Tindak Kejahatan terhadap Cagar Budaya

4 Dewasa ini tidak sedikit warisan budaya di negeri ini yang dilaporkan terancam keberadaannya oleh adanya tindak kejahatan baik berupa pencurian maupun aksi vandalisme. Demikian pula di Bali, kasus pencurian warisan budaya yang juga merupakan benda yang disakralkan seperti arca atau pratima mulai marak terjadi sejak tahun 2006 dan mencapai puncaknya pada tahun 2012. Berdasarkan data kepolisian, kasus pencurian pratima di Bali dalam tiga tahun terakhir tercatat bahwa pada tahun 2010 25 kasus, tahun 2011 4 kasus, dan tahun 2012 22 kasus http:www.bali-bisnis.com, 16 Desember 2012. Di samping pencurian, tindak kejahatan lainnya yang juga kerap terjadi terhadap cagar budaya adalah aksi vandalisme baik dalam bentuk aksi corat- coret graffiti maupun perusakan terhadap cagar budaya. Kian maraknya tindak kejahatan terhadap cagar budaya merupakan ancaman serius bagi keberadaan cagar budaya sebagai representasi dari jejak peradaban masa lalu. Oleh karenanya, untuk mengantisipasi tindak kejahatan terhadap cagar budaya kiranya perlu diupayakan langkah-langkah strategis yang melibatkan para pemangku kepentingan. Salah satu di antaranya adalah melalui pengamanan cagar budaya dengan mengedepankan partisipasi masyarakat. Sejatinya sistem pengamanan berbasis masyarakat telah dikenal sejak zaman dahulu sebagai bagian dari swadharma atau kewajiban warga desa pakraman untuk menjaga keamanan dan ketertiban lingkungannya. Namun demikian, maraknya tindak kejahatan terhadap cagar budaya yang terjadi belakangan ini membuat sistem pengamanan berbasis masyarakat ini kiranya menarik untuk dicermati.

2. Tindak Kejahatan terhadap Cagar Budaya

Pada umumnya bentuk tindak kejahatan terhadap cagar budaya yang sering terjadi di Bali adalah pencurian benda-benda cagar budaya yang bernilai sakral atau disucikan seperti arca atau pratima. Benda-benda sakral ini biasanya tersimpan di tempat-tempat suci pura yang berfungsi sebagai wahana pemujaan terhadap para dewata. Pulau Bali yang juga dikenal dengan julukan The Island of Thousand Temple, memiliki ribuan pura yang tersebar di 5 berbagai pelosok dengan berbagai status dan fungsinya, seperti pura dadia, kahyangan tiga , kahyangan jagat, pura swagina, dhang kahyangan, dan sad kahyangan . Di samping sebagai tempat suci bagi umat Hindu, sebagian pura di Bali juga dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata, seperti Pura Besakih, Tanah Lot, Kehen, Taman Ayun, Uluwatu, Pulaki, Goa Lawah, Rambut Siwi, Penataran Sasih, Tirta Empul, dan lain sebagainya. Ancaman tindak kejahatan terhadap cagar budaya yang juga dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata seperti pada sejumlah pura di atas relatif kecil daripada cagar budaya lainnya yang tidak dimanfatkan sebagai daya tarik wisata. Hal tersebut disebabkan oleh adanya sistem pengawasan atau penjagaan yang merupakan bagian integral dari sistem pengelolaan daya tarik wisata setempat. Berbeda halnya dengan cagar budaya yang tidak dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata sebagaimana kebanyakan pura di Bali, tindak kejahatan dalam bentuk pencurian benda-benda sakral lebih berpeluang terjadi. Hal ini disebabkan karena pada umumnya pura tidak didukung oleh sistem pengawasan dan penjagaan yang berkelanjutan. Terlebih lagi situasi lingkungan pura yang pada umumnya sunyi dan terpisah dari permukiman penduduk lebih memudahkan untuk terjadinya tindak kejahatan. Berkembangnya tindak kejahatan dalam bentuk pencurian benda-benda cagar budaya kiranya tidak terlepas dari meningkatnya pemenuhan konsumsi gaya hidup yang cenderung memanfaatkan objek-objek yang memiliki makna atau nilai keunikan untuk mengekspresikan posisi atau status sosial kelas tertentu. Dalam hal ini benda-benda cagar budaya seperti arca atau pratima lebih dipandang sebagai barang antik yang bernilai tinggi sekaligus sebagai simbol untuk meligitimasi kelas dan status sosial sesorang. Seperti dinyatakan Piliang 2004 : 179, hingga awal milenium ketiga ini masyarakat telah dilanda perkembangan berbagai macam gaya hidup sebagai fungsi dari deferensiasi sosial yang tercipta dari relasi konsumsi. Objek komsumsi tidak lagi mengedepankan nilai guna dalam rangka memenuhi fungsi utilitas atau kebutuhan dasar manusia, tetapi berkaitan dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status, atau simbol sosial tertentu. 6 Berkembangnya permintaan akan barang-barang antik untuk memenuhi konsumsi gaya hidup menyebabkan meningkatnya perburuan barang antik ke berbagai negara. Tak terkecuali Indonesia, khususnya Bali yang di kalangan kolektor juga dikenal sebagai “gudang” barang antik, tampaknya juga telah dijadikan ladang perburuan barang antik oleh sindikat internasional Hasanudin, 2010. Di samping dijadikan komoditas untuk memenuhi konsumsi gaya hidup kelas tertentu, pencurian benda sakral seperti arca atau pratima juga kerap didorong oleh keinginan untuk memperoleh barang-barang yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti berbagai jenis aksesoris dari logam dan batu mulia sebagai motif-motif hiasan pada arca atau pratima. Hal yang menarik dari fenomena pencurian benda-benda sakral di Bali belakangan ini adalah kian meningkatnya keterlibatan warga masyarakat lokal orang Bali dalam pencurian benda-benda sakral. Fenomena ini tidak terlepas dari adanya pergeseran orientasi di kalangan masyarakat Bali yang sebelumnya lebih menekankan pada kekayaan spiritual atau bathiniah homo religious, namun kini lebih mengutamakan kekayaan materi atau lahiriah homo hedonicus . Berkenaan dengan itu maka orang yang dihargai dalam masyarakat bukan orang yang kaya secara batiniah atau mengembangkan pola hidup sederhana, melainkan orang yang kaya secara materi sebagaimana tercermin pada benda-benda simbol status sosial yang dimilikinya. Pada masyarakat seperti ini, keyakinan terhadap kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa atau monotheisme termarginalisasikan oleh pemujaan terhadap uang atau monoytheisme Atmadja, 2006; Maguire, 2000. Motif lainnya yang juga ditengarai mempengaruhi merebaknya tindak kejahatan terhadap benda-benda sakral di Bali adalah motif politik bernuansa SARA. Pencurian Pratima Perlemah Kerukunan Denpasar Antara Bali – Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia LCKI Bali menduga maraknya pencurian pratima atau benda sakral di Pulau Dewata akhir-akhir ini merupakan upaya pihak tertentu untuk memperlemah kerukunan masyarakat yang sudah terjalin dengan baik. Tidak tertutup kemungkinan ada pihak yang iri terhadap kerukunan yang telah menjadi sesuatu yang positif yang kita miliki. Pencurian pratima bisa 7 saja jadi pintu masuk untuk memperlemah kerukunan kita dengan mengutak-atik hal-hal yang dianggap sakral, kata Ketua LCKI Bali Brigjen Pol Purn Njoman Gede Suweta ……… http:bali.antaranews.com, 19 Desember 2012 Contoh kasus kejahatan terhadap cagar budaya di Bali misalnya adalah aksi vandalisme dalam bentuk perusakan yang dilakukan terhadap sejumlah patung yang terdapat di lingkungan Taman Sukasada Ujung Karangasem oleh orang-orang yang tidak dikenal Bali Post, 30 November 2008. Aksi serupa juga dijumpai di sekitar Kawasan Situs Manusia Pura Gilimanuk. Hampir semua patung bermotif tokoh pewayangan yang menghiasi setiap pilar pagar keliling atau panyengker di kawasan ini kehilangan kepalanya atau mengalami kerusakan yang sangat parah. Tampaknya belakangan ini pagar keliling tersebut sudah kembali dipugar dengan mengganti patung-patung tersebut dengan motif-motif hiasan yang lain. Aksi vandalisme seperti di atas oleh sebagian pihak dicurigai sebagai upaya untuk memperlemah identitas kultural orang Bali umat Hindu yang antara lain direpresentasikan melalui karya seni bernuansa Hindu. Tindakan perusakan terhadap karya seni seperti patung-patung bernafaskan Hindu tidak hanya terjadi di Bali, tetapi juga di beberapa daerah lainnya di Indonesia. Seperti misalnya kasus perusakan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap sejumlah patung bermotif tokoh pewayangan di Kota Purwakarta Jawa Barat. Kasus ini dinilai sebagai bentuk penghinaan terhadap agama Hindu, karena tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan merupakan tokoh-tokoh kepahlawan di dalam Itihasa, kususnya Mahabharata. Dengan demikian, perusakan terhadap patung-patung bermotif tokoh pewayangan tersebut dinilai identik dengan pelecehan tehadap Agama Hindu Mertamupu, 2011. Tindakan serupa juga dilaporkan terjadi belum lama ini terhadap sejumlah arca yang disakralkan di Vihara Tridharma Bumi Raya Kota Singkawang Kalimantan Barat. Perusakan terhadap benda-benda sakral di vihara ini bukanlah yang pertama kalinya, melainkan telah terjadi berulang kali. Sebagian pihak mencurigai kejadian ini sebagai upaya dari pihak tertentu untuk menjadikan Singkawang sebagai daerah konflik dengan cara mengusik 8 kerukunan antarumat beragama di Kota Singkawang yang selama ini berlangsung cukup harmonis Media Kalbar.com.

3. Partisipasi Masyarakat dalam Mengantisipasi Tindak Kejahatan Terhadap Cagar Budaya