16
tanah, sehingga dengan pembagian tersebut dapat dicapai pembagian yang adil dan merata pula.
Boedi Harsono, menjelaskan bahwa tujuan landreform yang diselenggarakan di Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani
penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila.
2.1.3. Program Landreform
Sesuai dengan tujuan landreform tersebut di atas program landreform meliputi Boedi Harsono 2005:367 antara lain pembatasan luas maksimum
penguasaan tanah, larangan pemilikan tanah secara absentee, redistribusi tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah yang terkena larangan absentee,
tanah bekas swapraja dan tanah negara, pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan, pengaturan kembali perjanjian bagi
hasil tanah pertanian dan penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan untuk melakukan pemecahan pemilikan tanah menjadi bagian
yang terlampau kecil. Adapun program dari landreform sebagai berikut :
a Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah.
Pokok-pokok mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 17 UU No. 56 Prp Tahun 1960 . Pasal 7 menetapkan bahwa untuk tidak
merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan Boedi Harsono 2005:368. Dari
17
penjelasan pasal tersebut bermaksud untuk mengakhiri dan mencegah tertumpuknya tanah ditangan golongan-golongan dan orang-orang tertentu
saja. Pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas merugikan kepentingan umum, karena berhubungan dengan terbatasnya persediaan tanah
pertanian, khususnya di daerah yang padat penduduknya, hal itu menyebabkan
menjadi sempitnya kemungkinan bagi petani untuk memiliki tanah sendiri.
Banyaknya petani yang tak bertanah makin lama makin bertambah ini berarti syarat-syarat untuk memperoleh tanah garapan tambah lama tambah
menjadi berat, disebabkan bertambahnya petani yang membutuhkan tanah garapan. Menurut Boedi Harsono 1994:288, tanah pertanian yang batas
maksimum dikuasai adalah kurang dari 20 Hektar. Kesemuanya dengan maksud dan tujuan untuk mencapai sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagian, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka,
berdaulat, adil dan makmur.
b Larangan pemilikan tanah secara absentee.
Tanah absentee atau tanah guntai adalah tanah pertanian yang terletak di luar kecamatan tempat tinggal pemiliknya. Pemilikan tanah secara absentee
ini dilarang. Larangan tersebut berkaitan dengan berlakunya asas tanah pertanian yang harus dikerjakan sendiri secara aktif oleh pemiliknya. Asas ini
dimuat dalam Pasal 10 UUPA yang menentukan bahwa setiap pemilik tanah pertanian harus secara aktif mengerjakan tanahnya sendiri, PP No. 41 Tahun
18
1964, PP No. 4 Tahun 1977, dan PMDN No. 15 Tahun 1974. Tanah absentee ini dapat terjadi karena 2 hal yaitu :
1 Apabila seseorang pemilik tanah pertanian meninggalkan
kecamatan tempat tinggalnya di mana tanah pertanian miliknya itu terletak.
2 Apabila pemilik tanah pertanian tersebut meninggal dunia
sedangkan ahli warisnya berdomisili di kecamatan lain. Tujuan melarang pemilikan tanah pertanian secara absentee adalah
agar hasil yang dari pengusahaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang bersangkutan, karena pemilik
tanah akan bertempat tinggal di daerah penghasil. Ketentuan mengenai larangan pemilikan tanah secara absentee ini
lebih lanjut diatur dalam Pasal 3 PP No. 224 Tahun 1961 yang menentukan bahwa pemilik tanah absentee harus memindahkan hak atas tanahnya kepada
penduduk di kecamatan letak tanah tesebut dalam jangka waktu 6 bulan. Ketentuan ini juga berlaku bagi para pemilik tanah yang pada mulanya tinggal
di kecamatan di mana tanah itu terletak tetapi kemudian pindah dan meninggalkan tempatnya terus-menerus selama 2 tahun.
c Redistribusi tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah yang terkena larangan
absentee, tanah bekas swapraja dan tanah negara.
Tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum diambil oleh pemerintah untuk kemudian dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan.
Kepada bekas pemiliknya diberikan ganti kerugian. Pasal 5 PP No. 224 Tahun
19
1961 jo. No. 41 Tahun 1964 menyatakan bahwa soal-soal tersebut dan hal-hal yang bersangkutan dengan itu akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah, sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat 3 UUPA. Penguasaan tanah-tanah kelebihan batas maksimum oleh negara
dimulai pada tangga 24 September 1961 secara berangsur-angsur, setelah ditetapkan bagian atau bagian-bagian mana yang tetap menjadi tanah hak
pemilik dan mana yang akan dikuasai oleh pemerintah. Oleh karena luas tanah yang akan diredistribusikan sangat sedikit jika
dibandingkan dengan jumlah petani yang membutuhkan, maka diadakan prioritas dalam pembagiannya. Para penggarap tanah yang bersangkutan
mendapat prioritas pertama, karena dipandang yang paling membutuhkan dan paling perlu untuk didahulukan. Mereka adalah yang telah mempunyai
hubungan yang paling erat dengan tanah yang digarapnya, sehingga atas dasar prinsip tanah untuk petani yang menggarap, hubungan tersebut tidak boleh
dilepaskan, bahkan harus dijamin kelangsungannya. Tanah yang diredistribusikan tidak terbatas pada tanah-tanah yang
selebihnya dari batas maksimum yang oleh pemerintah, tetapi juga tanah- tanah yang diambil oleh pemerintah karena pemilikannya secara absentee,
tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja. Demikian juga tanah-tanah lain yang dikuasai langsung oleh negara, misalnya tanah bekas partikelir.
20
d Pengaturan pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan
. Pasal 7 UU No. 56 Prp Tahun 1960 memuat ketentuan tentang
pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan. Dengan keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. Sk 10Ka1963 ketentuan Pasal
7 tersebut ditegaskan berlaku juga terhadap gadai tanaman keras, seperti pohon kelapa, pohon buah-buahan yang digadaikan berikut atau tidak berikut
tanahnya. Program ini bertujuan untuk pemilik tanah yang tanahnya digadaikan
kepada pemegang gadai dapat kembali, ini disebabkan karena pemilik tanah menerima uang gadai belum dikembalikan maka tanah tersebut dikuasai oleh
pemegang gadai. Pengembalian uang gadai yang disebut dengan uang tebusan tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan.
Banyaknya gadai yang berlangsung bertahun-tahun bahkan sampai puluhan tahun karena pemilik tanah belum mampu melakukan penebusan, sehingga
pemilik tanah merasa dirugikan dengan melakukan praktek gadai ini. Gadai adalah hubungan hukum antara seseorang dengan tanah
kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai daripadanya. Gadai menggadai menurut ketentuan hukum adat pada umumnya mengandung
unsur eksploitasi, karena hasil yang diterima oleh pemegang gadai dari tanah yang bersangkutan setiap tahunnya umumnya jauh lebih besar jika
dibandingkan dengan apa yang merupakan bunga yang layak dari uang gadai yang diterima pemilik tanah.
21
e Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian .
Pengertian dari perjanjian bagi hasil menurut UU No. 2 Tahun 1960
adalah :
“Perjanjian yang diadakan antara pemilik tanah dengan seseorang atau badan hukum, yang disebut penggarap,
berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di
atas tanah pemilik, yang hasilnya dibagi antara kedua belah pihak menurut imbangan yang disetujui sebelumnya”.
UU No. 2 Tahun 1960 bertujuan untuk memperbaiki nasib para
penggarap tanah milik pihak lain, jika benar-benar dilaksanakan akan mempunyai efek yang sama dengan penyelenggaraan redistribusi tanah
kelebihan dan tanah absentee terhadap penghasilan para petani penggarap. Meraka akan mendapatkan hasil yang lebih besar dari hasil tanahnya.
f Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan
untuk melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecahan, pemilikan tanah pertanian menjadi bagian yang terlampau kecil
. Pasal 17 UUPA selain luas maksimum, juga menghendaki pengaturan
tentang luas minimumnya. Sehubungan yang diatur dalam Pasal 8 Undang- Undang No. 56 Prp Tahun 1960, dalam Pasal 9 dijumpai ketentuan-ketentuan
yang bertujuan untuk mencagah pemecahan pemilikan tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang kurang dari 2 hektar, dengan mangadakan
pembatasan terhadap pemidahan hak milik atas tanah pertanian. 2 hektar tanah tersebut bisa berupa sawah, tanah kering atau sawah dan tanah kering.
Diterapkannya luas minimum tersebut tidak berarti bahwa orang yang mempunyai tanah kurang dari 2 hektar akan diwajibkan melepaskan tanahnya.
22
Pasal 9 Undang-Undang No 56 Prp Tahun 1960 menyatakan : 1.
Pemindahan hak atas tanah pertanian, kecuali pembagian warisan, dilarang apabila pemindahan hak itu mengakibatkan timbulnya
atau berlangsungnya pemilikan tanah yang luasnya kurang dari dua hektar. Larangan termaksud tidak berlaku kalau si penjual hanya
memiliki bidang tanah yang luasnya kurang dari dua hektar dari tanah itu dijual sekaligus.
2. Jika dua orang atau lebih pada waktu mulai berlakunya peraturan
ini memilki tanah pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, di dalam waktu 1 tahun mereka itu wajib menunjuk salah seorang dari
antaranya yang selanjutnya akan memiliki tanah itu. Atau memindahkannya kepada pihak lain, dengan mengingat ketentuan
ayat 1.
3. Jika mereka yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini tidak
melaksanakan kewajiban tersebut di atas, maka dengan memperhatikan keinginan mereka Menteri Agraria atau pejabat
yang ditunjuknya, menunjuk salah seorang dari mereka itu, yang selanjutnya akan memiliki tanah yang bersangkutan, ataupun
menjualnya kepada pihak lain.
4. Mengenai bagian warisan tanah pertanian yang luasnya kurang
dari 2 hektar, akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penetapan batas maksimum penguasaan bidang tanah ditentukan berdasarkan faktor-faktor antara lain jumlah tanah-tanah yang tersedia,
kepadatan penduduk, hubungan jenis dan kesuburan tanah ditiap-tiap kabupaten, seperti sawah dan tanah kering, batas luas maksimum yang
ditetapkan oleh Undang-Undang No 56prp1960 dapat dilihat dalam tabel 1.
Tabel 1 :Batas luas maksimum tanah menurut golongannya No
Kepadatan Penduduk per km Batasan maksimum yang dapat
dikuasaiHa sawah
tanah
1 2
Daerah tidak padat 1-50 per km Daerah padat
a. kurang padat 51-250km
b. Cukup padat 251-400km
c. Sangat padat lebih dari
400km 15
10 7,5
5 20
12 9
6
Sumber : UU No. 56Prp1960
23
Apabila tanah pertanian yang dikuasai merupakan sawah dan tanah kering maka untuk menghitung luas maksimum tersebut luas sawah
dijumlahkan dengan luas tanah kering sama dengan sawah ditambah 30 di daerah yang tidak padat, 20 di daerah yang padat dengan ketentuan bahwa
pertanian yang dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 Ha.
2.2. Tinjauan Tentang Redistribusi Tanah