Konstruksi Tipologi Sintaksis Bahasa Batak Toba

(1)

TESIS

Oleh

SARMA PANGGABEAN

117009013/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SARMA PANGGABEAN

117009013/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

Nomor Pokok : 117009013 Program Studi : Linguistik Konsentrasi : Linguistik

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S) (Dr. Namsyah Hot Hasibuan, M.Ling)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D) (Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S

Anggota : 1. Dr. Namsyah Hot Hasibuan, M.Ling 2. Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP

3. Dr. Mulyadi, M.Hum


(5)

Konstruksi Tipologi Sintaksis Bahasa Batak Toba

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan karya ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 29 Juli 2013 Penulis,


(6)

i

ABSTRAK

Penelitian tipologi sintaksis Bahasa Batak Toba bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik konstruksi sintaksis BBT, dan menginterpretasikan tipologi BBT berdasarkan karateristik sintaksisnya. Melalui kerangka kerja teori tipologi linguistik dan menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan analisis kualitatif diharapkan dapat menjawab pertanyaan penelitian ini. Prototipe tataurut kata BBT mempunyai satu pola lazim yaitu pola urutan VOS. Analisis data secara tipologis membawa penelitian ini pada simpulan bahwa secara sintaksis BBT termasuk ke dalam kelompok bahasa akusatif yang memperlakukan S sama dengan A, dan perlakuan berbeda untuk P. Pentopikalan termasuk stuktur kalimat tertanda dalam BBT, sama halnya dengan pelepasan ke kiri. Sedangkan konstruksi predikat-subjek merupakan struktur kalimat tak tertanda. BBT merupakan bahasa yang tidak menonjolkan subjek dan tidak menonjolkan topik. Berdasarkan kerangka kerja uji povot, pelesapan FN dapat dilakukan secara langsung apabila FN berada dalam fungsi S atau A, tetapi apabila FN berada dalam fungsi P maka pelesapan tidak dapat berterima, kecuali terjadi pemasifan terlebih dahulu. Hal ini berarti BBT bekerja dengan pivot S/A dengan tipe bahasa akusatif.


(7)

ii

ABSTRACT

Research on syntax typology in Toba Batak Language (TBL) is aimed to describe the characteristic of syntax construction in TBL and to interpret the typology of TBL based on syntax characteristic. This theoretical framework of linguistic typology through using qualitative descriptive method focused to discover the answers of research questions. The prototype of word order in TBL has one congruent type that is VOS. Typologically analysis of data brought this research into finding that syntactically, TBL treats S with the same way as Agent (A), and different treatment is given to Pasient (P). The topicalization belongs that to clause structure is marked in TBL which is also the same as left-localization. The predicate-subject contruction constitutes unmarked clause structure in TBL. TBL constitutes language with neither subject prominent nor topic prominence. Based om theoretical framework of pivot test, the omission of Noun Phrase (NP) can be done directly if NP functions as S or A, but if NP functions as P, then the omission cannot be done directly. The omission can be allowed if one of the clauses is changed into passive. This means that TBL works as S/A pivot as a language which has syntactically accusative typology.


(8)

iii

Puji dan syukur penulis ucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan pertolongan-Nya kepada penulis dalam menyelesaikan tesis

ini. Adapun tesis ini berjudul: “Konstruksi Tipologi Sintaksis Bahasa Batak

Toba”.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat kekurangan maupun kelemahan, oleh karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis untuk penyempurnaan penulisan tesis ini.

Pada akhirnya penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penutur bahasa batak Toba, dan bagi para pembaca secara umum.


(9)

iv

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan pertolongan-Nya kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat meraih gelar Magister Sains pada Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc, (CTM), Sp.A(K).

2. Ketua Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai penguji, Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D, yang telah memberikan arahan dan dukungan kepada penulis.

3. Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S sebagai pembimbing pertama yang telah mengarahkan, membantu, dan mendampingi penulis sejak dari awal sampai selesai penulisan tesis ini.

4. Pembimbing, Bapak Dr. Namsyah Hot Hasibuan, M.Ling sebagai pembimbing kedua yang telah memberi banyak saran, bimbingan, dukungan dan arahan kepada penulis, sehingga penulisan tesis ini dapat selesai.

5. Penguji Bapak Dr. Mulyadi, M.Hum, Bapak Dr. Eddy Setia, M.Ed.TESP, Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D, yang telah mengarahkan dan membimbing penulis dalam penyelesaian tesis ini.

6. Sekretaris Program Studi Linguistik Universitas Sumatera Utara, Dr. Nurlela, M.Hum.


(10)

v

finansial. Atas dukungan orang tua tercinta, penulis dapat selesai dengan tepat waktu. Tulang dan Nantulang (E.M. Panggabean/br. Simorangkir, Tulang/Nantulang Miduk, serta seluruh keluarga yang selalu mendukung penulis.

8. Teman-teman kuliah di PPs.Linguistik; Erna Surbakti, Srimahyuni Dara, Apraisman Nduru, Boy Manurung, Sidik Mahadi, Sumiadi, Antoni, Hijrah, dan lainnya, yang selalu mengingatkan dan menolong penulis dalam penyelesaian tesis ini.

9. Teman-teman dosen di Universitas HKBP Nommensen; Febrika Dwi Lestari, Nonni Sise Manihuruk, Juanda Silitonga, Surya Darma dan keluarga, Wahyuni Ginting dan keluarga, serta seluruh pegawai, yang telah memberikan dukungan moral kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.

10.Segenap direksi Jurnal Langua, para anggota Lembaga Kajian Ekolinguistik, terkhusus Prof. Dr. Aron Meko Mbete dan Dr. Hugo di Universitas Udayana-Bali, terima kasih buat dukungan dan sumbangsih ide yang sangat penulis harapkan. Rekan-rekan di Laboratorium Sastra-Sumut, terima kasih buat doa dan dukungannya kepada penulis.

Semoga budi baik dan keikhlasan hati diberikan berkat kemudahanNya untuk mereka. Semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya. Tuhan menyertai kehidupan kita.

Medan, 29 Juli 2013 Sarma Panggabean


(11)

vi

I. Data Pribadi

Nama : Sarma Panggabean

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/Tanggal Lahir : Lumban Siagian, 13 Januari 1988

Alamat : Jalan Sehati, Gang Matahari No. 08. Tuasan Pancing- Medan

Agama : Kristen Protestan

Status : Belum Menikah

HP : 081263262009

Alamat Kantor : Universitas HKBP Nommensen Jalan Sutomo No 4C Medan

E-mail : uli.gabe88@yahoo.com

II. Riwayat Pendidikan

1993 – 1999 : SDN No. 174568 Simorangkir Kec. Tarutung 1999 – 2002 : SLTPN 4 Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara 2002 – 2005 : SMAN 1 Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara 2005 – 2009 : Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia,Fakultas Bahasa dan Seni-Unimed 2011- 2013 : Program Pascasarjana, Konsentrasi Linguistik,

Universitas Sumatera Utara

III. Riwayat Pekerjaan

1. Mengajar di STKIP Pelita Bangsa Medan


(12)

vii

Halaman

ABSTRAK ………..……….i

ABSTRACT ……….……….ii

KATA PENGANTAR ………...……….iii

UCAPAN TERIMA KASIH ……….iv

RIWAYAT HIDUP ……….vi

DAFTAR ISI ………...….vii

DAFTAR BAGAN ……….xi

DAFTAR GAMBAR ………...…….xii

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ……….……….xiii

DAFTAR LAMPIRAN ………...……….xv

BAB I PENDAHULUAN ………...……….1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5


(13)

viii

2.1 Kajian Pustaka ... 7

2.2 Landasan Teori ... 10

2.2.1 Kajian Tipologi Sintaksis ... 10

2.2.1.1 Parameter Tipologi Bahasa ... 10

2.2.1.2 Ragam Tipologi Bahasa ... 15

2.2.2 Struktur Kalimat dan Peran Semantis ... 20

2.2.2.1 Struktur Kalimat BBT ... 21

2.2.2.2 Peran Semantis BBT ... 27

2.2.3 Relasi dan Aliansi Gramatikal ... 32

2.2.3.1 Relasi Gramatikal ... 32

2.2.3.2 Aliansi Gramatikal ... 38

2.2.4 Predikasi dan Struktur Argumen BBT ... 39

2.2.4.1 Predikasi ... 40

2.2.4.2 Struktur Argumen ... 41

2.2.5 Pentopikalan ... 42

2.2.6 Sistem Pivot ... 44

2.2.7 Tipologi Gramatikal ... 47

2.3 Kerangka Kerja Teoretis Penelitian ... 47

BAB III METODE PENELITIAN ... 50

3.1 Lokasi Penelitian ... 50

3.2 Data dan Sumber Data ... 52


(14)

ix

3.3.3 Penyajian Hasil Analisis Data ... 56

BAB IV PAPARAN DATA PENELITAN ... 59

4.1 Struktur Dasar Klausa BBT ... 59

4.2 Tataurutan Kata ... 62

4.3 Relasi dan Aliansi Gramatikal ... 65

4.4 Predikasi dan Struktur Argumen BBT ... 70

4.5 Pentopikalan BBT ... 71

4.6 Sistem Pivot ... 73

4.7 Tipologi Gramatikal BBT ... 75

BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITAN ... 77

5.1 Struktur Dasar Klausa/ Kalimat BBT ... 77

5.1.1 Struktur Dasar Klausa BBT ... 77

5.1.2 Struktur Dasar Kalimat BBT ... 85

5.2 Relasi dan Aliansi Gramatikal BBT ... 90

5.2.1 Relasi Gramatikal BBT ... 91

5.2.2 Aliansi Gramatikal BBT... 100

5.3 Predikasi dan Struktur Argumen BBT ... 101

5.4 Pentipokalan BBT ... 104

5.5 Sistem Pivot ... 106


(15)

x

BAB VI PENUTUP ... 117

6.1 Simpulan ... 117

6.2 Saran ... 119

DAFTAR PUSTAKA ... 121

LAMPIRAN ... 126

Lampiran 1 Daftar Istilah Teknis... 126

Lampiran 2 Data Informan ... 128


(16)

xi

Halaman

Bagan 1 Kalimat Majemuk Bertingkat……… 22

Bagan 2 Kalimat Majemuk Setara …...23

Bagan 3 Kalimat Majemuk Campuran …...23

Bagan 4 Pemarkah Pasif …...25

Bagan 5 Hierarki pelaku dan penderita ……….28

Bagan 6 Kerangka Kerja Teoretis Penelitian...49


(17)

xii

Halaman


(18)

xiii

A : Argumen agen AKT : Aktif

AKU : Akusatif APL : Aplikatif ARG : Argumen ART : Artikel

BBT : Bahasa Batak Toba BEN : Benefaktif

ERG : Ergatif DIN : Data Intuisi DLA : Data Lisan Adat DLP : Data Lisan Percakapan DLW : Data Lisan Wawancara DRS : Data Robert Sibarani Fadj : Frasa Adjektif Fadv : Frase Adverbial FN : Frase Nominal FV : Frase Verbal Fprep : Frase Preposisi KAU : Kausatif LOK : Lokatif

M : Milik


(19)

xiv

OBL : Oblik

P : Pasien

PAS : Pasif Pe : Pemerkuat PRED : Predikat Pel : Pelengkap

S : Subjek

T : Topik

TBL : Toba Batak Language TG : Tunggal


(20)

xv

Halaman

Lampiran 1 Daftar Istilah Teknis ………....126

Lampiran 2 Data Informan ……….….128


(21)

i

ABSTRAK

Penelitian tipologi sintaksis Bahasa Batak Toba bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik konstruksi sintaksis BBT, dan menginterpretasikan tipologi BBT berdasarkan karateristik sintaksisnya. Melalui kerangka kerja teori tipologi linguistik dan menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan analisis kualitatif diharapkan dapat menjawab pertanyaan penelitian ini. Prototipe tataurut kata BBT mempunyai satu pola lazim yaitu pola urutan VOS. Analisis data secara tipologis membawa penelitian ini pada simpulan bahwa secara sintaksis BBT termasuk ke dalam kelompok bahasa akusatif yang memperlakukan S sama dengan A, dan perlakuan berbeda untuk P. Pentopikalan termasuk stuktur kalimat tertanda dalam BBT, sama halnya dengan pelepasan ke kiri. Sedangkan konstruksi predikat-subjek merupakan struktur kalimat tak tertanda. BBT merupakan bahasa yang tidak menonjolkan subjek dan tidak menonjolkan topik. Berdasarkan kerangka kerja uji povot, pelesapan FN dapat dilakukan secara langsung apabila FN berada dalam fungsi S atau A, tetapi apabila FN berada dalam fungsi P maka pelesapan tidak dapat berterima, kecuali terjadi pemasifan terlebih dahulu. Hal ini berarti BBT bekerja dengan pivot S/A dengan tipe bahasa akusatif.


(22)

ii

ABSTRACT

Research on syntax typology in Toba Batak Language (TBL) is aimed to describe the characteristic of syntax construction in TBL and to interpret the typology of TBL based on syntax characteristic. This theoretical framework of linguistic typology through using qualitative descriptive method focused to discover the answers of research questions. The prototype of word order in TBL has one congruent type that is VOS. Typologically analysis of data brought this research into finding that syntactically, TBL treats S with the same way as Agent (A), and different treatment is given to Pasient (P). The topicalization belongs that to clause structure is marked in TBL which is also the same as left-localization. The predicate-subject contruction constitutes unmarked clause structure in TBL. TBL constitutes language with neither subject prominent nor topic prominence. Based om theoretical framework of pivot test, the omission of Noun Phrase (NP) can be done directly if NP functions as S or A, but if NP functions as P, then the omission cannot be done directly. The omission can be allowed if one of the clauses is changed into passive. This means that TBL works as S/A pivot as a language which has syntactically accusative typology.


(23)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kajian bahasa dimulai setelah manusia menyadari keberagaman bahasa merupakan kekayaan alam yang sangat menakjubkan. Summer Institute of Linguistics menyebutkan bahwa ada 6703 bahasa di dunia. Dilihat dari lima wilayah persebarannya (Asia, Eropa, Amerika, Afrika, dan Pasifik), kawasan Asia merupakan tempat terdapatnya 2.165 bahasa (33%). Sementara itu, kawasan Eropa mempunyai 225 bahasa (3 %). Di kawasan Pasifik ditemukan 1.302 bahasa (19%), di Amerika 1000 bahasa (15%), dan di benua hitam Afrika tercatat 2.011 bahasa (30%) (Grimmes, 1996). Kesemestaan dan kekhasan bahasa secara lintas bahasa ini menjadi hal yang penting ditelaah karena masih banyak sifat-perilaku gramatikal bahasa tersebut yang belum terungkap.

Kekhasan dan kerumitan tatabahasa menjadi fenomena kebahasaan yang penting dalam analisis linguistik (lihat Van Valin, Jr. dan Lapolla, 1999:2-3). Pendeskripsian fenomena bahasa tersebut dimiliki seluruh bahasa (kesemestaan bahasa) atau bahasa –bahasa yang berbeda satu sama lain (tipologi bahasa). Untuk memperoleh hasil pendeskripsian bahasa secara cermat, diperlukan landasan teoretis dan konsep kerja yang efektif. Berkenaan dengan itu, ancangan tipologi sintaksis dipergunakan untuk memperoleh pendeskripsian bahasa secara cermat.

Pendeskripsian gramatikal dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai tipe bahasa tersebut. Hal ini menjadi dasar dan tujuan pengkajian linguistik tipologi, khususnya tipologi gramatikal. Kajian ini juga berusaha


(24)

mencermati fitur-fitur dan ciri khas gramatikal bahasa yang kemudian membuat pengelompokan sesuai dengan parameter tertentu yang dikenal dalam dunia linguistik sebagai kajian tipologi linguistik (linguistic typology). Dixon (1994) berpendapat bahwa sistem relasi dan aliansi gramatikal yang menjadi titik perhatian untuk menentukan tipologi gramatikal dapat digunakan untuk membahas tipe bahasa di dunia ini. Relasi subjek, agen, dan pasien secara eksplisit memaparkan jumlah argumen yang hadir dalam sebuah kalimat. Penetapan tipe sebuah bahasa apakah berupa akusatif, ergatif, atau S-terpilah, tentunya mengacu kepada perilaku sintaksis S, A, dan P yang terbentuk dalam konstruksinya.

Pengelompokan bahasa secara lintas bahasa (cross-language) penting dilakukan dalam mengkaji bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Menurut Virginia W. Manson (National Geographic, 2012) pusat persebaran bahasa paling tinggi berada di antara Indonesia dan Papua Nugini, bahkan menduduki sepertujuh total bahasa di dunia. Sebagian besar bahasa nusantara digunakan oleh populasi kecil yang hidup di kantong-kantong terpencil. Meskipun bahasa Indonesia adalah bahasa nasional di Indonesia, bahasa daerah masih tetap digunakan sebagai alat komunikasi di daerah yang bersangkutan. Berdasarkan hal ini, keberadaan bahasa daerah sudah lama mendapat perhatian pemerintah NKRI, sebagaimana tercantum dalam penjelasan UUD 1945, Bab XV, Pasal 36 yang menyatakan bahwa “Bahasa daerah yang masih dipakai sebagai alat penghubung oleh masyarakat bahasa setempat dibina dan dipelihara oleh negara”. Bahasa daerah kemudian menjadi kajian yang begitu menarik dalam linguistik akibat sistem ekologi yang selalu mengikuti ragam kebahasaan tersebut.


(25)

Bahasa Batak Toba (BBT) menjadi lingua franca dalam komunitas tutur bahasa tersebut, misalnya dalam tuturan percakapan sehari-hari, dalam tata laksana adat, dan sebagai pengantar dalam upacara sakral keagamaan/acara ibadah. Komunitas etnik Batak Toba yang tersebar di Kabupaten Tapanuli Utara menggunakan BBT sebagai lambang kebanggaan daerah. Selain itu, BBT juga diposisikan sebagai lambang identitas daerah dan sebagai alat pengungkap pikiran dan perasaan. Hal ini mendasari bahwa BBT dipergunakan dalam interaksi sosial masyarakat tersebut. BBT merupakan bahasa yang mempunyai ciri dan kekhasan tersendiri yang berbeda dari bahasa Batak lainnya. Kekhasan tersebut terlihat dari tataran bunyi, bentuk kata, dan bentuk kalimat BBT yang mempunyai sistem tersendiri. Keunikan sistem BBT tersebut menjadi alasan pentingnya melaksanakan penelitian ini karena sampai saat ini kajian mengenai kalimat BBT belum banyak dijadikan sebagai objek penelitian. Kajian sintaksis terhadap bahasa Batak Toba, terutama menyangkut struktur frasa dan klausa bahkan kalimat masih terbatas jika dibandingkan dengan kajian fonologi dan morfologi (Sibarani, 1997:11).

Tuuk (1971) menyinggung kalimat transitif dan kalimat intransitif yang disertai dengan contoh-contonya. Sinaga (2002) dalam bukunya Tata Bahasa Batak Toba membahas kata kerja BBT serta pembentukan kata kerja di dalam BBT. Kajian ilmiah mengenai BBT juga dilakukan Basaria (2006), dalam tulisannya Diatesis Bahasa Batak Toba: Suatu Pendekatan Tipologi tetapi fenomena yang dikaji menggunakan pendekatan tipologi bukanlah sintaksis BBT melainkan diatesis yang terjadi dalam BBT tersebut. Sibarani (1997), dalam Sintaksis Bahasa Batak Toba memberikan pemaparan yang lebih mendalam


(26)

mengenai sintaksis BBT dengan membagi kalimat berdasarkan 8 (delapan) pengklasifikasian. Akan tetapi, belum ditemukan sebuah kesimpulan termasuk tipe bahasa apakah BBT tersebut.

Kelangkaan dan ketidaklengkapan kajian sintaksis BBT sebagai fokus analisis gramatikal untuk mendapatkan tipe bahasa tersebut merupakan alasan dasar penelitian ini. Selain itu, timbulnya keraguan peneliti terhadap hasil penalaran Greenberg (dalam Keraf, 1990:106) yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia hanya memiliki satu pola dominan yaitu SVO. Mengingat bahasa Indonesia dan BBT termasuk dalam rumpun bahasa Melayu, terdapat kemungkinan BBT juga memiliki tipe yang sama dengan bahasa Indonesia. Akan tetapi, jika dicermati kalimat berikut ini:

(1) Manutung gadong ma nasida di si. (DLW) AKT-bakar ubi T mereka di situ.

‘Mereka membakar ubi di situ.’

konstruksi sintaksis yang muncul adalah VSO, bukan SVO. Kenyataan ini memerlukan pencermatan dan analisis yang sungguh-sungguh.

Penganalisisan terhadap BBT dilakukan dengan meneliti kalimat BBT sebagai pembangun gramatikal bahasa tersebut. Predikat merupakan unsur yang mendapat sorotan lebih tajam dalam konstruksi sintaksis ini. Menurut Alsina (1996: 4-7) sebuah predikat mengungkapkan hubungan antara pelibat-pelibat dalam sebuah kalimat. Perilaku predikat (verba) sebuah kalimat menentukan struktur argumen dan keberterimaan unsur lainnya. Struktur argumen yang membangun kalimat dimarkahi oleh fitur-fitur gramatikal bahasa S, O, OL, OTL, OBL, agen dan pasien yang dikenal dengan istilah relasi dan aliansi gramatikal.


(27)

Korelasi yang erat antara struktur sintaksis dengan pentipologian dalam sebuah bahasa dapat diperdalam melalui pemaparan relasi dan aliansi gramatikal; sistem predikasi dan struktur argumen; sistem ketransitifan; sistem pentopikalan; dan akhirnya menemukan tipologi gramatikal BBT yang diteliti. Penggunaan pendekatan tipologi gramatikal dalam menganalisis fenomena sintaksis BBT diperkirakan lebih alamiah dan tepat sehubungan dengan pentipologian BBT tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian untuk mencapai tujuan dalam mengungkap tipologi BBT dalam lingkungan hidup masyarakat tutur Batak Toba di kabupaten Tapanuli Utara, maka dibuat rumusan masalah penelitian agar objek yang diteliti lebih terarah. Yang dibahas dalam penelitian ini meliputi dua hal berikut:

1. Bagaimanakah karakteristik sintaktis BBT?

2. Bagaimanakah tipologi BBT berdasarkan perilaku sintaktis yang dimilikinya?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. mendeskripsikan karakteristik konstruksi sintaksis BBT;

2. menginterpretasikan tipologi BBT berdasarkan perilaku sintaksis dalam BBT.


(28)

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini digolongkan atas dua bagian, yaitu manfaat secara teoretis dan manfaat secara praktis.

1. Manfaat teoretisnya, hasil penelitian ini memperkaya pengetahuan linguistik khususnya bidang sintaksis. Berdasarkan hasil penelitian ini kajian teoretis tipologi bahasa daerah di Indonesia semakin lengkap. Menjadi rujukan atau bahan perbandingan untuk penelitian terkait lainnya yang melakukan korelasi antara disiplin ilmu baik sesama mikrolinguistik maupun makrolinguistik. Penelitian ini memberikan sumbangan positif dalam penemuan tipologi BBT sebagai temuan yang berkesesuaian antara perilaku sintaksis BBT dengan pendekatan tipologi linguistik tersebut.

2. Manfaat praktisnya, yaitu: penelitian ini berguna bagi penutur dalam memahami tipe BBT tersebut saat digunakan berkomunikasi. Penelitian ini juga berguna bagi pendokumentasian, sehingga dapat dijadikan sumber language planning untuk keperluan revitalisasi BBT. Hasil penelitian ini dijadikan sebagai bahan penyusunan buku pengajaran BBT, sebagai bahan ajar, baik di lembaga pendidikan formal maupun informal. Kajian ini menjadi sumber informasi dan rujukan bagi penelitian lanjutan dan digunakan sebagai bahan perbandingan untuk melakukan kajian lanjut, sehingga dapat memperkaya khazanah telaah sosial; bahasa, budaya, dan lingkungan Indonesia.


(29)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Tipologi bahasa pada umumnya dimaksudkan untuk mengelompokkan bahasa melalui perilaku struktural berdasarkan kekhasan bahasa tersebut. Pada dasarnya kajian tipologi bahasa dapat dilakukan pada setiap struktur bahasa, dengan mempertimbangkan ciri yang paling dominan bahasa itu. Berkaitan dengan pokok masalah penelitian ini, dikemukakan beberapa kajian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini karena mempunyai pola, arah dan tujuan yang sesuai.

Greenberg (dalam Mallinson dan Blake, 1981), menunjukkan bahwa bahasa-bahasa dapat dikelompokkan menurut tata urutan dasar (basic order) subjek, objek, dan verba. Greenberg mengusulkan suatu tipologi yang disebut tipologi urutan dasar yang menyimpulkan ada enam pola kalimat yaitu SVO, SOV, VSO, VOS, OSV, OVS. Bahasa Latin dan bahasa Rusia misalnya dapat mempergunakan keenam pola tersebut. Kedua bahasa ini memiliki keberterimaan fungsi verba yang leluasa menduduki keenam pola kalimat tersebut. Hal ini ditandai dengan adposisi dan pengaruh FN pembentuknya. Bahasa yang hanya memiliki satu pola dominan misalnya bahasa Indonesia, sedangkan bahasa Inggris memiliki dua pola dominan yaitu SVO dan VSO. Tinjauan urutan dasar ini merupakan kajian yang sangat penting karena sejumlah fitur dan parameter tipologi dapat ditafsirkan dari urutan tersebut.


(30)

Artawa (1998), dalam disertasinya, menggunakan pendekatan tipologi bahasa dan teori sintaksis formal berupa Teori Gramatika Relasional (Perlmutter dan Postal) dan Teori Penguasaan dan Pengikatan (Chomsky). Artawa membahas empat pokok masalah, yakni relasi gramatikal, mekanisme perubahan valensi, tipologi pragmatik dan tipologi sintaksis bahasa Bali. Menurutnya, analisis ergatif sangat tepat dalam mempelajari morfosintaksis bahasa-bahasa Melayu-Polonesia Barat. Temuan Artawa ini bermanfaat dalam kajian BBT terutama dalam penelusuran relasi dan aliansi gramatikal BBT dan analisis dan ketransitifan BBT secara tipologis.

Sedeng (2000) dalam tesisnya Prediket Kompleks dan Relasi Gramatikal Bahasa Sikka menggunakan pendekatan tipologi bahasa dan teori sintaksis formal, yaitu tata bahasa leksikal fungsional. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa bahasa-bahasa di Nusantara (kawasan Timur) secara tipologis mempunyai perilaku yang beragam dengan berbagai kekhasannya. Menurutnya, bahasa Sikka tergolong bahasa isolasi dan dari segi tata urutan kata, bahasa ini memiliki pola SVO yang ketat. Secara sintaksis, bahasa ini berada di antara bahasa akusatif dan S-terpilah. Temuan ini dapat juga dirujuk dan dijadikan bahan perbandingan untuk meneliti tipologi BBT.

Kosmas (2000) dalam penelitiannya Argumen Aktor dalam Bahasa Manggarai dan Pemetaan Fungsinya; struktur argumen yang digunakannya berdasarkan pendekatan tipologis, sedangkan teorinya didasarkan pada Tatabahasa Relasional dan Tatabahasa Leksikal Fungsional. Kosmas menemukan bahwa secara sintaksis bahasa Manggarai adalah bahasa akusatif dengan tata urutan kata VSO. Menurutnya, pasif bahasa Manggarai merupakan pasif secara


(31)

sintaksis tidak dimarkahi secara morfologis. Temuan ini sangat diperlukan dalam menganalisis tipologi BBT terutama dalam membahas predikasi dan struktur argumen dalam sintaksis BBT.

Masalah pentipologian bahasa Buna dikaji oleh Partami (2001) dalam tesis Relasi Gramatikal dan Perelatifan Bahasa Buna. Hasil kajiannya menyatakan bahwa bahasa Buna termasuk kelompok bahasa isolatif yang sangat jarang ditemukan proses morfologisnya. Bahasa Buna merelatifkan fungsi-fungsi gramatikal, seperti subjek, objek primer, objek sekunder dan pasif yang menempati fungsi gramatikal subjek. Bahasa Buna bertipologi akusatif dengan tata urutan dasar SVO. BBT dan bahasa Buna adalah dua bahasa yang sangat berbeda dalam morfologisnya, tetapi penelitian ini dapat dijadikan rujukan silang dalam penelitian BBT.

Jufrizal (2004) meneliti bahasa Minangkabau dalam disertasi Struktur Argumen dan Aliansi Gramatikal Bahasa Minangkabau dan menyimpulkan bahwa tata urutan kata yang lazim dalam kalimat dasar Minangkabau adalah SVO. Sistem aliansi gramatikal bahasa Minangkabau menunjukkan adanya kecenderungan mengarah ke tipologi campuran antara bahasa akusatif dan bahasa ergatif. Selanjutnya, berdasarkan fungsi-fungsi pragmatis, bahasa Minangkabau termasuk bahasa yang mengutamakan subjek, sehingga struktur dasarnya berkonstruksi subjek-predikat. Bahasa ini bekerja dengan pivot S/A berdasarkan uji pivot yang dilakukan pada tataran sintaksis bahasa tersebut. Kajian tentang struktur argumen dan aliansi gramatikal bahasa Minangkabau ini menjadi masukan yang penting dalam penelitian BBT, khususnya dalam penggunaan sistem pivot.


(32)

Basaria (2012) dalam disertasinya Relasi dan Peran Gramatikal Bahasa Pakpak Dairi, menyimpulkan bahwa tata urutan kata yang lazim dalam Bahasa Pakpak-Dairi (BPD) adalah VOS. Secara tipologi gramatikal BPD termasuk tipe akusatif. Namun terdapat juga indikasi bahwa BPD mempunyai sistem S-terpilah dan S-alir, sehingga bahasa ini mempunyai keakusatifan yang tidak murni karena masih memiliki sebagian ciri bahasa ergatif. BPD juga mengenal diatesis aktif-pasif yang dimarkahi oleh predikat verba berafiks. Temuan tipologi BPD ini menjadi masukan yang penting dalam penelitian BBT disebabkan berada dalam rumpun bahasa yang sama, yakni bahasa Batak.

2.2 Landasan Teori

Penelitian ini didasarkan pada ancangan tipologi sintaksis. Dalam kajian tipologi sintaksis, penentuan tipe sebuah bahasa didasarkan pada tiga argumen sintaksis yakni, S (subjek), A (agen), dan P (pasien). Relasi unsur-unsur ini akan mengarahkan kerangka kerja teoretis, sehingga dapat menemukan tipologi bahasa.

2.2.1 Kajian Tipologi Sintaksis 2.2.1.1 Parameter Tipologi Bahasa

Kesemestaan dan kekhasan tatabahasa secara lintas bahasa menjadi hal yang menarik dan penting untuk ditelaah. Menurut Van Valin, Jr. dan Lapolla (2002:2 – 3), pendeskripsian fenomena kebahasaan merupakan salah satu tujuan penting dalam linguistik. Para ahli bahasa berasumsi pendeskripsian fenomena kebahasaan tersebut merupakan tujuan utama dalam linguistik. Pendeskripsian itu dapat meliputi deskripsi bahasa-bahasa secara sendiri-sendiri, mendeskripsikan


(33)

apa yang umum dimiliki oleh seluruh bahasa (kesemestaan bahasa), atau mendeskripsikan bagaimana bahasa-bahasa berbeda satu sama lain (tipologi bahasa). Mallison dan Blake (1981: 6-7), menyatakan bahwa penelitian semesta lintas bahasa atau kesemestaan bahasa (language universal) dikenal luas sebagai bentuk kajian tipologi skala besar. Penelitian kesemestaan bahasa menghendaki kajian tipologis yang dilakukan secara lintas bahasa seluas mungkin. Kajian tipolinguistik dan kajian kesemestaan bahasa dilakukan berdampingan dan saling memperkuat.

Secara etimologis, tipologi berarti pengelompokan ranah (classificasion of domain). Mallison dan Blake (1981:3) mengatakan bahasa-bahasa dapat dikelompokkan berdasarkan batasan-batasan ciri khas strukturalnya. Tipologi bahasa adalah cabang linguistik yang meneliti corak atau tipe semua bahasa yang ada di dunia. Bahasa yang coraknya sama, atau setidak-tidaknya mirip, dikelompokkan menjadi satu golongan atau dalam satu kelas yang sama. Setiap unsur dalam suatu bahasa dapat diperlakukan sebagai sebuah tipe atau sebuah tanda dalam tipologi bahasa. Sebuah unsur yang berperilaku sebagai tipe merupakan objek yang terus-menerus dan berulang kali dipakai dalam sebuah bahasa.

Di antara kajian tipologi linguistik pada periode awal, yang terkenal adalah word order typology atau tipologi tataurut kata yang dilakukan oleh Greenberg (dalam Comrie 1989:89). Kajian ini mencermati fitur-fitur dan ciri khas gramatikal bahasa-bahasa di dunia, dan membuat pengelompokan yang bersesuaian dengan parameter tertentu, yang dikenal dalam dunia linguistik


(34)

sebagai kajian tipologi linguistik (linguistic typology). Hasil kajian ini merumuskan pengelompokan bahasa dengan sebutan tertentu.

Klasifikasi bahasa berdasarkan tipologinya didasarkan pada kriteria leksikal dan kriteria struktural. Kriteria leksikal, yang merupakan dasar tipologi genealogis, menganalisis persamaan-persamaan bunyi (korespondensi fonologis) yang terdapat pada sebuah kata yang mempunyai makna yang sama dengan kata dalam berbagai bahasa lain. Kriteria lain yang menjadi dasar dalam tipologi bahasa adalah kriteria struktural dan sistemis. Kriteria ini membahas fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik berbagai bahasa. Kriteria struktural dan sistemis ini mempunyai tiga ciri, yakni arbitrer, tuntas, dan unik.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa tipologi bahasa adalah cabang linguistik bandingan yang mengelompokkan bahasa berdasarkan tipe-tipe yang paling banyak terdapat dalam sekelompok bahasa. Keanekaragaman bahasa yang ada di dunia ini masih dapat dicari kesamaannya, sehingga dihasilkan klasifikasi atau pengelompokan bahasa. Pengklasifikasian bahasa dilakukan untuk memudahkan kerja analisis dan memahami analisis karakeristik kalimat sebagai dasar penentuan tipologi bahasa.

Song (2001: 40-41), menyatakan tipologi sintaksis sebuah bahasa pada dasarnya dibentuk oleh tiga parameter gramatikal, Dixon (1989) menyebutnya dengan tiga relasi inti dasar. Song (2001:40-41), menjelaskan ketiga parameter tersebut terdiri atas subjek (S) klausa intransitif, agen (A) atau subjek logis klausa transitif, dan pasien (P) atau objek logis klausa transitif. Ketiga parameter ini berguna dalam pemarkah kasus terutama untuk penentuan profil sebuah bahasa. Song (2001:40-41), mengusulkan bahwa keberadaan S, A, dan P dapat


(35)

menghasilkan lima kemungkinan logis dalam pengelompokan bahasa-bahasa di dunia yaitu, nominatif, akusatif, ergatif-absolutif, tripartite, AP/S, dan netral.

Arah kajian tipologi dalam periode awal linguistik ini adalah tipologi tataurutan kata (word order tylopogy), seperti yang dilakukan oleh Greenberg (Mallinson dan Blake, 1981). Dalam tulisannya yang berjudul Some Universals of Grammar with Particular Reference to the Order of Meaningful Elements (dalam Universals of Language, 1966), Greenberg mengusulkan suatu tipologi yang disebutnya Tipologi Urutan Dasar (Basic Order Tipology). Tipologi urutan dasar ini ditentukan oleh tiga kriteria, yaitu;

(1) Urutan relatif antara Subjek-Verba-Objek dalam sebuah kalimat berita, yang dilambangkan dengan S (subject) V (Verb), O (Object).

(2) Adanya adposisi, yaitu preposisi lawan postposisi dalam suatu bahasa, yang dilambangkan dengan Pr/Po (Preposition/Postpreposition).

(3) Posisi Adjektif atributif terhadap nomina. Bila Adjektif mendahului nomina maka urutan ini dilambangkan dengan A, dan bila nomina mendahului Adjektif maka urutan ini dilambangkan dengan N.

Berdasarkan hasil penalaran atas kriteria tersebut, kajian tipologi ini telah menunjukkan bahwa bahasa dapat dikelompokkan menurut enam urutan potensial, yaitu: SVO,SOV,VSO,VOS,OSV, dan OVS. Akan tetapi, dari keenam pola urutan dasar, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, ada tiga pola urutan dasar yang dominan, yaitu SVO, SOV, dan VSO. Greenberg menyebutkan pola tersebut berturut-turut menurut posisi unsur V, yaitu:

Tipe I: VSO (V menduduki posisi awal kalimat) Tipe II: SVO (V menduduki posisi kedua)


(36)

Tipe IIII: SOV (V menduduki posisi ketiga)

Pengamatan analisis secara morfologis dan sintaksis sangat penting dalam kajian tipologi bahasa. Hal ini dikarenakan ada bahasa pada tataran morfologi bertipe ergatif, tetapi pada tataran sintaksis berperilaku sebagai bahasa akusatif (Comrie, 1989: 104-107). Hal ini mengisyaratkan bahwa posisi S (subjek) sebagai patokan penentuan tipologi bahasa dapat digunakan dalam pengetesan morfologis dan sintaksis. Pengetesan ini memperlihatkan apakah kedudukan agen atau pasien yang diperlakukan dengan cara yang sama dengan subjek ataukah berbeda. Akhirnya, suatu bahasa dapat diklasifikasikan ke dalam tipe bahasa tertentu.

Song (2001:4), dari kajian tipologi yang dilakukannya, menemukan empat tahapan analisis tipologi tersebut. Tahap pertama adalah penentuan fenomena yang akan dikaji. Dalam hal ini diperlukan pembatasan dan kejelasan gejala variasi struktural bahasa yang akan dikaji. Langkah ini sangat penting karena begitu rumitnya pertautan antar unsur bahasa, baik dalam bahasa itu sendiri maupun antar bahasa. Tahap kedua adalah pengelompokkan tipologis fenomena yang sedang diteliti. Tahap ini memerlukan kecermatan dan penelaahan data secara sungguh-sungguh, disertai pemahaman teori yang memadai. Tahap ketiga adalah perumusan generalisasi terhadap pengelompokan tersebut. Tahap ini memerlukan kepekaan dan kejelian linguistik untuk dapat merumuskan simpulan-simpulan teoretis yang bersesuaian dengan keadaan dan watak data. Tahap terakhir adalah penjelasan atas tiap generalisasi atau rumusan teoretis yang dibuat. Tahap ini menjadi ukuran dan penentu akan kebermaknaan temuan yang diperoleh.


(37)

2.2.1.2 Ragam Tipologi Bahasa

Berdasarkan tipologi morfologi Comrie (1989:39) menyebutkan bahasa-bahasa di dunia dapat dikelompokkan beberapa tipe bahasa-bahasa, yaitu: (i) tipe bahasa-bahasa aglutinatif yaitu tipe bahasa yang hubungan gramatikalnya dan struktur katanya dinyatakan dengan kombinasi unsur-unsur bahasa secara bebas; (ii) tipe bahasa fleksi, yaitu tipe bahasa yang hubungan gramatikalnya tidak dinyatakan dengan urutan kata, tetapi dinyatakan dengan infleksi; (iii) tipe bahasa isolatif, yaitu tipe bahasa yang dalam menyatakan hubungan gramatikalnya dinyatakan dan bergantung pada urutan kata, sedangkan bentuk katanya tidak mengalami perubahan kata secara morfologis melainkan perubahan yang ada hanya karena perbedaan nada. Tipe bahasa ini disebut juga bahasa Tonis; (iv) tipe bahasa polisintesis ialah tipe bahasa yang untuk menyatakan hubungan gramatikalnya dinyatakan dengan cara melekatkan beberapa morfem yang diimbuhkan secara berturut-turut kepada bentuk dasarnya. Secara morfologis, bahasa tipe ini lebih kompleks dari tipe aglutinatif. Misalnya, dalam bahasa Indonesia, memper-kan dalam mempersatukan, diper-i dalam dipersenjatai.

Pentipologian bahasa-bahasa, terutama pada tataran sintaksis, berkaitan dengan sistem aliansi gramatikal (grammatical alliance). Pengertian dasar aliansi gramatikal adalah sistem atau kecenderungan persekutuan gramatikal di dalam atau antarklausa dalam satu bahasa secara tipologis; apakah persekutuan itu S = A, ≠ P, atau S = P, ≠ A, atau Sa = A, Sp = P atau sistem yang lainnya (lihat Dixon, 1994).

Dixon (1994) mengemukakan bahwa sistem aliansi gramatikal yang menjadi titik perhatian untuk menentukan tipologi gramatikal yang mungkin


(38)

untuk membahas bahasa di dunia dapat dibagi tiga, yaitu sistem akusatif, sistem ergatif, dan sistem S-terpilah (bahasa aktif). Tiga sistem aliansi gramatikal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut ini (lihat Jufrizal, 2004).

Sistem Akusatif Sistem Ergatif Sistem S-Terpilah a. Tipe Akusatif

Dixon (1994) mengemukakan bahwa perubahan struktur cenderung terdapat pada bahasa-bahasa yang tergolong dalam bahasa yang mempunyai pemarkah sintaksis, dibandingkan dengan bahasa yang menunjukkan pemarkah semantis. Apabila argumen A berperilaku sama dengan argumen S dan berbeda dengan argumen P, bahasa itu digolongkan bertipe akusatif. Sistem aliansi gramatikal seperti ini pada umumnya ditentukan pada bahasa-bahasa Indo-Eropa karena kebanyakan bahasa – bahasa tersebut mempunyai pemarkah kasus dan perilaku gramatikal secara sintaksis serta bersesuaian dengan sistem tersebut. Contoh klausa bahasa Inggris berikut memperlihatkan kenyataan ini melalui kasus bentuk pronomina orang ketiga tunggal laki-laki, baik untuk S maupun A. Sementara itu, bentuk yang berbeda him digunakan untuk P (lihat Payne, 2002:134).

(a) He (S) left

(b) He (A) hit him (P) S

A

P A

S P

Sa Sp


(39)

Kedua contoh menunjukkan argumen A dan P diperlakukan dengan cara yang sama, yaitu nominatif dan berada sebelum kata kerja. Bahasa-bahasa Quechuan (kelompok bahasa di Pegunungan Andes, Amerika Selatan) mempunyai sistem pengelompokkan yang sama untuk pemarkah kasus morfologis pada frasa nomina bebas. Berikut ini adalah contohnya (dari Webel (1989) dalam Payne, 2002:134). (a) Juan – 0 aywan

Juan – NOM pergi S

‘Juan pergi’

(b) Juan – 0 Pedro – ta maqau Juan – NOM Pedro – AKU pukul A P

‘Juan memukul Pedro’

Pada contoh di atas, pemarkah kasus yang sama, 0 (nol) diberikan untuk S dan A, sementara pemarkah kasus yang berbeda, yaitu –ta diberikan untuk frasa nomina Pedro yang berperan sebagai P.

Sistem pengelompokan S, A, P (sistem aliansi gramatikal) seperti dikemukakan di atas disebut sistem nominatif-akusatif (sering disebut sebagai bahasa akusatif). Dengan demikian, bahasa yang cenderung mempunyai sistem aliansi gramatikal seperti ini disebut sebagai bahasa bertipologi akusatif. Jika ada permarkah kasus morfologis pada peran S dan A, itu dinamakan kasus nominatif, sementara kasus yang hanya menandai peran P disebut kasus akusatif. Sistem aliansi gramatikal seperti ini umum ditemukan pada bahasa-bahasa Indo-Eropa karena kebanyakan bahasa-bahasa tersebut mempunyai pemarkah kasus (morfologis) dan perilaku gramatikal secara sintaktis juga bersesuaian dengan sistem tersebut.


(40)

b. Tipe Ergatif

Bahasa dengan sistem aliansi ergatif dikatakan sebagai bahasa bertipologi ergatif jika S diperlakukan sama dengan P, dan perlakuan yang berbeda diberikan kepada A. Sistem seperti ini tidak lazim bagi penutur bahasa-bahasa Indo-Eropa karena sangat jarang ditemukan kelompok bahasa itu. Keergatifan merupakan sistem aliansi gramatikal dasar bahasa-bahasa asli di Australia, Asia Tengah, dan bahasa di Amerika. Sistem ini juga banyak ditemukan di sebagian Asia Selatan (Nepal, Tibet, India, Pakistan, Banglades, Bhutan). Misalnya, dalam bahasa Kalkatungu (salah satu bahasa Aborigin-Australia), yaitu:

(a). Kalpin (S) inka (Lelaki itu pergi)

(b). Marapai-thu nanya kalpin (P) (Wanita itu melihat lelaki itu)

Berdasarkan kedua contoh di atas, S dan P diperlakukan dengan cara yang sama (tidak bermarkah), sedangkan A ditandai dengan sufiks –thu (Mallison dan Blake, 1981). Sistem pengelompokan relasi-relasi gramatikal yang berbeda ditunjukkan oleh bahasa Yup’ik Eskimo (Alaska). Contoh dan penjelasan berikut diambil dari Payne (2002:135).

(a) Doris-aq ayallmuq Doris-ABS berpergian S

‘Doris berpergian’

(b) Tom-am Doris-aq cingallrua Tom-ERG Doris-ABS menyapa A P

‘Tom menyapa Doris’

Pada contoh di atas, pemarkah kasus –aq terjadi pada argumen S klausa intransitif (a) dan pada argumen P klausa transitif (b). Jika ada kasus morfologis memarkahi A berbeda sendiri maka disebut kasus ergatif. Dengan cara yang serupa, setiap


(41)

kasus morfologis yang memarkahi baik S maupun P distilahkan sebagai kasus absolutif (S = P, ≠ A). Sistem aliansi gramatikal seperti inilah yang dinamakan sistem ergatif-absolutif (bahasa bertipologi ergatif). Sistem seperti ini tidak lazim bagi penutur bahasa-bahasa Indo-Eropa karena sangat jarang ditemukan bahasa dalam kelompok bahasa tersebut.

c. Tipe S- Terpilah (Bahasa Aktif).

Sebuah bahasa dikatakan sebagai bahasa Aktif apabila sistem aliansi gramatikalnya menunjukkan bahwa kelompok S berperilaku sama dengan A dan sekelompok S yang berperilaku sama dengan P dalam satu bahasa. Perlakuan sama atau berbeda dalam hal ini dapat terjadi pada tataran sintaksis. Sistem terpilah ini berkaitan dengan sifat-periaku gramatikal dan sifat-perilaku semantis verba yang menjadi poros utama klausa, baik intransitif maupun transitif (Dixon, 1994). Gejala tipe S- Terpilah dapat merujuk pada sistem ergatif-absolutif dan nominatif-akusatif untuk pemarkah kasus pada FN bebas. Bahasa ini juga memperlihatkan sistem aliansi untuk menyusun relasi-relasi gramatikal untuk pemarkah persona verba. Dapat diperhatikan dari contoh berikut ini (Payne, 2002: 136).

(a) Away-u Pergi-3TG ‘Dia pergi’ (b) Aywa-a Pergi-1TG ‘Saya pergi’ (c) Maqa- ma-u

Memukul-1TG-3TG ‘Dia memukul saya’


(42)

Terlihat bahwa sistem aliansi gramatikal yang berdasarkan contoh di atas adalah S=A,≠P sebagai bahasa akusatif. Terdapat juga sistem aliansi gramatikal yang menunjukkan sistem ergatif-absolutif untuk pemarkah persona yang berterima dalam bahasa Yup’ik tersebut. Dapat diperihatkan dalam contoh berikut ini (Payne, 2002:136)

(a) Ayallrum-nga Bepergian-1TG ‘Saya bepergian’ (b) Ayallrum-q Bepergian-3TG ‘Dia bepergian’ (c) Cingallrum-a-nga menyapa-3TG-1TG ‘Dia menyapa saya’

Berdasarkan contoh-contoh di atas, terlihat bahwa secara morfosintaksis bahasa ini mempunyai sistem aliansi gramatikal S = P, ≠ A (bahasa ergatif), sehingga tipe bahasa tersebut merupakan tipe bahasa S-Terpilah (bahasa aktif).

2.2.2 Struktur Kalimat dan Peran Semantis

Dalam teori linguistik tradisional ada dua unit gramatikal yang dianggap sebagai tatanan gramatikal dasar, yaitu kata dan kalimat. Dari dua unit gramatikal dasar inilah berkembang empat bidang kajian yaitu: fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik, yang sering disebut tatabahasa atau gramatika (Lyons, 1987). Perkembangan linguistik sering sekali yang dirujuk sebagai gramatika adalah morfologi dan sintaksis, bahkan ada sebagian ahli yang menggunakan istilah gramatika hanya merujuk ke sintaksis saja. Hal ini disebabkan sintaksis sebagai bagian dari ilmu bahasa yang berusaha menjelaskan unsur-unsur satuan bahasa


(43)

serta hubungan antara unsur-unsur itu dalam satu satuan, baik hubungan fungsional maupun hubungan makna (Lyons, 1987:170-171). Berdasarkan fokus kajian dalam penelitian ini, yakni menganalisis karakteristik sintaksis BBT, maka dipaparkan struktur kalimat BBT berikut ini.

2.2.2.1 Struktur Kalimat BBT

Sibarani (1997), dalam Sintaksis Bahasa Batak Toba, memberikan pemaparan yang lebih mendalam mengenai sintaksis BBT dengan membagi kalimat berdasarkan 8 (delapan) tipe pengklasifikasian. Kalimat ini dapat dipilah berdasarkan:

1. Sruktur klausa dalam kalimat

Berdasarkan struktur klausa yang mendasari suatu kalimat, kalimat dapat dipilah menjadi dua yaitu, kalimat sempurna dan kalimat taksempurna. 2. Jumlah dan jenis klausa yang terdapat dalam kalimat

Berdasarkan jumlah dan jenis klausanya, kalimat, dapat dipilah menjadi dua bagian besar, yaitu kalimat tunggal dan kalimat majemuk.

(a) Kalimat tunggal adalah kalimat sempurna yang hanya terdiri atas satu klausa bebas. Kalimat tunggal sedikitnya memiliki satu subjek dan satu predikat dengan atau tanpa konstituen lain. Dalam BBT, predikat dapat berkategori verba, nomina, adjektiva, numeralia, dan adverbia berupa frase preposisional.

(b) Kalimat majemuk adalah kalimat sempurna yang terdiri atas lebih dari satu klausa. Kalimat mejemuk masih dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu kalimat mejemuk bertingkat, kalimat mejemuk setara, dan kalimat


(44)

majemuk campuran. Kalimat majemuk bertingkat adalah kalimat sempurna yang terdiri atas satu klausa bebas dan satu klausa terikat. Dalam definisi lain, dapat juga dikatakan bahwa kalimat majemuk bertingkat adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa superordinatif dan satu klausa subordinatif. Memperlihat hubungan klausa superordinatif dan subordinatif dalam kalimat majemuk bertingkat, dapat diperhatikan bagan berikut ini (lihat Sibarani, 1997: 77).

Bagan 1

KALIMAT MAJEMUK BERTINGKAT Klausa Superordinatif

P O S Pel K (2) Nunga hea sipanganon hami tu ibana

mangusung

Klausa Subordinatif

konjungsi P S

di tingki marsahit ibana (DRS) Kalimat majemuk setara adalah kalimat sempurna yang terdiri atas dua klausa bebas atau lebih. Hubungan antara klausa bebas itu adalah setara atau koordinatif, dan dapat diperhatikan dalam bagan berikut ini (lihat Sibarani, 1997: 96).


(45)

Bagan 2

KALIMAT MAJEMUK SETARA

klausa koordinatif klausa koordinatif

(3) Mangkuling ma ronggur huhut humasiksak silam (DRS)

Kalimat majemuk campuran adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa bebas dengan beberapa klausa terikat, yang terdiri atas beberapa klausa bebas dengan satu klausa terikat. Istilah kalimat majemuk campuran, di sini, dimaksudkan untuk menunjukkan terdapatnya penggabungan kalimat majemuk setara dengan kalimat mejemuk bertingkat. Relasi penggabungan tersebut dapat diperhatikan dalam bagan berikut ini (lihat Sibarani, 1997: 116).

Bagan 3

KALIMAT MAJEMUK CAMPURAN KLAUSA SUPERORDINATIF

(4)Mangalamar ma imana tu Jakarta

KLAUSA SUBORDINATIF KLAUSA SUBORDINATIF

Ala disan do ibotona, laena, dohot ala hurang lomo rohana dohot abangna konjungsi koordinatif karejo di Medan (DRS)

3. Kalimat Berdasarkan Jenis Tanggapan yang Diharapkan

Jika penyapa mengungkapkan sebuah kalimat kepada pesapa, kalimat itu akan menimbulkan efek atau pengaruh tertentu kepada pesapa. Dengan demikian, berdasarkan jenis tanggapan yang diharapkan dari pesapa,


(46)

kalimat dapat dibagi atas tiga bagian yaitu: ( i) kalimat berita, (ii) kalimat perintah, dan (iii) kalimat tanya.

4. Hubungan Subjek dengan Predikat

Dalam sebuah kalimat sempurna, unsur inti yang harus dimilikinya adalah subjek dan predikat. Hal ini dikarenakan subjek dan predikat memegang peranan yang sangat penting dalam pemakaian bahasa sebagai alat komunikasi karena makna kalimat tersebut dapat diketahui dengan jelas tanpa bantuan konteks yang mendahului dan mengikutinya (lihat Sibarani, 1997: 154). Dalam BBT, terdapat dua jenis verba, yaitu: verba transitif umum (verba yang dapat digunakan di dalam semua jenis kalimat berdasarkan tanggapan yang diharapkan) verba transitif itu adalah verba yang menggunakan afiks di bawah ini (lihat Sibarani, 1997: 155) :

maN mandanggur ‘melempar’

maN-hon manaruhon ‘mengantarkan’

maN-i manggotili ‘mencubiti’

masi- masiboan ‘membawa (masing-masing)’ masi-hon masipeakhon ‘meletakkan(masing-masing)’ masi-i masigadisi ‘menjual (masing-masing)’

pa- pabara ‘masuk ke kandang’

pa-hon paganjanghon ‘membuat (menjadi) panjang’ mampar-hon mamparrohahon ‘konsentrasi (menyimak)’ mampar-i mamparbadiai ‘ membuat kudus (suci)’ mangha-hon manghalashon ‘bergembira atas’ mangha-i manghaholongi ‘menyayangi’


(47)

-um- sumuru ‘(yang) menyuruh’

-um-hon sumarihon ‘mengacuhkan’

-um-i sumombai ‘menyembah’

Predikat kalimat yang memiliki verba dengan menggunakan afiks di atas akan memperlihatkan subjek sebagai pelaku dan objek sebagai penderita. Hal semacam itu dapat diperhatikan dalam kalimat di bawah ini.

(5) Manumpahi do hita tu nasida. (DLA)

AKT-memberi bantuan (uang) T kita kepada mereka ‘Kita memberikan uang kepada mereka’

Kalimat pasif adalah kalimat yang subjeknya berperan sebagai penderita. Istilah penderita dimaksudkan untuk menyatakan bahwa subjek dikenai tindakan sebagaimana yang dinyatakan oleh predikat kalimat itu. Jika dibandingkan penggunaan kalimat pasif dan aktif, BBT lebih sering menggunakan kalimat pasif, baik dalam ragam lisan maupun ragam tulisan. Kalimat pasif dapat dinyatakan dengan pemarkah pasif yang diterangkan dalam bagan berikut ini.

Bagan 4 PEMARKAH PASIF

Afiks (di-, ni-, -in-, tar-, ha-an, -on/-an) Pamarkah Pasif Proklitik (hu-, ta-, dan hami)

Kata (tu+N, hona +Vt &N, dohot/jumpang 5. Wacana Percakapan

Dalam wacana percakapan, pembicara saling menyampaikan pesan atau informasi. Seorang dapat bertindak sebagai penyapa dan rekannya bertindak sebagai pesapa, dan sebaliknya. Mereka bergantian untuk


(48)

menciptakan dan menghidupkan wacana percakapan. Dengan demikian, berdasarkan percakapan ini, kalimat dapat dibagi atas enam bagian, yaitu: kalimat awal, kalimat tumpuan, kalimat tambahan, kalimat sambungan, kalimat jawaban, dan kalimat ujung.

6. Kalimat Berdasarkan Fungsi

Pembicara menggunakan bahasanya untuk menyampaikan maksud dan tujuannya melalui kalimat-kalimat yang disusunnya. Dalam hal ini konteks pemakaian bahasa sangat berpengaruh dalam penyampaian kalimat untuk maksud dan tujuan tertentu. Fungsi kalimat tersebut dapat berupa: (1) kalimat salam-selamat, (2) kalimat basa-basi, (3) kalimat panggilan, (4) kalimat usir, (5) kalimat seru, (6) kalimat maaf, (7) kalimat tagih, (8) kalimat suguh, (9)kalimat pandu, (10) kalimat ejek, (10) kalimat sesal, (11) kalimat sumpah, (12) kalimat maki, (13) kalimat mohon, (14) kalimat berkat, dan (15) kalimat kutuk (lihat Sibarani, 1997: 212).

7. Penekanan Unsur

Penekanan unsur biasanya digunakan si pembicara untuk mendapatkan perhatian atau menegaskan unsur kalimat itu. Penekanan salah satu fungsi sintaksis ini ada kaitannya dengan penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi sehingga dapat dimengerti sebaik-baiknya. Berdasarkan penekanan unsurnya, kalimat BBT dapat dibagi atas: (1) kalimat tematik, (2) kalimat topik, (3) kalimat pancang, (4) kalimat pemerkuat dengan partikel Na, (5) kalimat perbandingan, (6) kalimat berjejer, (7) kalimat sungguh, (8) kalimat negatif.


(49)

Dalam konteks berbahasa, terkadang kehadiran unsur sintaksis dapat utuh tetapi ada juga yang hanya menghadirkan sebagian saja dari unsur kalimat tersebut sebagai wakil dari keseluruhan kalimat itu. Dengan demikian, berdasarkan kelengkapan unsur, sebuah kalimat dapat dipilah atas: kalimat elipsis, kalimat marginal, kalimat kohesif, dan kalimat utuh (lihat Sibarani, 1997: 241-247).

2.2.2.2 Peran Semantis

Peran semantis merupakan generalisasi tentang peran partisipan dalam peristiwa yang ditunjukkan oleh verba (Booij 2007:191). Peran semantis diberikan pada argumen predikat yang secara tipikal verba. Menurut Levin (2007:3) representasi peran semantis akan mereduksi makna verba melalui seperangkat peran yang diberikan kepada argumennya. Peran semantis berguna dalam menggolongkan argumen verba.

Teori Peran Semantis Rampatan (Mulyadi, 2009) merupakan generalisasi dari sejumlah ancangan teoretis tentang peran semantis. Teori ini dikembangkan dari teori Peran Umum yang diusulkan pertama kali oleh Foley dan Van Valin (1984) dalam Tata Bahasa Peran dan Acuan. Dalam teori ini diproyeksikan gagasan aktor dan penderita pada struktur klausa, baik pada klausa intransitif maupun pada klausa transitif. Istilah aktor merujuk kepada generalisasi lintas agen, pengalam, instrumen, dan peran-peran lain, sedangkan penderita adalah generalisasi lintas pasien, tema, resipien, dan peran-peran lain. Wujud kedua peran itu pada setiap bahasa berbeda-beda, tergantung dari karakter morfologis dan sintaktis masing-masing. Bagi Van Valin dan LaPolla (dalam Mulyadi, 1998),


(50)

relasi tematis prototipe ialah agen dan pasien; artinya, agen adalah prototipe untuk aktor dan pasien adalah prototipe untuk penderita.

Pelaku dan penderita merupakan peran umum (macroroles) yang di dalamnya terlibat peran-peran khusus, seperti agen, pasien, tema, lokatif, dan pemengaruh. Sebuah hierarki tematis yang dikemukakan oleh Foley dan Van Valin (dalam Mulyadi, 1998:29) menerangkan seluruh peran yang kemungkinan terlibat dalam pemetaan argumen. Adapun hierarkinya adalah sebagai berikut:

Bagan 5

HIERARKI PELAKU DAN PENDERITA PELAKU : Agen

Pemengaruh Lokatif

Tema PENDERITA : Pasien

Sumber: Foley dan Van Valin (dalam Mulyadi, 1998)

Hierarki pelaku dimulai dari atas ke bawah, sedangkan hierarki penderita dari bawah ke atas. Hal mengidentifikasikan bahwa pilihan pertama untuk pelaku adalah agen, sementara untuk penderita adalah pasien. Peran semantis yang lain terletak di antara keduanya. Pelaku dan penderita juga mempunyai relasi turunan. Pelaku sebagai relasi dasar dapat menduduki peran agen, pemengaruh, lokatif, pemengaruh tetapi tidak dapat menduduki peran pasien, sedangkan penderita menduduki peran pasien, tema, lokatif, dan pemengaruh, tetapi tidak dapat menduduki peran agen. Bentuk peran semantis verba tersebut antara lain:


(51)

1. Agen

Peringkat pertama pada hierarki pelaku dan penderita seperti yang diajukan oleh Foley dan Van Valin (dalam Mulyadi 1998:68) adalah agen. Agen merupakan pelaku dan pelaksana dari sebuah tindakan. Agen selalu pemberi dampak secara semantis, dan ini berarti bahwa agen adalah pemberi dampak atas yang lain, lebih sebagai hubungan tematis dasar. Agen selalu dihubungkan dengan kegiatan struktur logis, dan oleh karena itu hanya verba yang mempunyai predikat yang menunjukkan kegiatan dalam struktur logisnya yang dapat mempunyai argumen agen. Agen adalah pemicu yang sengaja, berdaya, dan aktif dari predikat; terutama sekali adalah pelaku. Biasanya agen adalah manusia dan oleh karena itu keagenan sering dikaitkan dengan kesengajaan, kemauan, niat, dan tanggungjawab. Sifat-perilaku agen yang khas adalah bahwa agen tidak pernah sebagai penderita, tetapi hanya dapat menduduki sebagai pelaku (Lihat Mulyadi, 1998; Jufrizal, 2007).

Contoh :

(a) Anton melemparkan bola itu Pel: A V Pend: tema (b) Bapak memukul anjing

Pel: A V Pend: Ps

Contoh (a), menjelaskan bahwa ‘Anton’ berperan sebagai pelaku sekaligus sebagai agen, sebab partisipan ini yang mengekspresikan partisipan melakukan suatu tindakan yang dinyatakan oleh predikatnya, sedangkan ‘bola itu’ berperan sebagai penderita sekaligus sebagai tema, sebab pada partisipan ini dikenai tindakan oleh pelaku sehinga mengalami penderitaan pada yang dikenainya. Pada


(52)

contoh (b), menjelaskan ‘bapak’ berperan sebagai pelaku sekaligus sebagai agen, sebab partisipan ini melakukan suatu tindakan dengan sengaja terhadap objeknya, sedangkan ‘anjing’ berperan sebagai penderita sekaligus sebagai pasien, sebab partisipan ini dikendalikan oleh si pelaku sehingga pasien tersebut mengalami penderitaan akibat perbuatan si pelaku.

2. Pemengaruh

Pemengaruh merupakan setingkat di bawah agen. Foley dan Van Valin (dalam Mulyadi, 1998) mengatakan bahwa pemengaruh (effector) adalah semua entitas yang mempunyai karakteristik yang sama dengan agen. Perbedaannya terletak pada agen bertindak secara langsung mengenai penderita, sedangkan pemengaruh tidak. Sifat-perilaku pemengaruh yang khas adalah mengidentifikasikan sifat yang tidak bernyawa.

Misalnya:

(a) Kecelakaan itu menewaskan tujuh orang anak. Pel: Pem V Pend: Ps

Contoh (a), menjelaskan bahwa ‘kecelakaan’ berperan sebagai pelaku sekaligus sebagai pemengaruh, sebab partisipan ini yang mempengaruhi yang dinyatakan oleh predikatnya, sedangkan ‘tujuh orang anak’ berperan sebagai penderita sekaligus sebagai pasien, sebab partisipan ini yang dipengaruhi oleh pelakunya secara keseluruhan.Verba ’menewaskan’ menyatakan tindakan yang dilakukan secara tidak langsung oleh partisipannya. Partisipan yang melakukan itu adalah entitas yang tidak bernyawa, akan tetapi dapat memberikan pengaruh yang buruk sehingga menyebabkan kematian.


(53)

3. Tema

Foley dan Van Valin (dalam Mulyadi, 1998) mengemukakan bahwa tema adalah semua entitas yang dapat ditempatkan dan mengalam perubahan lokasi, Perubahan yang terjadi pada tema bukan atas kehendak dari entitas itu sendiri. Tema dapat disebut juga sebagai pokok pikiran/inti dari sesuatu topik yang dibicarakan.

Contoh :

(a) Kakak merangkai bunga Pel: A V Pend: tema .

Contoh (a), menjelaskan bahwa ‘kakak’ berperan sebagai pelaku sekaligus sebagai agen, sebab partisipan ini yang melakukan suatu tindakan pada bendanya, sedangkan ‘bunga’ berperan sebagai penderita sekaligus sebagai tema, karena bunga tersebut mengalami perubahan yaitu terjadi perangkaian dari ragam bunga menjadi sekumpulan bunga dalam satu ikatan/tempat. Hal ini disebabkan karena adanya tindakan agen yang melakukan perangkaian sehingga posisi bunga berpindah, maka kalimat di atas digolongkan sebagai verba tindakan.

4. Lokatif

Foley dan Van Valin (dalam Mulyadi, 1998) menyatakan bahwa lokatif semua entitas yang menerangkan tempat atau lokasi di mana sebuah peristiwa terjadi.

Misalnya:

(a) Aku mengetahui kejadian itu. Pel: Lok V Pend: tema


(54)

Contoh (a), menjelaskan bahwa ‘aku’ berperan sebagai pelaku sekaligus sebagai lokatif, sebab partisipan ini yang mengekspresikan partisipan melakukan yang dinyatakan oleh predikatnya, sedangkan ‘kejadian itu’ berperan sebagai penderita dan tema, sebab partisipan ini tidak melakukan tetapi dipengaruhi oleh pelakunya. Maka verba ‘mengetahui’ di atas digolongkan sebagai verba keadaan.

5. Pasien

Mempunyai pengertian yang terbalik dari agen, pasien merupakan sasaran yang dikenai oleh agen sebagai pelaku (Foley dan Van Valin, dalam Mulyadi, 1998). Entitas ini tidak mengawali dan mengendalikan peristiwa justru dipengaruhi pelaku dengan berbagai cara.

Contoh :

(a) Ban mobilnya pecah Pend: Ps V

Contoh (a) di atas, menjelaskan bahwa ‘ban mobilnya’ berperan sebagai penderita karena adanya suatu peristiwa verbal keadaan ‘pecah’ yang terjadi dan peristiwa itu terjadi secara tidak disengaja.

2.2.3 Relasi dan Aliansi Gramatikal 2.2.3.1 Relasi Gramatikal

Konsep dasar relasi gramatikal berdasar pada pendapat yang dikemukakan oleh Comrie (1989:65), yang menyebutkan bahwa relasi gramatikal adalah bagian-bagian atau unsur dari kalimat yang dikategorikan sebagai Subjek (S), Objek Langsung (OL), dan Objek Tak-Langsung (OTL). Tiga relasi gramatikal tersebut adalah relasi yang bersifat sintaksis, dan ada relasi yang bersifat semantis,


(55)

yaitu: lokatif, benefaktif, dan instrumental, yang secara kolektif disebut relasi oblik Blake (dalam Artawa, 2000:490). Relasi-relasi gramatikal dalam hal ini memberikan suatu konsep yang tepat, baik tentang cara kerja bahasa pada umumnya, maupun bahasa-bahasa tertentu.

Comrie (1989), menyebutkan bahwa prototipe (hakekat asal) subjek adalah adanya keterkaitan antara agen dan topik. Secara lintas bahasa, subjek itu adalah agen dan juga topik. Sementara itu, objek adalah argumen yang mengalami tindalakan yang dinyatakan oleh verba transitif. Argumen yang mengalami tindakan yang dinyatakan oleh verba tersebut menduduki posisi kedua pada hierarki fungsi gramatikal setelah subjek (Verhaar, 1999; Jufrizal, 2007). Objek langsung (OL) dan objek tidak langsung (OTL) harus muncul bersamaan pada klausa dengan verba dwitransitif, misalnya verba beri dalam bahasa Indonesia (Jufrizal, 2007:51).

a) Kesubjekan

Li (ed) (dalam Jufrizal, 2007:33) menyatakan subjek secara lintas bahasa mempunyai ciri dan sifat-perilaku yang khas. Sifat-perilaku ini dapat dikelompokkan menjadi empat sifat, yaitu: (i) sifat perilaku otonomi; (ii) sifat-perlaku kasus; (iii) peran semantis; dan (iv) dominasi langsung. Keempat sifat ini memiliki karakter kesubjekan yang berbeda-beda pengungkapannya, yang dijelaskan di bawah ini.

Sifat perilaku otonomi subjek meliputi: (a) keberadaanya bebas (independent existence); (b) ketidaktergusuran/ sangat diperlukan (indispensability); (c) rujukan sendiri (autonomous reference). Sifat perilaku pemarkah kasus meliputi: (a) subjek kalimat intransitif umumnya tidak dimarkahi


(56)

jika setiap FN dalam bahasa tersebut tidak bermarkah; (b) FN yang mengubah penanda kasusnya pada pengkausatifan termasuk subjek; (c) FN yang mengubah penanda kasus nominalisasi tindakan termasuk subjek. Peran semantis (agen, pasien) dari subjek diperkirakan menjadi bentuk verba utama. Berdasarkan peran semantis ini, kesubjekan meliputi: (a) subjek jika hanya satu biasanya mengungkapkan agen (dari tindakan); (b) subjek biasanya mengungkapkan frasa tujuan (addressee phrase) dalam bentuk imparatif; (c) subjek biasanya memperlihatkan posisi pemarkah kasus yang berkesesuaian dengan verba yang sama dengan FN penyebab dalam kalimat kausatif.

Pengujian sifat-perilaku subjek didasari oleh sifat-perilaku gramatikal yang telah dilakukan oleh Artawa (1998: 11-17) terhadap bahasa Bali. Menurutnya, karena subjek adalah relasi gramatikal, maka penentuan/penetapan subjek suatu bahasa hendaknya didasarkan pada sifat perilaku gramatikalnya sendiri. Berdasarkan hal ini, kesubjekan dapat dilihat berdasarkan pengertian: (1) pronominal tidak-terang (PRO), (2) pengembangan penjangka (quantifier float), (3) perelatifan (relativisation). Sehingga, temuan data kesubjekan BBT dalam penelitian ini dianalisis berdasarkan pengujian yang dilakukan Artawa (1998).

(1) Frasa nomina tidak-terang (PRO)

Teori Penguasaan dan Pengikatan (Government and Binding Theory) yang dikembangan oleh Chomsky menyatakan bahwa subjek klausa dengan verba tak terbatas dinukilkan sebagai FN tidak-terang (noun-overt noun phrase) dan diwujudkan sebagai PRO (dalam Artawa, 1998:14). Dalam bahasa Inggris ditemukan perbedaan antara verba terbatas (finite-verbs) dan verba tak-terbatas


(57)

(non-finite verbs). Verba terbataas menghendaki subjek, yang dapat diungkapkan sebagai persona/jumlah persesuaian rujuk-silang terhadap verba dengan FN, atau dengan persesuaian FN. Verba terbatas biasanya tidak menghendaki subjek, baik secara morfologis maupun sintaksis.

(2) Pengambangan Penjangka

Moussay (dalam Jufrizal 2007: 37) menyatakan bahwa pengambangan penjangka adalah kata bantu bilangan (quantifier) tak takrif yang merupakan penentu penunjuk jumlah. Penjangka tak takrif dalam BBT pada umumnya dipakai dalam menyatakan (i) jumlah tidak pasti, sedikit; bermacam-macam, berjenis-jenis ‘marragam’ (ii) jumlah distributif: tiap, setiap, tiap-tiap ‘ganup’ (iii) jumlah kolektif: semua,segala, segenap ‘sudena’. Penjangka yang menunjukkan jumlah tidak pasti dan distributif ( i) dan (ii) dalam kalimat BBT digunakan pada posisi sebelum FN. Sedangkan pejangka yang menunjukkan jumlah kolektif, dapat diletakkan sebelum atau sesudah FN.

(3) Perelatifan

Dalam menganalisis perelatifan BBT, strategi perelatifan dihubungkan dengan kesubjekan dalam klausa transitif dengan verba dasarnya. Berbeda dengan bahasa Inggris yang merelatifkan semua relasi gramatikalnya (Artawa, 1998:15).


(58)

(b) Objek dan Oblik

Struktur Objek (OL dan OTL)

Cole (ed) dalam Jufrizal (2007:51), menyatakan bahwa O dalam bahasa-bahasa Bantu ditentukan dengan tiga perilaku dasar, yakni: (1). O adalah FN yang mengontrol prefiks O yang dapat muncul pada verba; (2). O adalah FN (sekurang-kurangnya dalam konteks netral) yang secara langsung mengikuti verba; (3). O adalah FN yang dapat dinaikkan ke posisi S melalui proses penafsiran. Selain itu, Butt (1999: 49-51) menyimpulkan bahwa verba transitif mempunyai S dan argumen kedua. Argumen kedua ini disebut O.

Objek merupakan argumen yang mengalami tindakan yang dinyatakan oleh transitif. Argumen yang mengalami tindakan yang dinyatakan oleh verba tersebut menduduki posisi kedua pada hierarki fungsi gramatikal setelah S (Verhaar, 1999). Objek langsung (OL) dan objek tidak langsung (OTL) harus muncul bersamaan pada klausa dengan verba dwitransitif.

Butt (1999: 48) menyebutkan bahwa secara lintas bahasa, pemasifan merupakan pengujian yang paling baik untuk menentukan keobjekan. Lebih lanjut Butt menafsirkan bahwa melalui pemasifan, FN O dalam kalimat aktif menjadi S kalimat pasif; S aktif diwujudkan sebagai NULL (dihilangkan dalam kalimat pasif). Secara lintas bahasa, pemasifan merupakan pengujian yang paling baik untuk menentukan keobjekan. Dalam bahasa Inggris, pemasifan klausa yang mempunyai verba dwitransitif mempunyai tiga argumen, yaitu: S, OL, dan OTL. Baik OL maupun OTL masing-masing dapat menjadi subjek kalimat pasif. Hal ini menyebabkan posisi merupakan pembeda antara OL dan OTL; OTL berada


(59)

langsung setelah verba, diikuti OL. Butt (1999: 49) memperlihatkannya dalam contoh berikut ini.

(a) She gave him the book. (AKT) ‘Dia memberinya buku itu.’ (b) He was given the book (PAS) ‘Dia diberi buku itu.’

(c) The book was given him (PAS) ‘Buku itu diberikan kepadanya.’

Struktur Oblik (OBL)

Relasi oblik (OBL) merupakan kelompok argumen yang bukan subjek dan juga tidak sesuai dengan bentuk objek. Oblik tidak mengalami proses sintaksis yang mempengaruhi objek sebagai pemasifannya. Oblik umumnya berupa frasa preposisonal (Butt, 1999:50). Dari segi bentuknya, oblik umumnya berupa frasa preposisional yang menyerupai adjung (adjunct) atau keterangan. Perbedaan oblik dan adjung terletak pada kehadiran predikatnya. Oblik lazimnya menghendaki adanya kehadiran predikat verba, sedangkan adjung merupakan fungsi gramatikal yang tidak memiliki verba.

Dalam penelitian ini pengujian sifat perilaku subjek, objek, dan oblik BBT didasarkan pada sifat perilaku gramatikal. Hal ini disebabkan relasi gramatikal diperlukan untuk mencapai tiga sasaran teori bahasa, yaitu (1) merumuskan kesemestaan bahasa; (2) menetapkan karakteristik setiap konstruksi gramatikal yang ada pada bahasa-bahasa alami; (3) membangun suatu tatabahasa yang memadai untuk setiap bahasa.


(60)

2.2.3.2 Aliansi Gramatikal

Pengertian dasar aliansi gramatikal adalah sistem atau kecenderungan persekutuan gramatikal di dalam atau antarklausa dalam satu bahasa secara tipologis (Jufrizal, 2004). Sistem aliansi gramatikal merupakan sistem pengelompokan peran sintaksis-semantis S, A, dan P klausa bahasa yang bersangkutan (Payne, 2002:129). Aliansi gramatikal memiliki hubungan antara argumen-argumen dengan predikat pada tataran struktur yang bebas dari pengaruh semantis dan pragmatis. Aliansi gramatikal ini mempunyai fungsi-fungsi semesta (universal) dalam berkomunikasi dengan menganalisis sifat-perilaku formal yang khas pada bahasa tersebut. Payne (2002-132) lebih lanjut menerangkan bahwa sifat-perilaku gramatikal yang paling banyak secara langsung menentukan aliansi gramatikal tersebut adalah: (1) pemarkah kasus; (2) pemarkah referensi pelibat pada verba; dan (3) tataurutan konstituen.

Sebuah bahasa yang mempunyai sistem aliansi gramatikal akusatif dikatakan sebagai bahasa bertipologi akusatif; S (satu-satunya argumen pada klausa intransitif) diperlakukan sama secara gramatikal dengan argumen A(agen) klausa transitif, dan perlakuan yang berbeda diberikan kepada P(pasien) klausa transitif. Bahasa dengan sistem aliansi ergatif dikatakan sebagai bahasa bertipologi ergatif; S diperlakukan sama dengan P, dan perlakuan yang berbeda diberikan kepada A. Sebuah bahasa dikatakan sebagai bahasa aktif apabila sistem aliansi gramatikalnya menunjukkan bahwa sekelompok S berprilaku sama dengan A (Sa) dan sekelompok S yang berprilaku sama dengan P (Sp) dalam satu bahasa. Perlakuan yang sama (atau berbeda) dalam hal ini dapat terjadi pada tataran morfologi dan/atau sintaksis. Perlu diingat bahwa tidak semua bahasa bertipologi


(61)

ergatif secara morfologis juga ergatif secara sintaktis, dan begitu pula pada tipologi yang lainnya (lihat Artawa, 2004, 2005).

Menurut Payne (2002:140), berdasarkan kemungkinan logis sistem pengelompokan S, A, dan P bahasa-bahasa di dunia, menyebutkan ada lima kemungkinan yang ada, yaitu:

(1). S = A, ≠ P (2). S = P, ≠ A (3). S ≠ A, ≠ P (4). A = P, ≠ S (5). S = A, = P

Sistem pengelompokan (1) dan (2) dimiliki oleh banyak bahasa, sistem seperti (3) dan (5) sangat jarang adanya, dan sistem seperti (4) tidak ada ditemukan (lihat juga Dixon, 1994).

Pengujian tipologis yang dilakukan untuk memperoleh sebuah simpulan bahwa BBT memiliki satu tipe bahasa tertentu, dilakukan dengan mencermati struktur klausa/kalimat BBT. Pencermatan klausa tersebut dilakukan dengan mengamati struktur verba, struktur koordinatif, subordinatif, dan superordinatif dalam kalimat. Pengujian tipologis lebih lanjut dilakukan melalui uji pivot melalui penganalisisan keberterimaan konstituen agen atau pasien pada rujuk silang subjek. Hal ini menjadi arah temuan penelitian tipologi BBT tersebut.

2.2.4 Predikasi dan Struktur Argumen

Analisis predikasi dan argumen dalam struktur sebuah bahasa sangat erat kaitannya dengan peran semantis bahasa tersebut. Hal ini dikarenakan sebuah


(62)

kalimat terdiri atas predikator dengan satu argumen atau lebih. Dalam kajian tipologi, keberadaan predikator dan argumen dimarkahi dalam fitur-fitur gramatikal, baik pemarkah agen (pelaku) dan pasien (penderita). Keberadaan pemarkah-pemarkah ini merupakan kajian penting dalam tipologi bahasa (lihat Comrie, 1989). Kajian predikasi dan struktur argumen ini mengacu pada analisis peran semantis sebagai penentu peran umum pada sebuah predikat yang didasarkan pada struktur logisnya (Van Valin dan Lapolla, 1999:151).

2.2.4.1 Predikasi

Lyons (1987: 270-337), menyebutkan bahwa di antara unsur-unsur yang membangun/membentuk kalimat ada bagian yang disebut predikat (predicate); dan ada unsur lain dalam kalimat itu yang berperan sebagai argumen dari predikat tersebut. Menurut Alsina (1996:4-7) bahwa sebuah predikat mengungkapkan hubungan antara pelibat-pelibat dalam sebuah klausa. Pelibat (partisipan) itulah yang disebut argumen predikat. Masing-masing predikat, baik verba maupun nonverbal mempunyai hubungan logis dengan argumen-argumennya.

Secara lintas bahasa, para ahli memperkenalkan bentuk predikat dengan istilah predikat sederhana (simple predicate) dan predikat kompleks (complex predicate). Predikat sederhana ialah predikat yang hanya terbentuk dari satu unsur gramatikal (morfem atau kata) yang menjadi induk (head), sedangkan predikat kompleks ialah predikat dengan banyak induk (multi-headed); predikat yang tersusun lebih dari satu unsur gramatikal (morfem atau kata) (lihat Ackerman dan Webelhuth, dalam Jufrizal, 2007: 78).

(6) Madabu au (DLW) AKT-jatuh aku


(1)

(182) Di balian dope ibana. (DLP) Di sawah T dia

‘Dia masih di sawah’

(183) Tombak i. godang beguna (DLP) Hutan-ART banyak hantunya ‘Hutan itu banyak hantunya’ (184) Sopo i timbo tombarana (DLP) Gubuk ART tinggi kolongnya ‘Gubuk itu tinggi kolongnya’

(185) Boru ni tulang Sibue naumbalga naeng marbagas (DLP) Putri M paman Sibuea yang paling besar akan menikah ‘Putri sulung paman Sibuea akan menikah’

(186) Namora i, anakna manuhor motor (DLW) Orang kaya itu, anaknya AKT-beli motor ‘anak orang kaya itu membeli motor’

(187) Poda ni opung Melory dibege pinomparna. (DLP) Nasihat M opung Melori PAS-dengar anak-anaknya ‘Nasihat opung Melori didengar anak-anaknya’ (188a) Manjaha koran bapa (DLP)

AKT-baca koran bapak ‘Bapak membaca koran' (188b) Koran bapa jaha Koran bapa baca ‘Bapak baca koran'

(189a) Manaba hau bapa (DLP) AKT-tebang pohon bapak ‘Bapak menebang pohon' (189b) Hau bapa taba Pohon bapa tebang ‘Bapak taba hau’

(190) Ro bapa dungi [ ] lao muse (DLP) Datang bapak lalu pergi lagi

‘Bapak datang lalu pergi lagi’

(191) ro bapa dungi [ ] manjaha Koran (DLP) Makan bapak membaca koran


(2)

(192) Manuhor jabu si Anton [ ] sonang rohana (DLP) Membeli rumah si Anton senang hatinya

‘Si Anton membeli rumah hatinya senang’

(193) Ibana do mandapothon ahu dungi [ ] manjalang tanganhu (DLW) Dia T menemui aku lalu menjabat tanganku

‘Dia menemui aku lalu menjabat tanganku

(194a) Mangaloppa kue uma, alai adek manangkosa (DLP) AKTmasak kue ibu, tetapi adek mencurinya

‘Ibu memasak kue, tetapi adek mencurinya’

(194b) Mangaloppa kue uma, alai adek manangko [ ] AKT-masak kue ibu, tetapi adek mencuri

‘Memasak kue ibu, tetapi adek mencuri’

(194c) Mangaloppa kue uma, alai [ ] ditangko adek Memasak kue ibu, tetapi PAS-curi adek

‘Ibu memasak kue, tetapi dicuri adek’

(194d) Kue diloppa uma, alai [ ] ditangko adek Kue PAS-masak ibu, tetapi PAS-curi adek ‘Kue dimasak ibu, tetapi dicuri adek

(195) Ibana masuk tu bagasan jala au mamareng [ ] sian jendela (DLP) Dia masuk ke dalam dan aku AKT-lihat dia dari jendela

‘Dia masuk ke dlam dan aku melihat dia dari jendela’

(196) Burju do angka donganhu, alai ahu do manggotili [ ] (DLP) Baik T teman-temanku, tapi aku T mencubiti

‘Teman-temanku baik, tapi aku mencubiti

(197) Opung mangaloppa indahan do jala [ ]las dope (DLP) Nenek AKT-masak nasi T dan masih hangat

‘ Nenek memasak nasi dan masih panas’

(198) manjaha buku ma bapa, alai [ ]disoro uma (DLP) AKT-baca buku T bapak, tapi direbut ibu

‘Bapak membaca buku, tetapi direbut ibu’

(199) Jotjot jolma mangido tolong tu ibana, hape [ ] so sea manjalo upana. (DLA)

Sering orang AKT-minta tolong kapada dia, padahal tidak pernah meminta upah ‘Orang sering meminta tolong kepada dia, padahal tidak pernah meminta upah

(200) Dakdanak i do na martudu gabe [ ]disuru guru mangalusi (DLP) Anak itu T AKT-acungkan tangan lalu disuruh guru menjawab


(3)

‘Anak itu mengacungkan tangan lalu disuruh gurunya menjawab’ (201) Ahu do mangorai ho, alai [ ] mangalo tu au (DLP)

Aku T AKT-larang kamu, tetapi AKT-lawan aku ‘Aku melarang kamu, tetapi melawan aku

(202a) Nasida mangalehon halak parhuta sipanganon. (DLA) Mereka AKT-beri orang kampung makan

‘Mereka memberi orang kampung makan.’ (202b) Halak parhuta dilehon nasida sipanganon. orang kampung PAS-beri mereka makan ‘Mereka memberi makanan satu kampung’ (202c) *Sipanganon dilehon nasida halak parhuta Makan PAS-beri mereka orang kampung ‘makan diberi mereka orang kampung

(202d) Sipanganon dilehon nasida tu halak parhuta Makan PAS-beri mereka kepada orang kampung ‘makan diberi mereka kepada orang kampung (203) Mardalan ibana di onan (DLP)

AKT-jalan dia di pasar ‘Dia berjalan di pasar’

(204) Songgop ma Darapati i tu bona ni Pinasa. (DLP) hinggap T Merpati itu ke batang M Nangka ‘Merpati itu hinggap di dahan Nangka’ (205) Hundul do ibana di balatuk. (DLA) Duduk T dia di tangga

‘Dia duduk di tangga.’

(206) Manuhor ulos halak opung boru (DLP) AKT-beli ulos orang nenek

‘Nenek membeli ulos’

(207) Mandiori hutu halak si Butet di alaman (DLP) AKT-cari kutu orang si Butet di halaman ‘Si Butet mencari kutu di halaman’ (208) Mangaloppa suhat namboru (DLP) AKT-masak talas bibi

‘Bibi memasak talas’

(209) Manuhat boras uma (DLP) AKT-timbang beras ibu


(4)

‘Ibu menimbang beras’

(210) Lao bapa tusi.(DLP) PAS-datang bapak ke sana ‘Bapak datang ke sana.’

(211) Manuhor sigaret bapa tusi. (DL) AKT-beli rokok bapak ke sana ‘Bapak membeli rokok ke sana’ (211a) Bapa [na manuhor sigaret ] i tusi Bapak [REL AKT-beli rokok ]itu ke sana Bapak yang membeli rokok itu ke sana (211b) *Sigaret [na bapa manuhor] i tusi Rokok [REL Bapa AKT-beli]itu ke sana ‘Rokok yang bapak membeli itu ke sana.’ (212) Ro bapa dungi [ ] lao muse (DLP) Datang bapak lalu pergi lagi

‘Bapak datang lalu pergi lagi’

(213) Ro bapa dungi [ ] manjaha koran Datang bapak membaca koran ‘Bapak datang lalu membaca koran’

(214) Manuhor jabu si Anton [ ] sonang rohana (DLP) Membeli rumah si Anton senang hatinya

‘Si Anton membeli rumah hatinya senang’

(215) Ibana do mandapothon ahu dungi [ ] manjalang tanganhu (DLW) Dia T menemui aku lalu menjabat tanganku

‘Dia menemui aku lalu menjabat tanganku (216a) Mangaloppa kue uma, alai adek manangkosa

AKTmasak kue ibu, tetapi adek mencurinya ‘Memasak kue ibu, tetapi adek mencurinya’

(216b) *Mangaloppa kue uma, alai adek manangko [ ] AKT-masak kue ibu, tetapi adek mencuri

‘Memasak kue ibu, tetapi adek mencuri’

(216c) Mangaloppa kue uma, alai [ ] ditangko adek Memasak kue ibu, tetapi PAS-curi adek

‘Memasak kue ibu, tetapi dicuri adek’


(5)

(216d) Kue diloppa uma, alai [ ] ditangko adek Kue PAS-masak ibu, tetapi PAS-curi adek ‘Kue dimasak ibu, tetapi dicuri adek

(217) Ibana masuk tu bagasan jala au mamareng [ ] sian jendela (DLP) Dia masuk ke dalam dan aku AKT-lihat dia dari jendela

‘Dia masuk ke dlam dan aku melihat dia dari jendela’

(218) Burju do angka donganhu, alai ahu do manggotili [ ] (DLP) Baik T teman-temanku, tapi aku T mencubiti

‘Teman-temanku baik, tapi aku mencubiti.

(219) Opung mangaloppa indahan do jala [ ]las dope (DLP) Nenek AKT-masak nasi T dan masih hangat

‘Nenek memasak nasi dan masih panas’

(220) Manjaha buku ma bapa, alai [ ]disoro uma (DLP) AKT-baca buku T bapak, tapi direbut ibu

‘Bapak membaca buku, tetapi direbut ibu’

(221) Jotjot jolma mangido tolong tu ibana, hape [ ] so sea manjalo upana (DLA)

Sering orang AKT-minta tolong kapada dia, padahal tidak pernah meminta upah

‘Orang sering meminta tolong kepada dia, padahal tidak pernah meminta upah

(222) Dakdanak i do na martudu gabe [ ]disuru guru mangalusi (DLP) Anak itu T AKT-acungkan tangan lalu disuruh guru menjawab ‘Anak itu mengacungkan tangan lalu disuruh gurunya menjawab’ (223) Ahu do mangorai ho, alai [ ] mangalo tu au (DLP)

Aku T AKT-larang kamu, tetapi AKT-lawan aku ‘Aku melarang kamu, tetapi melawan aku


(6)