Dunia kehidupan Jerman: Lebenswelt

16 Habermas menaruh perhatian pada komunikasi dalam bahasa karena dengan demikian ia dapat menunjukkan kemungkinan rasionalitas yang nyata, yang tidak dapat ditiadakan oleh dinamika rasionalitas sasaran tindakan instrumental dan tindakan strategis. 17 Itu karena klaim- klaim kesahihan yang disampaikan melalui tindakan bicara hanya dapat ditagih secara diskursif melalui argumentasi dalam diskursus-diskursus teoritis dan praksis. Jadi, selama manusia dapat berkomunikasi melalui bahasa, rasionalitas dan kebebasan tidak dapat sama sekali ditindas. Lalu bagaimana mengukur komunikasi yang rasional? Menurut Habermas, rasionalitas komunikatif sebuah masyarakat dapat diukur dari universalitas acuan legitimasi tatanannya. Dala ahasa Ha er as: prosedur-prosedur dan prasyarat-prasyarat pencapaian kesepakatan rasional sendiri menjadi prinsip legitimasi norma- or a ya g disepakati . 18 Maksudnya, suatu norma hanya dapat dianggap legitim dan berlaku umum apabila disepakati dalam sebuah diskursus yang bebas dan adil oleh semua pihak yang terkena dampak dari pemberlakuan norma tersebut, termasuk terhadap pemberlakuan norma- norma yang bernuansa agamis. Di dalam setiap budaya masyarakat sudah ada norma yang menjadi latar belakang pemikiran para warganya, dalam istilah Haberma s dise ut dunia kehidupan .

2.2. Dunia kehidupan Jerman: Lebenswelt

Du ia kehidupa , e gikuti Ed u d Husserl, adalah ta do a ggapa -anggapan latar belakang yang diorganisasikan dalam bahasa, yang mereproduksikan diri dalam bentuk tradisi kultural . 19 Dunia kehidupan ini masih bersifat partikular sehingga norma-norma sosio-kultural, termasuk norma moral, suatu masyarakat tidak memadai untuk kebutuhan hidup bersama. Immanuel Kant mencoba melampuai keterbatasan tersebut dengan etika proseduralismenya. 17 F. Magnis-Suseno, Pijar-pijarFilsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Müller ke Postmodernisme Yogyakarta: Kanisius, 2005, 168. 18 Ibid., 172-173. 19 F. Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20 Yogyakarta: Kanisius, 2000, 223. 17 Menurut Kant 1724-1804, moralitas harus murni formal dan dicek melalui prosedur universalisasi. Sebuah norma memiliki daya ikat moral dan berhak menuntut ketaatan moral, apabila dapat dikehendaki menjadi hukum yang berlaku umum. 20 Itulah imperatif kategoris Kant. Ia merumuskan sebuah etika berdasarkan prinsip penguniversalisasian dan menolak paham moralitas substansial. Kant membuat etika menjadi murni formal dan prosedural. Bagi Kant, universalitas keberlakuan sendiri menjadi prinsip legitimatif moralitas. Prinsip universalisasi inilah yang dikembangkan oleh Habe r as e jadi pri sip U da D . . . Prinsip U dan Prinsip D Bertolak dari anggapan Kant bahwa norma moral hanya berlaku apabila dapat diuniversalisasikan, Habermas mengembangkan sebuah etika diskursus. Tetapi, Habermas menolak cara Kant yang masih memastikan keberlakuan universal secara monologis, sama seperti Habermas menolak Teori Kritis. Menurutnya sebuah norma dikehendaki umum ditentukan dari apa yang dapat disepakati sebagai normatif dalam sebuah pembicaraan bersama oleh manusia sebagai makhluk sosial dan berbahasa. Magnis-suseno mengatakan bahwa dengan demikian Habermas melakukan suatu perubahan paradig a radikal dari filsafat su yek ke filsafat ko u ikasi , dari filsafat kesadara ya g khas agi seluruh filsafat oder sejak Des artes ke filsafat ahasa , dari pemusatan perhatian pada subjek beralih ke komunikasi. 21 Habermas kemudian mengubah imperatif kategoris etika deontologis Kant yang masih monologis itu menjadi etika diskursus yang dialogis. Imperatif kategoris Kant diubah menjadi peraturan argumentasi yang dapat dicek persetujuannya oleh semua pihak yang bersangkutan. Peraturan argumentasi ini menjadi kriteria kesepakatan yang dikenal dengan prinsip penguniversalisasi atau prinsi p U yang berbunyi: 20 Ibid., 224. 21 Ibid., 225. 18 Sebuah norma moral hanya boleh dianggap sah kalau akibat-akibat dan efek-efek sampingan yang diperkirakan akan mempengaruhi pemuasan kepentingan siapa saja andaikata norma itu ditaati secara umum, dapat disetujui tanpa paksaan oleh semua Dan hanya ada satu cara yang wajar untuk mengecek apakah semua yang bersangkutan memang menyetujui akibat dan efek-efek norma itu kalau diberlakukan secara universal, yakni melalui diskursus atau pembicaraan argumentatif bersama. Hal itu dirumuskan Habermas dala pri sip D : Hanya norma-norma yang disetujui atau dapat disetujui oleh semua orang yang bersangkutan sebagai peserta sebuah diskursus praktis boleh dianggap sah. 22 Jadi, untuk memastikan apakah sebuah norma moral memang berlaku umum harus diadakan diskursus yang bebas dari tekanan dan paksaan serta kesediaan semua peserta untuk menyetujui akibat positif dan negatif dari norma tersebut. Habermas juga memberikan syarat supaya kedua prinsip tersebut dapat berlaku. Syarat-syarat Habermas supaya pri sip U da pri sip D dapat erlaku dala se uah diskursus yang rasional, yaitu sebagai berikut: 1. Setiap subyek yang bisa bicara dan bertindak boleh ikut dalam diskursus-diskursus. 2. A. Setiap peserta boleh mempersoalkan setiap pernyataan. B. Setiap peserta boleh memasukkan setiap pernyataan ke dalam diskursus. C. Setiap peserta boleh mengungkapkan sikap-sikap, keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya. 3. Tidak boleh ada seorang pembicara dihalangi dengan paksaan baik dalam, maupun di luar diskursus untuk melaksanakan hak-haknya yang dirumuskan sub nomor 1 dan 2. 23 Penting untuk diketahui bahwa Habermas tidak memproduksi norma baru seperti yang dilakukan kebanyakan filosof moral lainnya, tetapi ia hanya memberikan syarat-syarat untuk norma-norma yang ingin berlaku umum. Norma yang dapat menampung kepentingan umum hanyalah norma moral, bukan norma etis, sehingga perlu dipriortaskan pemberlakuannya. 22 Ibid., 226. 23 Ibid., 229. 19 . . Prioritas Yang Moral atas Yang Etis dalam etika diskursus Perlu diperhatikan bahwa klaim Habermas terbatas dari dua sudut. 24 Pertama, etika diskursus tidak mengklaim dapat memproduksikan norma-norma moral baru. Tujuan etika diskursus hanya memeriksa klaim norma-norma moral yang dipersoalkan. Etika diskursus hanyalah metode untuk memastikan norma-norma moral yang diragukan keberlakuannya. Habermas mengklaim bahwa inilah satu-satunya cara etis untuk memecahkan konflik. Kedua, kita harus membedakan antara masalah- asalah hidup ya g aik Ya g Etis dan masalah- asalah hidup ya g adil Ya g Moral . Hidup ya g aik berkutat pada masalah pandangan tentang hidup mana yang bermutu, apa yang dianggap baik dan apa tujuan hidup kita. Pandangan tersebut sangat erat kaitannya dengan identitas dan gaya hidup tertentu serta langsung berkaitan dengan dunia kehidupan sehingga tidak dapat diuniversalisasikan dan tentu tidak masuk ke dalam diskursus, kecuali sebagai latar belakang pandangan-pandangan normatif. Bahan etika diskursus adalah pertanyaan-pertanyaan normatif, khususnya tentang keadilan. Masalah keadilan tidak dapat diselesaikan atas dasar nilai-nilai dan pandangan hidup salah satu penghuni saja karena dalam ruang sosial, apa yang adil adalah apa yang dapat disetujui oleh semua penghuninya melalui diskursus. Magnis-suseno mengatakan, pada sebuah kasus konkret, penerapan norma moral yang telah disepakati dalam diskursus selalu memerlukan kebijaksanaan phronesis yang juga diandaikan pada waktu kita masuk ke dalam diskursus itu . 25 Pengandaian terhadap kebijaksanaaan para peserta diskursus dilakukan untuk menjamin keadlian dalam ruang sosial yang dimaksud. Etika diskursus menjamin bahwa semua anggota masyarakat, semua golongan dan kelompok sosial, budaya, agama dapat hidup menurut keyakinan, cita-cita, nilai-nilai dan pandangan dunia masing-masing. 26 Ia menjamin kekhususan dan kekhasan masing-masing komunitas yang ada dalam masyarakat. Dalam keadaan di mana terjadi konflik tentang sebuah 24 Ibid., 230. 25 Ibid., 231. 26 Ibid., 234. 20 norma moral, etika diskursus memungkinkan untuk memecahkannya secara adil, artinya sedemikian rupa sehingga dapat diterima oleh semua tanpa paksaan dan ancaman terhadap identitas masing-masing. Habermas kemudian memberikan syarat untuk proses deliberasi bagi negara, kelompok agama maupun kelompok sekular.

2.5. Syarat-syarat untuk proses deliberasi