76
dengan realitas yang baru, hidup dengan dendam, trauma, ketakutan dan hilangnya rasa kepercayaan antar komunitas, sehingga diperlukan kembali revitalisasi dalam relasi sosial
dan harmoni sosial yang menuju kepada cita-cita bersama yaitu terciptanya perdamaian sejati dimana revitalisasi tersebut bersumber dari dalam masyarakat Poso sendiri yaitu
sintuwu maroso
.
Sintuwu maroso
sebagai kearifan lokal masyarakat Poso dapat menjadi sebuah sarana untuk menciptakan perdamaian yang mengatasi sumber-sumber konflik dan akar-
akar kekerasan di masyarakan Poso. Pendekatan
sintuwu maroso
sebagai sarana perdamaian mengarahkan kepada perdamaian untuk mencapai kesejahteraan,
kemakmuran, melalui pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar dalam hidup bermasyarakat yang akan mendorong kepada perdamaian berkelanjutan di tanah Poso.
Melihat kenyataan yang ada penulis mencoba menganalisa dan mengupas masalah tersebut dengan bantuan teori konflik dan perdamaian. Maka ada suatu kenyataan
menarik yang akan diperhatikan secara seksama. Dengan teori konflik memberikan penjelasan bahwa ada berbagai penyebab konflik dan fungsi konflik baik secara positif
maupun negatifnya. Selain itu, teori konflik juga memberikan bantuan untuk lebih lagi menajamkan analisa terhadap pencapaian perdamaian. Apabila dihubungkan dengan data
dilapangan, maka ini merupakan suatu kenyataan bahwa beberapa sumber yang menyebutkan bahwa ada peristiwa-peristiwa konflik masa lalu yang tak terselesaikan.
Masalah yang tak terselesaikan ini menjadi referensi tertentu ketika akan merumuskan kembali sebuah perdamaian berkelanjutan.
A. Penyebab Konflik Poso
Dengan melihat beberapa analisa terhadap konflik Poso, dapat dikatakan bahwa penyebab konflik Poso adalah berasal dari dalam sendiri internal dan bukanlah pihak
77
luar. Konflik Poso sangat berkaitan dengan kompetisi elite lokal yang ingin memiliki kekuasaan. Dengan motivasi mendapatkan kekuasaan para elite lokal bersaing untuk
mendapat jabatan dalam pemerintahan yang dapat mewakili komunitasnya atau agama tertentu baik itu Kristen maupun Islam, pihak yang kalah tidak menerimanya, sehingga
menimbulkan kekecawaan lebih spesifik lagi, ada kelompok elit agama tertentu karena tidak puas dalam perebutan jabatan dan kekuasan di Poso sehingga mengaitkan kekalahan
tersebut dengan masalah agama. Di samping itu, telah ada sebelumnya ketimpangan- ketimpangan yang terjadi di sana. Dari keyataan ini jelas sekali bahwa yang berkonflik di
Poso bukanlah rakyat biasa melainkan elit politik lokal atau struktural yang bermain dan memperebutkan kekuasaan. Ketika konflik menyentuh tataran agama yang sebagai dasar
keyakinan, maka konflik tidak dapat dikendalikan lagi. Karena hal semacam itu, sangat mudah memicu konflik yang berkepanjangan. Sehingga, konflik yang terjadi di Poso
tampak seperti konflik antaragama yang menimbulkan dendam antarumat beragama. Meskipun konflik Poso adalah konflik kriminal, namun esensi konflik di Poso adalah
konflik Politik. Konflik kriminal hanya sebagai pemicu untuk mengawali konflik politik yang telah diskenariokan. Jadi, dalam konteks ini konflik diciptakan untuk memperoleh
tujuan-tujuan tertentu. Beberapa penyebab di atas, bisa dianalisa bahwa ada hegemoni atau sikap untuk
mau mendominasi. Hegemoni merupakan istilah lain dari dominasi dan dalam konteks permasalahan, bisa dikatakan bahwa ada sekelompok elit yang mencoba untuk
mempengaruhi semua sistem dan tatanan dalam masyarakat demi untuk kepentingan kelompoknya sendiri. Menurut analisa penulis, hegemoni tentunya menciptakan rasa
tidak aman bagi orang lain, oleh karena itu selalu ada tindakan-tindakan yang melawan hal ini. Inilah penyebab terjadinya permasalah dalam kehidupan bermasyarakat pada
78
umumnya dan terkhusus pemicu konflik Poso. Ada hegemoni maka, pasti akan ada resistensi. Ini merupakan realita yang sangat fundamental.
Dengan terjadinya konflik Poso yang melibatkan dua komunitas masyarakat menyebabkan konstruksi sosial yang dibangun oleh para leluhur sejak dahulu kala hancur.
Konstruksi sosial yang dimaksud adalah nilai-nilai kemasyarakatan yang diperjuangkan oleh para leluhur sejak dahulu kala karena pelaksanaan kebiasaan-kebiasaan hidup
bersama dalam kebudayaan dan masyarakat.
B. Kohesi dan Solidaritas Sosial