Tantangan dialog antaragama Dialog Antaragama

21 merugikan bukan hanya pluralisme, melainkan juga akan mencederai otonomi agama itu sendiri. Dialog antaragama pun menghadapi banyak tantangan.

3. Dialog Antaragama

28

3.1. Tantangan dialog antaragama

Tantangan dialog antaragama pada dasarnya datang dari fanatisme agama. Fanatisme adalah sikap ora g-ora g saleh u tuk e pertaha ka klai ke e ara spesifiknya. Tetapi secara positif, fanatisme bisa hadir sebagai respon terhadap krisis solidaritas dan marjinalisasi yang dihadirkan oleh pasar kapitalis. Bagi mereka yang terancam secara politis, ekonomis dan sosial, agama justru memberi peran positif terhadap identitas. Huntington mengatakan bahwa aga a uka lah a du asyarakat, tetapi ita i agi ereka ya g le ah. 29 Fanatisme agama memang dapat memberikan keteguhan identitas, tetapi dapat juga membuat umat mengeksklusikan diri. Fanatisme agama tidak cocok dalam kehidupan plural dewasa ini karena tidak sesuai dengan asas-asas demokrasi. Habermas mengatakan ada tiga tantangan modernitas yang harus dijawab oleh kaum beragama untuk turut mengembangkan demokrasi dalam masyarakat yang kompleks dan plural. 30 Ia e gataka perlu ya u at eraga a elajar e e uka posisi episte is rasionalitas iman yang tepat berhadapan dengan tantangan modernitas berikut: 28 Dialog adalah percakapan dua orang atau lebih yang menggunkan bahasa sebagai media untuk bertukar pikiran dan bahkan untuk mencapai sebuah kesepakatan. Sedangkan, dialog antaragama adalah perjumpaan dan kerja sama yang terjadi antara orang-orang yang berbeda agama dan iman. Dialog ini paling sering diadakan di Indonesia. Secara formal dialog ini diadakan oleh pemerintah, sedangkan secara informal diadakan oleh tokoh- tokoh masyarakat.Sutrisnaatmaka mengatakan dialog antaragama diadakan karena Indonesia memiliki sejarah kelam konflik antaragama dan selain itu untuk menghalau upaya penyeragaman praktik keagamaan, mengusahakan toleransi ant aru at da e e ta g fa atis e aga a dala Aloysius M. “utris aat aka, Dialog: Tantangan Melawan Penyeragaman dan Pemaksaan Kehendak , dala Multikulturalisme: Kekayaan dan Tantangannya di Indonesia,ed. E. Kristiyantodan William Chang Jakarta: Obor, 2014, 55-57. 29 Dikutip dari Adria us “u arko, Rasionalitas Iman dan Masyarakat Demokratis Kultural, dala Multikulturalisme: Kekayaan dan Tantangannya di Indonesia,ed. E. Kristiyantodan William Chang Jakarta: Obor, 2014, 33. 30 Ibid., 35. 22 1. Mampu menentukan posisi epistemis yang tepat berhadapan dengan kenyataan plural agama serta berbagai pandangan hidup. Artinya, mampu melihat keterkaitan agamanya sendiri dengan agama lain tanpa mengorbankan klaim kebenaran masing-masing agama. 2. Mampu menentukan posisi epistemis yang tepat berhadapan dengan otoritas ilmu pengetahuan. Artinya, mampu melihat hubungan antara isi dogma dengan pengetahuan sekular sehingga tidak terjadi pertentangan. 3. Memiliki sikap yang tepat terhadap prinsip bahwa yang berlaku dalam dunia politik adalah argu e -argumen yang sekular , berdasarkan akal budi dan dapat dimengerti oleh semua pihak. Proses belajar dalam hal ini berhasil bila mereka mampu e gi tegrasika pri sip egaliter asi g-masing individu serta prinsip moral universal ke dalam konteks doktrin agamanya yang menyeluruh . Kalau ketiga pengandaian posisi epistemis di atas berhasil dipelajari, maka mereka dapat memenuhi tuntutan deliberatif dalam komunikasi. Kleden mengatakan: Tiap kelompok agama memproduksi nilai-nilai dan sistem epistemisnya sendiri, yang dipahami dengan baik oleh para anggota kelompok agama melalui bahasa komunal mereka … Persoala ya: apakah asi g-masing kelompok agama bersedia menyumbangkan nilai- nilai dan sistem epistemis mereka untuk menjadi bahan wacana dalam ruang publik yang dipahami bersama oleh para warga negara yang berasal dari kelompok agama berlainan? 31 Sunarko mengatakan, Gereja Katolik sudah belajar dan membuat sikap terhadap modernitas, terutama terhadap ketiga tuntutan posisi epistemis tersebut di atas. 32 Perlu diingat bahwa Gereja Katolik tidak belajar secara langsung kepada Habermas, tetapi proses belajar yang dilakukan dapat dikaitkan dengan pemikirannya. Proses dan sikap yang diambil sebagai berikut. Pertama, terhadap kenyataan plural agama serta berbagai pandangan hidup lain. Proses belajar dikatakan berhasil apabila umat mampu menunjukkan integrasi antara doktrin partikular agamanya dengan doktrin partikular agama yang lain tanpa mengorbankan klaim kebenaran doktrinnya sendiri. Hasil belajar tersebut dapat ditemukan dalam dua dokumen 31 Ibid., 37. 32 Dikutip dari Veli-Matti Karkkainen, Trinity and Religious Pluralism: The Doctrine of The Trinity in Christian Theology Aldershot: Ashgate Publishing Company dalam Sunarko, ‘asio alitas I a …., 38. 23 penting yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan II. Nostra Aetate dan Ad Gentes yang dihasilkan dalam konsili tersebut menghasilkan tiga tesis berikut: 1. Kemungkinan keselamatan bagi semua orang yang berkehendak baik dan hidup sesuai dengan tuntutan yang diberikan pada mereka. 2. Gereja Katolik menghormati adanya kebenaran dan kesucian dalam tiap agama tetapi tidak berhenti mewartakan Kristus sebagai jalan kebenaran dan hidup. 3. Apa yang baik dan benar dalam berbagai agama dilihat sebagai preparatio evangelica atau sebagai persiapan akan pemenuhan Injil. Oleh karena itu, misi tetap perlu tetapi harus dilakukan dengan rendah hati dan penuh penghargaan terhadap budaya dan agama lain. Posisi kedua berkaitan dengan otoritas ilmu pengetahuan. Proses belajar dikatakan berhasil apabila umat mampu merumuskan hubungan antara doktrin partikular agamanya dengan sains sehingga tidak terjadi pertentangan. Posisi ini terdapat dalam beberapa artikel dari doku e Gaudiu et Spes dan doku e Dei Ver u . 33 Posisi ketiga, berkaitan dengan bahasa sekular dalam sistem demokrasi. Proses belajar dikatakan berhasil apabila umat mampu mengintegrasikan prinsip egaliter masing-masing individu serta prinsip moral universal ke dalam konteks doktrin agamanya yang menyeluruh. 34 Gereja Katolik sudah tidak lagi menolak demokrasi. Perubahan ini dapat dilihat dari sikap Paus Pius XII pada tahun 1944 yang memuji nilai-nilai demokrasi, kemudian Paus Yohanes XXIII yang memberi penghormatan terhadap HAM, Konsili Vatikan II yang menekankan perlunya tatanan politik yang memungkinkan kebebasan partisipasi politik GS 75, menjunjung kebebasan beragama, dan lain-lain. 33 Doku e Gaudiu et Spes berisi hal-hal yang profan dan pokok-pokok iman berasal dari Allah yang sama dan Gereja pun mengakui bahwa ia menerima banyak manfaat dari ilmu pengetahuan. Sedangkan, dokumen Dei Ver u ditegaskan tentang perbedaan kebenaran ilmu pengetahuan dan Kitab Suci. Kebenaran Kitab Suci berkaitan dengan keselamatan dan tidak dapat diukur dengan ilmu pasti. Dokumen tersebut juga menolak penafsiran secara harafiah supaya tidak terjatuh pada penafsiran yang sempit dan memicu konflik. Harus disadari bahwa konteks penulisan Kitab Suci dan jenis-jenis sastra yang digunakan berbeda-beda dalam Sunarko, ‘asio alitas I a …., 40-41. 34 Ibid.,44. 24 Menurut penulis, hasil proses belajar dan sikap Gereja Katolik di atas masih bersifat etis, belum moral, karena masih menyangkut doktrin partikular Gereja Katolik. Lalu bagaimana hasil belajar dan sikap Gereja Katolik di Indonesia, khususnya terhadap posisi yang pertama? Adakah yang berbeda? Kita akan coba melihatnya pada Kongres Persaudaraan Sejati di Muntilan, namun sebelum itu kita akan melihat aksud Persaudaraan Sejati . 3.2. Dialog antaragama dalam Kongres Persaudaraan Sejati di Muntilan 3.2.1. Persaudaraan sejati