8
kerukunan antarumat beragama di Kota Singkawang yang selama ini berlangsung cukup harmonis Media Kalbar.com.
3. Partisipasi Masyarakat dalam Mengantisipasi Tindak Kejahatan Terhadap Cagar Budaya
Salah satu faktor yang memberi peluang terjadinya tindakan kejahatan, khususnya pencurian terhadap benda-benda cagar budaya seperti arca atau
pratima yang umumnya tersimpan di tempat-tempat suci atau pura di Bali
adalah lemahnya sistem pengawasan dan penjagaan keamanan terhadap lingkungan pura. Meskipun selama ini di kalangan umat Hindu di setiap desa
pakraman di Bali dikenal adanya kewajiban untuk menjaga keamanan di sekitar lingkungan pura yang disebut makemit, namun tampaknya belum sepenuhnya
berjalan efektif. Tradisi makemit cenderung bersifat insidental, yakni berkaitan dengan penyelenggaraan upacara pujawali, pembangunan atau perbaikan
palinggih atau bangunan suci. Sedangkan pada hari-hari biasa suasana pura
umumnya terlihat sunyi, kecuali pada hari-hari tertentu rarahinan tampak pemangku
pura menghaturkan sesajen dan melakukan persembahyangan dan setelah itu mapamit atau mohon diri.
Pada masa lalu, meskipun pura tidak mendapat pengawasan dan penjagaan secara khusus, namun kasus kejahatan seperti perusakan atau
pencurian benda-benda sakral hampir tidak pernah terjadi. Hal tersebut antar lain disebabkan oleh kuatnya keyakinan masyarakat terhadap adanya ganjaran
atau sanksi niskala misalnya dalam bentuk kaduken atau kapongor dan hukum karmaphala
bagi pelakunya. Kalaupun dijumpai adanya perusakan di sekitar lingkungan pura, biasanya disebabkan oleh gangguan hewan atau ternak seperti
sapi, babi, atau akibat ulah orang yang tidak waras orang gila yang masuk ke lingkungan pura. Namun belakangan ini, berkembangnya moneytheisme dan
materialisme menyebabkan sebagian pihak lebih memandang benda-benda sakral seperti arca atau pratima sebagai komoditas yang bernilai ekonomi.
Akibatnya, tempat suci atau pura tidak lagi dipandang sebagai ruang yang suci dan keramat, melainkan ruang profan untuk memperoleh uang atau komoditas.
9
Untuk mengatasi maraknya tindak kejahatan terhadap cagar budaya, khususnya pencurian benda-benda sakral yang terjadi di berbagai pura di Bali,
perlu adanya langkah-langkah strategis yang melibatkan peran serta seluruh pemangku kepentingan. Strategi yang paling efektif tampaknya adalah
mengaktifkan kembali kewajiban makemit yang dilakukan secara berkelompok dan berkelanjutan. Bagi masyarakat Bali, kewajiban makemit merupakan
sistem penjagaan keamanan yang bersifat konvensional sekaligus merupakan modal sosial yang tidak saja berfungsi untuk menjaga keamanan dan keteriban
sosial, tetapi juga mengembangkan semangat integritas, solidaritas, dan integrasi sosial. Namun demikian, strategi ini diakui memiliki beberapa
kelemahan, di antaranya kegiatan makemit kerap dijadikan arena perjudian dan timbulnya kelelahan fisik di kalangan warga akibat tingginya intensitas
kewajiban makemit. Kelelahan fisik biasanya dialami oleh warga yang di lingkungannya terdapat beberapa pura di mana masing-masing pura
diberlakukan kewajiban makemit, sehingga intensitas makemit menjadi tinggi. Kelemahan pertama dapat diatasi dengan memanfaatkan acara makemit dengan
kegiatan-kegiatan yang bernilai poisitif seperti pengembangan seni tradisi dalam bentuk latihan menari, menabuh, masasanti, dan lain sebagainya.
Sedangkan kelemahan kedua dapat diatasi dengan mengaktifkan sebuah sistem keamanan lingkungan siskamling di tingkat banjar atau lingkungan, sehingga
kewajiban makemit tidak harus dilakukan di masing-masing pura. Strategi lainnya yang belakangan ini juga juga kerap dilakukan untuk
mengantisipasi tindak kejahatan khususnya pencurian benda-benda sakral di sejumlah pura adalah dengan mengubah bentuk dan konstruksi bangunan suci
yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda sakral seperti palinggih
gedong penyimpenan pratima. Kini di sejumlah pura, palinggih gedong
penyimpenan pratima yang sarat dengan ornamen ukir-ukiran telah berubah menjadi bangunan yang menjulang tinggi laksana tower
“anti maling” dengan hiasan ornamen yang sangat minim. Dengan demikian, upaya antisipasi
tindak kejahatan terhadap cagar budaya, pada batas-batas tertentu telah menimbulkan transformasi arsitektur bangunan suci. Bentuk dan konstruksi
10
bangunan suci tidak lagi berpedoman pada kaidah-kaidah arsitektur bangunan suci yang antara lain menonjolkan aspek keindahan atau estetika, melainkan
lebih mengutamakan aspek keamanan. Strategi pengamanan seperti ini tampaknya lebih menekankan pada aspek teknis daripada peran serta
masyarakat secara langsung dalam bentuk kewajiban makemit. Strategi yang bersifat teknis lainnya adalah adanya gagasan untuk
menggunakan sistem pengamanan elektronik, yakni sistem alarm untuk mengantisipasi tindak kejahatan terhadap cagar budaya, khususnya pura.
Gagasan ini pernah dilontarkan dan disosialisasikan oleh pihak Polres Gianyar ke sejumlah desa pakraman di Kabupaten Gianyar pada pertengahan tahun
2010 antarabali.com, 24 Juli 2010. Alat pengamanan sistem alarm ini memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi, yakni bila tersentuh sedikit saja
dengan sendirinya alat ini akan berbunyi. Kelemahan dari sistem pengamanan dengan menggunakan alarm ini justru berada pa sensitivitasnya yang tinggi,
namun tidak dapat membedakan antara sentuhan manusia pencuri dan sentuhan binatang seperti cecak, tikus, atau kucing. Selain alarm, perangkat
elektronik lainnya yang juga dapat digunakan untuk mendukung sistem pengawasan keasmanan adalah berupa kamera c
losed circuit television
CCTV. Alat ini banyak dipasang di tempat-tempat yang membutuhkan pengawasan
secara terus-menerus 24 jam. Penggunaan peralatan teknis seperti alarm dan CCTV untuk mendukung sistem pengawasan dan pengamanan cagar budaya
yang memiliki nilai sakral seperti pura, tampaknya belum bisa diterima oleh seluruh kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat cenderung memandang
sistem pengamanan seperti itu tak ubahnya seperti memperlakukan objek profan dan dikhawatirkan akan mengurangi kadar sakralitas pura sebagai
tempat suci. Pandangan yang hampir sama juga ditujukan terhadap upaya
perlindungan benda-benda sakral dalam bentuk jaminan asuransi. Hal ini dapat dimengerti, karena perlindungan dalam bentuk jaminan arusansi terhadap
benda-benda sakral seperti arca atau pratima belum merupakan hal yang lazim di kalangan umat Hindu di Bali. Berbeda dengan perlindungan terhadap benda-
11
benda cagar budaya baik yang menjadi koleksi museum maupun pribadi, sesuai dengan ketentuan kode etik permuseuman internasional yang mengisyaratkan
pentingnya jaminan asuransi terutama untuk bagi benda-benda cagar budaya yang memiliki nilai historis dan intriksik yang tinggi Kompas.com, 16
Agustus 2010. Oleh karena itu, pemanfaatkan sistem teknologi dan pranata modern asuransi dalam upaya pengawasan, penjagaan, dan perlindungan
terhadap tempat suci atau benda-benda sakral kiranya perlu mendapat legitimasi dari tokoh-tokoh adat dan agama.
Antisipasi tindak kejahatan terhadap benda-benda cagar budaya juga perlu dilakukan melalui sosialisasi dan penyuluhan tentang Undang-undang
Cagar Budaya secara lebih luas dan intensif. Hal ini perlu dilakukan mengingat selama ini sosialisasi dan penyuluhan UU Cagar Budaya lebih terkesan
formalitas yang hanya melibatkan pemuka masyarakat secara terbatas dan tidak ditindaklanjuti dengan sosialisasi dan penyuluhan secara lebih meluas hingga
ke tingkat akar rumput. Sosialisasi dan penyuluhan tentang cagar budaya akan terasa lebih efektif apabila pesan atau informasi yang disampaikan tidak hanya
secara lisan dan sesaat saja. Sosialisasi hendaknya ditindaklanjuti dengan langkah-langkah signage, yakni penyampaian pesan atau informasi baik dalam
bentuk gambar atau tulisan untuk memberikan peringatan atau arahan kepada setiap orang tentang keberadaan suatu objek. Dalam hal ini kiranya perlu
dipikirkan pentingnya pemasangan papan peringatan di setiap cagar budaya yang memuat ketentuan-ketentuan pidana bagi pelaku tindak kejahatan
terhadap cagar budaya. Strategi lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah mengantisipasi
pengaruh globalisasi atau modernitas yang dapat berujung pada desakralisasi, sekulerisasi, atau penidakkeramatan yang bertujuan untuk membebaskan diri
dari dominasi agama Pardoyo, 1993; Hardiman, 2003. Hal ini dapat dilakukan dengan pencerahan-pencerahan spiritual melalui pendidikan formal,
informal, dan nonformal. Dalam konteks ini upaya pelestarian cagar budaya tidaklah semata mengarah pada penyelamatan pada aspek bendanya secara fisik
tangible, tetapi juga menghormati dan menghayati nilai-nilai spiritualitas
12
yang menjadi bagian intrinsik dari benda tersebut intingible. Terkait dengan ini, upaya pencerahan tidak hanya dilakukan oleh ahli agama, tetapi juga
melibatkan peran arkeolog untuk menyajikan nformasi mengenai nilai dan makna cagar budaya sebagai sumberdaya budaya. Dengan demikian
diharapkan akan berkembang kesadaran tentang betapa pentingnya nilai dan makna yang terkandung dalam cagar budaya, sehingga dapat menjadi faktor
pendorong dalam upaya pelestarian dan perlindungan warisan budaya masa lalu Ardika, 2009.
4. Penutup