99
Jawa, dimana pendeta GKJ yang bukan etnis Jawa harus hidup terlebih dahulu di tengah komunitas jemaat Jawa, sehingga harus belajar etika Jawa
sopan santun. Pdt. Drs. Bambang Irianto. S. Th., M. Min. menyatakan mengenai bahasa Jawa itu bisa dipelajari dan bukan patokan yang mutlak di
dalam mencari seorang pendeta GKJ.
2
4.2 PERSAMAAN KRITERIA PENDETA IDEAL MENURUT JEMAAT GKJ ARGOMULYO SALATIGA DAN JEMAAT
GKJ YEREMIA DEPOK
4.2.1 KRITERIA PENDETA IDEAL KAITANNYA DENGAN STATUS PERNIKAHAN
Status pernikahan terkadang juga menjadi bahan pertimbangan bagi gereja-gereja Kristen Jawa untuk memanggil sesosok pendeta. Biasanya
gereja kecilgereja yang berada di pedesaan mempertimbangkan status pernikahan seorang pendeta. Hal ini disebabkan karena kondisi sosio-
ekonomis yang dimiliki beberapa gereja Kristen Jawa. Untuk menggaji sesosok pendeta, biasanya gereja yang berada di pedesaan
belum tentu bisa memberikan gaji yang layak untuk pendetanya, apalagi jika pendeta tersebut sudah menikah dan memiliki anak. Biasanya gereja yang
berada di pedesaan tidak mampu untuk memberikan tunjangan untuk keluarganya.
Selain itu, ada pertimbangan lain, dimana jika seorang calon pendeta belum menikah, maka harapan jemaat sebelum calon pendeta ditahbiskan
menjadi pendeta sudah harus menikah. Hal ini didasari atas pemikiran jika seorang calon pendeta sudah ditahbiskan menjadi pendeta dan belum
menikah, maka ketika pendeta akan menikah, ada kekhawatiran bahwa biaya pernikahan pendeta akan ditanggung oleh gereja.
3
2
Pdt. Widyatmo merupakan pendeta emeritus GKJ Semarang Barat, sedangkan Pdt. Bambang Irianto merupakan pendeta GKJ Semarang Barat.
3
Hal ini diungkapkan oleh beberapa adhiyuswa GKJ Yeremia Dep ok kepada penulis sebagai
100
Menurut pandangan penulis, berbicara mengenai pernikahan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, dimana sebuah pernikahan hanya
dilaksanakan satu kali seumur hidup. Apabila sebuah pernikahan dipaksakan, bisa membawa dampak buruk untuk ke depannya, apalagi kehidupan seorang
pendeta, harus benar-benar mencari pasangan yang sepadan, pasangan yang takut akan Tuhan dan pasangan yang benar-benar mendukung pelayanannya.
4.2.2 KRITERIA
PENDETA IDEAL
KAITANNYA DENGAN
RENTANG USIA
Kematangan seseorang dipengaruhi oleh usia dan pengalaman hidup, di sini penulis mengambil variable rentang usia calon pendeta di dalam
melayani sebagai sesosok pendeta. Hal ini memberikan penjelasan bahwa usia 25-30 tahun adalah usia yang matang bagi calon pendeta.
Penemuan ini sangat logis karena di usia 25-30 tahun inilah seorang calon pendeta dapat melayani dengan sepenuh hati dan dengan semangat yang luar
biasa. Selain itu rentang usia 25-30 tahun adalah usia yang dewasa dimana seorang calon pendeta dapat mengatasi konflik yang terjadi di gereja dengan
kematangan yang dimilikinya. Oleh sebab itu, kebanyakan gereja-gereja Kristen Jawa yang menggunakan
usia 25-30 tahun sebagai kriteria pendeta yang ideal karena usia tersebut adalah usia produktif.
4.2.3 KRITERIA
PENDETA IDEAL
KAITANNYA DENGAN
PENDIDIKAN
Sesuai dengan akta sinode Gereja Kristen Jawa dalam persidangan Sinode ke XX ditegaskan bahwa perguruan tinggi teologi atau yang memiliki
fakultasjurusan teologi yang diakui oleh sinode Gereja Kristen Jawa adalah Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, Universitas Kristen Satya
Wacana Salatiga, Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, Sekolah Tinggi Agama Kristen Marturia Yogyakarta, dan Universitas Kristen Surakarta.
Hasil penelitian yang terlihat di Bab III, bahwa lulusan Universitas Kristen
Bakal Calon Pendeta BCP 1.
101
Duta Wacana Yogyakarta dalam pelayanannya sebagai pendeta, mereka memiliki kecenderungan mampu menampilkan diri sendiri dan sedikit
banyak dipengaruhi oleh kehidupan masyarakatnya. Artinya mereka mampu mengekspresikan
diri berdasarkan
dari pengalaman-pengalaman
dan keterlibatan kehidupan sosial, hal ini diperkuat dengan adanya keterbukaan
masyarakat Yogyakarta dengan para mahasiswa, sehingga interaksi antara mahasiswa
dengan masyarakatnya
kelihatan lebih
intens. Sehingga
mempengaruhi cara pandang kehidupan dan kepemimpinan. Menurut
Goffman, manusia belajar memainkan berbagai peran dan mengasumsikan identitas yang relevan dengan peran-peran tersebut, terlibat dalam kegiatan
menunjukkan kepada satu sama lainnya siapa dan apa mereka. Dalam konteks demikian, mereka menandai satu sama lain dan situasi-situasi yang
mereka masuki dan perilaku-perilaku berlangsung dalam konteks identitas sosial, makna dan definisi situasi. Presentasi diri yang ditunjukkan Goffman
bertujuan memproduksi definisi situasi dan identitas sosial bagi para aktor dan definisi situasi tersebut mempengaruhi ragam interaksi yang layak dan
tidak layak bagi para aktor dalam situasi yang ada. Interaksi tatap muka dibatasinya sebagai “individu-individu yang saling mempengaruhi tindakan-
tindakan mereka satu sama lain ketika masing-masing berhadapan secara fisik”. Biasanya terdapat suatu arena kegiatan yang terdiri serangkaian
tindakan individu tersebut. Dalam suatu situasi sosial, seluruh kegiatan dari partisipan
tertentu disebut
sebagai suatu
penampilan performance.
Pertunjukan adalah aktivitas untuk mempengaruhi orang lain, sedang orang- orang lain yang terlibat di dalam situasi tersebut disebut sebagai pengamat
atau partisipan lainnya. Para aktor adalah mereka yang melakukan tindakan- tindakan atau penampilan rutin
routine
. Dan kesan
impression
si pelaku terhadap pertunjukan ini bisa berbeda-beda.
Lulusan Universitas Kristen Satya Wacana, memiliki kecenderungan dipengaruhi oleh lembaga atau organisasi. Hasil ini didukung dengan adanya
proses belajar mengajar di UKSW, interaksi yang intens dengan mahasiswa dalam berbagai fakultas di area kampus. Seperti yang dikatakan Goffman,
bahwa interaksi dengan siapa dan apa, akan mempengaruhi peran dan
102
penampilan secara
rutin. Mahasiswa
teologi UKSW
memiliki pergaulankomunitas
mahasiswa yang
multi etnik dan dari berbagai lingkungan sosial yang berbeda sehingga tampilan diri sangat dipengaruhi
oleh lingkungan tersebut. Melalui kenyataan itu, maka lulusan UKSW mampu
menghasilkan lulusan
yang memiliki
ketaatan pada
lembagaorganisasi, hal
ini juga
dipengaruhi karena fakultas teologi
cenderung memberikan tekanan kepada pastoral dan konseling dan gaya kepemimpinan para pengajarnya yang khas yaitu terbuka.
Lulusan Sekolah Tinggi Agama Kristen Marturia dan Universitas Kristen Surakarta cenderung kepemimpinannya dipengaruhi oleh kehidupan keluarga
dan masyarakat. Hal ini disebabkan mahasiswa di kedua perguruan tinggi tersebut sebagian besar dari masyarakat pedesaan di daerah Jawa Tengah dan
Yogyakarta, yaitu kekerabatan keluarga dan kehidupan sosial sangat erat. Sedangkan lulusan Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak memiliki
kecenderungan tertentu, dimungkinkan karena berada di ibukota, sedangkan mahasiswa berasal dari berbagai daerah, proses belajar mengajarnya memberi
penekanan pada
science
dan dalam kampus hanya ada fakultas teologi saja. Sehingga interaksi dengan mahasiswa dalam bidang ilmu yang lain tidak ada,
pengembangan diri tergantung dimana mahasiswa tersebut berinteraksi dengan
sosial lingkungannya.
Hal ini
juga dipengaruhi
oleh gaya
kepemimpinan para pengajarnya yaitu para pendeta yang masih aktif di jemaatnya.
4.2.4 KRITERIA