23


(53)

41

pada masa persidangan berikutnya.

C. Mekanisme Pengangkatan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Berbicara mengenai sebuah proses pengangkatan pasti tidak terlepas dari suatu mekanisme yang harus dilalui. Dalam hal pengangkatan seorang Kapolri pun ada mekanisme yang harus dilewati untuk mencapai jabatan tersebut. Di Indonesia pengaturan tentang mekanisme pengangkatan Kapolri belum secara jelas diatur. Kapolri yang dahulu disebut Kepala Djawatan Kepolisian Nasional pertama kali diangkat oleh Soekarno melalui Maklumat Pemerintah tanggal 29 September 1945. Kala itu, sesaat setelah kemerdekaan Indonesia, pengaturan mengenai mekanisme pengangkatan dan pemberhentian seorang Kepala Djawatan Kepolisian Nasional

belum dirumuskan.

Pasal 11 Undang-Undangan No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia hanya menyebutkan bahwa Kapolri diangkat oleh Presiden melalui persetujuan DPR, selanjutnya akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri. Hal inilah yang kemudian di tafsirkan oleh dua lembaga yaitu Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas dan Polri itu sendiri.

Kompolnas sebagai lembaga memiliki beberapa peraturan, yakni undang-undang, lalu turun dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 17 Tahun 2011 yang sebelumnya Perpres No. 17 Tahun 2002. Kemudian seiring adanya Perpres tersebut, maka Kompolnas dan Polri membuat Kesepakatan Bersama No. B/24/IV/2012 dan No.01/IV/2012/Kompolnas Tentang Kerjasama dan Hubungan


(54)

Tata Cara Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia tanggal 5 April 201224. Secara undang-undang memang mekanisme pengangkatan Kapolri belum diatur dengan jelas, namun jika dilihat pada Kesepakatan Bersama Kompolnas dengan Polri, secara tersirat maka Kompolnas-lah yang diberi peran untuk melakukannya.

Menurut Kompolnas25 minimal sejak Kapolri Bambang Hendarso, Timur Pradopo, sampai sekarang Badrodin Haiti bahwa tidak mungkin Kompolnas hanya berada pada taraf memberi penilaian atau memberi masukan. Kompolnas harus tau dulu siapa orang yang akan menjadi Kapolri. Maka Kompolnas memberlakukan suatu ketentuann end to end, a-z. Mulai dari memantau siapa bakal calon Kapolri, lalu memproses untuk mendapatkan calon yang baik sampai pada pengusulannya.

Namun menurut Polri, itu tidak dilihat sebagai hal yang tepat. Mereka berpendapat bahwa haruslah dari pihak polisi saja yang melakukan itu, dan pihak kompolnas hanyalah pihak yang memberi masukan. Sehingga kemudian Polri membuat rancangan Perpres yang berisi bahwa proses sebelum menemukan calon Kapolri ini lalu kemudian mengirimkannya kepada Presiden, Polri mengirimkan nama calon Kapolri kepada Kompolnas lalu Kompolnas dipersilahkan untuk memberi masukan.

Adrianus menambahkan26, sejak zaman Bambang Hendarso sampai Sutarman, perdebatan ini tidak muncul. Barulah pada pengangkatan Budi

24

Kompas, tanggal 20 Februari 2015, h. 6 Kolom II 25

Wawancara penulis dengan Adrianus Meliala, Komisioner Kompolnas pada tanggal 7 September 2015.

26

Wawancara penulis dengan Adrianus Meliala, Komisioner Kompolnas pada tanggal 7 September 2015.


(1)

Pasal 16

(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;

c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda

pengenal diri;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

h. mengadakan penghentian penyidikan;

i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

(2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut :

a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;

c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. menghormati hak asasi manusia.

Pasal 17

Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia menjalankan tugas dan wewenangnya di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, khususnya di daerah hukum pejabat yang bersangkutan ditugaskan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 18

(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan

dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 19

(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.

(2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan.

BAB IV

ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Pasal 20

(1) Pegawai Negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdiri atas : a. anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan


(2)

(2) Terhadap Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.

Pasal 21

(1) Untuk diangkat menjadi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia seorang calon harus memenuhi syarat sekurang-kurangnya sebagai berikut :

a. warga negara Indonesia;

b. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

d. berpendidikan paling rendah Sekolah Menengah Umum atau yang sederajat; e. berumur paling rendah 18 (delapan belas) tahun;

f. sehat jasmani dan rohani;

g. tidak pernah dipidana karena melakukan suatu kejahatan; h. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan i. lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan anggota kepolisian.

(2) Ketentuan mengenai pembinaan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.

Pasal 22

(1) Sebelum diangkat sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, seorang calon anggota yang telah lulus pendidikan pembentukan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Ketentuan mengenai tata cara pengambilan sumpah atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.

Pasal 23

Lafal sumpah atau janji sebagaimana diatur dalam Pasal 22 adalah sebagai berikut : "Demi Allah, saya bersumpah/berjanji :

bahwa saya, untuk diangkat menjadi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tri Brata, Catur Prasatya, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah yang sah;

bahwa saya, akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan kedinasan di Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;

bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah, dan martabat anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan;

bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan;

bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak akan menerima pemberian berupa hadiah dan/atau janji-janji baik langsung maupun tidak langsung yang ada kaitannya dengan pekerjaan saya".

Pasal 24

(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menjalani dinas keanggotaan dengan ikatan dinas.

(2) Ketentuan mengenai ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.


(3)

Pasal 25

(1) Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberi pangkat yang mencerminkan peran, fungsi dan kemampuan, serta sebagai keabsahan wewenang dan tanggung jawab dalam penugasannya.

(2) Ketentuan mengenai susunan, sebutan, dan keselarasan pangkat-pangkat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.

Pasal 26

(1) Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia memperoleh gaji dan hak-hak lainnya yang adil dan layak.

(2) Ketentuan mengenai gaji dan hak-hak lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 27

(1) Untuk membina persatuan dan kesatuan serta meningkatkan semangat kerja dan moril, diadakan peraturan disiplin anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(2) Ketentuan mengenai peraturan disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 28

(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

(2) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih.

(3) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Pasal 29

(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan peradilan umum.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 30

(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat.

(2) Usia pensiun maksimum anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia 58 (lima puluh delapan) tahun dan bagi anggota yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan dalam tugas kepolisian dapat dipertahankan sampai dengan 60 (enam puluh) tahun.

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V

PEMBINAAN PROFESI Pasal 31

Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus memiliki kemampuan profesi.

Pasal 32

(1) Pembinaan kemampuan profesi pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselenggarakan melalui pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalamannya di bidang teknis kepolisian melalui pendidikan, pelatihan, dan penugasan secara berjenjang dan berlanjut.

(2) Pembinaan kemampuan profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.


(4)

Pasal 33

Guna menunjang pembinaan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan pengkajian, penelitian, serta pengembangan ilmu dan teknologi kepolisian.

Pasal 34

(1) Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(2) Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menjadi pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di lingkungannya.

(3) Ketentuan mengenai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri.

Pasal 35

(1) Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselesaikan oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(2) Ketentuan mengenai susunan organisasi dan tata kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri.

Pasal 36

(1) Setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dan pengemban fungsi kepolisian lainnya wajib menunjukkan tanda pengenal sebagai keabsahan wewenang dan tanggung jawab dalam mengemban fungsinya.

(2) Ketentuan mengenai bentuk, ukuran, pengeluaran, pemakaian, dan penggunaan tanda pengenal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Kapolri.

BAB VI

LEMBAGA KEPOLISIAN NASIONAL Pasal 37

(1) Lembaga kepolisian nasional yang disebut dengan Komisi Kepolisian Nasional berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

(2) Komisi Kepolisian Nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Keputusan Presiden.

Pasal 38 (1) Komisi Kepolisian Nasional bertugas :

a. membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan

b. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Komisi Kepolisian Nasional berwenang untuk :

a. mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkaitan dengan anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengembangan sumber daya manusia Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pengembangan sarana dan prasarana Kepolisian Negara Republik Indonesia;

b. memberikan saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang profesional dan mandiri; dan

c. menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikannya kepada Presiden.


(5)

Pasal 39

(1) Keanggotaan Komisi Kepolisian Nasional terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, seorang Sekretaris merangkap anggota dan 6 (enam) orang anggota.

(2) Keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berasal dari unsur-unsur pemerintah, pakar kepolisian, dan tokoh masyarakat.

(3) Ketentuan mengenai susunan organisasi, tata kerja, pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Kepolisian Nasional diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 40

Segala pembiayaan yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas Komisi Kepolisian Nasional dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

BAB VII

BANTUAN, HUBUNGAN, DAN KERJA SAMA Pasal 41

(1) Dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Dalam keadaan darurat militer dan keadaan perang, Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan bantuan kepada Tentara Nasional Indonesia sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.

(3) Kepolisian Negara Republik Indonesia membantu secara aktif tugas pemeliharaan perdamaian dunia di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pasal 42

(1) Hubungan dan kerja sama Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan badan, lembaga, serta instansi di dalam dan di luar negeri didasarkan atas sendi-sendi hubungan fungsional, saling menghormati, saling membantu, mengutamakan kepentingan umum, serta memperhatikan hierarki.

(2) Hubungan dan kerja sama di dalam negeri dilakukan terutama dengan unsur-unsur pemerintah daerah, penegak hukum, badan, lembaga, instansi lain, serta masyarakat dengan mengembangkan asas partisipasi dan subsidiaritas.

(3) Hubungan dan kerja sama luar negeri dilakukan terutama dengan badan-badan kepolisian dan penegak hukum lain melalui kerja sama bilateral atau multilateral dan badan pencegahan kejahatan baik dalam rangka tugas operasional maupun kerja sama teknik dan pendidikan serta pelatihan.

(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII

KETENTUAN PERALIHAN Pasal 43

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku :

a. semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan mengenai Kepolisian Negara Republik Indonesia dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

b. tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sedang diperiksa baik di tingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan militer dan belum mendapat putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan peradilan militer.

c. tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang belum diperiksa baik di tingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan militer berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di lingkungan peradilan umum.


(6)

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP Pasal 44

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3710) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 45

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 8 Januari 2002

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 8 Januari 2002

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd

BAMBANG KESOWO


Dokumen yang terkait

KONSTRUKSI SURAT KABAR TENTANG PEMBERITAAN PROSES PRAPERADILAN PENCALONAN KOMISARIS JENDERAL (KOMJEN) BUDI GUNAWAN SEBAGAI KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA (KAPOLRI)

0 5 23

Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

0 4 93

KEWENANGAN YANG DIMILIKI KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA DALAM PELAKSANAAN TEMBAK DI TEMPAT

3 26 65

KEWENANGAN DISKRESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM MENENTUKAN REHABILITASI PENGGUNA NARKOTIKA.

1 3 14

SKRIPSI KEWENANGAN DISKRESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM MENENTUKAN REHABILITASI PENGGUNA NARKOTIKA.

0 3 14

PENDAHULUAN KEWENANGAN DISKRESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM MENENTUKAN REHABILITASI PENGGUNA NARKOTIKA.

0 3 14

PENUTUP KEWENANGAN DISKRESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM MENENTUKAN REHABILITASI PENGGUNA NARKOTIKA.

0 5 7

SENGKETA KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DENGAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM KASUS KORUPSI.

0 3 51

PEMBERITAAN KEBIJAKAN PRESIDEN DALAM MENETAPKAN BUDI GUNAWAN SEBAGAI CALON KAPOLRI PADA SURAT KABAR KOMPAS (Studi Analisis Isi Kuantitatif Tentang Pemberitaan Kebijakan Presiden Dalam Menetapkan Budi Gunawan Sebagai Calon Kapolri Pada Surat Kabar Harian K

0 1 20

HAK PREROGATIF PRESIDEN DALAM PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN UUD 1945 | Kaharudin | Jurnal Media Hukum 1995 7248 1 PB

0 0 13