13
misalnya politik, sosial, budaya, dan hukum. Menurut Habermas, jika agama ingin tampil di ruang publik maka ia berhadapan dengan tiga tantangan modernitas berikut: 1 dengan
kenyataan plural agama serta berbagai pandangan hidup, 2 otoritas ilmu pengetahuan atau sains, 3 dan negara hukum. Oleh sebab itu, agama harus menemukan posisi epistemik
rasionalitas iman karena yang berlaku dalam ruang publik hanyalah alasan-alasan rasional, bukan alasan religius partikular. Pada tulisan ini penulis akan berfokus pada tantangan nomor
satu, yaitu agama berhadapan dengan kenyataan plural agama serta berbagai pandangan hidup. Etika diskursus aka digu aka u tuk e i jau dialog a taraga a er a a Ko gres
Persaudaraa “ejati di Mu tila .
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana dialog antaragama di Muntilan ditinjau dari etika diskursus Jürgen Habermas?
Penulis berharap penelitian ini bermanfaat bagi peserta dan panitia kongres untuk terus mengembangkan dialog. Selain itu, diharapkan memberi sumbangan pemikiran bagi para pegiat
dialog antaragama tentang pentingnya etika diskursus. Adapun sistematika penelitian ini adalah sebagai berikut: 1 Pendahuluan. 2 Etika
Diskursus, 2.1 Teori Tindakan Komunikatif yang menjadi basis epistemik dari etika diskursus, 2.2 Dunia Kehidupan Jerman: Lebenswelt, 2.3 Prinsip U
i ersalisasi U da Pri sip Diskursus D , . Prioritas Ya g Moral atas Ya g Etis , 2.5 Syarat-syarat untuk proses
deliberasi. Berikutnya membahas 3 dialog antaragama. 3.1 Tantangan dialog antaragama, 3.2 Dialog antaragama dalam Kongres Persaudaraan Sejati di Muntilan, 3.2.1 Persaudaraan
sejati, 3.2.2 Kongres persaudaraan sejati di Muntilan. 4 Tinjauan terhadap praksis dialog antaragama di Muntilan dari perspektif etika diskursus Habermas 5 Penutup singkat.
2. Etika Diskursus.
2.1. Teori Tindakan Komunikatif yang menjadi basis epistemik dari etika diskursus
14
Jürgen Habermas adalah filosof Jerman paling terkenal dalam 30 tahun terakhir. Ia lahir tahun 1929 di kota Düsseldorf, Jerman.
11
Ia mentransformasikan Teori Kritis dari Mazhab Frankfurt yang
asih terje ak pada rasio paradig a kerja ala Karl Marx. Habermas memperbarui dengan mengubah paradigma
kerja e jadi ko u ikasi . Habermas membuat distingsih tegas antara kerja dan komunikasi sebagai dua dimensi
dari praksis.
12
Konsep kerja dipahami sebagai tindakan rasional instrumental yang bersifat kalkulatif dan kemudian terwujud dalam ilmu-ilmu alam serta teknologi. Kegiatan kerja tersebut
menyangkut hubungan instrumental penguasaan atas dunia obyek dan penerapan aturan- aturan teknis pada realitas eksternal. Sedangkan, interaksi tindakan komunikatif adalah
domain pragmatik dari relasi antarmanusia dan dipahami dalam term-term komunikasi atau saling pengertian diantara para subyek. Jadi, tindakan rasional instrumental menjadikan
manusia dan alam sebagai objek tindakan, sedangkan tindakan komunikatif menjadikan manusia sebagai subjek tindakan itu sendiri. Dari komunikasi intersubjektif itulah lahir saling
pengertian dan barangkali kesepakatan. Namun, ada juga tindakan instrumental yang bersifat sosial.
Tindakan instrumental yang bersifat sosial itu adalah tindakan strategis.Tindakan ini dirancang untuk mempengaruhi keputusan lawan bicara agar mengikuti kemauan sesorang.
13
Tindakan strategis yang monologis ini dianggap tidak rasional karena hanya mementingkan sukses atau efek dari tindakan mempengaruhi tersebut tanpa terjadi intersubjektivitas karena
orang lain masih dianggap sebagai objek, bukan subjek yang bertindak. Tindakan tersebut sangat bertentangan dengan pemikiran Habermas yang menekankan alasan rasional.
Habermas berpendapat bahwa sebuah pernyataan atau tindakan seseorang bersifat rasional sejauh alasannya dapat dijelaskan atau diakui secara intersubjektif.
14
Memang tidak
11
Franz Magnis-Suseno,Etika Abad Kedua Puluh: 12 Teks KunciYogyakarta: Kanisius, 2006, 233.
12
Gusti A. B. Menoh, Agama dalam Ruang Publik: Hubungan antaragama dan Negara dalam Masyarakat Postsekular Menurut Jürgen Habermas Yogyakarta: Kanisius, 2015, 52.
13
Ibid., 54.
14
F. Budi Hardiman,Demokrasi Deliberatif : Me i
a g Negara Huku da ‘ua g Pu lik dala Teori Diskursus Jürgen Habermas Yogyakarta: Kanisius, 2006, 43.
15
semua bentuk ko u ikasi e iliki iri terse ut, ha ya ko u ikasi reflektif . Lawannya,
komunikasi aif yang tidak mempersoalkan secara khusus alasan-alasan maupun kejelasan-
kejelasan dari pernyataan-pernyataan karena kebenarannya sudah diandaikan begitu saja. Akan tetapi, kebenaran tersebut bisa menjadi problematis dan berujung pada ketidaksepahaman.
Oleh sebab itu, Habermas menekankan pentingnya komunikasi reflektif . Komunikasi reflektif oleh masyarakat digunakan untuk mencapai sebuah konsensus.
Dalam komunikasi itu, para partisipan membuat lawan bicaranya memahami maksudnya de ga erusaha e apai klai -klai kesahiha validity claims.
15
Klaim-klaim inilah yang dipandang rasional dan akan diterima tanpa paksaan sebagai hasil konsensus serta mampu
menciptakan komunikasi yang reflektif dan efektif. Berdasarkan klaim-klaim tersebut, Habermas ingin memperlihatkan komunikasi sebagai sifat hakiki manusia dan sekaligus
menunjukkan kelemahan Teori Kritis dengan filsafat kesadarannya. Habermas menyebut paradigma yang lama Teori Kritis sebagai filsafat kesadaran atau
filsafat subyek yang berpusat pada individu dan kesadarannya.
16
Habermas mengatakan kekurangan utama dari filsafat kesadaran terletak pada kegagalannya memberi tempat bagi
peran bahasa. Paradigma tersebut dianggap usang dan tidak cocok dengan kondisi masyarakat dewasa ini yang ditandai oleh pluralitas budaya dan orientasi nilai. Habermas membuat
perubahan secara epistemologis atas subjektivitas yang monologis dari filsafat kesadaran dengan memperkenalkan paradigma teori komunikasi intersubjektif sebagai proses-proses
komunikasi untuk saling memahami subjektivitas dan mencari pengetahuan.
15
Ha er as e ye ut e pat klai dala klai kesahiha : Klai ke e ara truth kalau kita sepakat tentang dunia alamiah dan objekti
f. Klai ketepata rightness kalau sepakat tentang pelaksanaan norma-
or a dala du ia sosial. Klai kejujura sincerity kalau sepakat tentang kesesuaian antara dunia ati iah da ekspresi seseora g. Klai ko prehe si ilitas comprehensibility kalau kita bisa menjelaskan
macam-macam klaim itu dan mencapai kesepakatan atasnya dalam F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jürgen HabermasYogyakarta: Kanisius,
2009, 18.
16
Rene Descartes 1596-1650 melalui semboyannnya cogito ergo sum aku berpikir, maka aku ada telah memberi pendasaran pada filsafat subyek. Sejak saat itu filsafat sangat bergantung pada subyek soliter dalam
Menoh, Aga a…., 49-50.
16
Habermas menaruh perhatian pada komunikasi dalam bahasa karena dengan demikian ia dapat menunjukkan kemungkinan rasionalitas yang nyata, yang tidak dapat ditiadakan oleh
dinamika rasionalitas sasaran tindakan instrumental dan tindakan strategis.
17
Itu karena klaim- klaim kesahihan yang disampaikan melalui tindakan bicara hanya dapat ditagih secara diskursif
melalui argumentasi dalam diskursus-diskursus teoritis dan praksis. Jadi, selama manusia dapat berkomunikasi melalui bahasa, rasionalitas dan kebebasan tidak dapat sama sekali ditindas.
Lalu bagaimana mengukur komunikasi yang rasional? Menurut Habermas, rasionalitas komunikatif sebuah masyarakat dapat diukur dari
universalitas acuan legitimasi tatanannya. Dala ahasa Ha er as: prosedur-prosedur dan
prasyarat-prasyarat pencapaian kesepakatan rasional sendiri menjadi prinsip legitimasi norma- or a ya g disepakati .
18
Maksudnya, suatu norma hanya dapat dianggap legitim dan berlaku umum apabila disepakati dalam sebuah diskursus yang bebas dan adil oleh semua pihak yang
terkena dampak dari pemberlakuan norma tersebut, termasuk terhadap pemberlakuan norma- norma yang bernuansa agamis. Di dalam setiap budaya masyarakat sudah ada norma yang
menjadi latar belakang pemikiran para warganya, dalam istilah Haberma s dise ut dunia
kehidupan .
2.2. Dunia kehidupan Jerman: Lebenswelt