T1 712011015 Full text

(1)

1

TINJAUAN TERHADAP DIALOG ANTARAGAMA DI MUNTILAN DARI PERSPEKTIF ETIKA DISKURSUS JÜRGEN HABERMAS

Oleh

FANDY PILEF TINDI 712011015

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada program studi Teologi, Fakultas Teologi

Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si.Teol)

PROGRAM STUDI TEOLOGI

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

6 MOTTO

LANGIT BE‘BINTANG DI ATA“KU DAN HUKUM MO‘AL DI DALAMKU

(Tulisan di nisan Immanuel Kant 1724-1804)


(7)

7 UCAPAN TERIMA KASIH

Jurnal Tugas Akhir Mahasiswa merupakan salah satu syarat untuk lulus dari Fakultas Teologi Universitas Kritsten Satya Wacana. Setiap mahasiswa wajib untuk mengajukan judul proposal penelitian, mengikuti ujian proposal penelitian, menulis hasil penelitian dan menyerahkan hasil penelitian kepada Panitia Tugas Akhir. Panitia Tugas Akhir akan menyerahkan penelitian mahasiswa tersebut kepada dua orang dosen sebagai reviewer atau pembaca. Mereka kemudian akan memberikan nilai dan menyerahkannya kepada Panitia Tugas Akhir. Selain mereka, pembimbing juga akan menyerahkan penilaian terhadap mahasiswa yang dibimbing kepada Panitia Tugas Akhir. Nilai-nilai tersebut akan menjadi bahan pertimbangan Panitia Tugas Akhir untuk memberikan penilaian.

Reviewer, dosen pembimbing dan Panitia Tugas Akhir telah memberikan penilaian yang sangat baik terhadap tugas akhir saya ya g erjudul Ti jaua Terhadap Dialog A taraga a di Muntilan dari Perspektif Etika Diskursus Jürge Ha er as . Judul terse ut erupaka judul ketiga ya g saya ajuka kepada pa itia. Dua judul se elu ya, yak i Ke e asa Beragama dari Perspektif HAM da Ti jaua Etika Diskursus Terhadap Dialog A taraga a ditolak karena bukan level mahasiswa S1, tetapi S3, kemudian juga karena terlalu abstak, harus penelitian yang konkret. Oleh sebab itu, saya memutuskan untuk meneliti dialog antaragama yang terjadi di Muntilan, Jawa Tengah.

Dalam penelitian tersebut saya mendapat bantuan dari banyak pihak. Pertama, dari pa itia pe yele ggara dialog a taraga a di Mu tila ya g er a a Ko gres Persaudaraa “ejati Li tas I a da Keper ayaa . Saya mengucapkan terima kasih kepada Romo Aloysius Budi Purnomo selaku ketua panitia dan juga Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang. Selain itu ada juga Bu Lena dan Mas Lukas sebagai panitia. Mereka semua sangat membantu dan terbuka dalam memberikan informasi mengenai penelitian ini.

Kedua, saya berterima kasih kepada para pembimbing. Pertama, kepada pembimbing satu Prof. Pdt. John A. Titaley, Th.D yang sangat membantu dalam penulisan Tugas Akhir ini, terutama dalam hal-hal teknis. Beliau masih menyempatkan waktu untuk bimbingan ditenga-tengah kesibukannya sebagai Rektor UKSW. Kedua, pembimbing dua Gusti A. B. Menoh, M.Hum. Beliau adalah pembimbing yang paling sulit dipahami keinginannya dan perfeksionis. Wajar saja karena beliau adalah lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara dan penulis buku Aga a dala ‘ua g Pu lik: Hu u ga A tara Aga a da Negara dala Masyarakat Postsekular Menurut Jürge Ha er as sehi gga saya ditu tut u tuk e uat se uah tulisa yang berkualitas. Saya bersyukur karena diijinkan untuk dibimbing oleh kedua dosen yang


(8)

8

sudah terkenal di nusantara ini. Saya banyak belajar dan terdorong untuk terus belajar. Selamat untuk Pak Menoh yang sebentar lagi akan melangsungkan pertunangannya.

Ketiga, saya berterima kasih kepada dosen-dosen Fakultas Teologi UKSW. Terima kasih kepada dosen-dosen yang sudah mengajar saya selama proses belajar-mengajar sejak awal masuk kuliah 2011 sampai tahun 2016 ini. Tanpa mereka saya tidak akan bisa membuat Tugas Akhir. Terima kasih kepada Panitia Tugas Akhir yang sudah menerima penelitian ini. Terima kasih kepada dosen-dosen karena sudah memberikan masukan yang sangat baik ketika mengikuti ujian proposal. Terima kasih kepada reviewer dan sekali lagi kepada pembimbing. Terima kasih juga kepada pegawai Tata Usaha selaku bagian dari Fakultas Teologi.

Keempat, terima kasih kepada teman-teman mahasiswa. Terima kasih karena boleh berkuliah bersama sejak tahun 2011. Terima kasih buat teman-teman mahasiswa , khususnya angkatan 2011. Teri a kasih uat grup D “ti kless . Teri a kasih kare a au erte a dengan saya, mendengar curahan hati ketika stress mengerjakan Tugas Akhir ini dan terima kasih sudah mau meminjamkan fasilitas yang ada di kontrakan Jl. Dliko Indah No. 146 Salatiga.

Kelima, terima kasih kepada orang tua atas segala dukungan yang diberikan, terutama doa dan dana.

Terakhir, kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mempelajari teologi agama-agama dan juga dialog antaragama membuat pemahaman saya tentang ke-Tuhan-an semakin luas, bahkan menembus tembok-tembok pemisah antaragama. Hal itulah yang membuat saya menyebut ya g tra se de itu de ga kata Tuha atau Tuha Ya g Maha Esa da tidak e ye ut Tuha Yesus Kristus . I i uka erarti saya tidak eri a kepada Yesus, tetapi dala keberimananku kepada Yesus, saya juga melihat bahwa ke-Tuhan-an agama lain tidak boleh disepelehkan.

Mohon maaf kepada pihak-pihak yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Akhirnya, semoga jurnal ini dapat memberi sumbangsih bagi dialog antaragama di Indonesia dan dapat lebih ditingkatkan oleh peneliti yang lain. Terima kasih. Sapere Aude!


(9)

9 Abstract:

Habermas did not develop an ethical discourse for interreligion dialogue. He was trying to develop the theory of communicative action and then discourse ethic. Discourse ethic come to solve the problems of plurality in general means; politics, socials, cultures, and laws. Habermas stated if religion comes to public sphere it must come into several challenges of modernity: (1) The plurality of religion and different views of life, (2) knowledge and science, (3) and Rechtsstaat. Therefore, the religion ust fi d its episte i positio ratio ality of faith because, only rational reasons used in public sphere and not the religious reason. The writer wants to focus on the first challenge, the plurality of religion and different views of life. Dis ourse ethi i this study ill try to o ser e the i terreligio dialogue of Ko gres Persaudaraa “ejati di Mu tila .

Kata kunci: Habermas, etika diskursus, antaragama, dan Kongres Persaudaraan Sejati

1. Pendahuluan

Indonesia merupakan negara dengan tingkat pluralitas yang tinggi.1 Titaley mengatakan bahwa wajar dalam suatu kehidupan bersama manusia terdapat keragaman suku, ras, budaya, dan agama. Perbedaan itu bersifat kodrati dan tidak bisa ditolak karena akan mengingkari kodrat manusia itu sendiri.2 Oleh sebab itu, untuk menanggulangi keberagaman itu, khususnya dalam pluralitas agama, para teolog membangun apa yang disebut teologi agama-agama (Theologia Religionum).

1

Data jumlah dan presentase pemeluk agama di Indonesia berdasarkan Supas BPS tahun 2005 adalah sebagai berikut: agama Islam 189.014.015 jiwa atau 88,58%, agama Kristen Protestan 12.356.404 jiwa atau 5,79%, Katolik 6.558.541 jiwa atau 3,07%, Hindu 3.697.971 jiwa atau 1,73%, Budha 1.299.565 jiwa atau 0,61%, Konghuchu 205.757 jiwa atau 0,10%, dan lainnya sebanyak 243.034 jiwa atau 0,11% dalam “uhadi Cholil, dkk. Lapora

Tahu a Kehidupa Beraga a di I do esia 9, Center for Religious & Cross-cultural Studies (Januari 2010): 13, diakses July 15, 2015, http://crcs.ugm.ac.id/get/Gntt.

2

John Titaley, Religiositas di AlineaTiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-agama (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 169.


(10)

10

Teologi agama-agama pada dasarnya menggunakan tipologi tripolar Alan Race. Ada tiga paham yang dipetakan dalam tipologi Race, yakni eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme.3 Upaya tipologi-tipologi tersebut kurang berhasil karena masih memiliki beberapa kelemahan, yakni mengeksklusikan paham lain yang berbeda dari dirinya, kurang menghargai tradisi religius yang lain, memandang agama lain secara sempit dan kurang mendorong dialog antaragama.4 Kebuntuan tersebut coba diatasi oleh Harkamaputra.

Harkamaputra mengusulkan adanya dialog antaragama.5 Memang saat ini di Indonesia dialog antaragama sudah terjadi di kalangan akademisi, kaum elite dan masyarakat pada level akar rumput,6 tetapi pada akar rumput belum seintens seperti pada kedua kelompok yang lain. Selain itu, konten dialog masyarakat akar rumput tidak didasarkan pada dialog teologis, melainkan sering dilandasi motif ekonomi dan sekadar menghindari konflik. Kritik Harkamaputra ini sudah cukup baik, tetapi belum menyentuh persoalan tentang Ya g Moral .

3

Dalam buku Alan Race Christian and Religious Pluralism (1983) dikatakan bahwa eksklusivisme

menempatkan kekristenan sebagai satu-satunya agama yang memiliki kebenaran karena penyataan Allah melalui Yesus Kristus.Dua teolog yang menunjukkan posisi ini adalah Karl Barth dan Hendrik Kraemer.Berikutnya,

inklusivisme dilihat sebagai sebuah posisi yang menerima sekaligus menolak agama-agama lain secara dialektis. Kekuatan spiritual agama-agama di luar kekristenan diakui, tetapi di sisi lain tidak diakui karena tidak cukup memiliki kebenaran yang hanya dimungkinkan lewat Yesus Kristus. Teolog pada posisi ini adalah Karl Rahner, Hans Küng dan Bede Griffiths. Pluralisme menganggap bahwa semua agama memiliki kebenaran dari satu Allah, tanpa ada satu pun yang superior, kendati tiap agama unik pada dirinya. Para teolog dan bukan teolog yang berpijak pada pandangan ini, seperti Wilfred Cantwell Smith, Ernst Troeltsch, W.E. Hocking, Arnold Toynbee, dan John Hick dalam Hans A. Harkamaputra, Melepas Bingkai (Jakarta: Grafika Kreasindo, 2014), 11-14.

4

Kriktik Harkamaputra terhadap tipologi tripolar: (1) Secara epistemologis mengeksklusi posisi yang berbeda dengan kriteria yang menjadi inti posisinya. (2) Kurang memberi penghargaan terhadap partikularitas tradisi religius. Pandangan terhadap tradisi religius lain dilakukan secara a priori dan diukur berdasarkan seberapa mirip tradisi religius tertentu dengan kekristenan. (3) Agama terlalu dipandang secara sempit dan seolah terpisah dari bidang-bidang kehidupan lain, padahal agama adalah suatu kategorisasi yang selalu berhubungan dengan matriks lainnya dalam kehidupan manusia. (4) Kurang mendorong terjadinya dialog antar iman. Banyak berbicara tentang tradisi religius lain tetapi secara a priori, dan bukan sebagai hasil dari proses berdialog dengan mereka. (5) Sekalipun ada wacana untuk melakukan dialog antar iman, agenda dialog ala Barat terlalu sempit, yakni di sekitar persoalan agama per se dan kurang menyentuh bidang-bidang kehidupan lain yang konkret dalam Harkamaputra, Melepas Bingkai, 123.

5

Harkamaputra, Melepas Bingkai, 118.

6

Masyarakat dari lapisan akar rumput didefinisikan sebagai masyarakat lapisan terbawah yang mengalami masalah kemiskinan dan pengucilan dan tidak memiliki akses terhadap pasar tenaga kerja, tanah, distribusi produk dan hak-hak tertentu dalam Sofwan Sawandani, Mikung: Bertahan dalam Himpita; Kajian masyarakat marjinal di Tasikmalaya (Bandung: Yayasan Akagita, 2001), 1-2.


(11)

11

Persoalan konten dialog antaragama seperti di atas ternyata sudah terjadi sejak lama di Indonesia.

Persoalan konten sudah terjadi sejak 1960-an.7 Persoalan tersebut diakibatkan campur tangan pemerintah. Pemerintah mengadakan dialog antaragama dengan tujuan untuk meredam isu kristenisasi dan hanya dihadiri oleh para pemimpin agama. Berikutnya pada tahun 1979, pemerintah juga menggelar dialog dengan tujuan untuk menciptakan masyarakat Pancasilais dan keadaan negara yang kondusif. Menarik bahwa dialog antaragama di Muntilan berbeda dengan semua model di atas.

Ada dua perbedaan antara dialog antaragama di Muntilan dengan dialog di atas. Dialog antaragama di Muntilan diadakan oleh gereja Katolik, bukan oleh pemerintah. Pesertanya pun bukan hanya para pemimpin agama, tetapi sampai ke masyarakat akar rumput. Dialog antaragama ya g er eda i i se gaja di iptaka u tuk e a gu Persaudaraa yang “ejati .

Johannes Pujasumarta, Uskup Agung Semarang, mengatakan bahwa persaudaraan sejati adalah absennya pertikaian, konflik, dan peperangan.8 Persaudaraan sejati mengajak masyarakat untuk membangun kehidupan bersama, baik kaum elite, akedemisi, negarawan, atau masyarakat pada level akar rumput. Kegiatan tersebut merupakan program dari Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang.

Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (HAK KAS) melaksanakan Kongres Persaudaraan Sejati berdasarkan Arah Dasar Umat Allah Keuskupan Agung Semarang (Ardas KAS) 2011- , yak i dialog i a da eku e e . Fokus pastoral tersebut mencita- itaka ter uka ya pa da ga e ge ai pluralitas i a da ter ujudnya

7

Armada Riyanto, Dialog Interreligius: Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah (Yogyakarta: Kanisius, 2010),376-377.

8 Ko gres Persaudaraa “ejati Li tas I a ,

Majalah Bulanan Kristiani: Insipirasi, Lentera yang Membebaskan, Nomor 123 Tahun XI November 2014, 21-22.


(12)

12

persaudaraan sejati lintas iman .9 Kongres tersebut menghasilkan sesuatu yang belum pernah ada di Indonesia.

Ko gres Persaudaraa “ejati e ghasilka Deklarasi Mu tila . Deklarasi tersebut erisika aspirasi peserta pada sesi Pe egasa Bersa a ya g dirangkum dan kemudian dirumuskan oleh Panitia. Ada empat hal pokok yang berhasil dirumuskan panitia, yaitu perasaan syukur, keteguhan, semangat dan keinginan peserta untuk meneruskan kabar baik kepada semua orang. Kongres atau dialog antaragama di Muntilan menarik apabila dilihat dari perspektif etika diskursus Jürgen Habermas.

Jürgen Habermas (1929-) adalah filosof yang menggagas etika diskurus. Habermas menggagas dua pri sip dala etika diskursus, yak i pri sip pe gu i ersalisasia U da prinsip diskursus D .10Pri sip U er u yi setiap or a oral ya g i gi di erlakuka se ara umum harus mendapat persetujuan dari semua orang yang terkena dampak dari pemberlakuan norma moral tersebut. Sedangkan, pri sip D merupakan cara yang etis untuk memastikan keberlakuan pri sip U . Pri sip U hanya mungkin terjadi dalam sebuah diskursus yang bebas dan adil. Berdasarka kedua pri sip tadi, Ha er as e prioritaska Ya g Moral atas Ya g Etis .

Dengan meminjam pemikiran Habermas tersebut, penulis coba mengatasi kekurangan yang dihadapi oleh teologi agama-aga a de ga e gusulka prioritas terhadap Ya g Moral atas Ya g Etis . Artinya, norma yang bersifat umum dan universal harus diprioritaskan pemberlakuannya atas norma yang spesifik. Hal itu hanya dapat terwujud dalam diskursus yang adil dan bebas. Pemikiran Habermas tersebut coba digunakan oleh penulis untuk meninjau dialog antaragama.

Habermas memang tidak mengembangkan secara khusus sebuah diskursus untuk dialog antaragama. Ia hanya mengembangkan teori tindakan komunikatif dan kemudian etika diskursus. Etika diskursus hadir untuk mengatasi realitas kemajemukan dalam arti umum,

9

Aloysius Budi Purnomo, Merajut Persaudaraan Sejati Lintas Iman:Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang(Yogyakarta: Kanisius, 2014), 9.

10


(13)

13

misalnya politik, sosial, budaya, dan hukum. Menurut Habermas, jika agama ingin tampil di ruang publik maka ia berhadapan dengan tiga tantangan modernitas berikut: (1) dengan kenyataan plural agama serta berbagai pandangan hidup, (2) otoritas ilmu pengetahuan atau sains, (3) dan negara hukum. Oleh sebab itu, agama harus menemukan posisi epistemik (rasionalitas iman) karena yang berlaku dalam ruang publik hanyalah alasan-alasan rasional, bukan alasan religius partikular. Pada tulisan ini penulis akan berfokus pada tantangan nomor satu, yaitu agama berhadapan dengan kenyataan plural agama serta berbagai pandangan hidup. Etika diskursus aka digu aka u tuk e i jau dialog a taraga a er a a Ko gres Persaudaraa “ejati di Mu tila .

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana dialog antaragama di Muntilan ditinjau dari etika diskursus Jürgen Habermas?

Penulis berharap penelitian ini bermanfaat bagi peserta dan panitia kongres untuk terus mengembangkan dialog. Selain itu, diharapkan memberi sumbangan pemikiran bagi para pegiat dialog antaragama tentang pentingnya etika diskursus.

Adapun sistematika penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Pendahuluan. (2) Etika Diskursus, (2.1) Teori Tindakan Komunikatif yang menjadi basis epistemik dari etika diskursus, (2.2) Dunia Kehidupan (Jerman: Lebenswelt), (2.3) Prinsip U i ersalisasi U da Pri sip Diskursus D , . Prioritas Ya g Moral atas Ya g Etis , (2.5) Syarat-syarat untuk proses deliberasi. Berikutnya membahas (3) dialog antaragama. (3.1) Tantangan dialog antaragama, (3.2) Dialog antaragama dalam Kongres Persaudaraan Sejati di Muntilan, (3.2.1) Persaudaraan sejati, (3.2.2) Kongres persaudaraan sejati di Muntilan. (4) Tinjauan terhadap praksis dialog antaragama di Muntilan dari perspektif etika diskursus Habermas (5) Penutup singkat.

2. Etika Diskursus.


(14)

14

Jürgen Habermas adalah filosof Jerman paling terkenal dalam 30 tahun terakhir. Ia lahir tahun 1929 di kota Düsseldorf, Jerman.11 Ia mentransformasikan Teori Kritis dari Mazhab Frankfurt yang asih terje ak pada rasio paradig a kerja ala Karl Marx. Habermas memperbarui dengan mengubah paradigma kerja e jadi ko u ikasi .

Habermas membuat distingsih tegas antara kerja dan komunikasi sebagai dua dimensi dari praksis.12 Konsep kerja dipahami sebagai tindakan rasional instrumental yang bersifat kalkulatif dan kemudian terwujud dalam ilmu-ilmu alam serta teknologi. Kegiatan kerja tersebut menyangkut hubungan instrumental penguasaan atas dunia obyek dan penerapan aturan-aturan teknis pada realitas eksternal. Sedangkan, interaksi (tindakan komunikatif) adalah domain pragmatik dari relasi antarmanusia dan dipahami dalam term-term komunikasi atau saling pengertian diantara para subyek. Jadi, tindakan rasional instrumental menjadikan manusia dan alam sebagai objek tindakan, sedangkan tindakan komunikatif menjadikan manusia sebagai subjek tindakan itu sendiri. Dari komunikasi intersubjektif itulah lahir saling pengertian dan barangkali kesepakatan. Namun, ada juga tindakan instrumental yang bersifat sosial.

Tindakan instrumental yang bersifat sosial itu adalah tindakan strategis.Tindakan ini dirancang untuk mempengaruhi keputusan lawan bicara agar mengikuti kemauan sesorang.13 Tindakan strategis yang monologis ini dianggap tidak rasional karena hanya mementingkan sukses atau efek dari tindakan mempengaruhi tersebut tanpa terjadi intersubjektivitas karena orang lain masih dianggap sebagai objek, bukan subjek yang bertindak. Tindakan tersebut sangat bertentangan dengan pemikiran Habermas yang menekankan alasan rasional.

Habermas berpendapat bahwa sebuah pernyataan atau tindakan seseorang bersifat rasional sejauh alasannya dapat dijelaskan atau diakui secara intersubjektif.14 Memang tidak

11

Franz Magnis-Suseno,Etika Abad Kedua Puluh: 12 Teks Kunci(Yogyakarta: Kanisius, 2006), 233.

12

Gusti A. B. Menoh, Agama dalam Ruang Publik: Hubungan antaragama dan Negara dalam Masyarakat Postsekular Menurut Jürgen Habermas (Yogyakarta: Kanisius, 2015), 52.

13Ibid., 54. 14

F. Budi Hardiman,Demokrasi Deliberatif: Me i a g Negara Huku da ‘ua g Pu lik dala Teori Diskursus Jürgen Habermas (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 43.


(15)

15

semua bentuk ko u ikasi e iliki iri terse ut, ha ya ko u ikasi reflektif . Lawannya, komunikasi aif yang tidak mempersoalkan secara khusus alasan-alasan maupun kejelasan-kejelasan dari pernyataan-pernyataan karena kebenarannya sudah diandaikan begitu saja. Akan tetapi, kebenaran tersebut bisa menjadi problematis dan berujung pada ketidaksepahaman. Oleh sebab itu, Habermas menekankan pentingnya komunikasi reflektif .

Komunikasi reflektif oleh masyarakat digunakan untuk mencapai sebuah konsensus. Dalam komunikasi itu, para partisipan membuat lawan bicaranya memahami maksudnya de ga erusaha e apai klai -klai kesahiha validity claims).15 Klaim-klaim inilah yang dipandang rasional dan akan diterima tanpa paksaan sebagai hasil konsensus serta mampu menciptakan komunikasi yang reflektif dan efektif. Berdasarkan klaim-klaim tersebut, Habermas ingin memperlihatkan komunikasi sebagai sifat hakiki manusia dan sekaligus menunjukkan kelemahan Teori Kritis dengan filsafat kesadarannya.

Habermas menyebut paradigma yang lama (Teori Kritis) sebagai filsafat kesadaran atau filsafat subyek yang berpusat pada individu dan kesadarannya.16 Habermas mengatakan kekurangan utama dari filsafat kesadaran terletak pada kegagalannya memberi tempat bagi peran bahasa. Paradigma tersebut dianggap usang dan tidak cocok dengan kondisi masyarakat dewasa ini yang ditandai oleh pluralitas budaya dan orientasi nilai. Habermas membuat perubahan secara epistemologis atas subjektivitas yang monologis dari filsafat kesadaran dengan memperkenalkan paradigma teori komunikasi intersubjektif sebagai proses-proses komunikasi untuk saling memahami subjektivitas dan mencari pengetahuan.

15

Ha er as e ye ut e pat klai dala klai kesahiha : Klai ke e ara truth) kalau kita sepakat tentang dunia alamiah dan objektif. Klai ketepata rightness) kalau sepakat tentang pelaksanaan norma- or a dala du ia sosial. Klai kejujura sincerity) kalau sepakat tentang kesesuaian antara dunia

ati iah da ekspresi seseora g. Klai ko prehe si ilitas comprehensibility) kalau kita bisa menjelaskan macam-macam klaim itu dan mencapai kesepakatan atasnya dalam F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jürgen Habermas(Yogyakarta: Kanisius, 2009), 18.

16

Rene Descartes (1596-1650) melalui semboyannnya cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada) telah memberi pendasaran pada filsafat subyek. Sejak saat itu filsafat sangat bergantung pada subyek soliter dalam Menoh, Aga a…., 49-50.


(16)

16

Habermas menaruh perhatian pada komunikasi dalam bahasa karena dengan demikian ia dapat menunjukkan kemungkinan rasionalitas yang nyata, yang tidak dapat ditiadakan oleh dinamika rasionalitas sasaran (tindakan instrumental dan tindakan strategis).17 Itu karena klaim-klaim kesahihan yang disampaikan melalui tindakan bicara hanya dapat ditagih secara diskursif melalui argumentasi dalam diskursus-diskursus teoritis dan praksis. Jadi, selama manusia dapat berkomunikasi melalui bahasa, rasionalitas dan kebebasan tidak dapat sama sekali ditindas. Lalu bagaimana mengukur komunikasi yang rasional?

Menurut Habermas, rasionalitas komunikatif sebuah masyarakat dapat diukur dari universalitas acuan legitimasi tatanannya. Dala ahasa Ha er as: prosedur-prosedur dan prasyarat-prasyarat pencapaian kesepakatan rasional sendiri menjadi prinsip (legitimasi

norma-or a ya g disepakati .18 Maksudnya, suatu norma hanya dapat dianggap legitim dan berlaku umum apabila disepakati dalam sebuah diskursus yang bebas dan adil oleh semua pihak yang terkena dampak dari pemberlakuan norma tersebut, termasuk terhadap pemberlakuan norma-norma yang bernuansa agamis. Di dalam setiap budaya masyarakat sudah ada norma-norma yang menjadi latar belakang pemikiran para warganya, dalam istilah Habermas dise ut dunia kehidupan .

2.2. Dunia kehidupan (Jerman: Lebenswelt)

Du ia kehidupa , e gikuti Ed u d Husserl, adalah ta do a ggapa -anggapan latar belakang yang diorganisasikan dalam bahasa, yang mereproduksikan diri dalam bentuk tradisi kultural .19 Dunia kehidupan ini masih bersifat partikular sehingga norma-norma sosio-kultural, termasuk norma moral, suatu masyarakat tidak memadai untuk kebutuhan hidup bersama. Immanuel Kant mencoba melampuai keterbatasan tersebut dengan etika proseduralismenya.

17

F. Magnis-Suseno, Pijar-pijarFilsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Müller ke Postmodernisme (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 168.

18

Ibid., 172-173.

19


(17)

17

Menurut Kant (1724-1804), moralitas harus murni formal dan dicek melalui prosedur universalisasi. Sebuah norma memiliki daya ikat moral dan berhak menuntut ketaatan moral, apabila dapat dikehendaki menjadi hukum yang berlaku umum.20 Itulah imperatif kategoris Kant. Ia merumuskan sebuah etika berdasarkan prinsip penguniversalisasian dan menolak paham moralitas substansial. Kant membuat etika menjadi murni formal dan prosedural. Bagi Kant, universalitas keberlakuan sendiri menjadi prinsip legitimatif moralitas. Prinsip universalisasi inilah yang dikembangkan oleh Haber as e jadi pri sip U da D .

. . Prinsip U dan Prinsip D

Bertolak dari anggapan Kant bahwa norma moral hanya berlaku apabila dapat diuniversalisasikan, Habermas mengembangkan sebuah etika diskursus. Tetapi, Habermas menolak cara Kant yang masih memastikan keberlakuan universal secara monologis, sama seperti Habermas menolak Teori Kritis. Menurutnya sebuah norma dikehendaki umum ditentukan dari apa yang dapat disepakati sebagai normatif dalam sebuah pembicaraan bersama oleh manusia sebagai makhluk sosial dan berbahasa. Magnis-suseno mengatakan bahwa dengan demikian Habermas melakukan suatu perubahan paradig a radikal dari filsafat su yek ke filsafat ko u ikasi , dari filsafat kesadara ya g khas agi seluruh filsafat oder sejak Des artes ke filsafat ahasa , dari pemusatan perhatian pada subjek beralih ke komunikasi.21 Habermas kemudian mengubah imperatif kategoris etika deontologis Kant yang masih monologis itu menjadi etika diskursus yang dialogis.

Imperatif kategoris Kant diubah menjadi peraturan argumentasi yang dapat dicek persetujuannya oleh semua pihak yang bersangkutan. Peraturan argumentasi ini menjadi kriteria kesepakatan yang dikenal dengan prinsip penguniversalisasi atau prinsip U yang berbunyi:

20

Ibid., 224.

21


(18)

18

Sebuah norma moral hanya boleh dianggap sah kalau akibat-akibat dan efek-efek sampingan yang diperkirakan akan mempengaruhi pemuasan kepentingan siapa saja andaikata norma itu ditaati secara umum, dapat disetujui tanpa paksaan oleh semua Dan hanya ada satu cara yang wajar untuk mengecek apakah semua yang bersangkutan memang menyetujui akibat dan efek-efek norma itu kalau diberlakukan secara universal, yakni melalui diskursus atau pembicaraan argumentatif bersama. Hal itu dirumuskan Habermas dala pri sip D :

Hanya norma-norma yang disetujui (atau dapat disetujui) oleh semua orang yang bersangkutan sebagai peserta sebuah diskursus praktis boleh dianggap sah.22

Jadi, untuk memastikan apakah sebuah norma moral memang berlaku umum harus diadakan diskursus yang bebas dari tekanan dan paksaan serta kesediaan semua peserta untuk menyetujui akibat positif dan negatif dari norma tersebut. Habermas juga memberikan syarat supaya kedua prinsip tersebut dapat berlaku.

Syarat-syarat Habermas supaya pri sip U da pri sip D dapat erlaku dala se uah diskursus yang rasional, yaitu sebagai berikut:

1. Setiap subyek yang bisa bicara dan bertindak boleh ikut dalam diskursus-diskursus. 2. A. Setiap peserta boleh mempersoalkan setiap pernyataan.

B. Setiap peserta boleh memasukkan setiap pernyataan ke dalam diskursus.

C. Setiap peserta boleh mengungkapkan sikap-sikap, keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya.

3. Tidak boleh ada seorang pembicara dihalangi dengan paksaan baik dalam, maupun di luar diskursus untuk melaksanakan hak-haknya yang dirumuskan sub nomor 1 dan 2.23 Penting untuk diketahui bahwa Habermas tidak memproduksi norma baru seperti yang dilakukan kebanyakan filosof moral lainnya, tetapi ia hanya memberikan syarat-syarat untuk norma-norma yang ingin berlaku umum. Norma yang dapat menampung kepentingan umum hanyalah norma moral, bukan norma etis, sehingga perlu dipriortaskan pemberlakuannya.

22

Ibid., 226.

23


(19)

19 . . Prioritas Yang Moral atas Yang Etis dalam etika diskursus

Perlu diperhatikan bahwa klaim Habermas terbatas dari dua sudut.24 Pertama, etika diskursus tidak mengklaim dapat memproduksikan norma-norma moral baru. Tujuan etika diskursus hanya memeriksa klaim norma-norma moral yang dipersoalkan. Etika diskursus hanyalah metode untuk memastikan norma-norma moral yang diragukan keberlakuannya. Habermas mengklaim bahwa inilah satu-satunya cara etis untuk memecahkan konflik.

Kedua, kita harus membedakan antara masalah- asalah hidup ya g aik Ya g Etis) dan masalah- asalah hidup ya g adil Ya g Moral . Hidup ya g aik berkutat pada masalah pandangan tentang hidup mana yang bermutu, apa yang dianggap baik dan apa tujuan hidup kita. Pandangan tersebut sangat erat kaitannya dengan identitas dan gaya hidup tertentu serta langsung berkaitan dengan dunia kehidupan sehingga tidak dapat diuniversalisasikan dan tentu tidak masuk ke dalam diskursus, kecuali sebagai latar belakang pandangan-pandangan normatif.

Bahan etika diskursus adalah pertanyaan-pertanyaan normatif, khususnya tentang keadilan. Masalah keadilan tidak dapat diselesaikan atas dasar nilai-nilai dan pandangan hidup salah satu penghuni saja karena dalam ruang sosial, apa yang adil adalah apa yang dapat disetujui oleh semua penghuninya melalui diskursus. Magnis-suseno mengatakan, pada sebuah kasus konkret, penerapan norma moral yang telah disepakati dalam diskursus selalu memerlukan kebijaksanaan (phronesis) yang juga diandaikan pada waktu kita masuk ke dalam diskursus itu .25 Pengandaian terhadap kebijaksanaaan para peserta diskursus dilakukan untuk menjamin keadlian dalam ruang sosial yang dimaksud.

Etika diskursus menjamin bahwa semua anggota masyarakat, semua golongan dan kelompok sosial, budaya, agama dapat hidup menurut keyakinan, cita-cita, nilai-nilai dan pandangan dunia masing-masing.26 Ia menjamin kekhususan dan kekhasan masing-masing komunitas yang ada dalam masyarakat. Dalam keadaan di mana terjadi konflik tentang sebuah

24

Ibid., 230.

25

Ibid., 231.

26


(20)

20

norma moral, etika diskursus memungkinkan untuk memecahkannya secara adil, artinya sedemikian rupa sehingga dapat diterima oleh semua tanpa paksaan dan ancaman terhadap identitas masing-masing. Habermas kemudian memberikan syarat untuk proses deliberasi bagi negara, kelompok agama maupun kelompok sekular.

2.5. Syarat-syarat untuk proses deliberasi

Habermas memberikan batasan normatif sebagai syarat untuk mewujudkan fairness di antara para warganegara dalam proses deliberasi (Latin Deberatio, artinya menimbang-nimbang).27 Batasan normatif yang diberikan kepada pihak kelompok agama, pihak kelompok sekular, pihak negara maupun pihak mayoritas agama adalah sebagai berikut:

1. Me u tut pe erje aha ko tri usi kelo pok-kelompok agama dari bahasa religius partikular ke dalam bahasa umum. Keyakinan religius harus dijelaskan secara rasional sehi gga e iliki status episte is ya g dapat diteri a oleh para arga lai ya, e tah itu orang beragama atau yang sekular.

2. Demokrasi deliberatif menghargai sikap saling belajar untuk mengerti dari posisi partner diskursus. Dalam masyarakat pasca-sekular agama dan sekularitas merupakan komponen-komponen nilai yang setara dan harus dikomunikasikan secara intersubjektif untuk mencapai saling pengertian.

3. Dalam deliberasi, negara harus seperti neraca seimbang supaya tidak memihak kepada agama ataupun kepada sekularisme.

4. Dalam konteks sebuah negara dengan mayoritas agama tertentu, bukan hanya argumen-argumen minoritas agama lain, tetapi juga kontribusi-kontribusi kelompok sekular tidak boleh dibendung begitu saja.

Dalam realpolitik memang keempat batasan normatif di atas tidak akan segera e yelesaika persoala aga a dala rua g pu lik kare a ora g-orang saleh sulit e arik konsep keadilan ke luar dari keyakinan religius partikularnya. Selain itu, politisasi agama akan

27


(21)

21

merugikan bukan hanya pluralisme, melainkan juga akan mencederai otonomi agama itu sendiri. Dialog antaragama pun menghadapi banyak tantangan.

3. Dialog Antaragama28

3.1. Tantangan dialog antaragama

Tantangan dialog antaragama pada dasarnya datang dari fanatisme agama. Fanatisme adalah sikap ora g-ora g saleh u tuk e pertaha ka klai ke e ara spesifiknya. Tetapi secara positif, fanatisme bisa hadir sebagai respon terhadap krisis solidaritas dan marjinalisasi yang dihadirkan oleh pasar kapitalis. Bagi mereka yang terancam secara politis, ekonomis dan sosial, agama justru memberi peran positif terhadap identitas. Huntington mengatakan bahwa aga a uka lah a du asyarakat, tetapi ita i agi ereka ya g le ah. 29

Fanatisme agama memang dapat memberikan keteguhan identitas, tetapi dapat juga membuat umat mengeksklusikan diri. Fanatisme agama tidak cocok dalam kehidupan plural dewasa ini karena tidak sesuai dengan asas-asas demokrasi.

Habermas mengatakan ada tiga tantangan modernitas yang harus dijawab oleh kaum beragama untuk turut mengembangkan demokrasi dalam masyarakat yang kompleks dan plural.30 Ia e gataka perlu ya u at eraga a elajar e e uka posisi episte is (rasionalitas iman) yang tepat berhadapan dengan tantangan modernitas berikut:

28

Dialog adalah percakapan dua orang atau lebih yang menggunkan bahasa sebagai media untuk bertukar pikiran dan bahkan untuk mencapai sebuah kesepakatan. Sedangkan, dialog antaragama adalah perjumpaan dan kerja sama yang terjadi antara orang-orang yang berbeda agama dan iman. Dialog ini paling sering diadakan di Indonesia. Secara formal dialog ini diadakan oleh pemerintah, sedangkan secara informal diadakan oleh tokoh-tokoh masyarakat.Sutrisnaatmaka mengatakan dialog antaragama diadakan karena Indonesia memiliki sejarah kelam konflik antaragama dan selain itu untuk menghalau upaya penyeragaman praktik keagamaan,

mengusahakan toleransi antaru at da e e ta g fa atis e aga a dala Aloysius M. “utris aat aka, Dialog: Tantangan Melawan Penyeragaman dan Pemaksaan Kehendak, dala Multikulturalisme: Kekayaan dan

Tantangannya di Indonesia,ed. E. Kristiyantodan William Chang (Jakarta: Obor, 2014), 55-57.

29

Dikutip dari Adria us “u arko, Rasionalitas Iman dan Masyarakat Demokratis Kultural, dala Multikulturalisme: Kekayaan dan Tantangannya di Indonesia,ed. E. Kristiyantodan William Chang (Jakarta: Obor, 2014), 33.

30


(22)

22

1. Mampu menentukan posisi epistemis yang tepat berhadapan dengan kenyataan plural agama serta berbagai pandangan hidup. Artinya, mampu melihat keterkaitan agamanya sendiri dengan agama lain tanpa mengorbankan klaim kebenaran masing-masing agama.

2. Mampu menentukan posisi epistemis yang tepat berhadapan dengan otoritas ilmu pengetahuan. Artinya, mampu melihat hubungan antara isi dogma dengan pengetahuan sekular sehingga tidak terjadi pertentangan.

3. Memiliki sikap yang tepat terhadap prinsip bahwa yang berlaku dalam dunia politik adalah argu e -argumen yang sekular , berdasarkan akal budi dan dapat dimengerti oleh semua pihak. Proses belajar dalam hal ini berhasil bila mereka mampu e gi tegrasika pri sip egaliter asi g-masing individu serta prinsip moral universal ke dalam konteks doktrin agamanya yang menyeluruh .

Kalau ketiga pengandaian posisi epistemis di atas berhasil dipelajari, maka mereka dapat memenuhi tuntutan deliberatif dalam komunikasi. Kleden mengatakan:

Tiap kelompok agama memproduksi nilai-nilai dan sistem epistemisnya sendiri, yang dipahami dengan baik oleh para anggota kelompok agama melalui bahasa komunal mereka … Persoala ya: apakah asi g-masing kelompok agama bersedia menyumbangkan nilai-nilai dan sistem epistemis mereka untuk menjadi bahan wacana dalam ruang publik yang dipahami bersama oleh para warga negara yang berasal dari kelompok agama berlainan?31 Sunarko mengatakan, Gereja Katolik sudah belajar dan membuat sikap terhadap modernitas, terutama terhadap ketiga tuntutan posisi epistemis tersebut di atas.32 Perlu diingat bahwa Gereja Katolik tidak belajar secara langsung kepada Habermas, tetapi proses belajar yang dilakukan dapat dikaitkan dengan pemikirannya. Proses dan sikap yang diambil sebagai berikut.

Pertama, terhadap kenyataan plural agama serta berbagai pandangan hidup lain. Proses belajar dikatakan berhasil apabila umat mampu menunjukkan integrasi antara doktrin partikular agamanya dengan doktrin partikular agama yang lain tanpa mengorbankan klaim kebenaran doktrinnya sendiri. Hasil belajar tersebut dapat ditemukan dalam dua dokumen

31

Ibid., 37.

32

Dikutip dari Veli-Matti Karkkainen, Trinity and Religious Pluralism: The Doctrine of The Trinity in Christian Theology (Aldershot: Ashgate Publishing Company) dalam Sunarko, ‘asio alitas I a …., 38.


(23)

23

penting yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan II. Nostra Aetate dan Ad Gentes yang dihasilkan dalam konsili tersebut menghasilkan tiga tesis berikut:

1. Kemungkinan keselamatan bagi semua orang yang berkehendak baik dan hidup sesuai dengan tuntutan yang diberikan pada mereka.

2. Gereja Katolik menghormati adanya kebenaran dan kesucian dalam tiap agama tetapi tidak berhenti mewartakan Kristus sebagai jalan kebenaran dan hidup.

3. Apa yang baik dan benar dalam berbagai agama dilihat sebagai preparatio evangelica atau sebagai persiapan akan pemenuhan Injil. Oleh karena itu, misi tetap perlu tetapi harus dilakukan dengan rendah hati dan penuh penghargaan terhadap budaya dan agama lain.

Posisi kedua berkaitan dengan otoritas ilmu pengetahuan. Proses belajar dikatakan berhasil apabila umat mampu merumuskan hubungan antara doktrin partikular agamanya dengan sains sehingga tidak terjadi pertentangan. Posisi ini terdapat dalam beberapa artikel dari doku e Gaudiu et Spes dan doku e DeiVer u . 33

Posisi ketiga, berkaitan dengan bahasa sekular dalam sistem demokrasi. Proses belajar dikatakan berhasil apabila umat mampu mengintegrasikan prinsip egaliter masing-masing individu serta prinsip moral universal ke dalam konteks doktrin agamanya yang menyeluruh.34 Gereja Katolik sudah tidak lagi menolak demokrasi. Perubahan ini dapat dilihat dari sikap Paus Pius XII pada tahun 1944 yang memuji nilai-nilai demokrasi, kemudian Paus Yohanes XXIII yang memberi penghormatan terhadap HAM, Konsili Vatikan II yang menekankan perlunya tatanan politik yang memungkinkan kebebasan partisipasi politik (GS 75), menjunjung kebebasan beragama, dan lain-lain.

33Doku e Gaudiu et Spes

berisi hal-hal yang profan dan pokok-pokok iman berasal dari Allah yang sama dan Gereja pun mengakui bahwa ia menerima banyak manfaat dari ilmu pengetahuan. Sedangkan, dokumen

Dei Ver u ditegaskan tentang perbedaan kebenaran ilmu pengetahuan dan Kitab Suci. Kebenaran Kitab Suci berkaitan dengan keselamatan dan tidak dapat diukur dengan ilmu pasti. Dokumen tersebut juga menolak penafsiran secara harafiah supaya tidak terjatuh pada penafsiran yang sempit dan memicu konflik. Harus disadari bahwa konteks penulisan Kitab Suci dan jenis-jenis sastra yang digunakan berbeda-beda dalam Sunarko,

‘asio alitas I a …., 40-41.

34


(24)

24

Menurut penulis, hasil proses belajar dan sikap Gereja Katolik di atas masih bersifat etis, belum moral, karena masih menyangkut doktrin partikular Gereja Katolik. Lalu bagaimana hasil belajar dan sikap Gereja Katolik di Indonesia, khususnya terhadap posisi yang pertama? Adakah yang berbeda? Kita akan coba melihatnya pada Kongres Persaudaraan Sejati di Muntilan, namun sebelum itu kita akan melihat aksud Persaudaraan Sejati .

3.2. Dialog antaragama dalam Kongres Persaudaraan Sejati di Muntilan

3.2.1. Persaudaraan sejati

Persaudaran sejati menurut Riyanto adalah pembangunan iman yang merangkul melalui konsepsi agama anti kekerasan.35 Hal tersebut menjadi tugas dan tanggung jawab umat beragama, termasuk untuk merangkul dan menggagas persaudaraan sejati atau aktivitas persahabatan. Hanya para sahabat yang dapat melakukan dialog yang sejati. Konsepsi ini sejalan dengan pandangan Aristoteles mengenai persahabatan.

Dalam filsafat moral, Aristoteles menegaskan bahwa persahabatan itu amat perlu dalam setiap keadaan hidup manusia siapa pun dan kapan saja.36 Persahabatan itu amat mempesonakan karena dalam persahabatan biasanya orang saling menjaga, peduli satu sama lain, berbagi kegembiraan dan kesulitan bersama. Konteks dunia kehidupan manusia (Lebenswelt) sangat memungkinkan persahabatan karena kepenuhan manusia ada justru dalam hubungannya dengan yang lain.37 Kesadaran mengenai alteritas aku ini diperlukan justru agar

35

Riyanto, Dialog I terreligius…., 443.

36

Friendship is a virtue, or involves virtue, and besides is most necessary for our life. For no one would choos to live without friends even if he had all the other goods. For in fact rich people and holders of powerful

positio s, e e ore tha other people, see to eed frie ds … I po erty also, a d i the other isfortu es,

people think friends are only refuge. Moreover, the young need it to keep them from error. The old need to care for them and support the actions that fail because of weakness. And those in their prime need it, to do fine actions; for when two go together they are more capable of understanding and acting (Aristotle, Nicomachean Ethics, 115a1-15) disadur oleh Riyanto, Dialog I terreligius…., 448.

37

The realm of self is not only the privotal point of spatial and temporal orientation, but also in regards to which other subjects are recognized. This is testified ti by presence of pronouns in language: the pronouns point to

e essary o ditio of sy oli o u i atio . A other perso is ot o ly a hi pf ho I speak ut also a you to ho I speak a d, i tur , a d I ho speak to me. (Marcelo Manimtim, C.M., The Concept of Lifeworld in Jürgen Habermas, Rome 1993, 2) disadur oleh Riyanto, Dialog I terreligius…., 449-450.


(25)

25

aku semakin menjadi aku sejati yang merupakan subjek, bukan aku egois. Persahabatan itu erat kaitannya dengan agama.

Dalam persahabatan ada keyakinan bahwa semua orang dicintai oleh Allah. Persahabatan atau persaudaraan sejati akan membangun penghayatan hidup beragama menjadi relasi-personal-Allah sentris. Artinya, penghayatan iman itu berpusat pada Allah sendiri yang mencintai segala manusia. Dengan demikian, agama anti-kekerasan mengedepankan orientasi kemanusiaan dalam beriman kepada Tuhan, bukan pembelaan atas apa yang nampaknya benar menurut pandangan sendiri, tetapi dibungkus sebagai yang berasal dari Tuhan. Hubungan antara ketuhanan dan kemanusian ini dapat kita lihat dalam pandangan David Hume.

Hume memberi sumbangan reorientasi kemanusiaan untuk penghayatan hidup beragama.38 Hume tidak mempertentangkan antara pembelaan terhadap manusia atau terhadap Tuhan, melainkan setiap tindakan kekerasan yang dimotivasikan untuk membela Tuhan, tetapi pada saat yang sama berarti penyengsaraan terhadap sesama manusia adalah contradiction in terminis ipsis (kontradiksi dalam dirinya sendiri). Membela ke-Tuhan-an tidak bisa dan tidak mungkin dijalankan dengan cara menindas ke-manusia-an. Justru sebaliknya, pembelaan kemanusiaan sama artinya dengan memuliakan Tuhan. Akhirnya, reorientasi kemanusiaan tidak lain adalah tindakan-tindakan promotif perdamaian dengan sesama manusia itu sendiri, di sini dan saat ini. Penghayatan iman yang merangkul ini benar-benar merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak, sebab hanya dengan upaya konkret demikian, agama adalah anti kekerasan. Apakah penghayatan keagamaan seperti itu ada dalam Kongres Persaudaraan Sejati? Namun, sebelum itu kita akan melihat bagaimana kongres tersebut diadakan.

3.2.2. Kongres Persaudaraan Sejati di Muntilan

38

Reorientasi kemanusiaan berarti keterbukaan, bukan ketertutupan, dan bukan eksklusivisme. Juga berarti upaya untuk mengedepankan pembelaan manusia-nya, bukan Tuhan atau apa saja yang di-Tuhan-kan dalam Riyanto, Dialog I terreligius…., 451.


(26)

26

Kongres Persaudaraan Sejati dilaksanakan di Muntilan, Jawa Tengah. Kongres yang dilaksanakan selama tiga hari (24-26 Oktober 2014) ini dihadiri 1.062 orang dan kebanyakan berasal dari masyarakat akar rumput. Jumlah tersebut belum termasuk ratusan orang yang terlibat dalam pentas seni budaya lintas iman. Kongres tersebut dilaksanakan sebagai tindak lanjut dari kongres yang dilaksanakan beberapa waktu sebelumnya dalam internal Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang (KAS) untuk mengadakan dialog antaragama.39 Dialog ini sesuai dengan fokus pastoral KAS.

Fokus pastoral KAS tahun 2014 sesuai dengan Arah Dasar Umat Allah Keuskupan Agung Semarang (Ardas KAS) 2011-2015 adalah dialog i a da eku e e . Fokus pastoral tersebut mencita- itaka ter uka ya pa da ga e ge ai pluralitas i a da ter ujud ya persaudaraan sejati lintas iman . Untuk mencapai sasaran tersebut, salah satu faktor suksesnya adalah tersedianya bahan pembelajaran mengenai persaudaraan sejati seturut pandangan Gereja Katolik. Bahan pembelajaran itu terdiri dari 5 bab sebagai berikut.40

Bab 1 berisikan dasar-dasar merajut persaudaraan sejati lintas iman. Ada dua dasar pokoknya, yakni alkitab dan dokumen gereja. Dasar alkitabiah maksudnya dasar-dasar yang diambil dari alkitab, sedangkan dokumen gerejawi adalah dokumen-dokumen hasil konsili vatikan II.

Secara alkitabiah ada tiga dasar untuk merajut persaudaraan sejati antaragama. Pertama, pemahaman akan Allah yang menyelamatkan semua orang (Mat 5:45, 6:9-13; Luk 11:2- ; Ti : . Kedua, pe ghayata terhadap Huku Kasih u tuk e gasihi Allah dan sesama manusia (Mat 5:44-45, 22:37-39; Mrk 12:28-33; Luk 10:25-27). Ketiga, mau berdamai dengan lawan, musuh atau siapa pun yang bermasalah dengan kita (Mat 5:25; Rm 12:18). Selain itu, ada juga dasar untuk membangun persaudaraan sejati secara ekumenis. Pertama, persatuan semua orang percaya (Yoh 17:21). Kedua, e aha i Kristus se agai Ya g “atu dan tidak terbagai-bagi (1Kor 1:13, 12:12-14).

39Lukas A i Trista to redaktur , Ko gres Persaudaraa “ejati Li tas I a ,

Majalah Bulanan Kristiani: Insipirasi, Lentera yang Membebaskan, Nomor 123 Tahun XI November 2014, 15.

40


(27)

27

Dasar dokumenter bagi persaudaraan sejati antaragama dan ekumenis dapat ditemukan dalam beberapa dokumen. Pertama dalam Nostra Aetate yang berisikan pernyataan tentang hubungan gereja (katolik) dengan agama non-kristiani. Kedua, Lumen Gentium yang merupakan konstitusi dogmatis tentang gereja. Sedangkan, dasar dokumenter bagi persaudaraan sejati ekumenis adalah Lumen Gentium dan Orientalium Ecclesssiarum yang berisi dekrit tentang gereja-gereja timur katolik serta Unitatis Redintegratio tentang ekumenisme. Selain itu, juga ada Dignitatis Humanae (DH) yang berisi tentang kebebasan beragama dan menjunjung anti-diskriminasi agama. Bahkan menurut DH, persaudaraan sejati dan kebebasan bergama tidak bertentangan (DH 14).

Bab 2 berbicara tentang dialog antariman atau dialog antaragama. Mengenai hal ini sudah sedikit dibahas pada bab 3 tulisan ini. Dialog antaragama dilakukan dengan agama lain yang non-kristiani, misalnya dengan orang yang beragama Islam, Hindu, Budha, Konghuchu, dan bahkan dengan orang yang tidak beragama sekalipun. Berbeda dengan itu, dialog ekumene dilakukan dengan agama yang percaya Yesus sebagai Kristus (ortodoks, protestan dan anglikan). Pembahasannya terdapat dalam bab 3. Dua bab terakhir, bab 4 dan bab 5 berturut-turut membahas hal ihwal tentang dialog antaragama dan merajut persaudaraan sejati di KAS. Hubungan antara Gereja Katolik KAS dengan gereja lain dan agama lain ditangani secara khusus oleh Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan.

Adapun HAK KAS memiliki visi untuk menjamin terlaksananya penyadaran umat agar siap membangun dialog dan kerja sama dalam hidup masyarakat yang majemuk dan meningkatkan proses dialog antaragama serta kepercayaan, entah itu dalam bentuk dialog hidup, karya, antarpakar, maupun berbagi pengalaman religius. Sedangkan, misinya adalah menjadi inspirator, animator, komunikator, motivator, dan mediator.41

Perealisasian visi dan misi dilakukan melalui program tahunan. Program itu bisa dalam bentuk praksis dialog, kerja sama dan persaudaraan sejati melalui dialog hidup, karya, teologis, dan silahturahmi. Program HAK KAS juga dilaksanakan dalam rangka formatio iman, katekese, dan pencerdasan umat katolik dan masyarakat dalam rangka melek agama lain atau perpaduan

41


(28)

28

di antara keduanya. Beberapa program HAK KAS yang sudah terealisasikan, pertama, dalam rangka dialog, hidup, karya, teologis dan silahturahmi, adalah kunjungan personal maupun komunal tokoh-tokoh lintas agama. Kedua, dalam rangka formatio iman dan katekese, HAK KAS menyelenggarakan bebarapa kegiatan rutin, misalnya Temu Kebatinan (Tebat). Terakhir, dalam rangka ekumene, sejak 2009 mengadakan acara tahunan yang bernama Pekan Doa Sedunia (PDS) pada tanggal 18-25 Januari.42 Akhirnya berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut, Gereja Katolik KAS memberanikan diri untuk mengadakan dialog antaragama yang unik di Indonesia, bahkan di dunia, karena bukan saja menghadirkan perwakilan dari berbagai agama, tetapi juga dari kalangan penganut aliran kepercayaan (agama suku).43 Hal ini dapat dilihat dari narasumber yang diundang.

Ada 10 orang narasumber yang diundang dalam kongres yang dipusatkan di Kompleks SMA PL van Lith dan Lapangan Pemda Muntilan itu, yakni sebagai berikut: Johannes Pujasumarta (Katolik), Abdis Martha E. Driscoll (Katolik), Buya Syafii Maarif (Islam), Ibu Shinta Nuriyah Wahid (Islam), KH Abu Hapsin (Islam), Bikkhu Sri Pannyavaro Mahathera (Budha), Elga Sarapung (Kristen Protestan), I Wayan Sumerta (Hindu), Indriani Hadi Sumarto (Konghuchu), dan Gunretno (Sedulur Sikep atau Agama Adam ).

Materi yang dipresentasikan oleh para pembicara adalah pandangan agamanya masing -asi g te ta g agai a a e a gu persaudaraan sejati di atas dasar pengalaman religius . Berikut intisari pandangan mereka masing-masing: Johannes Pujasumarta mengatakan untuk membangun persaudaraan sejati kita harus mampu menerima perbedaaan, tidak ingin berkonflik, berperang ataupun bertikai. Toleransi dibangun dengan sikap kasih dan hormat. Narasumber lain dari katolik, Abdis Martha E. Driscoll, menekankan perlunya saling memperhatikan dan menghargai, damai, rukun, harmonis dengan sesama, alam dan dengan Allah. Dari Kristen Protestan, Elga Sarapung menekankan kerja sama untuk membela bangsa kita secara utuh dan non-primordial dengan cara bergaul, berdialog dan saling menghormati. Dari Islam, Shinta Nuriyah Wahid (Nahdatul Ulama) mengatakan perlunya saling menghormati,

42

Ibid., 72-77.

43


(29)

29

menghargai konstitusi negara, dan berempati kepada orang lain. Sedangkan, Buya Syafii Maarif (Muhammadiyah) mengatakan persatuan umat manusia dan prinsip keadilan universal harus ditegakkan. Selain itu, Abu Hapsin (PWNU Jateng) memberi perhatian pada dorongan hati nurani dan penanaman nilai persaudaraan. Berikutnya dari Hindu, I Wayan Sumerta menekankan cinta kasih yang tulus. Indriani Hadi Sumarto dari Konghuchu mengatakan tegakka i a dahulu, ke udia tata pe a pila , tutur kata da ersikap jujur. Bikkhu “ri Pannyavaro Mahathera dari Budha menekankan perlunya cinta kasih, penciptaan kebahagiaan bersama dan tigak egois. Terakhir, Gunretno dari Sedulur Sikep atau Aga a Ada menegaskan adanya tujuan bersama manusia untuk hidup rukun.Intisari di atas tidak disediakan begitu saja oleh ajaran dogma agama partikular masing-masing, tetapi harus melalui penafsiran dan pemahaman yang mendalam untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa umum yang dapat dipahami oleh semua orang.

Penerjemahan bahasa partikular keagamaan ke dalam bahasa umum dapat dilihat pada tulisan Pujasumarta, Shinta Wahid dan Sumarto. Pujasumarta mengutip perkataan Yesus, “iapa ya g elakuka kehe dak Allah, dialah i u-Ku, dialah saudari-Ku, dialah saudara-Ku . Teks tersebut diterjemahkan menjadi persaudaraan ta pa ikata darah .44 Shinta Nuriyah Wahid mengutip etika persaudaraan Islam Nusantara yakni, ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah, dan ukhuwah basyariyah/ insaniyah. Ketiga konsep tersebut diterjemahkan berturut-turut menjadi persaudaraan antarsesama umat Islam, persaudaraan sesama warga negara dan persaudaraan antarsesama manusia. Indriani Hadi Sumarto mengutip konsep tepaselira yang diterjemahkan menjadi jangan melakukan apa yang kita tidak ingin orang lain lakukan kepada kita, tetapi lakukan apa yang kita harapkan orang lain lakukan juga terhadap kita. Setelah menerima berbagai materi yang dibawakan para narasumber, peserta diajak untuk

elakuka pe egasa ersa a .

Penegasan bersama berupa refleksi terhadap kongres dan komitmen yang akan dilakukan pasca kongres. Peserta dibagi ke dalam empat kelompok besar berdasarkan wilayah kavikepan Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang. Ada tiga butir aspirasi peserta yang

44


(30)

30

diserap oleh panitia. Pertama, peserta merasa bersyukur, bahagia, dan boleh ikut serta aktif di dalamnya. Kedua, sebagian peserta ingin dan rindu kongres seperti ini bisa dilaksanakan setiap tahun, syukur bila secara nasional. Ketiga, mereka pun ingin terus mengembangkan diri dalam proses dialog dan mewartakannya sebagai bagian dari iman. Menurut penulis, aspirasi tersebut di atas masih terlalu dangkal dan belum menjawab persoalan kehidupan beragama yang lebih luas, misalnya membuat kesepakatan untuk memelihara toleransi, solidaritas, membangun kerja sama dalam berbagai bidang, menghargai perbedaan, memberi sumbangan pemikiran kepada pemerintah dalam membuat undang-undang tentang kehidupan beragama, termasuk tentang agama kepercayaan (misalnya Sedulur Sikep), dan lain-lain. Aspirasi-aspirasi tersebut kemudian dirumuskan dalam sebuah deklarasi ya g dike al de ga Deklarasi Mu tilan .

Isi Deklarasi Muntilan adalah sebagai berikut: (1) Kami peserta Kongres Persaudaraan Sejati Lintas Iman di Muntilan sungguh bersyukur karena kami boleh mengalami perjumpaan yang indah, pembelajaran lintas iman, sharing lintas iman dalam persaudaraan yang penuh semangat berbagi kebahagiaan dan damai. (2) Para narasumber meneguhkan kami bahwa persaudaraan sejati adalah mimpi dan cita-cita yang menjadi kerinduan hidup setiap orang beriman. Karena itu kami sadar bahwa beragama dan menganut kepercayaan saja belum cukup. Kami harus menjadi semakin beriman yang melampaui perbedaan dan bersatu dalam semangat kebangsaan, membangun Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika. (3) Untuk membulatkan semangat kebangsaan tersebut, kami akan terus belajar memahami dan mengamalkan ajaran agama dan kepercayaan kami masing-masing. Kami juga akan melengkapi diri dengan menggiatkan dialog, baik dialog karya, dialog ajaran, maupun dialog iman dengan saudara-saudari lintas iman agar kehidupan ini menjadi semakin genap dan lengkap. (4) Kami akan meneruskan kabar baik ini dikeluarga, lingkungan tempat asal, tempat karya, komunitas agama dan kepercayaan kami masing-masing dan akan terus melanjutkan jejaring relasi lintas iman yang telah terbentuk dalam Kongres Persaudaraan Sejati Lintas Iman ini.45

Ternyata semangat agama anti-kekerasan yang terwujud dalam aktivitas persahabatan seperti yang diandaikan oleh Aristoteles dan Hume terealisasi dalam kongres di Muntilan.

45


(31)

31

Setiap doktrin religius partikular yang dibicarakan menuntut untuk saling peduli dan menghormati diantara agama, termasuk diantara para peserta kongres atau diskursus tersebut. Tetapi, apakah dengan demikian kongres tersebut sudah sejalan dengan etika diskursus Habermas?

4. Tinjauan terhadap praksis dialog antaragama di Muntilan dari perspektif etika diskursus Habermas.

Pada bagian awal tulisan ini (bab 1) kita telah melihat bagaimana kebuntuan yang dihadapi oleh teologi agama-agama dalam menanggulangi pluralitas. Ada dua kelemahan yang dikutip penulis, yaitu eksklusi yang dilakukan salah satu paham terhadap paham lain dan kurangnya dorongan terhadap dialog antaragama. Pemecahan masalah pluralitas, khususnya pluralitas keagamaan, juga coba diselesaikan oleh pemerintah (negara).

Pada tahun 1960-an dan 1979 pemerintah Indonesia mengadakan dialog antaragama. Akan tetapi, dialog itu hanya bertujuan untuk menciptakan situasi negara yang kondusif. Lagipula yang hadir dalam dialog tersebut hanya tokoh-tokoh agama. Dapat dikatakan bahwa dialog-dialog tersebut belum sejalan dengan etika diskursus karena masih merupakan tindakan instrumental pemerintah. Dialog yang sesuai dengan cita-cita etika diskursus kemudian coba diakomodir oleh Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (HAK KAS) dengan mengadakan Kongres Persaudaraan Sejati.

Kongres Persaudaraan Sejati dilaksanakan di Muntilan. Sebagian besar peserta kongres berasal dari masyarakat akar rumput dan dilakukan tanpa mengekslusi pihak lain. Buktinya dapat dilihat pada aspirasi peserta ya g diku pulka dala sesi Pe egasa Bersa a da kemudian dirumuskan oleh panitia e jadi Deklarasi Mu tila . Apakah kongres tersebut sudah sejalan dengan etika diskursus? Menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita harus mencari tahu adakah perbedaan dan kesamaan diantara keduanya.

Sedikitnya, ada dua perbedaan antara etika diskursus dengan dengan Kongres Persaudaraan Sejati di Muntilan. Pertama, konsensus di Muntilan belum memberi sumbangan


(32)

32

bagi pemerintah melalui demokrasi deliberatif. Konsensus yang dihasilkan hanya oleh dan untuk peserta diskursus tersebut saja, tidak kemudian secara vertikal menjadi masukkan bagi pemerintah untuk membuat undang-undang yang mengatur kehidupan beragama di Indonesia. Padahal menurut penulis, hal itu penting mengingat pembuatan undang-undang masih dilakukan secara monologis oleh pemerintah.

Kedua, panitia merangkum opini-opini dari sesi Penegasan Bersama se agai apa ya g dikehendaki umum. Pada sesi tersebut peserta dibagi ke dalam empat kelompok besar berdasarkan wilayah kavikepan dari Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang dengan tujuan dapat menampung aspirasi dan kontribusi sesuai dengan konteks masing-masing wilayah kavikepan tersebut. Namun, panitia kemudian langsung merumuskan dan membacakan Deklarasi Mu tila ta pa di ek ke ali persetujua ya oleh para peserta ko gres. Disini terjadi pelanggaran terhadap etika diskursus karena yang partikular, yaitu aspirasi tiap kavikepan, dianggap sebagai yang umum tanpa ada pengecekan kembali. Jika pada akhirnya semua aspirasi tersebut dirangkum menjadi satu, pada sesi Pe egasa Bersa a tidak usah dibagi ke dalam empat kelompok. Justru panitia sudah melenceng dari tujuan sesi Pe egasa Bersa a , yaitu untuk e yediaka deklarasi yang kontekstual. Selain perbedaan, ada juga kesamaan antara Kongres di Muntilan dengan etika diskursus Habermas.

Kesamaan pertama, se ara su sta tif diskursus di Mu tila e prioritaska Ya g Moral daripada Ya g Etis . Meskipu arasu er e i araka apa Ya g Etis dari asi g -masing agamanya, tetapi pembicaraan tersebut dalam rangka untuk ditra sfor asi ke Ya g Moral . Doktrin religius partikular masing-masing agama yang diterjemahkan ke dalam bahasa yang lebih umum mampu e jadi Ya g Moral kare a se ua aga a er i ara e ge ai cinta kasih dan penghargaan terhadap agama lain.

Kedua, etika diskursus dengan Kongres di Muntilan, yaitu diskursus yang berjalan dengan adil dan bebas. Adil artinya setiap peserta tanpa terkecuali mempunyai kesempatan yang sama dengan peserta lain untuk menyampaikan aspirasi atau opininya, sedangkan bebas berarti di dalam maupun di luar diskursus setiap peserta tidak mendapatkan intervensi dari pihak lain. Cita-cita Habermas ini terwujud dalam kongres yang dilakukan dengan suasana


(33)

33

kekeluargaan tersebut. Semua peserta dapat berbicara dan diperlakukan dengan adil dan bebas tanpa mendapat perlakuan diskriminatif di dalam dan di luar diskursus.

Ketiga, konsep persaudaraan sejati mirip dengan konsep persahabatan menurut Habermas. Riyanto mengatakan, persaudaran sejati adalah pembangunan iman yang merangkul melalui konsepsi agama anti kekerasan. Selain itu, konsep persaudaraan sejati memiliki imperatif konsekuensi bahwa subjek-subjek manusia yang beragama harus pula berani menggagas persaudaraan sejati atau aktivitas persahabatan. Dialog yang sejati adalah dialog pada dataran diantara para sahabat .46 Sedangkan, Habermas mengatakan persahabatan itu amat mempesonakan karena dalam persahabatan biasanya orang saling menjaga, peduli satu sama lain, berbagi kegembiraan dan kesulitan bersama. Konteks dunia kehidupan (Lebenswelt) sangat memungkinkan persahabatan karena kepenuhan manusia ada justru dalam hubungannya dengan yang lain.47Jadi, ko sep persaha ata da persaudaraa sejati sali g bersinergi satu dengan yang lain. Kesamaan antara etika diskursus dan Kongres di Muntilan dapat dilihat juga dari syarat-syarat untuk proses deliberasi.

Habermas memberikan syarat-syarat untuk proses deliberasi, yakni penerjemahan, saling belajar, ketidakberpihakan, dan tidak membendung aspirasi minoritas. Syarat-syarat tersebut memang tidak ditujukan bagi dialog antaragama, tetapi menurut hemat penulis, syarat-syarat tersebut dapat diintegrasikan bagi dialog antaragama. Jika diintegrasikan dengan dialog antaragama di Muntilan, maka hasilnya seperti berikut.

“yarat ya g perta a e u tut pe erje aha ko tri usi kelo pok-kelompok agama dari bahasa religius partikular ke dalam bahasa universal. Keyakinan religius harus dijelaskan se ara rasio al sehi gga e iliki status episte is ya g dapat diteri a oleh para arga lainnya. Syarat tersebut terpenuhi ketika para pemateri mempresentasikan materi mereka. Intisari setiap materi sebenarnya merupakan terjemahan dari bahasa religius partikular ke dalam bahasa yang umum. Materi-materi tersebut diantaranya konsep tepaselira, ukhuwah, dan persaudaraan tanpa ikatan darah (bab 3.2.2). Tepaselira diterjemahkan, tindakan kita

46

Riyanto, Dialog I terreligius…., 443-447.

47


(34)

34

terhadap orang lain sesuai dengan apa yang kita harapkan dari mereka. Dalam agama Islam, ukhuwah Islamiyah diterjemahkan persaudaraan antarsesama umat Islam, ukhuwah wathoniyah diterjemahkan persaudaraan sesama warga negara dan ukhuwah basyariyah/ insaniyah diterjemahkan persaudaraan antarsesama manusia. Dari agama Kristen dan Katolik, perkataan Yesus, “iapa ya g elakuka kehe dak Allah, dialah i u-Ku, dialah saudari-Ku, dialah saudara-Ku , diterjemahkan menjadi persaudaraan tanpa ikatan darah dia tara sesama manusia.

Kedua, menghargai sikap saling belajar supaya terjadi saling pengertian. Menghargai disini berarti mau mendengarkan atau bahkan mau menerima argumentasi dari umat beragama lainyang dianggap baik. Dalam bahasa Habermas: paksaan tak memaksa dari argumen yang lebih baik . Hal ini sekaligus menjawab salah satu kelemahan dari teologi agama-agama yang mengeklusikan paham atau pihak yang lain. Dalam dialog di Muntilan, sikap saling belajar tercipta dalam proses tanya-jawab antara peserta dan narasumber, bahkan di luar forum tersebut penulis kira saling belajar masih terjadi. Sikap saling belajar di Muntilan membuahkan sali g pe gertia ya g ke udia dia a de e ka dala Deklarasi Mu tila .

Ketiga, ketidakberpihakkan. Penyelenggara kongres tidak memihak kepada umat beragama tertentu, terutama kepada umat Katolik. Aspirasi umat beragama lain tetap didengarkan. Selain itu, materi-materi yang dibawakan oleh para narasumber tidak memperlihatkan keberpihakan mereka terhadap agamanya sendiri atau terhadap agama lain. Mereka berbicara tentang saling mencintai dan menghormati antarumat beragama.

Keempat, kontribusi–kontribusi kelompok minoritas tidak boleh dibendung. Dalam kongres tersebut, bisa dibilang yang mayoritas adalah agama Katolik dan agama Islam karena agama Katolik-lah yang mengadakan kongres dan Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia. Tetapi aga a i oritas, seperti aga a Ada isal ya, tetap dide garka meskipun mereka belum diakui oleh pemerintah sebagai agama yang resmi.

Berdasarkan perbedaan dan kesamaan di atas, dapat disimpulkan bahwa kongres tersebut tidak sepenuhnya sejalan dengan etika diskursus. Kongres di Muntilan tidak seluruhnya sejalan dengan etika diskursus karena tidak memberi sumbangan pada sistem


(35)

35

pemerintahan, deklarasinya kurang menjawab persoalan yang kontekstual dan aspirasinya pun terlalu dangkal dan belum menjawab persoalan keagamaan yang umum di Indonesia. Namun, setidaknya dialog antaragama di Muntilan sudah lebih baik dari dialog antaragama yang lain karena cukup banyak syarat Habermas yang terpenuhi.

“yarat dari Ha er as ya g terpe uhi, yaitu se ara su sta tif e prioritaska Ya g Moral atas Ya g Etis , erjala de ga adil da e as, ko sep persaudaraa sejati irip dengan konsep persahabatan menurut Habermas, dan pemenuhan terhadap syarat proses deliberasi, seperti: penerjemahan bahasa religius particular ke bahasa yang umum, sikap saling belajar supaya terjadi saling pengertian, tidak berpihak pada siapa pun, dan tidak membendung kontribusi kelompok minoritas. Berdasarkan hal tersebut, kongres di Muntilan bisa menjadi acuan bagi dialog-dialog antaragama pada kemudian hari dengan terus mengingat bahwa kekurangan dari kongres tersebut harus diperbaiki.

Penutup

Dalam pluralitas kehidupan sekarang ini kita dituntut untuk memiliki kesadaran hidup bersama dengan agama lain. Kita harus beriman cerdas, tangguh dan missioner. 48 Cerdas dalam arti mengetahui, mengenal, dan bisa mempertanggungjawabkan iman kita. Tangguh artinya mampu memposisikan diri di tengah pluralitas yang ada. Misioner maksudnya mampu bersaksi tentang agamanya tetapi tidak untuk menarik orang lain masuk ke dalam agamanya. Kita harus menghormati sikap iman orang yang beragama lain.

Penghormatan terhadap agama lain sangat penting. Sebagaimana yang telah disampaikan para narasumber (bab 3.2.2), kita dipanggil untuk saling menghormati, menghargai dan bekerja sama dengan semua orang yang berkehendak baik, bahkan dengan orang yang tidak berkehendak baik sekalipun agar mereka semua mengenal kebaikan. Dalam rangka itulah, maka persaudaraan sejati dengan semua orang dari berbagai kelompok, agama,

48


(36)

36

iman, suku, bangsa, dan bahasa menjadi tugas kita bersama. Kita juga melihat kontribusi Habermas yang besar terhadap interaksi kehidupan beragama.

Etika diskursus berupaya untuk membangun suatu keyakinan akan manfaat komunikasi dengan menerobos dan melampaui tembok-tembok eksklusivisme agama bukan untuk merelatifkan nilai-nilai religius, melainkan untuk mentransformasikan nilai-nilai itu ke dalam konteks solidaritas kemanusiaan dalam masyarakat kompleks. Bagaimanapun kelompok-kelompok yang berbeda-beda keyakinan ataupun tak berkeyakinan memiliki kepentingan rasional yang sama untuk hidup secara damai dalam masyarakat majemuk, maka perlulah suatu platform bersama untuk itu. Dalam pendirian Habermas, platform bersama itu adalah konsepsi moral tentang keadilan.49 Pandangan Habermas ini mendapat kritik dari postmodernisme.

Postmodernisme mengkritik universalisasi yang dilakukan oleh Habermas dan filsafat modern. Filosof dalam aliran ini di dominasi oleh filosof dari Prancis, mereka diantaranya Jean-Francois Lyotard, Jacques Derrida, Michael Foucault dan lain-lain. Lyotard mengatakan bahwa tujuan diskursus bukanlah konsensus, melainkan paralogie (Lyotard, 1979),50 yaitu tidak tercapainya kesatuan pemikiran. Hal ini juga yang menjadi tantangan dialog antaragama di Indonesia.

Dissensus bisa selalu menjadi hasil dari dialog antaragama. Apabila kita cermati, para narasumber dalam dialog di Muntilan adalah orang-orang yang nasionalis dan berpandangan terbuka, barangkali akan lain ceritanya apabila yang hadir kebanyakan dari kalangan radikal dan fanatik. Ketidakbijaksanaan dari orang-orang seperti itu akan mempersulit tercapainya konsensus, tetapi lebih mudah menghasilkan dissensus. Tantangan ini menjadi pekerjaan rumah bersama bagi para pegiat dialog antaragama.

49

Hardiman, De okrasi Deli eratif…., 162.

50


(37)

37 DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Hardiman, F. Budi.De okrasi Deli eratif: Me i a g Negara Huku da ‘ua g Pu lik dalam Teori Diskursus Jürgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

______________. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jürgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 2009. Harkamaputra, Hans A. Melepas Bingkai. Jakarta: Grafika Kreasindo 2014.

Magnis-Suseno, Franz. Etika Abad Kedua Puluh: 12 Teks Kunci. Yogyakarta: Kanisius, 2006. ______________. 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius, 2000.

______________. Pijar-pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Müller ke Postmodernisme.Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Menoh, Gusti A. B. Agama dalam Ruang Publik: Hubungan antaragama dan Negara dalam Masyarakat Postsekular Menurut Jürgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 2015. Purnomo, Aloysius Budi. Merajut Persaudaraan Sejati Lintas Iman:Dewan Karya Pastoral

Keuskupan Agung Semarang. Yogyakarta: Kanisius, 2014.

Riyanto, E Armada. Dialog Interreligius: Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah. Yogyakarta: Kanisius, 2010.

Sawandani, Sofwan. Mikung: Bertahan dalam Himpita; Kajian masyarakat marjinal di Tasikmalaya. Bandung: Akagita, 2001.

“u arko, Adria us. Rasionalitas Iman dan Masyarakat Demokratis Kultural, dala Multikulturalisme: Kekayaan dan Tantangannya di Indonesia,diedit oleh E. Kristiyantodan William Chang,23-36.Jakarta: Obor, 2014.

“utris aat aka, Aloysius M. Dialog: Tantangan Melawan Penyeragaman dan Pemaksaan Kehendak. dala Multikulturalisme: Kekayaan dan Tantangannya di Indonesia,diedit oleh E. Kristiyantodan William Chang,47-72.Jakarta: Obor, 2014.

Titaley, John A. Religiositas di AlineaTiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-agama. Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013.

Majalah:

Tristanto, Awi Lukas (redaktur). Ko gres Persaudaraa “ejati Li tas I a . Majalah Bulanan Kristiani: Insipirasi, Lentera yang Membebaskan. Nomor 123 Tahun XI November 2014

Website:

Cholil,“uhadi dkk. Lapora Tahu a Kehidupa Beraga a di I do esia 9, Center for Religious & Cross-cultural Studies (Januari 2010): 13, diakses July 15, 2015, http://crcs.ugm.ac.id/get/Gntt


(1)

32 bagi pemerintah melalui demokrasi deliberatif. Konsensus yang dihasilkan hanya oleh dan untuk peserta diskursus tersebut saja, tidak kemudian secara vertikal menjadi masukkan bagi pemerintah untuk membuat undang-undang yang mengatur kehidupan beragama di Indonesia. Padahal menurut penulis, hal itu penting mengingat pembuatan undang-undang masih dilakukan secara monologis oleh pemerintah.

Kedua, panitia merangkum opini-opini dari sesi Penegasan Bersama se agai apa ya g dikehendaki umum. Pada sesi tersebut peserta dibagi ke dalam empat kelompok besar berdasarkan wilayah kavikepan dari Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang dengan tujuan dapat menampung aspirasi dan kontribusi sesuai dengan konteks masing-masing wilayah kavikepan tersebut. Namun, panitia kemudian langsung merumuskan dan membacakan Deklarasi Mu tila ta pa di ek ke ali persetujua ya oleh para peserta ko gres. Disini terjadi pelanggaran terhadap etika diskursus karena yang partikular, yaitu aspirasi tiap kavikepan, dianggap sebagai yang umum tanpa ada pengecekan kembali. Jika pada akhirnya semua aspirasi tersebut dirangkum menjadi satu, pada sesi Pe egasa Bersa a tidak usah dibagi ke dalam empat kelompok. Justru panitia sudah melenceng dari tujuan sesi Pe egasa Bersa a , yaitu untuk e yediaka deklarasi yang kontekstual. Selain perbedaan, ada juga kesamaan antara Kongres di Muntilan dengan etika diskursus Habermas.

Kesamaan pertama, se ara su sta tif diskursus di Mu tila e prioritaska Ya g Moral daripada Ya g Etis . Meskipu arasu er e i araka apa Ya g Etis dari asi g -masing agamanya, tetapi pembicaraan tersebut dalam rangka untuk ditra sfor asi ke Ya g Moral . Doktrin religius partikular masing-masing agama yang diterjemahkan ke dalam bahasa yang lebih umum mampu e jadi Ya g Moral kare a se ua aga a er i ara e ge ai cinta kasih dan penghargaan terhadap agama lain.

Kedua, etika diskursus dengan Kongres di Muntilan, yaitu diskursus yang berjalan dengan adil dan bebas. Adil artinya setiap peserta tanpa terkecuali mempunyai kesempatan yang sama dengan peserta lain untuk menyampaikan aspirasi atau opininya, sedangkan bebas berarti di dalam maupun di luar diskursus setiap peserta tidak mendapatkan intervensi dari pihak lain. Cita-cita Habermas ini terwujud dalam kongres yang dilakukan dengan suasana


(2)

33 kekeluargaan tersebut. Semua peserta dapat berbicara dan diperlakukan dengan adil dan bebas tanpa mendapat perlakuan diskriminatif di dalam dan di luar diskursus.

Ketiga, konsep persaudaraan sejati mirip dengan konsep persahabatan menurut Habermas. Riyanto mengatakan, persaudaran sejati adalah pembangunan iman yang merangkul melalui konsepsi agama anti kekerasan. Selain itu, konsep persaudaraan sejati memiliki imperatif konsekuensi bahwa subjek-subjek manusia yang beragama harus pula berani menggagas persaudaraan sejati atau aktivitas persahabatan. Dialog yang sejati adalah dialog pada dataran diantara para sahabat .46 Sedangkan, Habermas mengatakan persahabatan itu amat mempesonakan karena dalam persahabatan biasanya orang saling menjaga, peduli satu sama lain, berbagi kegembiraan dan kesulitan bersama. Konteks dunia kehidupan (Lebenswelt) sangat memungkinkan persahabatan karena kepenuhan manusia ada justru dalam hubungannya dengan yang lain.47Jadi, ko sep persaha ata da persaudaraa sejati sali g bersinergi satu dengan yang lain. Kesamaan antara etika diskursus dan Kongres di Muntilan dapat dilihat juga dari syarat-syarat untuk proses deliberasi.

Habermas memberikan syarat-syarat untuk proses deliberasi, yakni penerjemahan, saling belajar, ketidakberpihakan, dan tidak membendung aspirasi minoritas. Syarat-syarat tersebut memang tidak ditujukan bagi dialog antaragama, tetapi menurut hemat penulis, syarat-syarat tersebut dapat diintegrasikan bagi dialog antaragama. Jika diintegrasikan dengan dialog antaragama di Muntilan, maka hasilnya seperti berikut.

“yarat ya g perta a e u tut pe erje aha ko tri usi kelo pok-kelompok agama dari bahasa religius partikular ke dalam bahasa universal. Keyakinan religius harus dijelaskan se ara rasio al sehi gga e iliki status episte is ya g dapat diteri a oleh para arga lainnya. Syarat tersebut terpenuhi ketika para pemateri mempresentasikan materi mereka. Intisari setiap materi sebenarnya merupakan terjemahan dari bahasa religius partikular ke dalam bahasa yang umum. Materi-materi tersebut diantaranya konsep tepaselira, ukhuwah, dan persaudaraan tanpa ikatan darah (bab 3.2.2). Tepaselira diterjemahkan, tindakan kita

46

Riyanto, Dialog I terreligius…., 443-447. 47


(3)

34 terhadap orang lain sesuai dengan apa yang kita harapkan dari mereka. Dalam agama Islam,

ukhuwah Islamiyah diterjemahkan persaudaraan antarsesama umat Islam, ukhuwah

wathoniyah diterjemahkan persaudaraan sesama warga negara dan ukhuwah basyariyah/

insaniyah diterjemahkan persaudaraan antarsesama manusia. Dari agama Kristen dan Katolik, perkataan Yesus, “iapa ya g elakuka kehe dak Allah, dialah i u-Ku, dialah saudari-Ku, dialah saudara-Ku , diterjemahkan menjadi persaudaraan tanpa ikatan darah dia tara sesama manusia.

Kedua, menghargai sikap saling belajar supaya terjadi saling pengertian. Menghargai disini berarti mau mendengarkan atau bahkan mau menerima argumentasi dari umat beragama lainyang dianggap baik. Dalam bahasa Habermas: paksaan tak memaksa dari argumen yang lebih baik . Hal ini sekaligus menjawab salah satu kelemahan dari teologi agama-agama yang mengeklusikan paham atau pihak yang lain. Dalam dialog di Muntilan, sikap saling belajar tercipta dalam proses tanya-jawab antara peserta dan narasumber, bahkan di luar forum tersebut penulis kira saling belajar masih terjadi. Sikap saling belajar di Muntilan membuahkan sali g pe gertia ya g ke udia dia a de e ka dala Deklarasi Mu tila .

Ketiga, ketidakberpihakkan. Penyelenggara kongres tidak memihak kepada umat beragama tertentu, terutama kepada umat Katolik. Aspirasi umat beragama lain tetap didengarkan. Selain itu, materi-materi yang dibawakan oleh para narasumber tidak memperlihatkan keberpihakan mereka terhadap agamanya sendiri atau terhadap agama lain. Mereka berbicara tentang saling mencintai dan menghormati antarumat beragama.

Keempat, kontribusi–kontribusi kelompok minoritas tidak boleh dibendung. Dalam kongres tersebut, bisa dibilang yang mayoritas adalah agama Katolik dan agama Islam karena agama Katolik-lah yang mengadakan kongres dan Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia. Tetapi aga a i oritas, seperti aga a Ada isal ya, tetap dide garka meskipun mereka belum diakui oleh pemerintah sebagai agama yang resmi.

Berdasarkan perbedaan dan kesamaan di atas, dapat disimpulkan bahwa kongres tersebut tidak sepenuhnya sejalan dengan etika diskursus. Kongres di Muntilan tidak seluruhnya sejalan dengan etika diskursus karena tidak memberi sumbangan pada sistem


(4)

35 pemerintahan, deklarasinya kurang menjawab persoalan yang kontekstual dan aspirasinya pun terlalu dangkal dan belum menjawab persoalan keagamaan yang umum di Indonesia. Namun, setidaknya dialog antaragama di Muntilan sudah lebih baik dari dialog antaragama yang lain karena cukup banyak syarat Habermas yang terpenuhi.

“yarat dari Ha er as ya g terpe uhi, yaitu se ara su sta tif e prioritaska Ya g Moral atas Ya g Etis , erjala de ga adil da e as, ko sep persaudaraa sejati irip dengan konsep persahabatan menurut Habermas, dan pemenuhan terhadap syarat proses deliberasi, seperti: penerjemahan bahasa religius particular ke bahasa yang umum, sikap saling belajar supaya terjadi saling pengertian, tidak berpihak pada siapa pun, dan tidak membendung kontribusi kelompok minoritas. Berdasarkan hal tersebut, kongres di Muntilan bisa menjadi acuan bagi dialog-dialog antaragama pada kemudian hari dengan terus mengingat bahwa kekurangan dari kongres tersebut harus diperbaiki.

Penutup

Dalam pluralitas kehidupan sekarang ini kita dituntut untuk memiliki kesadaran hidup bersama dengan agama lain. Kita harus beriman cerdas, tangguh dan missioner. 48 Cerdas dalam arti mengetahui, mengenal, dan bisa mempertanggungjawabkan iman kita. Tangguh artinya mampu memposisikan diri di tengah pluralitas yang ada. Misioner maksudnya mampu bersaksi tentang agamanya tetapi tidak untuk menarik orang lain masuk ke dalam agamanya. Kita harus menghormati sikap iman orang yang beragama lain.

Penghormatan terhadap agama lain sangat penting. Sebagaimana yang telah disampaikan para narasumber (bab 3.2.2), kita dipanggil untuk saling menghormati, menghargai dan bekerja sama dengan semua orang yang berkehendak baik, bahkan dengan orang yang tidak berkehendak baik sekalipun agar mereka semua mengenal kebaikan. Dalam rangka itulah, maka persaudaraan sejati dengan semua orang dari berbagai kelompok, agama,

48


(5)

36 iman, suku, bangsa, dan bahasa menjadi tugas kita bersama. Kita juga melihat kontribusi Habermas yang besar terhadap interaksi kehidupan beragama.

Etika diskursus berupaya untuk membangun suatu keyakinan akan manfaat komunikasi dengan menerobos dan melampaui tembok-tembok eksklusivisme agama bukan untuk merelatifkan nilai-nilai religius, melainkan untuk mentransformasikan nilai-nilai itu ke dalam konteks solidaritas kemanusiaan dalam masyarakat kompleks. Bagaimanapun kelompok-kelompok yang berbeda-beda keyakinan ataupun tak berkeyakinan memiliki kepentingan rasional yang sama untuk hidup secara damai dalam masyarakat majemuk, maka perlulah suatu

platform bersama untuk itu. Dalam pendirian Habermas, platform bersama itu adalah konsepsi

moral tentang keadilan.49 Pandangan Habermas ini mendapat kritik dari postmodernisme.

Postmodernisme mengkritik universalisasi yang dilakukan oleh Habermas dan filsafat modern. Filosof dalam aliran ini di dominasi oleh filosof dari Prancis, mereka diantaranya Jean-Francois Lyotard, Jacques Derrida, Michael Foucault dan lain-lain. Lyotard mengatakan bahwa tujuan diskursus bukanlah konsensus, melainkan paralogie (Lyotard, 1979),50 yaitu tidak tercapainya kesatuan pemikiran. Hal ini juga yang menjadi tantangan dialog antaragama di Indonesia.

Dissensus bisa selalu menjadi hasil dari dialog antaragama. Apabila kita cermati, para narasumber dalam dialog di Muntilan adalah orang-orang yang nasionalis dan berpandangan terbuka, barangkali akan lain ceritanya apabila yang hadir kebanyakan dari kalangan radikal dan fanatik. Ketidakbijaksanaan dari orang-orang seperti itu akan mempersulit tercapainya konsensus, tetapi lebih mudah menghasilkan dissensus. Tantangan ini menjadi pekerjaan rumah bersama bagi para pegiat dialog antaragama.

49

Hardiman, De okrasi Deli eratif…., 162. 50


(6)

37 DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Hardiman, F. Budi.De okrasi Deli eratif: Me i a g Negara Huku da ‘ua g Pu lik

dalam Teori Diskursus Jürgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

______________. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan

Postmodernisme Menurut Jürgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Harkamaputra, Hans A. Melepas Bingkai. Jakarta: Grafika Kreasindo 2014.

Magnis-Suseno, Franz. Etika Abad Kedua Puluh: 12 Teks Kunci. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

______________. 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius, 2000.

______________. Pijar-pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Müller ke Postmodernisme.Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Menoh, Gusti A. B. Agama dalam Ruang Publik: Hubungan antaragama dan Negara dalam

Masyarakat Postsekular Menurut Jürgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 2015.

Purnomo, Aloysius Budi. Merajut Persaudaraan Sejati Lintas Iman:Dewan Karya Pastoral

Keuskupan Agung Semarang. Yogyakarta: Kanisius, 2014.

Riyanto, E Armada. Dialog Interreligius: Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah. Yogyakarta: Kanisius, 2010.

Sawandani, Sofwan. Mikung: Bertahan dalam Himpita; Kajian masyarakat marjinal di

Tasikmalaya. Bandung: Akagita, 2001.

“u arko, Adria us. Rasionalitas Iman dan Masyarakat Demokratis Kultural, dala

Multikulturalisme: Kekayaan dan Tantangannya di Indonesia,diedit oleh E.

Kristiyantodan William Chang,23-36.Jakarta: Obor, 2014.

“utris aat aka, Aloysius M. Dialog: Tantangan Melawan Penyeragaman dan Pemaksaan

Kehendak. dala Multikulturalisme: Kekayaan dan Tantangannya di Indonesia,diedit

oleh E. Kristiyantodan William Chang,47-72.Jakarta: Obor, 2014.

Titaley, John A. Religiositas di AlineaTiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi

Agama-agama. Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013.

Majalah:

Tristanto, Awi Lukas (redaktur). Ko gres Persaudaraa “ejati Li tas I a . Majalah Bulanan

Kristiani: Insipirasi, Lentera yang Membebaskan. Nomor 123 Tahun XI November 2014

Website:

Cholil,“uhadi dkk. Lapora Tahu a Kehidupa Beraga a di I do esia 9, Center for Religious & Cross-cultural Studies (Januari 2010): 13, diakses July 15, 2015, http://crcs.ugm.ac.id/get/Gntt