PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENGANTISIPASI TINDAK KEJAHATAN TERHADAP CAGAR BUDAYA (Perspektif Sosio-Kultural Bali).

(1)

PARTISIPASI MASYARAKAT

DALAM MENGANTISIPASI TINDAK KEJAHATAN TERHADAP CAGAR BUDAYA

(Perspektif Sosio-Kultural Bali)

OLEH

I.B.G. PUJAASTAWA

--- JURUSAN ANTROPOLOGI

FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA

SEMINAR NASIONAL

PERLINDUNGAN DAN PENEGAKAN HUKUM CAGAR BUDAYA DALAM UPAYA PEMBANGUNAN KEPRIBADIAN BANGSA

DAN PARIWISATA BUDAYA DENPASAR, 8 JULI 2013


(2)

DAFTAR ISI

1. Pendahuluan………. 1 2. Tindak Kejahatan terhadap Cagar Budaya 4 3 Partisipasi Masyarakat dalam Mengantisipasi Tindak Kejahatan

Terhadap Cagar Budaya………... 8 4. Penutup………. 12 5. Daftar Pustaka……….. 13


(3)

PARTISIPASI MASYARAKAT

DALAM MENGANTISIPASI TINDAK KEJAHATAN TERHADAP CAGAR BUDAYA

(Perspektif Sosio-Kultural Bali)

I.B.G. Pujaastawa

1. Pendahuluan

Kebudayaan Bali yang eksotik telah menjadikan Bali sebagai destinasi pariwisata yang populer di mata dunia. Eksotisme kebudayaan Bali antara lain tercermin dalam beraneka ragam warisan budaya yang sebagian besar di antaranya masih berfungsi sebagaimana sedia kala (living monument). Warisan budaya yang dimaksud baik berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan cagar budaya yang mengandung nilai-nilai nilai sejarah dan kepurbakalaan, seni, dan religius yang tinggi dan sekaligus merupakan bagian dari identitas budaya bangsa.

Karena memiliki tingkat keunikan (uniqueness) yang tinggi, tidak sedikit dari cagar budaya yang ada di Bali juga dikelola dan dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata, khususnya daya tarik wisata budaya. Pemanfaatan cagar budaya sebagai daya tarik wisata dijamin undang-undang, sebagaimana tersurat pada Pasal 85 ayat 1 UU RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yang menyatakan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan setiap orang dapat memanfaatkan cagar budaya untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata. Adanya hak pemanfaatan cagar budaya sebagai daya tarik wisata di samping diharapkan dapat memberikan manfaat ekonomi, sekaligus juga sangat membantu pelesatariannya.

Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Perlindungan dan Penegakan Hukum Cagar Budaya

dalam Upaya Pembangunan Kepribadian Bangsa dan Pariwisata Budaya dalam Rangka Menyongsong 100 Tahun Hari Purbakala Nasional. Diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komda Bali bekerjasama dengan PS. Arkeologi Unud, Balai Arkeologi Denpasar, dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali. Denpasar 8 Juli 2013.


(4)

Dewasa ini tidak sedikit warisan budaya di negeri ini yang dilaporkan terancam keberadaannya oleh adanya tindak kejahatan baik berupa pencurian maupun aksi vandalisme. Demikian pula di Bali, kasus pencurian warisan budaya yang juga merupakan benda yang disakralkan seperti arca atau pratima mulai marak terjadi sejak tahun 2006 dan mencapai puncaknya pada tahun 2012. Berdasarkan data kepolisian, kasus pencurian pratima di Bali dalam tiga tahun terakhir tercatat bahwa pada tahun 2010 (25 kasus), tahun 2011 (4 kasus), dan tahun 2012 (22 kasus) (http://www.bali-bisnis.com, 16 Desember 2012). Di samping pencurian, tindak kejahatan lainnya yang juga kerap terjadi terhadap cagar budaya adalah aksi vandalisme baik dalam bentuk aksi corat-coret (graffiti) maupun perusakan terhadap cagar budaya.

Kian maraknya tindak kejahatan terhadap cagar budaya merupakan ancaman serius bagi keberadaan cagar budaya sebagai representasi dari jejak peradaban masa lalu. Oleh karenanya, untuk mengantisipasi tindak kejahatan terhadap cagar budaya kiranya perlu diupayakan langkah-langkah strategis yang melibatkan para pemangku kepentingan. Salah satu di antaranya adalah melalui pengamanan cagar budaya dengan mengedepankan partisipasi masyarakat. Sejatinya sistem pengamanan berbasis masyarakat telah dikenal sejak zaman dahulu sebagai bagian dari swadharma atau kewajiban warga desa pakraman untuk menjaga keamanan dan ketertiban lingkungannya. Namun demikian, maraknya tindak kejahatan terhadap cagar budaya yang terjadi belakangan ini membuat sistem pengamanan berbasis masyarakat ini kiranya menarik untuk dicermati.

2. Tindak Kejahatan terhadap Cagar Budaya

Pada umumnya bentuk tindak kejahatan terhadap cagar budaya yang sering terjadi di Bali adalah pencurian benda-benda cagar budaya yang bernilai sakral atau disucikan seperti arca atau pratima. Benda-benda sakral ini biasanya tersimpan di tempat-tempat suci (pura) yang berfungsi sebagai wahana pemujaan terhadap para dewata. Pulau Bali yang juga dikenal dengan julukan The Island of Thousand Temple, memiliki ribuan pura yang tersebar di


(5)

berbagai pelosok dengan berbagai status dan fungsinya, seperti pura dadia,

kahyangan tiga, kahyangan jagat, pura swagina, dhang kahyangan, dan sad

kahyangan. Di samping sebagai tempat suci bagi umat Hindu, sebagian pura di

Bali juga dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata, seperti Pura Besakih, Tanah Lot, Kehen, Taman Ayun, Uluwatu, Pulaki, Goa Lawah, Rambut Siwi, Penataran Sasih, Tirta Empul, dan lain sebagainya.

Ancaman tindak kejahatan terhadap cagar budaya yang juga dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata seperti pada sejumlah pura di atas relatif kecil daripada cagar budaya lainnya yang tidak dimanfatkan sebagai daya tarik wisata. Hal tersebut disebabkan oleh adanya sistem pengawasan atau penjagaan yang merupakan bagian integral dari sistem pengelolaan daya tarik wisata setempat. Berbeda halnya dengan cagar budaya yang tidak dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata (sebagaimana kebanyakan pura di Bali), tindak kejahatan dalam bentuk pencurian benda-benda sakral lebih berpeluang terjadi. Hal ini disebabkan karena pada umumnya pura tidak didukung oleh sistem pengawasan dan penjagaan yang berkelanjutan. Terlebih lagi situasi lingkungan pura yang pada umumnya sunyi dan terpisah dari permukiman penduduk lebih memudahkan untuk terjadinya tindak kejahatan.

Berkembangnya tindak kejahatan dalam bentuk pencurian benda-benda cagar budaya kiranya tidak terlepas dari meningkatnya pemenuhan konsumsi gaya hidup yang cenderung memanfaatkan objek-objek yang memiliki makna atau nilai keunikan untuk mengekspresikan posisi atau status sosial kelas tertentu. Dalam hal ini benda-benda cagar budaya seperti arca atau pratima

lebih dipandang sebagai barang antik yang bernilai tinggi sekaligus sebagai simbol untuk meligitimasi kelas dan status sosial sesorang. Seperti dinyatakan Piliang (2004 : 179), hingga awal milenium ketiga ini masyarakat telah dilanda perkembangan berbagai macam gaya hidup sebagai fungsi dari deferensiasi sosial yang tercipta dari relasi konsumsi. Objek komsumsi tidak lagi mengedepankan nilai guna dalam rangka memenuhi fungsi utilitas atau kebutuhan dasar manusia, tetapi berkaitan dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status, atau simbol sosial tertentu.


(6)

Berkembangnya permintaan akan barang-barang antik untuk memenuhi konsumsi gaya hidup menyebabkan meningkatnya perburuan barang antik ke berbagai negara. Tak terkecuali Indonesia, khususnya Bali yang di kalangan kolektor juga dikenal sebagai “gudang” barang antik, tampaknya juga telah dijadikan ladang perburuan barang antik oleh sindikat internasional (Hasanudin, 2010). Di samping dijadikan komoditas untuk memenuhi konsumsi gaya hidup kelas tertentu, pencurian benda sakral seperti arca atau

pratima juga kerap didorong oleh keinginan untuk memperoleh barang-barang

yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti berbagai jenis aksesoris dari logam dan batu mulia sebagai motif-motif hiasan pada arca atau pratima.

Hal yang menarik dari fenomena pencurian benda-benda sakral di Bali belakangan ini adalah kian meningkatnya keterlibatan warga masyarakat lokal (orang Bali) dalam pencurian benda-benda sakral. Fenomena ini tidak terlepas dari adanya pergeseran orientasi di kalangan masyarakat Bali yang sebelumnya lebih menekankan pada kekayaan spiritual atau bathiniah (homo religious), namun kini lebih mengutamakan kekayaan materi atau lahiriah (homo

hedonicus). Berkenaan dengan itu maka orang yang dihargai dalam masyarakat

bukan orang yang kaya secara batiniah atau mengembangkan pola hidup sederhana, melainkan orang yang kaya secara materi sebagaimana tercermin pada benda-benda simbol status sosial yang dimilikinya. Pada masyarakat seperti ini, keyakinan terhadap kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa atau

monotheisme termarginalisasikan oleh pemujaan terhadap uang atau

monoytheisme (Atmadja, 2006; Maguire, 2000).

Motif lainnya yang juga ditengarai mempengaruhi merebaknya tindak kejahatan terhadap benda-benda sakral di Bali adalah motif politik bernuansa SARA.

Pencurian "Pratima" Perlemah Kerukunan

Denpasar (Antara Bali) – Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI)

Bali menduga maraknya pencurian "pratima" atau benda sakral di Pulau Dewata akhir-akhir ini merupakan upaya pihak tertentu untuk memperlemah kerukunan masyarakat yang sudah terjalin dengan baik. "Tidak tertutup kemungkinan ada pihak yang iri terhadap kerukunan yang telah menjadi sesuatu yang positif yang kita miliki. Pencurian pratima bisa


(7)

saja jadi pintu masuk untuk memperlemah kerukunan kita dengan mengutak-atik hal-hal yang dianggap sakral," kata Ketua LCKI Bali

Brigjen Pol (Purn) Njoman Gede Suweta ………

(http://bali.antaranews.com, 19 Desember 2012)

Contoh kasus kejahatan terhadap cagar budaya di Bali misalnya adalah aksi vandalisme dalam bentuk perusakan yang dilakukan terhadap sejumlah patung yang terdapat di lingkungan Taman Sukasada Ujung Karangasem oleh orang-orang yang tidak dikenal (Bali Post, 30 November 2008). Aksi serupa juga dijumpai di sekitar Kawasan Situs Manusia Pura Gilimanuk. Hampir semua patung bermotif tokoh pewayangan yang menghiasi setiap pilar pagar keliling atau panyengker di kawasan ini kehilangan kepalanya atau mengalami kerusakan yang sangat parah. Tampaknya belakangan ini pagar keliling tersebut sudah kembali dipugar dengan mengganti patung-patung tersebut dengan motif-motif hiasan yang lain.

Aksi vandalisme seperti di atas oleh sebagian pihak dicurigai sebagai upaya untuk memperlemah identitas kultural orang Bali (umat Hindu) yang antara lain direpresentasikan melalui karya seni bernuansa Hindu. Tindakan perusakan terhadap karya seni seperti patung-patung bernafaskan Hindu tidak hanya terjadi di Bali, tetapi juga di beberapa daerah lainnya di Indonesia. Seperti misalnya kasus perusakan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap sejumlah patung bermotif tokoh pewayangan di Kota Purwakarta (Jawa Barat). Kasus ini dinilai sebagai bentuk penghinaan terhadap agama Hindu, karena tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan merupakan tokoh-tokoh kepahlawan di dalam Itihasa, kususnya Mahabharata. Dengan demikian, perusakan terhadap patung-patung bermotif tokoh pewayangan tersebut dinilai identik dengan pelecehan tehadap Agama Hindu (Mertamupu, 2011).

Tindakan serupa juga dilaporkan terjadi belum lama ini terhadap sejumlah arca yang disakralkan di Vihara Tridharma Bumi Raya Kota Singkawang (Kalimantan Barat). Perusakan terhadap benda-benda sakral di vihara ini bukanlah yang pertama kalinya, melainkan telah terjadi berulang kali. Sebagian pihak mencurigai kejadian ini sebagai upaya dari pihak tertentu untuk menjadikan Singkawang sebagai daerah konflik dengan cara mengusik


(8)

kerukunan antarumat beragama di Kota Singkawang yang selama ini berlangsung cukup harmonis (Media Kalbar.com).

3. Partisipasi Masyarakat dalam Mengantisipasi Tindak Kejahatan Terhadap Cagar Budaya

Salah satu faktor yang memberi peluang terjadinya tindakan kejahatan, khususnya pencurian terhadap benda-benda cagar budaya seperti arca atau

pratima yang umumnya tersimpan di tempat-tempat suci atau pura di Bali

adalah lemahnya sistem pengawasan dan penjagaan keamanan terhadap lingkungan pura. Meskipun selama ini di kalangan umat Hindu di setiap desa pakraman di Bali dikenal adanya kewajiban untuk menjaga keamanan di sekitar lingkungan pura yang disebut makemit, namun tampaknya belum sepenuhnya berjalan efektif. Tradisi makemit cenderung bersifat insidental, yakni berkaitan dengan penyelenggaraan upacara pujawali, pembangunan atau perbaikan

palinggih atau bangunan suci. Sedangkan pada hari-hari biasa suasana pura

umumnya terlihat sunyi, kecuali pada hari-hari tertentu (rarahinan) tampak

pemangku pura menghaturkan sesajen dan melakukan persembahyangan dan

setelah itu mapamit atau mohon diri.

Pada masa lalu, meskipun pura tidak mendapat pengawasan dan penjagaan secara khusus, namun kasus kejahatan seperti perusakan atau pencurian benda-benda sakral hampir tidak pernah terjadi. Hal tersebut antar lain disebabkan oleh kuatnya keyakinan masyarakat terhadap adanya ganjaran atau sanksi niskala misalnya dalam bentuk kaduken atau kapongor dan hukum

karmaphala bagi pelakunya. Kalaupun dijumpai adanya perusakan di sekitar

lingkungan pura, biasanya disebabkan oleh gangguan hewan atau ternak seperti sapi, babi, atau akibat ulah orang yang tidak waras (orang gila) yang masuk ke lingkungan pura. Namun belakangan ini, berkembangnya moneytheisme dan materialisme menyebabkan sebagian pihak lebih memandang benda-benda sakral seperti arca atau pratima sebagai komoditas yang bernilai ekonomi. Akibatnya, tempat suci atau pura tidak lagi dipandang sebagai ruang yang suci dan keramat, melainkan ruang profan untuk memperoleh uang atau komoditas.


(9)

Untuk mengatasi maraknya tindak kejahatan terhadap cagar budaya, khususnya pencurian benda-benda sakral yang terjadi di berbagai pura di Bali, perlu adanya langkah-langkah strategis yang melibatkan peran serta seluruh pemangku kepentingan. Strategi yang paling efektif tampaknya adalah mengaktifkan kembali kewajiban makemit yang dilakukan secara berkelompok dan berkelanjutan. Bagi masyarakat Bali, kewajiban makemit merupakan sistem penjagaan keamanan yang bersifat konvensional sekaligus merupakan modal sosial yang tidak saja berfungsi untuk menjaga keamanan dan keteriban sosial, tetapi juga mengembangkan semangat integritas, solidaritas, dan integrasi sosial. Namun demikian, strategi ini diakui memiliki beberapa kelemahan, di antaranya kegiatan makemit kerap dijadikan arena perjudian dan timbulnya kelelahan fisik di kalangan warga akibat tingginya intensitas kewajiban makemit. Kelelahan fisik biasanya dialami oleh warga yang di lingkungannya terdapat beberapa pura di mana masing-masing pura diberlakukan kewajiban makemit, sehingga intensitas makemit menjadi tinggi. Kelemahan pertama dapat diatasi dengan memanfaatkan acara makemit dengan kegiatan-kegiatan yang bernilai poisitif seperti pengembangan seni tradisi dalam bentuk latihan menari, menabuh, masasanti, dan lain sebagainya. Sedangkan kelemahan kedua dapat diatasi dengan mengaktifkan sebuah sistem keamanan lingkungan (siskamling) di tingkat banjar atau lingkungan, sehingga kewajiban makemit tidak harus dilakukan di masing-masing pura.

Strategi lainnya yang belakangan ini juga juga kerap dilakukan untuk mengantisipasi tindak kejahatan khususnya pencurian benda-benda sakral di sejumlah pura adalah dengan mengubah bentuk dan konstruksi bangunan suci yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda sakral seperti

palinggih gedong penyimpenan pratima. Kini di sejumlah pura, palinggih

gedong penyimpenan pratima yang sarat dengan ornamen ukir-ukiran telah

berubah menjadi bangunan yang menjulang tinggi laksana tower “anti maling” dengan hiasan ornamen yang sangat minim. Dengan demikian, upaya antisipasi tindak kejahatan terhadap cagar budaya, pada batas-batas tertentu telah menimbulkan transformasi arsitektur bangunan suci. Bentuk dan konstruksi


(10)

bangunan suci tidak lagi berpedoman pada kaidah-kaidah arsitektur bangunan suci yang antara lain menonjolkan aspek keindahan atau estetika, melainkan lebih mengutamakan aspek keamanan. Strategi pengamanan seperti ini tampaknya lebih menekankan pada aspek teknis daripada peran serta masyarakat secara langsung dalam bentuk kewajiban makemit.

Strategi yang bersifat teknis lainnya adalah adanya gagasan untuk menggunakan sistem pengamanan elektronik, yakni sistem alarm untuk mengantisipasi tindak kejahatan terhadap cagar budaya, khususnya pura. Gagasan ini pernah dilontarkan dan disosialisasikan oleh pihak Polres Gianyar ke sejumlah desa pakraman di Kabupaten Gianyar pada pertengahan tahun 2010 (antarabali.com, 24 Juli 2010). Alat pengamanan sistem alarm ini memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi, yakni bila tersentuh sedikit saja dengan sendirinya alat ini akan berbunyi. Kelemahan dari sistem pengamanan dengan menggunakan alarm ini justru berada pa sensitivitasnya yang tinggi, namun tidak dapat membedakan antara sentuhan manusia (pencuri) dan sentuhan binatang seperti cecak, tikus, atau kucing. Selain alarm, perangkat elektronik lainnya yang juga dapat digunakan untuk mendukung sistem pengawasan keasmanan adalah berupa kamera closed circuit television (CCTV). Alat ini banyak dipasang di tempat-tempat yang membutuhkan pengawasan secara terus-menerus (24 jam). Penggunaan peralatan teknis seperti alarm dan CCTV untuk mendukung sistem pengawasan dan pengamanan cagar budaya yang memiliki nilai sakral seperti pura, tampaknya belum bisa diterima oleh seluruh kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat cenderung memandang sistem pengamanan seperti itu tak ubahnya seperti memperlakukan objek profan dan dikhawatirkan akan mengurangi kadar sakralitas pura sebagai tempat suci.

Pandangan yang hampir sama juga ditujukan terhadap upaya perlindungan benda-benda sakral dalam bentuk jaminan asuransi. Hal ini dapat dimengerti, karena perlindungan dalam bentuk jaminan arusansi terhadap benda-benda sakral seperti arca atau pratima belum merupakan hal yang lazim di kalangan umat Hindu di Bali. Berbeda dengan perlindungan terhadap


(11)

benda-benda cagar budaya baik yang menjadi koleksi museum maupun pribadi, sesuai dengan ketentuan kode etik permuseuman internasional yang mengisyaratkan pentingnya jaminan asuransi terutama untuk bagi benda-benda cagar budaya yang memiliki nilai historis dan intriksik yang tinggi (Kompas.com, 16 Agustus 2010). Oleh karena itu, pemanfaatkan sistem teknologi dan pranata modern (asuransi) dalam upaya pengawasan, penjagaan, dan perlindungan terhadap tempat suci atau benda-benda sakral kiranya perlu mendapat legitimasi dari tokoh-tokoh adat dan agama.

Antisipasi tindak kejahatan terhadap benda-benda cagar budaya juga perlu dilakukan melalui sosialisasi dan penyuluhan tentang Undang-undang Cagar Budaya secara lebih luas dan intensif. Hal ini perlu dilakukan mengingat selama ini sosialisasi dan penyuluhan UU Cagar Budaya lebih terkesan formalitas yang hanya melibatkan pemuka masyarakat secara terbatas dan tidak ditindaklanjuti dengan sosialisasi dan penyuluhan secara lebih meluas hingga ke tingkat akar rumput. Sosialisasi dan penyuluhan tentang cagar budaya akan terasa lebih efektif apabila pesan atau informasi yang disampaikan tidak hanya secara lisan dan sesaat saja. Sosialisasi hendaknya ditindaklanjuti dengan langkah-langkah signage, yakni penyampaian pesan atau informasi baik dalam bentuk gambar atau tulisan untuk memberikan peringatan atau arahan kepada setiap orang tentang keberadaan suatu objek. Dalam hal ini kiranya perlu dipikirkan pentingnya pemasangan papan peringatan di setiap cagar budaya yang memuat ketentuan-ketentuan pidana bagi pelaku tindak kejahatan terhadap cagar budaya.

Strategi lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah mengantisipasi pengaruh globalisasi atau modernitas yang dapat berujung pada desakralisasi, sekulerisasi, atau penidakkeramatan yang bertujuan untuk membebaskan diri dari dominasi agama (Pardoyo, 1993; Hardiman, 2003). Hal ini dapat dilakukan dengan pencerahan-pencerahan spiritual melalui pendidikan formal, informal, dan nonformal. Dalam konteks ini upaya pelestarian cagar budaya tidaklah semata mengarah pada penyelamatan pada aspek bendanya secara fisik


(12)

yang menjadi bagian intrinsik dari benda tersebut (intingible). Terkait dengan ini, upaya pencerahan tidak hanya dilakukan oleh ahli agama, tetapi juga melibatkan peran arkeolog untuk menyajikan nformasi mengenai nilai dan makna cagar budaya sebagai sumberdaya budaya. Dengan demikian diharapkan akan berkembang kesadaran tentang betapa pentingnya nilai dan makna yang terkandung dalam cagar budaya, sehingga dapat menjadi faktor pendorong dalam upaya pelestarian dan perlindungan warisan budaya masa lalu (Ardika, 2009).

4. Penutup

Berkembangnya minat terhadap benda-benda warisan budaya sebagai konsumsi gaya hidup dan fenomena globalisasi yang cenderung mengarah pada homogenisasi peradaban dunia, menjadikan pelestarian dan perlindungan terhadap cagar budaya sebagai langkah penting untuk mempertahankan jati diri bangsa. Berkenaan dengan pengamanan cagar budaya (khususnya pura), masing-masing desa pakraman di Bali sesungguhnya telah memiliki sistem penjagaan keamanan berbasis masyarakat dalam bentuk kewajiban makemit. Pada masa lalu kewajiban makemit tidaklah dilakukan secara intensif dan berkelanjutan, melainkan hanya bersifat insidental. Meskipun demikian, keamanan tempat-tempat suci di Bali pada umumnya relatif terjamin. Namun belakangan ini, maraknya kasus pencurian benda-benda sakral di Bali menyebabkan kewajiban makemit harus dilakukan lebih intensif dan berkelanjutan. Bagi sebagian warga kewajiban ini dirasakan menjadi beban, terlebih bagi mereka yang di lingkungannya terdapat sejumlah pura. Untuk mengatasi masalah ini sistem keamanan berbasis lingkungan (siskamling) kiranya perlu diaktifkan kembali. Di samping itu, pemanfaatan perangkat teknologi modern (alarm dan CCTV) dan jaminan asuransi terhadap benda-benda sakral kiranya perlu mendapat pertimbangan dari tokoh-tokoh adat dan agama. Antisipasi tindak kejahatan terhadap benda-benda cagar budaya juga perlu dilakukan melalui sosialisasi dan penyuluhan tentang Undang-undang Cagar Budaya secara lebih luas dan intensif yang ditindaklanjuti dengan


(13)

signage. Strategi lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah mengantisipasi pengaruh globalisasi yang berujung pada desakralisasi dengan pencerahan-pencerahan spiritual melalui pendidikan formal, informal, dan nonformal.

5. Daftar Pustaka

Antarabali.com. 2010. "Sistem Alarm" Cegah Pencurian Pratima di Pura. 24 Juli 2010.

Ardika, I Wayan. 2009. “Pemahaman dan Pelestarian Tinggalan Arkeologi dalam Menghadapi Era Globalisasi” dalam Pemikiran Kritis Guru Besar Universitas Udayana Bidang Sastra dan Budaya. Denpasar : Udayana University Press dan Badan Penjaminan Mutu (BPMU) Universitas Udayana.

Atmadja, Nengah Bawa. 2006. Maling Pratima dalam Perspektif Agama Pasar. Bali

Post Rabu Pon, 5 Juli 2006.

Bali Post. 30 November 2008. Satpam lalai, Empat Patung di Taman Oejoeng

Dihancurkan.

Bali-bisnis.com. 2012. Keamanan Pura : Polda Bali Imbau Masyarakat Tingkatkan

Penjagaan. http://www.bali-bisnis.com, 16 Desember 2012.

Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas Diskursus Filosofis

tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Hasanudin, Muhammad. 2010. Warga Italia Curi Benda Sakral Hindu. Kompas.com.

Senin, 20 September 2010

Kompas.com. 2010. Museum Sonobudoyo Koleksi Hilang Tanpa Asuransi.

Kompas.com, 16 Agustus 2010.

Maguire, D. C. 2004. Energi Suci Kerja Sama Agama-agama untuk Menyelamatkan

Masa Depan Manusia dan Dunia. (Ali Noer Zaman Penerjemah). Yogyakarta:

Penerbit Pohon Sukma.

Media Kalbar.com. Tiga arca Tridarma Dirusak Patung Dewa Bumi Raya Ditemukan

di Sungai. Media Kalbar.com diakses 28 Mei 2013.

Menteri Hukum dan hak Azasi Manusia Republik Indonesia. 2010. Undang-undang

Republik Indonesia No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130.

Mertamupu. I Ketut 2011. Menggugat Perusakan Patung-Patung Wayang.

http://mertamupu.blogspot.com. Jumat, 23 September 2011.

Mulyadi, Yadi. 2007. Pentingnya Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan

Kawasan Budaya Terpadu dan Kawasan Srategis Konservasi Warisan Budaya di Kota Makassar. Makassar : Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.

Pardoyo. 1993. Sekularisasi dalam Polemik (Sekapur Sirih : Nurcholis Madjid).


(14)

Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Bandung : Jalasutra.


(1)

Untuk mengatasi maraknya tindak kejahatan terhadap cagar budaya, khususnya pencurian benda-benda sakral yang terjadi di berbagai pura di Bali, perlu adanya langkah-langkah strategis yang melibatkan peran serta seluruh pemangku kepentingan. Strategi yang paling efektif tampaknya adalah mengaktifkan kembali kewajiban makemit yang dilakukan secara berkelompok dan berkelanjutan. Bagi masyarakat Bali, kewajiban makemit merupakan sistem penjagaan keamanan yang bersifat konvensional sekaligus merupakan modal sosial yang tidak saja berfungsi untuk menjaga keamanan dan keteriban sosial, tetapi juga mengembangkan semangat integritas, solidaritas, dan integrasi sosial. Namun demikian, strategi ini diakui memiliki beberapa kelemahan, di antaranya kegiatan makemit kerap dijadikan arena perjudian dan timbulnya kelelahan fisik di kalangan warga akibat tingginya intensitas kewajiban makemit. Kelelahan fisik biasanya dialami oleh warga yang di lingkungannya terdapat beberapa pura di mana masing-masing pura diberlakukan kewajiban makemit, sehingga intensitas makemit menjadi tinggi. Kelemahan pertama dapat diatasi dengan memanfaatkan acara makemit dengan kegiatan-kegiatan yang bernilai poisitif seperti pengembangan seni tradisi dalam bentuk latihan menari, menabuh, masasanti, dan lain sebagainya. Sedangkan kelemahan kedua dapat diatasi dengan mengaktifkan sebuah sistem keamanan lingkungan (siskamling) di tingkat banjar atau lingkungan, sehingga kewajiban makemit tidak harus dilakukan di masing-masing pura.

Strategi lainnya yang belakangan ini juga juga kerap dilakukan untuk mengantisipasi tindak kejahatan khususnya pencurian benda-benda sakral di sejumlah pura adalah dengan mengubah bentuk dan konstruksi bangunan suci yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda sakral seperti palinggih gedong penyimpenan pratima. Kini di sejumlah pura, palinggih gedong penyimpenan pratima yang sarat dengan ornamen ukir-ukiran telah berubah menjadi bangunan yang menjulang tinggi laksana tower “anti maling” dengan hiasan ornamen yang sangat minim. Dengan demikian, upaya antisipasi tindak kejahatan terhadap cagar budaya, pada batas-batas tertentu telah menimbulkan transformasi arsitektur bangunan suci. Bentuk dan konstruksi


(2)

bangunan suci tidak lagi berpedoman pada kaidah-kaidah arsitektur bangunan suci yang antara lain menonjolkan aspek keindahan atau estetika, melainkan lebih mengutamakan aspek keamanan. Strategi pengamanan seperti ini tampaknya lebih menekankan pada aspek teknis daripada peran serta masyarakat secara langsung dalam bentuk kewajiban makemit.

Strategi yang bersifat teknis lainnya adalah adanya gagasan untuk menggunakan sistem pengamanan elektronik, yakni sistem alarm untuk mengantisipasi tindak kejahatan terhadap cagar budaya, khususnya pura. Gagasan ini pernah dilontarkan dan disosialisasikan oleh pihak Polres Gianyar ke sejumlah desa pakraman di Kabupaten Gianyar pada pertengahan tahun 2010 (antarabali.com, 24 Juli 2010). Alat pengamanan sistem alarm ini memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi, yakni bila tersentuh sedikit saja dengan sendirinya alat ini akan berbunyi. Kelemahan dari sistem pengamanan dengan menggunakan alarm ini justru berada pa sensitivitasnya yang tinggi, namun tidak dapat membedakan antara sentuhan manusia (pencuri) dan sentuhan binatang seperti cecak, tikus, atau kucing. Selain alarm, perangkat elektronik lainnya yang juga dapat digunakan untuk mendukung sistem pengawasan keasmanan adalah berupa kamera closed circuit television (CCTV). Alat ini banyak dipasang di tempat-tempat yang membutuhkan pengawasan secara terus-menerus (24 jam). Penggunaan peralatan teknis seperti alarm dan CCTV untuk mendukung sistem pengawasan dan pengamanan cagar budaya yang memiliki nilai sakral seperti pura, tampaknya belum bisa diterima oleh seluruh kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat cenderung memandang sistem pengamanan seperti itu tak ubahnya seperti memperlakukan objek profan dan dikhawatirkan akan mengurangi kadar sakralitas pura sebagai tempat suci.

Pandangan yang hampir sama juga ditujukan terhadap upaya perlindungan benda-benda sakral dalam bentuk jaminan asuransi. Hal ini dapat dimengerti, karena perlindungan dalam bentuk jaminan arusansi terhadap benda-benda sakral seperti arca atau pratima belum merupakan hal yang lazim di kalangan umat Hindu di Bali. Berbeda dengan perlindungan terhadap


(3)

benda-benda cagar budaya baik yang menjadi koleksi museum maupun pribadi, sesuai dengan ketentuan kode etik permuseuman internasional yang mengisyaratkan pentingnya jaminan asuransi terutama untuk bagi benda-benda cagar budaya yang memiliki nilai historis dan intriksik yang tinggi (Kompas.com, 16 Agustus 2010). Oleh karena itu, pemanfaatkan sistem teknologi dan pranata modern (asuransi) dalam upaya pengawasan, penjagaan, dan perlindungan terhadap tempat suci atau benda-benda sakral kiranya perlu mendapat legitimasi dari tokoh-tokoh adat dan agama.

Antisipasi tindak kejahatan terhadap benda-benda cagar budaya juga perlu dilakukan melalui sosialisasi dan penyuluhan tentang Undang-undang Cagar Budaya secara lebih luas dan intensif. Hal ini perlu dilakukan mengingat selama ini sosialisasi dan penyuluhan UU Cagar Budaya lebih terkesan formalitas yang hanya melibatkan pemuka masyarakat secara terbatas dan tidak ditindaklanjuti dengan sosialisasi dan penyuluhan secara lebih meluas hingga ke tingkat akar rumput. Sosialisasi dan penyuluhan tentang cagar budaya akan terasa lebih efektif apabila pesan atau informasi yang disampaikan tidak hanya secara lisan dan sesaat saja. Sosialisasi hendaknya ditindaklanjuti dengan langkah-langkah signage, yakni penyampaian pesan atau informasi baik dalam bentuk gambar atau tulisan untuk memberikan peringatan atau arahan kepada setiap orang tentang keberadaan suatu objek. Dalam hal ini kiranya perlu dipikirkan pentingnya pemasangan papan peringatan di setiap cagar budaya yang memuat ketentuan-ketentuan pidana bagi pelaku tindak kejahatan terhadap cagar budaya.

Strategi lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah mengantisipasi pengaruh globalisasi atau modernitas yang dapat berujung pada desakralisasi, sekulerisasi, atau penidakkeramatan yang bertujuan untuk membebaskan diri dari dominasi agama (Pardoyo, 1993; Hardiman, 2003). Hal ini dapat dilakukan dengan pencerahan-pencerahan spiritual melalui pendidikan formal, informal, dan nonformal. Dalam konteks ini upaya pelestarian cagar budaya tidaklah semata mengarah pada penyelamatan pada aspek bendanya secara fisik (tangible), tetapi juga menghormati dan menghayati nilai-nilai spiritualitas


(4)

yang menjadi bagian intrinsik dari benda tersebut (intingible). Terkait dengan ini, upaya pencerahan tidak hanya dilakukan oleh ahli agama, tetapi juga melibatkan peran arkeolog untuk menyajikan nformasi mengenai nilai dan makna cagar budaya sebagai sumberdaya budaya. Dengan demikian diharapkan akan berkembang kesadaran tentang betapa pentingnya nilai dan makna yang terkandung dalam cagar budaya, sehingga dapat menjadi faktor pendorong dalam upaya pelestarian dan perlindungan warisan budaya masa lalu (Ardika, 2009).

4. Penutup

Berkembangnya minat terhadap benda-benda warisan budaya sebagai konsumsi gaya hidup dan fenomena globalisasi yang cenderung mengarah pada homogenisasi peradaban dunia, menjadikan pelestarian dan perlindungan terhadap cagar budaya sebagai langkah penting untuk mempertahankan jati diri bangsa. Berkenaan dengan pengamanan cagar budaya (khususnya pura), masing-masing desa pakraman di Bali sesungguhnya telah memiliki sistem penjagaan keamanan berbasis masyarakat dalam bentuk kewajiban makemit. Pada masa lalu kewajiban makemit tidaklah dilakukan secara intensif dan berkelanjutan, melainkan hanya bersifat insidental. Meskipun demikian, keamanan tempat-tempat suci di Bali pada umumnya relatif terjamin. Namun belakangan ini, maraknya kasus pencurian benda-benda sakral di Bali menyebabkan kewajiban makemit harus dilakukan lebih intensif dan berkelanjutan. Bagi sebagian warga kewajiban ini dirasakan menjadi beban, terlebih bagi mereka yang di lingkungannya terdapat sejumlah pura. Untuk mengatasi masalah ini sistem keamanan berbasis lingkungan (siskamling) kiranya perlu diaktifkan kembali. Di samping itu, pemanfaatan perangkat teknologi modern (alarm dan CCTV) dan jaminan asuransi terhadap benda-benda sakral kiranya perlu mendapat pertimbangan dari tokoh-tokoh adat dan agama. Antisipasi tindak kejahatan terhadap benda-benda cagar budaya juga perlu dilakukan melalui sosialisasi dan penyuluhan tentang Undang-undang Cagar Budaya secara lebih luas dan intensif yang ditindaklanjuti dengan


(5)

signage. Strategi lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah mengantisipasi pengaruh globalisasi yang berujung pada desakralisasi dengan pencerahan-pencerahan spiritual melalui pendidikan formal, informal, dan nonformal.

5. Daftar Pustaka

Antarabali.com. 2010. "Sistem Alarm" Cegah Pencurian Pratima di Pura. 24 Juli 2010.

Ardika, I Wayan. 2009. “Pemahaman dan Pelestarian Tinggalan Arkeologi dalam Menghadapi Era Globalisasi” dalam Pemikiran Kritis Guru Besar Universitas Udayana Bidang Sastra dan Budaya. Denpasar : Udayana University Press dan Badan Penjaminan Mutu (BPMU) Universitas Udayana.

Atmadja, Nengah Bawa. 2006. Maling Pratima dalam Perspektif Agama Pasar. Bali Post Rabu Pon, 5 Juli 2006.

Bali Post. 30 November 2008. Satpam lalai, Empat Patung di Taman Oejoeng Dihancurkan.

Bali-bisnis.com. 2012. Keamanan Pura : Polda Bali Imbau Masyarakat Tingkatkan Penjagaan. http://www.bali-bisnis.com, 16 Desember 2012.

Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Hasanudin, Muhammad. 2010. Warga Italia Curi Benda Sakral Hindu. Kompas.com. Senin, 20 September 2010

Kompas.com. 2010. Museum Sonobudoyo Koleksi Hilang Tanpa Asuransi. Kompas.com, 16 Agustus 2010.

Maguire, D. C. 2004. Energi Suci Kerja Sama Agama-agama untuk Menyelamatkan Masa Depan Manusia dan Dunia. (Ali Noer Zaman Penerjemah). Yogyakarta: Penerbit Pohon Sukma.

Media Kalbar.com. Tiga arca Tridarma Dirusak Patung Dewa Bumi Raya Ditemukan di Sungai. Media Kalbar.com diakses 28 Mei 2013.

Menteri Hukum dan hak Azasi Manusia Republik Indonesia. 2010. Undang-undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130.

Mertamupu. I Ketut 2011. Menggugat Perusakan Patung-Patung Wayang. http://mertamupu.blogspot.com. Jumat, 23 September 2011.

Mulyadi, Yadi. 2007. Pentingnya Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Kawasan Budaya Terpadu dan Kawasan Srategis Konservasi Warisan Budaya di Kota Makassar. Makassar : Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.

Pardoyo. 1993. Sekularisasi dalam Polemik (Sekapur Sirih : Nurcholis Madjid). Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti.


(6)

Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Bandung : Jalasutra.