81
komunitas ingin berdiri sendiri karena dengan berdiri sendiri mereka tidak di kuasai oleh orang lain. Hal inilah yang tidak di singgung oleh Coser.
Berkaitan dengan masyarakat Poso terutama sepintas menyangkut konflik dan kekhasan umum masyarakat komunal yang terikat ciri khas kekerabatan atau ciri
kolektifitas hubungan yakni
sintuwu maroso,
maka dapat dikatakan bahwa nilai-nilai
sintuwu maroso
merupakan salah satu faktor pemicu bahwa konflik akan bertahan lama, jika nilai
sintuwu maroso
tersebut hanya menjadi pengikat satu komunitas saja, sehingga komunitas tersebut akan mempertahankan dan memproteksi diri dari ancaman komunitas
lain. Tetapi bila nilai
sintuwu maroso
menjadi perekat antara dua komunitas yang bertikai tersebut, maka akan tercipta interaksi sosial dan pembentukan struktur sosial yang peka
konflik antar komunitas. Dengan demikian maka konflik akan cepat teratasi dan menuju kearah perdamaian.
C. Konflik yang realistik dan non realistik di Poso
Melihat latar belakang konflik di Poso, itu merupakan konflik dengan berbagai kepentingan dan tujuan-tujuan beberapa elit politik. Dari sini bisa dikatakan konflik ini
masih merupakan konflik yang realistik. Setiap konflik sosial dalam masyarakat menurut Coser bersifat realistik apabila ada kepentingan-kepentingan yang mendasari semua itu.
Ini real karena individu yang berusaha untuk mencari kekuasaan yang menurut Coser bersifat langka. Meskipun demikian, ini masih konflik yang bersifat realistik karena
adanya pembenaran bahwa konflik sarat dengan kepentingan-kepentingan dan tujuan- tujuan. Menurut analisa penulis, obyek ini sudah digenggam oleh beberapa individu
tersebut ketika mereka dipercaya untuk memimpin kelompok masing-masing. Saat mereka sudah menggenggam kekuasaan dan penghargaan dari anggota kelompoknya, di
sini konflik yang realistik sudah berakhir. Namun, seiring waktu berjalan, individu-
82
individu yang berkuasa ingin mendominasi malahan memperkeruh keadaan dengan melibatkan agama. Pada posisi seperti ini, konflik yang dahulunya realistik menjadi non
realistik, karena konflik sudah berubah obyek dan tidak lagi pada obyek asalinya yakni, perebutan kekuasaan. Hasil dari konflik non realistik ini, semua masyarakat baik itu
masyarakat dalam komunitas Kristen maupun dalam komunitas Islam terus berkonflik tanpa ada obyek konflik seperti semula.
Konflik ini berubah menjadi konflik yang bersifat non realistik karena konflik yang berlarut-larut dan mamakan waktu yang panjang tanpa ada tujuan yang dicapai. Ini
menjadi non realistik karena komunitas Kristen hanya ingin berkonflik dengan komunitas Islam atau pun sebaliknya, tanpa ada obyek konflik yang jelas.
D. Katup Penyelamat Dalam Konflik Poso
Ketika konflik Poso terjadi, luapan permusuhan antara komunitas Kristen dan komunitas Islam di Poso sangatlah besar sehingga konflik Poso menjadi berkepanjangan
dan telah memakan korban yang sangat banyak baik dari komunitas Kristen maupun Islam. Untuk mencegah hal tersebut bertambah larut, Coser kemudian menjelaskan suatu
mekanisme penanganan konflik sosial tersebut, yaítu dengan menggunakan katup penyelamat. Katup penyelaınat berfungsi sebagai jalan keluar yang meredakan
permusuhan yang tanpa itu hubungan-hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin tajam. Katup penyelamat mampu mengakomodasi luapan permusuhan
menjadi tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur. Katup penyelamat savety Valve secara singkat dapat diartikan sebagai “jalan keluar yang meredakan
permusuhan”, atau dapat disebut sebagai mediator. Dengan adanya katup penyelamat mediator tersebut, kelompok-kelompok yang bertikai dapat mengungkapkan penyebab
dan munculnya konflik tersebut. Katup penyelamat mencakup juga biaya bagi sistem
83
sosial maupun bagi individu untuk mengurangi tekanan dan menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun membendung ketegangan
dalam diri individu. Dalam konflik Poso menurut analisa penulis cara-cara penanganan konflik atau
katup penyelamat yang digunakan untuk meredakan konflik baik secara rujuk Sintuwu Maroso, Deklarasi Malino, Aliansi Kemanusiaan yang diprakarsai oleh Pemerintah baik
daerah maupun pusat belum maksimal.
4
Dalam Rujukan Sintuwu Maroso rnengundang reaksi yang kurang bagus dikalangan masyarakat Poso dan juga masih lemahnya
efektifitas penyelesaian konflik karena tidak dilibatkanya tokoh-tokoh agama, etnis pendatang yang juga cukup banyak berdomisi di Kabupaten Poso. Keberhasilan
penyelesaian konflik melalui Deklarasi Malino dapat dikatakan belum cukup efektif ini disebabkan kesepakatan konflik tidak melibatkan masyarakat yang berkonflik dan korban
konflik melainkan hanya para elit saja atau tokoh-tokoh agama. Di samping itu dalam Deklarasi Malino tidak menyelesaikan akar dari permasalahan konflik hal inilah yang
diungkapkan oleh Pdt. Damanik: “
Kita di minta untuk saling memaafkan akan tetapi siapa yang harus kita maafkan? Di sini kita sama-sama korban baik itu dari komunitas Kristen maupun
komunitas Islam.”
5
Penyelesaian konflik dengan Aliansi kemanusiaan juga belum berjalan maksimal. Pada awalnya Aliansi Kemanusian adalah kebersamaan dua tokoh kharismatik yang
sangat berpengaruh di Poso pada masa konflik, yakni, H. Adnan Arshal dan Pdt. Rinaldy Damanik yang mewakili komunitas Islam dan Kristen. Kebersamaan dua tokoh ini
sebagai simbol kebersamaan antara komunitas Islam dan Kristen. Akan tetapi Aliansi Kemanusian ini belum menemukan bentuk yang baku. Kedua komunitas masih terkesan
4
Lihat Bab III.
5
Wawancara dengan Pdt. Damanik pada tanggal 27 Januari 2014.
84
sangat hati-hati. Bahkan tak jarang terjadi perbedaan persepsi dalam menyingkapi perkembangan di Poso. Perbedaan itu ditindak lanjuti oleh kelompok Kristen dengan
penyataan pengunduran diri dari Aliansi Kemanusiaan. Melihat kenyataan ini dapat dikatakan penyelesaian konflik Poso belum berpihak
atau belum tepat sasaran kepada masyarakat yang secara langsung mengalami konflik tersebut, memang konflik Poso secara langsung telah selesai tetapi pasca konflik upaya
perdamaian yang telah ditempuh masih saja terjadi penembakan misterius, pembunuhan, mutilasi, bom atau teror bom secara sporadis, ditambah lagi pola penanganan konflik di
Poso lebih banyak mengunakan penanganan hukum semata-mata, sehingga kondisi ini tidak memberi ruang keadilan pada apa yang dialami oleh masyarakat. Di samping itu
terja di dugaan korupsi dana kemanusiaan korban konflik Poso, dapat dilihat masih banyak
keluarga-keluarga pengungsi yang belum menerima dana jaminan hidup JADUP dan bekal hidup BEDUP, dan kalaupun sudah menerima pasti ada pemotongan.
Ketidakberpihakan penyel esaian konflik Poso terhadap masyarakat yang
mengalami konflik secara langsung inilah yang mengakibatkan berbagai masalah ketika masyarakat masuk dalam kondisi Pasca konflik. Masyarakat Poso harus hidup untuk
mengingat bagian luka-luka serta kepahitan ketika konflik terjadi sehingga kondisi ini
mengharuskan masyarakat Poso memilih untuk mengendapkan ingatan individu mereka mengenai konflik. Bersamaan dengan hal ini maka secara sistematis tetapi tidak disadari,
masyarakat Poso akan mengidentifikasikan diri mereka dalam komunitasnya. Keadaan ini mempersulit masyarakat untuk memulihkan diri baik secara fisik maupun psikologis.
Dalam endapan ingatan itu, konflik masih sangat rentan terjadi kembali.
Untuk kembali membangkitkan semangat kebersamaan dalam seluruh lapisan dalam masyarakat maka katup penyelamat yang sudah dilakukan pada penyelesaian
85
konflik harus dirumuskan kembali agar katup penyelamat tersebut benar-benar tepat sasaran kepada seluruh masyarakat sehingga mencapai perdamaian yang menyeluruh bagi
masyarakat Poso. Menurut penulis katup penyelamat tersebut adalah kearifan lokal dari masyarakat Poso sendiri yaitu sintuwu maroso. Sintuwu maroso sebagai katup
penyelamat adalah sebuah mediator yang datang dari dalam diri masyarakat Poso yang dipercaya mampu untuk menangani masalah-
masalah yang belum teratasi akibat konflik hal ini dikarenakan nilai-nilai dalam sintuwu maroso adalah sebuah nilai kebersamaan
yang datang dari diri masyarakat Poso sendiri.
E. Sintuwu maroso Pasca Konflik: Menuju Perdamaian Sejati