9
Abstract:
Habermas did not develop an ethical discourse for interreligion dialogue. He was trying to develop the theory of communicative action and then discourse ethic. Discourse ethic come to
solve the problems of plurality in general means; politics, socials, cultures, and laws. Habermas stated if religion comes to public sphere it must come into several challenges of modernity: 1
The plurality of religion and different views of life, 2 knowledge and science, 3 and
Rechtsstaat. Therefore, the religion ust fi d its episte i positio ratio ality of faith
because, only rational reasons used in public sphere and not the religious reason. The writer wants to focus on the first challenge, the plurality of religion and different views of life.
Dis ourse ethi i this study ill try to o ser e the i terreligio dialogue of Ko gres Persaudaraa “ejati di Mu tila .
Kata kunci: Habermas, etika diskursus, antaragama, dan Kongres Persaudaraan Sejati
1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara dengan tingkat pluralitas yang tinggi.
1
Titaley mengatakan bahwa wajar dalam suatu kehidupan bersama manusia terdapat keragaman suku, ras, budaya, dan
agama. Perbedaan itu bersifat kodrati dan tidak bisa ditolak karena akan mengingkari kodrat manusia itu sendiri.
2
Oleh sebab itu, untuk menanggulangi keberagaman itu, khususnya dalam pluralitas agama, para teolog membangun apa yang disebut teologi agama-agama Theologia
Religionum.
1
Data jumlah dan presentase pemeluk agama di Indonesia berdasarkan Supas BPS tahun 2005 adalah sebagai berikut: agama Islam 189.014.015 jiwa atau 88,58, agama Kristen Protestan 12.356.404 jiwa atau 5,79,
Katolik 6.558.541 jiwa atau 3,07, Hindu 3.697.971 jiwa atau 1,73, Budha 1.299.565 jiwa atau 0,61, Konghuchu 205.757 jiwa atau 0,10, dan lainnya sebanyak 243.034 jiwa atau 0,11 dalam
“uhadi Cholil, dkk. Lapora Tahu a Kehidupa Beraga a di I do esia
9, Center for Religious Cross-cultural Studies Januari 2010: 13, diakses July 15, 2015,
http:crcs.ugm.ac.idgetGntt.
2
John Titaley, Religiositas di AlineaTiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-agama Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013, 169.
10
Teologi agama-agama pada dasarnya menggunakan tipologi tripolar Alan Race. Ada tiga paham yang dipetakan dalam tipologi Race, yakni eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme.
3
Upaya tipologi-tipologi tersebut kurang berhasil karena masih memiliki beberapa kelemahan, yakni mengeksklusikan paham lain yang berbeda dari dirinya, kurang menghargai tradisi religius
yang lain, memandang agama lain secara sempit dan kurang mendorong dialog antaragama.
4
Kebuntuan tersebut coba diatasi oleh Harkamaputra. Harkamaputra mengusulkan adanya dialog antaragama.
5
Memang saat ini di Indonesia dialog antaragama sudah terjadi di kalangan akademisi, kaum elite dan masyarakat pada level
akar rumput,
6
tetapi pada akar rumput belum seintens seperti pada kedua kelompok yang lain. Selain itu, konten dialog masyarakat akar rumput tidak didasarkan pada dialog teologis,
melainkan sering dilandasi motif ekonomi dan sekadar menghindari konflik. Kritik Harkamaputra ini sudah cukup baik, tetapi belum menyentuh persoalan tentang
Ya g Moral .
3
Dalam buku Alan Race Christian and Religious Pluralism 1983 dikatakan bahwa eksklusivisme menempatkan kekristenan sebagai satu-satunya agama yang memiliki kebenaran karena penyataan Allah melalui
Yesus Kristus.Dua teolog yang menunjukkan posisi ini adalah Karl Barth dan Hendrik Kraemer.Berikutnya, inklusivisme dilihat sebagai sebuah posisi yang menerima sekaligus menolak agama-agama lain secara dialektis.
Kekuatan spiritual agama-agama di luar kekristenan diakui, tetapi di sisi lain tidak diakui karena tidak cukup memiliki kebenaran yang hanya dimungkinkan lewat Yesus Kristus. Teolog pada posisi ini adalah Karl Rahner, Hans
Küng dan Bede Griffiths. Pluralisme menganggap bahwa semua agama memiliki kebenaran dari satu Allah, tanpa ada satu pun yang superior, kendati tiap agama unik pada dirinya. Para teolog dan bukan teolog yang berpijak
pada pandangan ini, seperti Wilfred Cantwell Smith, Ernst Troeltsch, W.E. Hocking, Arnold Toynbee, dan John Hick dalam Hans A. Harkamaputra, Melepas Bingkai Jakarta: Grafika Kreasindo, 2014, 11-14.
4
Kriktik Harkamaputra terhadap tipologi tripolar: 1 Secara epistemologis mengeksklusi posisi yang berbeda dengan kriteria yang menjadi inti posisinya. 2 Kurang memberi penghargaan terhadap partikularitas
tradisi religius. Pandangan terhadap tradisi religius lain dilakukan secara a priori dan diukur berdasarkan seberapa mirip tradisi religius tertentu dengan kekristenan. 3 Agama terlalu dipandang secara sempit dan seolah terpisah
dari bidang-bidang kehidupan lain, padahal agama adalah suatu kategorisasi yang selalu berhubungan dengan matriks lainnya dalam kehidupan manusia. 4 Kurang mendorong terjadinya dialog antar iman. Banyak berbicara
tentang tradisi religius lain tetapi secara a priori, dan bukan sebagai hasil dari proses berdialog dengan mereka. 5 Sekalipun ada wacana untuk melakukan dialog antar iman, agenda dialog ala Barat terlalu sempit, yakni di sekitar
persoalan agama per se dan kurang menyentuh bidang-bidang kehidupan lain yang konkret dalam Harkamaputra, Melepas Bingkai, 123.
5
Harkamaputra, Melepas Bingkai, 118.
6
Masyarakat dari lapisan akar rumput didefinisikan sebagai masyarakat lapisan terbawah yang mengalami masalah kemiskinan dan pengucilan dan tidak memiliki akses terhadap pasar tenaga kerja, tanah, distribusi produk
dan hak-hak tertentu dalam Sofwan Sawandani, Mikung: Bertahan dalam Himpita; Kajian masyarakat marjinal di Tasikmalaya Bandung: Yayasan Akagita, 2001, 1-2.
11
Persoalan konten dialog antaragama seperti di atas ternyata sudah terjadi sejak lama di Indonesia.
Persoalan konten sudah terjadi sejak 1960-an.
7
Persoalan tersebut diakibatkan campur tangan pemerintah. Pemerintah mengadakan dialog antaragama dengan tujuan untuk
meredam isu kristenisasi dan hanya dihadiri oleh para pemimpin agama. Berikutnya pada tahun 1979, pemerintah juga menggelar dialog dengan tujuan untuk menciptakan masyarakat
Pancasilais dan keadaan negara yang kondusif. Menarik bahwa dialog antaragama di Muntilan berbeda dengan semua model di atas.
Ada dua perbedaan antara dialog antaragama di Muntilan dengan dialog di atas. Dialog antaragama di Muntilan diadakan oleh gereja Katolik, bukan oleh pemerintah. Pesertanya pun
bukan hanya para pemimpin agama, tetapi sampai ke masyarakat akar rumput. Dialog antaragama
ya g er eda i i se gaja di iptaka u tuk e a gu Persaudaraa yang
“ejati . Johannes Pujasumarta, Uskup Agung Semarang, mengatakan bahwa persaudaraan sejati
adalah absennya pertikaian, konflik, dan peperangan.
8
Persaudaraan sejati mengajak masyarakat untuk membangun kehidupan bersama, baik kaum elite, akedemisi, negarawan,
atau masyarakat pada level akar rumput. Kegiatan tersebut merupakan program dari Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang.
Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang HAK KAS melaksanakan Kongres Persaudaraan Sejati berdasarkan Arah Dasar Umat Allah Keuskupan
Agung Semarang Ardas KAS 2011- , yak i dialog i a da eku e e . Fokus pastoral
tersebut mencita- itaka ter uka ya pa da ga e ge ai pluralitas i a da ter ujudnya
7
Armada Riyanto, Dialog Interreligius: Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah Yogyakarta: Kanisius, 2010,376-377.
8
Ko gres Persaudaraa “ejati Li tas I a , Majalah Bulanan Kristiani: Insipirasi, Lentera yang Membebaskan, Nomor 123 Tahun XI November 2014, 21-22.
12
persaudaraan sejati lintas iman .
9
Kongres tersebut menghasilkan sesuatu yang belum pernah ada di Indonesia.
Ko gres Persaudaraa “ejati e ghasilka Deklarasi Mu tila . Deklarasi tersebut erisika aspirasi peserta pada sesi Pe egasa Bersa a ya g dirangkum dan kemudian
dirumuskan oleh Panitia. Ada empat hal pokok yang berhasil dirumuskan panitia, yaitu perasaan syukur, keteguhan, semangat dan keinginan peserta untuk meneruskan kabar baik
kepada semua orang. Kongres atau dialog antaragama di Muntilan menarik apabila dilihat dari perspektif etika diskursus Jürgen Habermas.
Jürgen Habermas 1929- adalah filosof yang menggagas etika diskurus. Habermas menggagas
dua pri sip dala etika diskursus, yak i pri sip pe gu i ersalisasia U da prinsip dis
kursus D .
10
Pri sip U er u yi setiap or a oral ya g i gi di erlakuka se ara umum harus mendapat persetujuan dari semua orang yang terkena dampak dari pemberlakuan
norma moral tersebut. Sedangkan, pri sip D merupakan cara yang etis untuk memastikan
keberlakuan p ri sip U . Pri sip U hanya mungkin terjadi dalam sebuah diskursus yang bebas
dan adil. Berdasarka kedua pri sip tadi, Ha er as e prioritaska Ya g Moral atas Ya g
Etis . Dengan meminjam pemikiran Habermas tersebut, penulis coba mengatasi kekurangan
yang dihadapi oleh teologi agama- aga a de ga e gusulka prioritas terhadap Ya g Moral
atas Ya g Etis . Artinya, norma yang bersifat umum dan universal harus diprioritaskan
pemberlakuannya atas norma yang spesifik. Hal itu hanya dapat terwujud dalam diskursus yang adil dan bebas. Pemikiran Habermas tersebut coba digunakan oleh penulis untuk meninjau
dialog antaragama. Habermas memang tidak mengembangkan secara khusus sebuah diskursus untuk dialog
antaragama. Ia hanya mengembangkan teori tindakan komunikatif dan kemudian etika diskursus. Etika diskursus hadir untuk mengatasi realitas kemajemukan dalam arti umum,
9
Aloysius Budi Purnomo, Merajut Persaudaraan Sejati Lintas Iman:Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung SemarangYogyakarta: Kanisius, 2014, 9.
10
F.Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad 20 Yogyakarta: Kanisius, 2000, 226.
13
misalnya politik, sosial, budaya, dan hukum. Menurut Habermas, jika agama ingin tampil di ruang publik maka ia berhadapan dengan tiga tantangan modernitas berikut: 1 dengan
kenyataan plural agama serta berbagai pandangan hidup, 2 otoritas ilmu pengetahuan atau sains, 3 dan negara hukum. Oleh sebab itu, agama harus menemukan posisi epistemik
rasionalitas iman karena yang berlaku dalam ruang publik hanyalah alasan-alasan rasional, bukan alasan religius partikular. Pada tulisan ini penulis akan berfokus pada tantangan nomor
satu, yaitu agama berhadapan dengan kenyataan plural agama serta berbagai pandangan hidup. Etika diskursus aka digu aka u tuk e i jau dialog a taraga a er a a Ko gres
Persaudaraa “ejati di Mu tila .
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana dialog antaragama di Muntilan ditinjau dari etika diskursus Jürgen Habermas?
Penulis berharap penelitian ini bermanfaat bagi peserta dan panitia kongres untuk terus mengembangkan dialog. Selain itu, diharapkan memberi sumbangan pemikiran bagi para pegiat
dialog antaragama tentang pentingnya etika diskursus. Adapun sistematika penelitian ini adalah sebagai berikut: 1 Pendahuluan. 2 Etika
Diskursus, 2.1 Teori Tindakan Komunikatif yang menjadi basis epistemik dari etika diskursus, 2.2 Dunia Kehidupan Jerman: Lebenswelt, 2.3 Prinsip U
i ersalisasi U da Pri sip Diskursus D , . Prioritas Ya g Moral atas Ya g Etis , 2.5 Syarat-syarat untuk proses
deliberasi. Berikutnya membahas 3 dialog antaragama. 3.1 Tantangan dialog antaragama, 3.2 Dialog antaragama dalam Kongres Persaudaraan Sejati di Muntilan, 3.2.1 Persaudaraan
sejati, 3.2.2 Kongres persaudaraan sejati di Muntilan. 4 Tinjauan terhadap praksis dialog antaragama di Muntilan dari perspektif etika diskursus Habermas 5 Penutup singkat.
2. Etika Diskursus.