UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN MAKE A MATCH PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA KELAS IV SEMESTER GENAP SD NEGERI 3 REJOSARI KECAMATAN PRINGSEWU KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN 2012

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

1. Kerangka Pikir Penelitian .............................................................

34

2. Langkah-langkah Penelitian Tindakan Kelas ...............................

35

3. Grafik persentase Aktivitas Belajar siswa tiap-tiap siklus............

64

4. Grafik Hasil Belajar siswa tiap-tiap siklus....................................

65


5. Grafik Aktivitas dan Hasil Belajar siswa tiap-tiap siklus .............

66

xiii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .........................................................................................
DAFTAR GAMBAR......................................................................................
DAFTA LAMPIRAN .....................................................................................
I.

II.

III.

IV.

V.


xii
xiii
xiv

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .............................................................................
1.2. Identifikasi Masalah ......................................................................
1.3. Rumusan Masalah .........................................................................
1.4. Tujuan Penelitian...........................................................................
1.5. Manfaat Penelitian.........................................................................

1
5
6
7
7

KAJIAN PUSTAKA
2.1. Teori Belajar..................................................................................

2.1.1. Behaviorisme.....................................................................
2.1.2. Gestalt ...............................................................................
2.1.3. Kognitivisme ....................................................................
2.1.4. Konstruktivisme ...............................................................
2.2. Aktivitas Belajar............................................................................
2.3. Hasil Belajar..................................................................................
2.4. Model Pembelajaran Make A Match .............................................
2.5. Pembelajaran Matematika SD.......................................................
2.6. Kerangka Pikir Penelitian .............................................................

9
9
11
14
18
23
25
30
31
33


METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian .........................................................................
3.2. Setting Penelitian ..........................................................................
3.3. Metode Pengumpulan Data ...........................................................
3.4. Teknis Analisis Data .....................................................................
3.5. Prosedur Penelitian........................................................................

35
36
36
37
37

HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian ............................................................................
4.1.1. Siklus 1 ............................................................................
4.1.2. Siklus 2 ............................................................................
4.2. Pembahasan...................................................................................


47
47
56
63

KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ...................................................................................
5.2. Saran..............................................................................................

67
67

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xi

DAFTAR TABEL

Tabel


Halaman

1. Pencapaian Nilai Evaluasi Belajar Siswa............................

5

2. Data Awal Prosentase Aktivitas Belajar .............................

55

3. Data Prosentase Aktivitas Belajar Siklus 1.........................

56

4. Prosentase Hasil Belajar Siswa ( Data Awal) .....................

56

5. Prosentase Hasil Belajar Siswa ( Siklus 1) ........................


56

6. Data Prosentase Aktivitas Belajar Siklus 2.........................

64

7. Prosentase Hasil Belajar Siswa ( Siklus 2) .........................

64

xii

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi

pembangunan bangsa suatu negara. Dalam penyelenggaraan pendidikan di
sekolah yang melibatkan guru sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta
didik, diwujudkan dengan adanya interaksi belajar mengajar atau proses
pembelajaran. Dalam konteks penyelenggaraan ini, guru dengan sadar
merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dan berpedoman
pada seperangkatn aturan dan rencana tentang pendidikan yang dikemas
dalam bentuk kurikulum.

Proses pembelajaran yang dilakukan oleh banyak tenaga pendidik saat ini
cenderung pada pencapaian target materi kurikulum, lebih mementingkan
pada penghafalan konsep bukan pada pemahaman. Hal ini dapat dilihat dari
kegiatan pembelajaran di dalam kelas yang selalu didominasi oleh guru.
Dalam penyampaian materi, biasanya guru menggunakan metode ceramah,
dimana siswa hanya duduk, mencatat, dan mendengarkan apa yang
disampaikannya dan sedikit peluang bagi siswa untuk bertanya.

2

Dengan demikian, suasana pembelajaran menjadi tidak kondusif sehingga
siswa menjadi pasif.

Dalam

standar

proses

pendidikan,

pembelajaran

didesain

untuk

membelajarkan siswa. Artinya, dalam sistem pembelajaran menempatkan
siswa sebagai subjek belajar. Dengan kata lain pembelajaran ditekankan
atau berorientasi pada aktivitas siswa. Mukhtar dan Samsu (2003:63),
menyatakan bahwa hasil belajar tidak saja merupakan sesuatu yang bersifat
kualitas yang harus dimiliki siswa dalam jangka waktu tertentu, tetapi dapat
juga bersifat proses atau cara yang harus dikuasai siswa sepanjang kegiatan

belajar tertentu, seperti pengetahuan, sikap, dan keterampilan tertentu, tapi
dapat juga berbentuk kemampuan yang harus dimiliki siswa dalam
mengolah produk tersebut.

Dalam pembelajaran Matematika yang diajarkan di sekolah dikatakan bahwa
matematika sekolah adalah unsur-unsur atau bagian - bagian dari matematika yang
dipilih berdasarkan atau berorientasi pada kepentingan kependidikan dan
perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Hal ini berarti,
bahwa yang dimaksud dengan kurikulum matematika adalah kurikulum
pelajaran matematika yang diberikan di jenjang pendidikan menengah ke
bawah, bukan diberikan di jenjang pendidikan tinggi. Dijelaskan, bahwa
matematika sekolah tersebut terdiri atas bagian-bagian matematika yang
dipilih

guna

menumbuhkembangkan

kemampuan-kemampuan


membentuk pribadi-pribadi serta mengarah pada perkembangan IPTEK.

dan

3

Hal ini menunjukkan bahwa matematika sekolah tetap memiliki ciri-ciri yang dimiliki
matematika, yaitu memiliki objek kejadian yang abstrak serta bepola
pikir deduktif konsisten. Menurut Suraharta (2005:21) menyatakan bahwa
Matematika sekolah tidaklah sepenuhnya sama dengan matematika sebagai
ilmu.

Penyajian

dan

pengungkapan

matematika

di

sekolah

disesuaikan

dengan perkiraan perkembangan intelektual peserta didik. Mungkin dengan
mengaitkan butir yang akan disampaikan dengan realitas di sekitar siswa
atau disesuaikan dengan pemakaiannya. Jadi penyajiannya tidak langsung
berupa butir-butir matematika. Tentu dapat dipahami bahwa penyajian
matematika pada Sekolah Menengah Atas (SMA) berbeda dengan penyajian
matematika pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Dasar
(SD). Hal ini didasarkan pada tahap perkembangan intelektual siswa.

Berdasarkan hasil pengamatan dalam pelaksanan pembelajaran di SD
Negeri 3 Rejosari kecamatan Pringsewu Kabupaten Pringsewu hasilnya
masih rendah yang dibuktikan adanya nilai – nilai di bawah KKM. Dimana
pada mata pelajaran Matematika KKM di SD Negeri 3 Rejosari 58, dan
guru cenderung menggunakan metode ceramah pada setiap pembelajaran
yang dilakukannya. Hal ini mungkin disebabkan kurangnya penguasaan
terhadap model-model pembelajaran yang ada. Padahal penguasaan
terhadap model-model pembelajaran sangat diperlukan untuk meningkatkan
kemampuan professional guru. Untuk itu guru perlu meningkatkan mutu
pembelajarannya dimulai dengan memperhatikan rancangan pembelajaran
yang baik dengan memperhatikan tujuan, karakteristik siswa, materi yang

4

diajarkan dan sumber belajar yang tersedia, dan berkualitas karena selama
ini pembelajarannya tidak efesien cenderung membosankan, sehingga hasil
belajar yang dicapai tidak optimal. Rendahnya hasil belajar mata pelajaran
matematika menunjukkan adanya indikasi terhadap rendahnya kinerja
belajar siswa dan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran. Oleh
karena itu, guru perlu merefleksi diri untuk dapat mengetahui faktor-faktor
penyebab ketidakberhasilan siswanya dalam pelajaran matematika. Sebagai
guru yang baik dan profesional, permasalahan ini tentu perlu ditanggulangi
dengan segera dilakukan, yaitu dengan berkolaborasinya

para guru,

diharapkan kemampuan profesional guru dalm merancang pembelajran akan
lebih baik dan dapat menerapkan model pembelajaran yang bervariatif,
sehingga dapat melakukan perubahan dan perbaikan dalam mengelola
proses pembelajaran yang lebih berpusat pada siswa.

Observasi dan refleksi dengan menggunakan tes evaluasi pada ulangan
harian kenyataannya pada saat proses pembelajaran yang dilakukan pada
mata pelajaran Matematika Kelas IV di SD Negeri 3 Rejosari Kecamatan
Pringsewu Kabupaten Pringsewu hasilnya kurang memuaskan.
Berikut data pencapaian nilai evaluasi belajar siswa :
Tabel 1: Pencapaian Nilai Evaluasi Belajar Siswa pada ulangan harian
NO

KKM

1.
2.
3.
4.

58
58
58
58

RENTANG
NILAI
< 58
59 - 74
75 - 80
81 >
Jumlah

JUMLAH
SISWA
19
8
1
0
28

PERSENTASE

KET

67,86%
28,57%
3,57%
0%
100%

Belum Tuntas
Tuntas
Tuntas
-

5

Hal tersebut mendorong guru untuk melakukan penelitiaan yang bertujuan
untuk meningkatkan motivasi belajar siswa sehingga aktivitas dan hasil
belajar siswa pun dapat meningkat. Hal-hal yang menjadi kurangnya
motivasi belajar siswa yaitu dengan ditemukannya berbagai permasalahan
sebagai berikut: (1) Kegiatan pembelajaran masih banyak didominasi oleh
guru sehingga siswa kurang aktif dalam belajar (2) Metode yang digunakan
metode

ceramah,

dimana

informasi/konsep-konsep

yang

dipelajari

diberitahukan atau disajikan dengan ceramah saja; (3) Dalam proses
pembelajaran guru kurang menciptakan rasa menyenangkan; (4) Proses
pembelajaran menitik beratkan pada pemberian materi kepada siswa.
(5) Siswa terlihat mengandalkan siswa lainnya yang dianggap mampu dalam
belajar.

Pemecahan masalah untuk memperbaiki kondisi tersebut adalah Guru
melakukan proses belajar mengajar melalui model pembelajaran Make A
Match. Model pembelajaran Make A Match atau mencari pasangan
dikembangkan oleh Lorna Curran (1994). Salah satu keunggulan teknik ini
adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau
topik dalam suasana yang menyenangkan. Model pembelajaran Make AMatch artinya model pembelajaran Mencari Pasangan. Setiap siswa
mendapat sebuah kartu (bisa soal atau jawaban), lalu secepatnya mencari
pasangan yang sesuai dengan kartu yang ia pegang. Suasana pembelajaran
dalam model pembelajaran Make A Match akan riuh, tetapi sangat asik dan
menyenangkan.

6

1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka identifikasi
masalah sebagai berikut :
1. Kegiatan pembelajaran masih banyak didominasi oleh guru sehingga
siswa kurang aktif dalam belajar.
2. Metode yang digunakan metode ceramah, dimana informasi/ konsepkonsep yang dipelajari diberitahukan atau disajikan dengan ceramah
saja.
3. Kurang terciptanya pembelajaran yang menyenangkan.
4. Proses pembelajaran menitik beratkan pada pemberian materi kepada
siswa.
5. Siswa terlihat mengandalkan siswa lainnya yang dianggap mampu
dalam belajar.
6. Aktivitas dan Hasil belajar Matematika masih rendah.
7. Perlunya variasi model pembelajaran termasuk diterapkanya model
model pembelajaran Make A Match pada siswa kelas IV SD Negeri 3
Rejosari Kecamatan Pringsewu Kabupaten Pringsewu Tahun Ajaran
2011/2012.

1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah : Masih rendahnya aktivitas dan hasil belajar matematika kelas IV
SD Negeri 3 Rejosari Kecamatan Pringsewu Kabupaten Pringsewu Tahun

7

Ajaran 2011/2012. Dengan rumusan masalah tersebut permasalahan yang
diajukan dalam penelitian ini adalah :
(1) Bagaimanakah peningkatan aktivitas belajar matematika dengan model
pembelajaran Make A Match pada siswa kelas IV SD Negeri 3 Rejosari
Kecamatan Pringsewu Kabupaten Pringsewu Tahun Ajaran 2011/2012 ?
(2) Bagaimanakah peningkatan hasil belajar matematika dengan model
pembelajaran Make A Match pada siswa kelas IV SD Negeri 3 Rejosari
Kecamatan Pringsewu Kabupaten Pringsewu Tahun Ajaran 2011/2012 ?

Dengan demikian judul penelitian ini adalah Upaya Meningkatkan Aktivitas
dan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Pembelajaran Make A Match Pada
Mata Pelajaran Matematika kelas IV Semester Genap SD Negeri 3 Rejosari
Kecamatan Pringsewu Kabupaten Pringsewu Tahun 2012.

1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian Perbaikan Pembelajaran ini dilakukan dengan tujuan untuk :
(1) Untuk meningkatkan aktivitas belajar matematika dengan menggunakan
model pembelajaran Make A Match pada siswa Kelas IV SD Negeri 3
Rejosari Kecamatan Pringsewu Kabupaten Pringsewu Tahun Ajaran
2011/2012.
(2) Untuk meningkatkan hasil belajar matematika dengan menggunakan

model pembelajaran Make A Match pada siswa Kelas IV SD Negeri 3
Rejosari Kecamatan Pringsewu Kabupaten Pringsewu Tahun Ajaran
2011/2012.

8

1.5. Manfaat Penelitian
(1) Bagi Siswa :
Memberikan wawasan bagi guru agar dapat meningkatkan Aktivitas
dan

Hasil

belajar

pembelajaran

Matematika

dengan

Model

Pembelajaran Make A Match yang diterapkan dalam pembelajaran dan
dapat meningkatkan keprofesionalannya.
(2) Bagi Guru :
Untuk dapat memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari yang
berkaitan dengan pembelajaran Matematika, serta mengembangkan
potensi siswa sehingga proses pembelajarannya menjadi lebih
bermakna.
(3) Bagi Sekolah :
Dapat menjadi inovasi sehingga bisa menjadi perubahan untuk
perbaikan kualitas pembelajaran di Sekolah Dasar.

9

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Teori Belajar
2.1.1. Behaviorisme
Teori ini lebih mementingkan respon yang dihasilkan. Input yang
berupa stimulus dan output yang berupa respon yang menghasilkan
perubahan tingkah laku adalah bagian yang terpenting. Karena
bagian ini yang akan diamati dan dibuktikan secara empiris.
Sedangkan proses pembelajaran tidak dianggap penting sama sekali.
Selain dari faktor stimulus (input) dan respon (output), faktor lain
yang juga dianggap penting adalah penguatan (reinforcement). Teori
ini dipelopori oleh Pavlov, Watson, Hull, Guthrie dan Skinner.
Setiap dari pelopor – pelopor ini memberikan kontribusi yang kuat
bagi perkembangan teori ini dari awal perkebangannya hingga
sekarang.
Dalam hal belajar, termasuk belajar bahasa, teori ini lebih
mementingkan faktor eksternal ketimbang faktor internal dari
individu, sehingga terkesan siswa hanya pasif saja menunggu
stimulus dari luar (guru). Belajar apa saja

dan oleh siapa saja

(manusia atau binatang) sama saja, yakni melalui mekanisme

10

stimulus – respons. Guru memberikan stimulus, siswa merespons,
seperti tampak pada latihan tubian (drill) dalam pelajaran bahasa
Inggris. Pelajaran yang mementingkan kaidah tata bahasa, struktur
bahasa (fonem, morfem, kata, frasa, kalimat) dan bentuk-bentuk
kebahasaan

merupakan

penerapan

Behaviorisme,

karena

Behaviorisme lebih mementingkan bentuk dan struktur bahasa
ketimbang makna dan maksud. Behaviorisme beranggapan bahwa
semua teori harus memiliki dasar yang bisa diamati tapi tidak ada
perbedaan antara proses yang dapat diamati secara publik (seperti
tindakan) dengan proses yang diamati secara pribadi (seperti pikiran
dan perasaan).
Dalam Behaviorisme, seorang guru selaku pengajar dan pengawas
jalannya pembelajaran memiliki kemiripan dengan seorang peneliti
yang akan meneliti objek penelitiannya. Dimana seorang peneliti
akan mengambil jarak atau distansi penuh dengan objeknya, bersikap
netralitas, memanipulasi, merumuskan hukum – hukum, bebas
kepentingan, universal dan instrumental terhadap objeknya. Dalam
hal ini guru juga berlaku hal yang sama terhadap siswa – siswi
didiknya. Guru memberikan sebuah stimulus berupa materi – materi
pengajaran dan mengharapkan akan mendapatkan sebuah respon
yang berupa perubahan tingkah laku dari murid – muridnya.
Perubahan tingkah laku dalam bentuk dari ketidaktahuan dan
ketidakmampuan untuk mempraktekkan pelajaran yang diberikan
berubah menjadi mampu untuk mempraktekkannya. Guru tidak

11

melihat bagaimana proses murid – murid mencerna materi
pengajaran, guru hanya melihat bagaimana hasil akhir yang
diperoleh. Reinforcement positif atau negatif yang akan diberikan
tergantung dari bagaimana perubahan tingkah laku yang dihasillkan.
Ciri dari teori belajar behaviorisme adalah mengutamakan unsurunsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan
lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon,
menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil
belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang
diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Guru yang
menganut pandangan ini berpendapat bahwa tingkahlaku siswa
merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil
belajar.
Dalam hal konsep pembelajaran, proses cenderung pasif berkenaan
dengan teori behavioris. Pelajar menggunakan tingkat keterampilan
pengolahan rendah untuk memahami materi dan material sering
terisolasi dari konteks dunia nyata atau situasi. Little tanggung jawab
ditempatkan pada pembelajar mengenai pendidikannya sendiri.

2.1.2. Gestalt
Menurut teori Gestalt anak dipandang sebagai suatu keseluruhan,
yakni suatu organisme yang dinamis, yang senantiasa dalam keadaan
berintekrasi dengan dunia sekitarnya untuk mencapai tujuantujuannya. Interaksi di sini dimaksudkan bahwa anak selalu

12

menerima stimulus (respon) dari luar dirinya. Stimulus tersebut tidak
diterimanya begitu saja, melainkan ia melakukan seleksi sesuai
dengan tujuannya, setelah itu mereka bereaksi terhadap stimulusstimulus itu dengan cara mengolanya.
Seiring dengan Kohler dan Koffka, Max Wertheimer merupakan
salah satu pendukung utama Teori Gestalt yang menekankan tingkat
tinggi proses kognitif di tengah-tengah behaviorisme. Fokus teori
Gestalt adalah ide tentang “pengelompokan”, yaitu, karakteristik
stimulus menyebabkan kita struktur atau menafsirkan bidang visual
atau masalah dengan cara tertentu (Wertheimer, 1922).
Faktor utama yang menentukan pengelompokan atau prinsip
organisasi adalah: (1) kedekatan – elemen cenderung dikelompokkan
bersama menurut kedekatan mereka, (2) kesamaan – item serupa
dalam beberapa hal cenderung dikelompokkan bersama, (3)
penutupan – item dikelompokkan bersama-sama jika mereka
cenderung

untuk

menyelesaikan

beberapa

entitas,

dan

(4)

kesederhanaan – butir akan diatur dalam angka sederhana
berdasarkan simetri, keteraturan, dan halus. Faktor-faktor ini disebut
hukum organisasi dan dijelaskan dalam konteks persepsi dan
pemecahan masalah.
Werthiemer (1959) memberikan interpretasi Gestalt memecahkan
masalah episode ilmuwan terkenal (misalnya, Galileo, Einstein) serta
anak-anak yang disajikan dengan masalah matematika.

13

Inti dari perilaku pemecahan masalah sukses menurut Wertheimer
adalah mampu melihat struktur keseluruhan masalah ini: sebuah
tertentu di wilayah tersebut menjadi bidang penting, difokuskan,
tetapi itu tidak menjadi terisolasi. “Sebuah struktur yang lebih dalam
baru melihat, dari situasi berkembang, melibatkan perubahan dalam
arti fungsional, pengelompokan, dll dari item wilayah. Disutradarai
oleh apa yang dibutuhkan oleh suatu struktur situasi untuk krusial,
salah satu adalah menyebabkan prediksi yang wajar, yang seperti
bagian lain dari struktur, panggilan untuk verifikasi, langsung atau
tidak langsung mendapatkan. dua arah yang terlibat secara
keseluruhan, gambar konsisten dan melihat apa struktur memerlukan
keseluruhan untuk bagian-bagian
Teori Gestalt di atas memberi implikasi kepada kita bahwa anak
(siswa) merupakan makluk yang aktif bukan pasif. Sesuai dengan
teori ini, maka dalam proses belajar mengajar di dalam kelas seluruh
anak didik (siswa) mesti dilibatkan secara aktif, baik mental maupun
fisiknya, sebab dengan cara yang demikian eksistensi mereka
sebagai organisme yang dinamis dapat tersalurkan secara maksimal.
Di dalam pengajaran sosiologi, keterlibatan mental siswa secara
optimal juga sangat diharapkan sekali, agar tujuan pengajaran yang
dirumuskan dapat mencapai sasarannya. Di samping itu siswa lebih
memahami tentang fungsi dan kegunaan ilmu sosiologi yang
sebenarnya.

14

Berbeda

dengan

behaviorisme

yang

bersifat

fragmentaris

(mementingkan bagian demi bagian, sedikit demi sedikit), teori
belajar ini melihat pentingnya belajar secara keseluruhan. Jika Anda
mempelajari sebuah buku, bacalah dari awal sampai akhir dulu, baru
kemudian bab demi bab. Dalam linguistik dan pengajaran bahasa,
aliran ini melihat bahasa sebagai keseluruhan utuh, melihat bahasa
secara holistik, bukan bagian demi bagian. Belajar bahasa tidak
dilakukan setapak demi setapak,dari fonem, lalu morfem dan kata,
frasa, klausa sampai dengan kalimat dan wacana. Bahasa adalah
sesuatu yang mempunyai staruktur dan sistem, dalam arti bahasa
terdiri atas bagian-bagian yang saling berpengaruhdan saling
bergantung.

2.1.3. Kognitivisme
Psikologi

Kognitivisme

dianggap

sebagai

perpaduan

antara

Psikologi Gestalt dan psikologi Behaviorisme. Teori belajar kognitif
berasal dari pandangan Kurt Lewin (1890-1947), seorang Jerman
yang kemudian beremigrasi ke Amerika Serikat. Intisari dari teori
belajar Kognitivisme adalah bahwa belajar merupakan proses
penemuan (discovery) dan transformasi informasi kompleks yang
berlangsung pada diri seseorang. Individu yang sedang belajar
dipandang sebagai orang yang secara konstan memberikan informasi
baru untuk dikonfirmasikan dengan prinsip yang telah dimiliki,
kemudian merevisi prinsip tersebut apabila sudah tidak sesuai

15

dengan informasi yang baru diperoleh. Agar siswa mampu
melakukan kegiatan belajar, maka ia harus melibatkan diri secara
aktif.
Teori Kognitivisme ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik
memproses

informasi

dan

pelajaran

melalui

upayanya

mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan
antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada.
Teori ini menekankan pada bagaimana informasi diproses.
Karakteristik teori kognitivisme :
a. Belajar adalah proses mental bukan behavioral
b. Siswa aktif sebagai penyadur
c. Siswa belajar secara individu dengan pola deduktif dan induktif
d. Instrinsik motivation, sehingga tidak perlu stimulus
e. Siswa sebagai pelaku untuk menuntun penemuan
f. Guru memfasilitasi terjadinya proses insight.

Model Kognitivisme ini memiliki perspektif bahwa para peserta
didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya
mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan
antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada.
Model ini menekankan pada bagaimana informasi diproses.
Peneliti yang mengembangkan Kognitivisme ini adalah Ausubel,
Bruner, dan Gagne. Dari ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki
penekanan yang berbeda. Ausubel menekankan pada apsek

16

pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap
belajar. Menurut Ausubel, konsep tersebut dimaksudkan untuk
penyiapan struktur kognitif peserta didik untuk pengalaman belajar.
Bruner bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk
konsep sebagai suatu jawaban atas bagaimana peserta didik
memperoleh informasi dari lingkungan. Bruner mengembangkan
teorinya tentang perkembangan intelektual, yaitu:
(1)

Enactive, dimana seorang peserta didik belajar tentang dunia
melalui tindakannya pada objek;

(2)

Iconic, dimana belajar terjadi melalui penggunaan model dan
gambar; dan

(3)

Symbolic yang mendeskripsikan kapasitas dalam berfikir
abstrak

Prinsip-prinsip teori belajar bermakna Ausebel ini dapat diterapkan
dalam proses belajar mengajar melalui tahap-tahap sebagai berikut:
(1)

Mengukur kesiapan peserta didik seperti minat, kemampuan
dan struktur kognitifnya melalui tes awal, interview, review ,
pertanyaanpertanyaan dan lain-lain tehnik;

(2)

Memilih materi-materi kunci, lalu menyajikannya dimulai
dengan contoh-contoh kongkrit dan kontraversial;

(3)

Mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus dikuasi dari materi
baru itu;

17

(4)

Menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa
yang harus dipelajari,

(5)

Memakai advance organizers;

(6)

Mengajar peserta didik memahami konsep-konsep dan prinsipprinsip yang ada dengan memberikan fokus pada hubunganhubungan yang ada.

Menurut Hartley & Davies (1978), prinsip-prinsip kognitivisme dari
beberapa contoh diatas banyak diterapkan dalam dunia pendidikan
khususnya dalam melaksanakan kegiatan perancangan pembelajaran.
Prinsip-prinsip tersebut adalah :
(1)

Peserta didik akan lebih mampu mengingat dan memahami
sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola
dan logika tertentu;

(2)

Penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana ke
yang rumit. Untuk dapat melakukan tugas dengan baik peserta
didik harus lebih tahu tugas-tugas yang bersifat lebih
sederhana;

(3)

Belajar dengan memahami lebih baik dari pada menghapal
tanpa pengertian. Sesuatu yang baru harus sesuai dengan apa
yang telah diketahui siswa sebelumnya;

(4)

Adanya perbedaan individu pada siswa harus diperhatikan
karena faktor ini sangat mempengaruhi proses belajar siswa.
Perbedaan ini meliputi kemampuan intelektual, kepribadian,
kebutuhan akan suskses dan lain-lain.

18

2.1.4. Konstruktivisme
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang
bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa
yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan
gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini
merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman.
Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi
lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa
konsep umum seperti:
(1) Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang
sudah ada.
(2) Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina
sendiri pengetahuan mereka.
(3) Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar
sendiri melalui proses saling memengaruhi antara pembelajaran
terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
(4) Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina
pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan
informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
(5) Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran
yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari
gagasan-gagasannya
pengetahuan ilmiah.

tidak

konsisten

atau

sesuai

dengan

19

(6) Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan
dengan pengalaman pelajar untuk menarik miknat pelajar.

Tokoh yang berperan pada teori Konstruktivisme adalah Jean Piaget
dan Vygotsky. Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama
(Dahar,

1989:

kontruktivisme

159)
pada

menegaskan
proses

bahwa

untuk

penekanan

menemukan

teori

teori
atau

pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam
pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator
atau

moderator.

Pandangan

tentang

anak

dari

kalangan

konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori
belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Asimilasi
adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan,
akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya
informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat.
Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang
meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan
baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok
dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).

Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak
diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan.

20

Belajar merupakan proses untuk membangun penghayatan terhadap
suatu materi yang disampaikan. Bahkan, perkembangan kognitif
anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan
berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan
kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang
keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi,
1999: 61).

Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak
dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan
anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan
intelektual anak. Pada teori ini konsekuensinya adalah siswa harus
memiliki ketrampilan unutk menyesuaikan diri atau adaptasi secara
tepat. Menurut C. Asri Budiningsih menjelaskan bahwa ada dua
macam proses adapatasi yaitu adaptasi bersifat autoplastis, yaitu
proses penyesuaian diri dengan cara mengubah diri sesuai suasana
lingkungan, lalu adaptasi yang bersifat aloplastis yaitu adaptasi
dengan mengubah situasi lingkungan sesuai dengan keinginan diri
sendiri.

Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut
pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn
dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1)
siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan

21

memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin
proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang
datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4)
pembelajaran

bukanlah

transmisi

pengetahuan,

melainkan

melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar
dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skema
sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan
sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme
sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi
anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun
fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh
dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam
penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti
konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan
ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.

Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam
pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (1)
tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah
menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir
untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum
dirancang

sedemikian

rupa

sehingga

terjadi

situasi

yang

22

memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi
oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali
dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah
dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu
aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya.
Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang
membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi
pengetahuan pada diri peserta didik.

Konstruktivisme menurut pandangan Vygotsky menekankan pada
pengaruh budaya. Vygotsky berpendapat fungsi mental yang lebih
tinggi bergerak antara inter-psikologi (interpsychological) melalui
interaksi sosial dan intrapsikologi (intrapsychological) dalam
benaknya. Internalisasi dipandang sebagai transformasi dari kegiatan
eksternal ke internal. Ini terjadi pada individu bergerak antara interpsikologi (antar orang) dan intra-psikologi (dalam diri individu).
Berkaitan dengan perkembangan intelektual siswa, Vygotsky
mengemukakan dua ide; Pertama, bahwa perkembangan intelektual
siswa dapat dipahami hanya dalam konteks budaya dan sejarah
pengalaman siswa (Van Der Veer dan Valsiner dalam Slavin, 2000),
Kedua, Vygotsky mempercayai bahwa perkembangan intelektual
bergantung pada sistem tanda (sign system) setiap individu selalu
berkembang (Ratner dalam Slavin, 2000: 43). Sistem tanda adalah
simbol-simbol yang secara budaya diciptakan untuk membantu

23

seseorang berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalah,
misalnya budaya bahasa, system tulisan, dan sistem perhitungan.
Inti teori Vigotsky adalah menekankan interaksi antara aspek
internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada
lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori Vigotsky, fungsi
kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing
individu dalam konteks budaya. Vigotsky juga yakin bahwa
pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang
belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan
kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal
development mereka.

2.2. Aktivitas Belajar
Sebelum peneliti meninjau lebih jauh tentang aktivitas belajar, terlebih
dahulu kita harus mengetahui tentang pengertian dari aktivitas dan belajar.
1) Aktivitas
Menurut Anton M. Mulyono (2001 : 26), Aktivitas artinya “kegiatan
atau keaktifan”. Jadi segala sesuatu yang dilakukan atau kegiatankegiatan yang terjadi baik fisik maupun non-fisik, merupakan suatu
aktifitas.
Menurut Sriyono aktivitas adalah segala kegiatan yang dilaksanakan
baik secara jasmani atau rohani. Aktivitas siswa selama proses belajar
mengajar merupakan salah satu indikator adanya keinginan siswa untuk
belajar.

24

2) Belajar
Menurut Sardiman A.M. (2003 : 22) menyatakan: “Belajar merupakan
suatu proses interaksi antara diri manusia dengan lingkungannya yang
mungkin berwujud pribadi, fakta, konsep ataupun teori”

Dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar merupakan segala kegiatan yang
dilakukan dalam proses interaksi (guru dan siswa) dalam rangka mencapai
tujuan belajar. Aktivitas yang dimaksudkan di sini penekanannya adalah
pada siswa, sebab dengan adanya aktivitas siswa dalam proses pembelajaran
terciptalah situasi belajar aktif, seperti yang dikemukakan oleh Rochman
Natawijaya dalam Depdiknas (2005 : 31), belajar aktif adalah “Suatu sistem
belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental
intelektual dan emosional guna memperoleh hasil belajar berupa perpaduan
antara aspek koqnitif, afektif dan psikomotor”.
Keaktifan siswa selama proses belajar mengajar merupakan salah satu
indikator adanya keinginan atau motivasi siswa untuk belajar. Siswa
dikatakan memiliki keaktifan apabila ditemukan ciri-ciri perilaku seperti :
sering bertanya kepada guru atau siswa lain, mau mengerjakan tugas yang
diberikan guru, mampu menjawab pertanyaan, senang diberi tugas belajar,
dan lain sebagainya.

Seorang pakar pendidikan, Trinandita (1984) menyatakan bahwa ” hal yang
paling mendasar yang dituntut dalam proses pembelajaran adalah keaktifan
siswa”. Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran akan menyebabkan

25

interaksi yang tinggi antara guru dengan siswa ataupun dengan siswa itu
sendiri. Hal ini akan mengakibatkan suasana kelas menjadi segar dan
kondusif, dimana masing - masing siswa dapat melibatkan kemampuannya
semaksimal mungkin. Aktivitas yang timbul dari siswa akan mengakibatkan
pula terbentuknya pengetahuan dan keterampilan yang akan mengarah pada
peningkatan prestasi.

Banyak macam- macam kegiatan (aktivitas belajar) yang dapat dilakukan
anak- anak di kelas, tidak hanya mendengarkan atau mencatat. Macammacam kegiatan (aktivitas belajar) menurut Paul B. Diedrich (dalam
Nasution,2004:9), antara lain: Visual activities, Oral activities, Listening
activities, Writing activities, Drawing activities, Motor activities, Mental
activities dan Emotional activities.

2.3. Hasil Belajar
Proses Pembelajaran mengandung dua unsur penting yaitu proses dan hasil
belajar. Proses adalah kegiatan yang dilaksanakan siswa dalam mencapai
tujuan pengajaran, sedangkan hasil belajar adalah berupa kemampuankemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajar.
Evaluasi merupakan proses untuk menentukan nilai belajar siswa melalui
kegiatan penilaian dan atau pengukuran hasil belajar. Hasil Belajar
bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan yang dicapai oleh siswa
setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Dimana tingkat keberhasilan
siswa ditandai selalu dengan skor, angka, kata atau huruf. Apabila tujuan

26

utama kegiatan evaluasi hasil belajar ini sudah terealisasi, maka hasilnya
dapat difungsikan dan ditujukan untuk diagnosis dan pengembangan, untuk
seleksi, untuk kenaikan kelas dan untuk penempatan.
Sebagai salah satu kegiatan yang bertujuan untuk mengetahui tingkat
keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka
evaluasi belajar memiliki tujuan yang berupa ranah-ranah yang terkandung
dalam tujuan.
Adapun tujuan penilaian terhadap proses belajar mengajar antara lain
sebagai berikut :
1) Guru mendapatkan umpan balik ( feed back ) terhadap proses belajar
yang telah dilakukannya.
2) Mendapatkan angka kemajuan hasil belajar masing-masing pebelajar.
3) Menempatkan pebelajar sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
4) Secara umum dapat diketahui tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan
dan pengajaran disekolah atau lembaga pendidikan yang bersangkutan.
5) Guru dapat melakukan perbaikan alat evaluasi yang telah dilakukan.

Sedangkan menurut Bloom, perubahan perilaku yang terjadi sebagai hasil
belajar meliputi perubahan untuk mencapai tujuan pendidikan. Ranah-ranah
tujuan pendidikan berdasarkan hasil belajar tersebut, yakni :

1) Ranah Kognitif
Menurut Jarolimek dan Foster dalam buku Belajar dan Pembelajaran,
“Tujuan ranah kognitif berhubungan dengan ingatan atau pengenalan

27

terhadap pengetahuan dan informasi serta pengembangan atau
keterampilan intelektual”. Penggolongan ranah kognitif menurut Bloom
ada enam tingkat, yaitu: a) pengetahuan b) pemahaman c) penggunaan
atau penerapan d) analisis e) sintesis f) evaluasi.
Tipe belajar ingatan adalah kemampuan siswa untuk mengungkapkan
kembali ingatannya yang berupa fakta, konsep, pengertian dan
pengetahuan tentang suatu hal. Dalam ranah kognitif, tipe belajar
ingatan merupakan tingkatan rendah. Namun, menjadi prasyarat dalam
tipe berikutnya. Tipe hasil belajar pemahaman adalah kemampuan
siswa untuk memahami, menjelaskan fakta serta kemampuan untuk
dapat menghubungkan konsep-konsep yang pernah dipelajari. Tipe
hasil belajar tingkat penerapan berupa kemampuan siswa untuk
menerapkan pengetahuan teoritisnya dalam situasi yang lebih konkrit.
Sedangkan tipe belajar analisa merupakan kemampuan untuk dapat
menganalisis unsur-unsur suatu masalah yang sedang dihadapinya. Tipe
belajar sintesa merupakan kelanjutan dari tipe belajar analisis. Pada tipe
ini siswa dituntut untuk dapat mengkategorikan, menghubungkan,
menyimpulkan dan merancang hal-hal yang berkaitan dengan masalah
yang dihadapi.
Ingatan dan pemahaman dapat digolongkan kedalam tingkatan rendah,
sedangkan untuk penerapan, sintesis, analisis dan evaluasi dapat
digolongkan kedalam tingkat tinggi.

28

2) Ranah Afektif
Menurut Davies, Jarolimek dan Foster dalam buku Belajar dan
Pembelajaran, tujuan ranah afektif berhubungan dengan hierarki
perhatian, sikap, penghargaan, nilai perasaan dan emosi. Adapun
tujuannya adalah menerima, merespons, menilai, mengorganisasi dan
mengkarakterisasi.
Tipe hasil belajar menerima merupakan tingkat tujuan belajar afektif
yang berupa perhatian terhadap stimulasi secara pasif yang meningkat
secara lebih aktif. Tipe hasil belajar merespons merupakan kesempatan
untuk menanggapi stimulan dan merasa terikat serta secara aktif
memperhatikan. Tipe belajar menilai merupakan kemampuan menilai
gejala atau kegiatan, sehingga dengan sengaja merespon lebih lanjut
untuk mencari jalan bagaimana dapat mengambil bagian atas apa yang
terjadi dalam menilai. Pada tipe belajar mengorganisasi, siswa dituntut
agar dapat membentuk system nilai bagi dirinya berdasarkan nilai-nilai
yang dipercaya. Tipe hasil belajar karakterisasi, merupakan kemampuan
untuk mengkonseptualisasikan masing-masing nilai pada waktu
merespons dengan jalan mengidentifikasi karakteristik nilai atau
membuat pertimbangan-pertimbangan.
3) Ranah Psikomotorik
Sedangkan tujuan ranah psikomotorik menurut Davies dalam buku
Belajar dan Pembelajaran adalah berhubungan dengan penilaian
psikomotorik, manipulasi benda atau kegiatan yang memerlukan
koordinasi syaraf dan koordinasi badan.

29

Kebler, Barket dan Miles mengemukakan tujuan ranah psikomotorik
sebagai berikut : a) Gerakan tubuh yang mencolok, b) kecepatan gerak
yang dikoordinasikan, c) perangkat komunikasi non verbal, d)
kemampuan berbicara
Moh. Surya (1997) mengemukakan bahwa hasil belajar akan tampak
dalam:


Kebiasaan; seperti : peserta didik belajar bahasa berkali-kali
menghindari kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang
keliru, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan bahasa
secara baik dan benar.



Keterampilan; seperti : menulis dan berolah raga yang meskipun
sifatnya motorik, keterampilan-keterampilan itu memerlukan
koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi.



Pengamatan; yakni proses menerima, menafsirkan, dan memberi
arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera secara obyektif
sehingga peserta didik mampu mencapai pengertian yang benar.



Berfikir asosiatif; yakni berfikir dengan cara mengasosiasikan
sesuatu dengan lainnya dengan menggunakan daya ingat.



Berfikir rasional dan kritis yakni menggunakan prinsip-prinsip dan
dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti
“bagaimana” (how) dan “mengapa” (why).



Sikap yakni kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi
dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu
sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan.

30



Inhibisi, menghindari hal yang mubazir.



Apresiasi, menghargai karya-karya bermutu.



Perilaku afektif yakni perilaku yang bersangkutan dengan perasaan
takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was dan
sebagainya.

2.4. Model Pembelajaran Make A Match
Model pembelajaran Make A Match atau mencari pasangan dikembangkan
oleh Lorna Curran (1994). Salah satu keunggulan model ini adalah siswa
mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam
suasana yang menyenangkan. Model Pembelajaran Make A Match artinya
model pembelajaran mencari pasangan. Setiap siswa mendapat sebuah kartu
(bisa soal atau jawaban), lalu secepatnya mencari pasangan yang sesuai
dengan kartu yang ia pegang. Suasana pembelajaran dalam model
pembelajaran Make A Match akan riuh, tetapi sangat asik dan
menyenangkan.
Langkah-langkah model pembelajaran Make A Match adalah sebagai
berikut:
1.

Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau
topik yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal
dan bagian lainnya kartu jawaban.

2.

Setiap kelompok mendapat satu buah kartu.

3.

Tiap kelompok memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang.

4.

Setiap kelompok mencari pasangan yang mempunyai kartu yang
cocok dengan kartunya. Artinya kelompok yang kebetulan mendapat

31

kartu ‘soal’ maka harus mencari pasangan yang memegang kartu ‘
jawaban soal’ secepat mungkin. Demikian juga sebaliknya.
5.

Setiap kelompok yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas
waktu diberi poin.

6.

Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap kelompok mendapat
kartu yang berbeda dari sebelumnya.

7.

Demikian seterusnya sampai semua kartu soal dan jawaban jatuh ke
semua kelompok.

8.

Kesimpulan/penutup.

Kelebihan model pembelajaran Make A Match di antaranya sebagai
berikut:
1.

Mampu menciptakan suasana belajar aktif dan menyenangkan

2.

Materi pembelajaran yang disampaikan lebih menarik perhatian siswa

Sedangkan Kelemahan model pembelajaran Make A Match yaitu :
1.

Diperlukan bimbingan dari guru untuk melakukan kegiatan

2.

Waktu yang tersedia perlu dibatasi jangan sampai siswa terlalu banyak
bermain-main dalam proses pembelajaran.

3.

Guru perlu persiapan bahan dan alat yang memadai

2.5. Pembelajaran Matematika SD
Winkel (Muhkal, 1998) mendefenisikan prestasi sebagai bukti keberhasilan
usaha yang dicapai. Jadi prestasi adalah bukti usaha yang digunakan untuk
menunjukkan tingkat keberhasilan yang dapat dicapai seseorang setelah

32

melakukan usaha tertentu dalam suatu penggalan waktu tertentu pula.
Dengan demikian, jika tujuan pembelajaran dipandang sebagai suatu
harapan yang akan diperoleh siswa setelah mengikuti kegiatan belajar
mengajar, maka prestasi belajar dapat disajikan sebagai ukuran sebarapa
jauh tujuan pembelajaran tersebut tercapai. Dalam kaitannya dengan belajar
matematika maka prestasi belajar matematika dapat diartikan sebagai hasil
yang dicapai/prestasi seseorang setelah melalui proses pembelajaran matematika.
Untuk mengetahui seberapa jauh tingkat keberhasilan siswa dalam
menguasai bahan pelajaran matematika yang dipelajarinya, diperlukan suatu
alat ukur berupa tes. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
Ratumanan (Ahmad, 2006) bahwa tes merupakan bagian dari pengukuran
yang dilanjutkan dengan kegiatan penilaian. Tes merupakan pengukuran
terencana yang digunakan guru untuk memberikan kesempatan bagi siswa untuk
memperlihatkan prestasi mereka dalam kaitannya dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Soedjadi (Akib, 2001) mengemukakan bahwa tujuan pembelajaran
matematika di sekolah pada dasarnya terdiri dari tujuan fomal dan tujuan
material. Tujuan formal menekankan pada penataan nalar dan pembentukan
sikap, sedangkan tujuan material menekankan pada kemampuan menerapkan
matematika dan keterampilan matematika. Hal ini menunjukkan bahwa
pembelajaran matematika di

sekolah tidak

cukup hanya melatih

keterampilan berhitung dan menghafal fakta, tetapi juga menekankan pada
kemampuan penalaran. Sedangkan Nickson (Akib, 2001) mengatakan
bahwa pembelajaran matematika adalah suatu upaya membantu siswa

33

untuk mengkontruksikan konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika
dengan keterampilannya sendiri melalui internalisasi sehingga konsep itu
terbangun kembali. Dalam pembelajaran matematika di sekolah, guru
hendaknya memilih dan menggunakan strategi, pendekatan, metode, atau
teknik yang banyak melibatkan siswa secara aktif dalam belajar baik secara
mental, fisik, maupun sosial. Prinsip belajar aktif inilah yang diharapkan
menumbuhkan sasaran pembelajaran matematika yang kreatif dan kritis
untuk membantu siswa dalam membangun sendiri konsep dan prinsip yang
dipelajarinya.

Matematika berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi
dengan menggunakan bilangan dan simbol-simbol serta ketajaman
penalaran

yang dapat

membantu memperjelas dan menyelesaikan

permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan tujuan utama
matematika

salah

satunya

yaitu

Menambah

dan

mengembangkan

keterampilan berhitung dengan bilangan sebagai alat dalam kehidupan
sehari-hari.

2.6. Kerangka Pikir Penelitian
Dari uraian diatas diketahui bahwa penggunaan model pembelajaran model
Make A Match diharapkan mampu menciptakan suasana belajar yang
menyenangkan dan diminati siswa sehingga dapat meningkatkan aktivitas
dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Matematika di kelas IV SD
Negeri

3

Rejosari

Kecamatan

Pringsewu

Kabupaten

Pringsewu.

34

Berdasarkan paparan di atas, maka kerangka penelitian tindakan kelas ini
dapat digambarkan sebagai berikut :

Kondisi
Awal

Tindakan

Kondisi
Akhir

Guru : Belum
menggunakan
model Make A
Match
Guru :
menggunakan
model Make A
Match

Siswa : aktivitas dan
hasil belajar rendah

Siklus I: Penggunaan
model Make A Match
(individu guru)
Siklus II: Penggunaan
model Make A Match
(melibatkan siswa)

Melalui model Make A Match (melibatkan siswa)
dapat meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar
siswa pada mata pelajaran matematika di kelas IV
SDN 3 Rejosari pada semester genap tahun ajaran
2011/2012

Gambar 1 : Kerangka Pikir Penelitian

35

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang dilakukan pada siswa kelas IV SD Negeri 3
Rejosari

menggunakan

Penelitian

Tindakan

Kelas.

Penelitian

ini

dilaksanakan melalui kegiatan yang dimulai dari Perencanaan (planning),
dilanjutkan dengan Pelaksanaan Tindakan (acting), dan Refleksi yang
didasarkan pada hasil pengamatan (reflecting). Adapun langkahnya dapat
digambarkan sebagai berikut :
Refleksi

Observasi

Siklus I

Rencana Tindakan

Pelaksanaan
Tindakan

Refleksi

Observasi

Siklus II

Pelaksanaan
Tindakan

Gambar 2

Rencana Tindakan

dst

: Langkah-langkah Penelitian Tindakan Kelas
Hopkins (dalam Arikunto, 1991:105)

36

3.2. Setting Penelitian
1. Subjek Penelitian
Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa kelas IV SD
Negeri 3 Rejosari yang berjumlah 28 Siswa yang terdiri dari 12 siswa
laki-laki dan 16 siswa perempuan.
Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 25 April 2012 sampai tanggal 16
Mei 2012 di SD Negeri 3 Rejosari Kecamatan Pringsewu Kabupaten
Pringsewu Provinsi Lampung Tahun Pelajaran 2011/2012.
2. Faktor yang diteliti
Faktor yang diteliti dalam penelitian ini adalah Aktivitas dan Hasil
belajar siswa selama proses pembelajaran Matematika berlangsung.

3.3. Metode Pengumpulan Data
Instrumen yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data yaitu :
1.

Lembar observasi, untuk mendapatkan data tentang aktivitas belajar.
Merupakan kegiatan melihat sesuatu secara cermat untuk memperoleh
pemahaman yang lebih meningkat tentang kegiatan pembelajaran siswa
kelas IV SD Negeri 3 Rejosari. Observasi dilakukan untuk mengamati
aktivitas siswa selama penelitian sebagai upaya untuk mengetahui
kesesuaian antara perencanaan dan pelaksanaan. Data diperoleh dengan
menggunakan lembar observasi aktivitas siswa dengan menggunakan
tanda ( √ ).

2.

Tes, untuk mendapatkan data tentang hasil belajar

Dokumen yang terkait

UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN SCRAMBLE DENGAN PENDEKATAN TEMATIK KELAS I SEMESTER GENAP SD NEGERI 3 REJOSARI KECAMATAN PRINGSEWU KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN 2012

0 5 116

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI PENDEKATAN TEMATIK DENGAN MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) PADA KELAS III SD NEGERI 2 PRINGSEWU TIMUR KECAMATAN PRINGSEWU KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN PELAJARAN 2012/2013

0 26 61

UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN EXAMPLE NON EXAMPLE PADA MATA PELAJARAN IPS DI KELAS VIII.7 SEMESTER GENAP SMP NEGERI 4 PRINGSEWU TAHUN PELAJARAN 2012/2013

0 6 55

UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN EXAMPLE NON EXAMPLE PADA MATA PELAJARAN IPS DI KELAS VIII.7 SEMESTER GENAP SMP NEGERI 4 PRINGSEWU TAHUN PELAJARAN 2012/2013

2 10 56

PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA KELAS IV SD NEGERI 2 MARGODADI KECAMATAN AMBARAWA KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN PELAJARAN 2012/2013

0 12 47

PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN IPA KELAS I SD NEGERI 2 REJOSARI KECAMATAN PRINGSEWU TAHUN PELAJARAN 2012/ 2013

0 8 62

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA KELAS IV SD NEGERI 2 PAJARAGUNG KECAMATAN PRINGSEWU KABUPATEN PRINGSEWU DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD TAHUN PELAJARAN 2014/2015

0 5 46

MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR IPS MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW SISWA KELAS IV SD NEGERI 2 PRINGSEWU BARAT KECAMATAN PRINGSEWU KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN PELAJARAN 2012/2013

0 9 47

PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR IPS MELALUI METODE MAKE A MATCH PADA SISWA KELAS IV SD NEGERI Peningkatan Aktivitas Dan Hasil Belajar IPS Melalui Metode Make A Match Pada Siswa Kelas Iv SD Negeri 3 Keden Tahun Pelajaran 2012/2013.

0 1 14

PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR IPS MELALUI METODE MAKE A MATCH PADA SISWA KELAS IV SD NEGERI Peningkatan Aktivitas Dan Hasil Belajar IPS Melalui Metode Make A Match Pada Siswa Kelas Iv SD Negeri 3 Keden Tahun Pelajaran 2012/2013.

0 0 17