85
konflik harus dirumuskan kembali agar katup penyelamat tersebut benar-benar tepat sasaran kepada seluruh masyarakat sehingga mencapai perdamaian yang menyeluruh bagi
masyarakat Poso. Menurut penulis katup penyelamat tersebut adalah kearifan lokal dari masyarakat Poso sendiri yaitu sintuwu maroso. Sintuwu maroso sebagai katup
penyelamat adalah sebuah mediator yang datang dari dalam diri masyarakat Poso yang dipercaya mampu untuk menangani masalah-
masalah yang belum teratasi akibat konflik hal ini dikarenakan nilai-nilai dalam sintuwu maroso adalah sebuah nilai kebersamaan
yang datang dari diri masyarakat Poso sendiri.
E. Sintuwu maroso Pasca Konflik: Menuju Perdamaian Sejati
Mengurai kembali konflik yang pernah terjadi di masyarakat Poso, kecenderungan mencari model penyelesaian yang datang dari luar. Dalam banyak kasus, model
penyelesaian impor semacam ini cenderung seragam. Diawali dengan penghentian konflik melalui cara-cara memaksa oleh pihak keamanan kemudian dilanjutkan dengan
penetapan serangkaian aturan termasuk sanksi bagi kedua belah pihak agar tidak mengulangi konflik. Pola semacam ini biasanya hanya efektif untuk menghentikan
konflik kekerasan dalam waktu singkat tetapi kurang bisa menjamin bahwa konflik tidak akan muncul lagi di kemudian hari. Proses penyelesaian berlangsung secara
ad hoc
dan parsial serta kurang menyentuh akar persoalan konflik yang sebenarnya.
Kelemahan model penyelesaian seperti di atas, selain hanya bersifat sementara yang kurang dapat menjamin penghentian konflik secara permanen, juga kerap
mengabaikan rasa keadilan bagi para pihak yang bersengketa. Dengan model yang memaksa, jelas tidak bisa menghilangkan rasa dendam di antara pihak-pihak yang
terlibat. Para elit yang bertugas menjadi penyelesai konflik yang karena berkeinginan untuk segera mengakhiri konflik cenderung memihak kepada mereka yang kuat. Alih-alih
86
menjadi mediator yang mesti bertindak netral dan adil, elit kerap terjebak mengikuti kemauan kelompok mayoritas. Akibatnya, acap terjadi apa yang disebut
victimizing victim
mengorbankan korban. Korban yang hendak mencari keadilan malah digiring menjadi kelompok yang harus mengalah dan dipaksa mengikuti kehendak kelompok
mainstream.
6
Salah satu hal yang penting tetapi luput dari perhatian dalam penanganan konflik adalah melalui pendekatan “dari dalam” masyarakat sendiri. Masyarakat sebetulnya
memiliki kemampuan dan sensivitas yang diseb ut “kearifan lokal” dalam menjaga
kelangsungan dinamika masyarakat termasuk mengantispasi bahaya yang mengancam dan menyelesaikan konflik. Memberdayakan kearifan lokal sebagai alternatif solusi
dalam penanganan konflik merupakan pendekatan budaya dalam menyelesaikan konflik.
7
Kearifan lokal, menurut John Haba sebagaimana dikutip oleh Irwan Abdullah,
8
“mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikenal, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang
mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masya rakat”. Setidaknya ada enam
signifikansi dan fungsi kearifan lokal jika dimanfaatkan dalam resolusi konflik dan pembangunan perdamaian. Pertama, sebagai penanda identitas sebuah komunitas. Kedua,
elemen perekat aspek kohesif lintas warga, lintas agama dan lintas kepercayaan. Ketiga kearifan lokal tidak bersifat memaksa tetapi lebih merupakan kesadaran dari dalam.
Keempat, kearifan lokal memberi warna kebersamaan sebuah komunitas. Kelima, kemampuan
local wisdom
dalam mengubah pola fikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dan meletakkannya di atas
common ground
. Keenam, kearifan lokal dapat
6
Wawancara dengan Pdt.damanaik pada tanggal 27 Januari 2014.
7
Irwan Abdullah, dkk. Ed, Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, 7.
8
Ibid., 27.
87
mendorong proses apresiasi, partisipasi sekaligus meminimalisir anasir yang merusak solidaritas dan integrasi komunitas.
Menurut Galtung “Studi perdamaian adalah kerja untuk mengurangi kekerasan dengan cara damai.” Lebih lanjutnya ia katakan bahwa studi untuk perdamaian dapat
dibagi dalam tiga kategori, yakni studi perdamaian dengan empirisempirisme perbandingan sistematik antara teori dan pengalaman empirik, studi perdamaian
kritiskritisisme perbandingan sistematis antara realita empirisdata dengan nilai-nilai yang ada, dan studi perdamaian konstruktifkonstruktisme perbandingan sistematis
antara teori dengan nilai, sambil berusaha memadukan antara teori dan nilai-nilai. Jalan untuk membangun perdamaian harus melewati jalan panjang dan mendaki serta meminta
pengorbanan dari semua pihak sehingga perlu melibatkan sebayak mungkin orang dan pihak-pihak terkait dalam proses pencapaian perdamaian tersebut. Kehadiran dan
keterlibatan banyak pihak adalah wujud sebuah masyarakat yang terkoyak yang akan dirajut kembali dengan cara mereka sendiri. Perlu dipahami bahwa perdamaian adalah
sebuah proses. Perdamaian bukanlah sebuah tujuan yang asbrak tetapi ia merupakan sebuah proses, yang mesti diupayakan. Membangun perdamaian merupakan sebuah
pergerakan yang bersifat organik, yang tumbuh pada semua segmen masyarakat sehingga proses perdamaian tidak dapat dibangun oleh para elit semata.
Pendekatan kearifan lokal sebagai cara mencapai perdamaian merupakan cara untuk hidup, berpikir, merasakan, mengatur diri, dan membagi kehidupan bersama. Ini
merupakan faktor yang membuat orang untuk bersama-sama, memiliki pengalaman yang sama tentang siapa mereka, dari mana mereka berasal, apa yang membuat mereka
menjadi seperti sekarang, dan pemahaman umum tentang kemana arah yang mereka akan tuju. Biasanya hal ini diterapkan dalam simbol, ritual, gestur dan tradisi.
88
Penekanan kepada perdamaian yang selama ini terjadi di kabupaten Poso masih terbatas pada penghentian konflik sehingga perlu dikembangkan kearah pembangunan
perdamaian. Dalam konteks ini, diperlukan upaya menelusuri kembali langkah-langkah yang sudah dilakukan oleh berbagai pihak untuk mencapai tujuan perdamaian,terutama
dalam konteks pemenuhan hak akan rasa aman, serta melihat bagaimana upaya untuk mewujudkan mekanisme penanganan konflik, dan signifikansinya untuk mendorong ke
arah perdamaian jangka panjang di Poso. Apakah masyarakat Poso memiliki alternatif perdamaian, yang dimaksudkan bukan dalam pengertian perdamaian negatif yang
berbentuk sekedar penghentian kekerasan, melainkan perdamaian positif yang disertai partisipasi langsung dari masyarakat untuk mewujudkannya
. Membangun perdamaian
yang positif yang ditandai dengan partisipasi dalam nilai-nilai demokrasi, menghormati kebutuhan manusia, hak asasi manusia dan keamanan manusia. Tujuan utama dan proses
pembangunan situasi damai adalah untuk merestrukturisasi hubungan-hubungan sosial yang telah rusak dan lebih jauh lagi, dengan memperhatikan aspek-aspek politik,
ekonomi, sosial dan budaya yang meliputi lokus konflik tersebut. Dalam pembangunan perdamaian tersebut ada berbagai cara yang harus di tempuh di antaranya adalah dengan
melibatkan
sintuwu maroso
sebagai kearifan lokal masyarakat Poso yang dikenal terbukti mampu mempertahankan harmoni sosial. Dengan mempertimbangkan pada norma-norma
yang telah terinternalisir di kalangan masyarakat, maka anggota masyarakat akan mempertahankan norma yang dimilikinya secara kuat. Betty Reardon menyatakan “Jika
kita benar-benar ingin damai, kita akan mempersiapkan itu dengan mendidik semua rakyat kita tentang apa itu perdamaian, kendala yang menghambat itu, cara yang mungkin
untuk mencapai itu, apa yang kita perlu pelajari untuk mengejar perdamaian, dan yang
89
paling penting dari semuanya adalah perubahan yang harus kita bawa dalam diri, masyarakat dan budaya kita
”.
9
Sintuwu maroso
dilambangkan dengan rumah adat, atau
Lobo
,
10
sesungguhnya adalah perekat budaya yang paling efektif untuk mempersatukan masyarakat yang berada
di tanah Poso dalam suatu komunitas yang damai. Sangat mungkin banyak dari antara masyarakat di Poso tidak lagi menganggap masalah adat dan budaya sebagai sesuatu yang
penting untuk merekatkan kehidupan mereka. Sikap eklusif memang tidak dianjurkan yang dapat membuat masyarakat menjadi terkotak-
kotak namun perlu adanya “
sharing
” dalam rangka proses pembelajaran sehingga masyarakat Poso lebih saling memahami satu
dengan yang lainnya. Sosialisasi pemahaman lambang pemersatu
sintuwu maroso
harus lebih diintensifkan sehingga masyarakat makin menyadari bahwa bersatu dalam damai
jauh lebih berguna ketimbang hidup dalam keterpisahan yang menderita akibat kerusuhan.
Sesungguhnya hakekat yang terkandung dalam filsafat
Sintuwu
telah berurat berakar dalam komunitas masyarakat Poso bahkan dalam kehidupan sehari-hari dan
sudah merupakan kepribadian masyarakat di daerah ini, saling memberi dan menerima baik dalam bentuk materi, tenaga, dukungan moril yang semuanya dilakukan secara
spontanitas dan tanpa pamrih serta merupakan suatu kewajiban sosial. Sistem kekerabatan
9
Betty A. Reardon, Education for a Culture of Peace in a Gender Perspective France : UNESCO, 2003.
10
Lobo adalah nama dari sebuah bangunan utama terbesar dalam setiap pusat pemerintahan zaman purbakala di daerah Pamona, yang multi fungsi. Bangunan yang bertiang dengan ketinggian ± 2-2,5
meter dari permukaan tanah itu sedikitnya seluas 20 x 20 meter. Disanalah pusat pemerintahan, pusat pemujaan agama, pusat perkumpulannya rakyat dalam suatu pagelaran kesenian, tempat bermusyawarah
atau pesta dan lain-lain. Segala sesuatu yang diselenggarakan secara bersama akan di pusatkan di Lobo. Pesta utama yang akan dipusatkan di Lobo ialah Susa mPoleleka yaitu pesta dalam rangka
mengumpulankan tulang-tulang orang yang yang meninggal karena perang, kena penyakit menular dan lain-lain. Yang kedua adalah pesta penyambutan pahlawan menang perang. Lobo merupakan mempunyai
bentuk persegi empat dan mempunyai tiang penyangga utama di tengah. Bangunan ini sangat berarti bagi masyarakat pamona purba, karena hampir setiap bagian bangunan tersebut ada nama, berikut
peruntukannya. Masing-masing peruntukan dibagi lagi ke dalam jenis pesta menyangkut pesta apa yang sedang digelar.
90
tersebut bukan hanya menjadi milik dari masyarakat asli Poso akan tetapi juga di terima oleh masyarakat Poso pendatang yang bukan berasal dari suku Pamona. Bahkan kerap
dilakukan secara bersama-sama dalam kehidupan bermasyarakat.
Sintuwu
merupakan suatu keinginan tulus untuk hidup berdampingan memikul suka duka bersama. Pada
dasarnya kesatuan hidup dikalangan masyarakat Poso diikat oleh suatu hubungan sosial yang dikenal dengan
sintuwu maroso
tersebut sebagai dasar pijakan dalam hubungan interaksi antar komunitas masyarakat Poso bahkan juga dasar pijakan dalam hubungan
antar desa. Filosofi tersebut berlaku hingga kini yaitu sesudah terjadinya konflik horisontal dikabupaten Poso, filosofi tersebut tetap di anut dan tidak pernah pudar.
Bahkan untuk menunjukan kekuatan dari
sintuwu maroso
dalam situasi dimana karena konflik terjadi segregasi, dimana masyarakat terpisah, terpencar mengungsi dan tinggal
pada komunitas dengan agama yang sama. Misalnya orang-orang Kristen akan tinggal di daerah Kristen demikian juga sebaliknya, namun ketika ada upacara perkawinan atau
kematian untuk menunjukan rasa
moSintuwu
tidak peduli sekalipun berbeda agama dalam hubungan kekerabatan pastilah akan ikut mengambil bagian untuk
moSintuwu
. Sekalipun harus memasuki daerah yang dimana tinggal suatu komunitas yang berbeda. Budaya ini
merupakan warisan turun temurun tidak ada sanksi yang diatur suatu lembaga adat bagi yang tidak melakukan hal itu yang ada hanyalah sanksi sosial yang harus diterima dari
masyarakat. Tetapi tingginya nilai dari
sintuwu maroso
sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya terutama nilai kebersamaan dalam persaudaraan sangat di
junjung tinggi oleh para pendatang dan terutama masyarakat Poso secara umum. Ungkapan
sintuwu maroso
di formulasikan oleh oleh almarhum T. Magido pada tahun 1920-an pada waktu itu beliau sebagai penerjemah Alkitab pertama dalam bahasa
Pamona. Kemudian di populerkan oleh camat Wilson Magido pada tahun 1980-an. Tetapi pada dasarnya itu sudah menjadi pandangan hidup orang Poso.
Sintuwu maroso
bukan
91
slogan juga bukan dokrin, namun wujud dari budaya orang Pamona dalan realitas kehidupan sehari-hari dan bahkan sudah menjadi kepribadian orang Pamona yang
dikalimatkan dengan ungkapan
Sintuwu maroso
,
Tuwu simagi
solidaritas,
Tuwu malinuwu
hidup bukan hanya untuk dirinya tetapi juga untuk orang lain.
11
Sintuwu maroso
tidak hadir sebagai produk budaya yang instan, melainkan ia tumbuh dan berkembang seirama dengan tumbuh dan berkembangnya masyarakat Poso
itu sendiri. Sehubungan dengan kearifan lokal
sintuwu maroso
, maka dalam
sintuwu maroso
terdapat nilai-nilai yang harus ditransformasikan dalam kehidupan masyarakat agar
sintuwu maroso
dapat memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan perdamaian. Nilai-nilai yang terdapat dalam kearifan lokal
sintuwu maroso
dapat dilihat sebagai berikut:
Sintuwu maroso
dalam bentuk
Tuwu metubunaka
yakni menjunjung tinggi kehidupan untuk saling menghormati dan saling menghargai terutama dalam
kehidupan antar individu, kehidupan kekerabatan, kehidupan antar masyarakat dan lembaga-lembaga pemerintahan berdasarkan tatakrama dan adat istiadat setempat,
Sintuwu maroso
dalam bentuk
Tuwu mombepatuwu
yakni dalam hidup baik individu maupun kelompok ada sikap kepedulian terutama didalam menjalankan kesempatan
untuk hidup baik dalam membuka lapangan kerja, membantu yang berkekurangan dan sebagainya,
Sintuwu maroso
dalam bentuk
Tuwu siwagi
merupakan suatu kehidupan yang dibangun berdasarkan prinsip satu kesatuan persaudaraan antar sesama yang utuh dan
kokoh,
Sintuwu maroso
dalam bentuk
Tuwu simpande raya
yakni adanya sikap saling
menerima dan saling mengakui perbedaan dalam keadekaragaman etnis, budaya dan keyakinan sebagai komunitas masyarakat kabupaten Poso.
Sintuwu maroso
dalam bentuk
Tuwu sintuwu raya
adalah menjunjung tinggi adanya persatuan dan kesatuan baik dalam
komunitas maupun di luar komunitasnya,
Sintuwu maroso
dalam bentuk
Tuwu
11
Alpha Amirrachman, Revitalisasi Kearifan Lokal..., 259.
92 mombepomawo
adalah sikap saling menyayangi tanpa melihat latar belakang, dan
Sintuwu maroso
dalam bentuk
Tuwu Malinuwu
adalah kehidupan yang dibangun berdasarkan prinsip bersatu padu, saling menopang dan saling menghidupi satu dengan
lainnya demi keberlangsungan hidup secara utuh. Keseluruhan nilai-nilai yang terkandung dalam
sintuwu maroso
adalah nilai kerja sama, menghormati, kebersamaan, musyawarah, empati, peduli dan persatuan. Nilai-nilai
yang terkandung tersebut merupakan bukti bahwa kearifan lokal
sintuwu maroso
mampu menciptakan perdamaian yang sejati. Melalui
sintuwu maroso
semua anggota masyarakat akan membenamkan ego etnis, ego agama, ego ras, dan ego kelompok, dengan
menyatukan mindset- nya menjadi “kita”, dan bukan “saya” atau “mereka”.
F. Tantangan Dalam Pencapaian Perdamaian Sejati