12
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Etnis Osing merupakan warga mayoritas di Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur. Masyarakat Osing dikenal sebagai salah satu masyarakat dengan latar belakang
budaya yang unik, khususnya dalam system pengobatan yang hingga saat ini masih bertahan. Sehingga hampir di seluruh wilayah Kabupaten Banyuwangi dapat dijumpai
pengobat tradisional dengan berbagai karakteristik yang berbeda. Namun demikian data resmi mengenai keberadaan mereka belum terdata secara lengkap. Jasa pengobatan dari
pengobat tradisional ini bagi masyarakat sebagai alternative terakhir dalam upaya mencari kesembuhan. Pengobat tradisional Etnis Osing yang ada di wilayah Banyuwangi dalam
RISTOJA 2015 dipilih berdasar kepemilikan sejarah pengobatan yang kuat, memiliki sumber daya alam TO yang melimpah, serta adanya potensi ancaman erosi genetik yang
dibuktikan dengan berkurangnya keanekaragaman jenis tumbuhan yang diakibatkan oleh penggunaan yang tanpa diikuti dengan usaha pelestarian.
Sedangkan pemilihan lokasi pengobat tradisional titik pengamatan berdasar motherland yang merupakan daerah yang dikenal oleh masyarakat sebagai Osing Ndeles,
lokasi relatif terjangkau dan ketersediaan pelayanan kesehatan formal namun masyarakat masih menggunakan pelayanan dari pengobat tradisional, sehingga diharapkan data yang
diperoleh representative.
A. Karakteristik Etnis
Etnis Osing atau Using adalah sub-suku Jawa yang dianggap “penduduk asli” Banyuwangi atau disebut juga sebagai
Wong Blambangan atau
“Wong Osing” .
Komunitas ini menyebar di desa-desa pertanian subur di bagian tengah dan timur Banyuwangi
yang secara administratif merupakan kecamatan-kecamatan Giri, Kabat, Glagah, Rogojampi,
Sempu ,
Singojuruh, Songgon, Cluring, Banyuwangi Kota, Genteng, dan Srono.
Komunitas Osing terbentuk melalui proses sosial-politik yang cukup panjang. Secara historis, Banyuwangi merupakan pusat kekuasaan politik kerajaan Blambangan
yang pada masa silam merupakan bagian dari kerajaan Majapahit. Runtuhnya Majapahit di akhir abad ke-15 memberi kesempatan bagi Blambangan untuk melepaskan diri dari
kekuasaan manapun. Tetapi kerajaan-kerajaan Islam yang muncul kemudian seperti Demak, Pasuruan, Mataram, dan juga Bali menempatkan Blambangan sebagai daerah
yang harus dikuasai. Mataram bekerja sama dengan VOC, berusaha menaklukkan Blambangan. Belanda berhasil memenangkan peperangan itu, kemudian memboyong
sejumlah tenaga kerja untuk diperkerjakan di perkebunan milik Belanda. Kehadiran tenaga
13
kerja ini kemudian disusul oleh gelombang migrasi dari Jawa Kulon untuk berbagai pekerjaan, khususnya di bidang perkebunan dan pertanian. Migrasi serupa berdatangan
pula dari Madura, Bali, Bugis, dan Mandar, sehingga sejak awal abad ke-19 Banyuwangi tidak lagi dihuni oleh komunitas Osing saja, namun bercampur dengan berbagai
pendatang. Latar belakang kesejarahan itu menegaskan identitas diri ke-Osing-an mereka yang
enggan bahkan tidak mau untuk mengidentifikasikan diri sebagai orang Jawa. Hal tersebut terwujud dalam penggunaan bahasa Osing dan menutup diri dari pengaruh Jawa serta
membentuk sikap antipati terhadap segala yang identik dengan Jawa. Ada keinginan dari diri mereka untuk mengembangkan bahasa dan budaya sendiri yang berbeda dari tetangga
mereka di sebelah barat walaupun sama-sama berakar dari bahasa Jawa Kuno. Kata Osing dalam bahasa Osing sendiri bisa diartikan tidak, sehingga ada anekdot yang
mengkisahkan tentang keberadaan orang Osing itu sendiri, ketika orang luar bertanya kepada orang Banyuwangi apakah kalian orang Bali atau orang Jawa? Mereka menjawab
dengan kata sing yang artinya tidak. Pada akhir masa kekuasaan Majapahit, banyak orang-orang Majapahit mengungsi
ke beberapa tempat, yaitu ke lereng Gunung Bromo Tengger, Blambangan dan Bali. Kedekatan sejarah ini terlihat dari corak kehidupan etnis Osing yang masih menyiratkan
budaya Majapahit yang bercorak Hindu-Budha dan mempunyai kedekatan yang cukup besar dengan masyarakat Bali. Walaupun demikian, masyarakat Osing tidak mengenal
sistem kasta seperti halnya orang Bali. Pada awal terbentuknya masyarakat Osing, agama utama etnis Osing adalah
Hindu-Budha seperti halnya di Majapahit. Namun dengan berkembangnya kerajaan Islam di wilayah pantai utara pulau Jawa menyebabkan agama Islam menyebar dengan cepat di
kalangan etnis Osing. Selanjutnya tradisi etnis Osing merupakan akulturasi budaya Majapahit-Hindu-Budha dan Islam. Misalnya tradisi
Tumpeng Sewu tumpeng seribu.
Pada tradisi ini setiap keluarga mengeluarkan satu buah tumpeng yang dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas semua rezeki yang telah mereka
terima selama satu tahun. Selain itu Tumpeng Sewu
diyakini sebagai selamatan tolak bala yang akan menghindarkan warga masyarakat dari segala bencana dan penyakit serta
mengajak orang untuk berhemat bersyukur. Sistem kemasyarakatan dan kekerabatan orang Osing didasarkan pada hubungan
satu ke- buyut
-an, yaitu hubungan kekerabatan yang berasal dari satu buyut
nenek moyang tertentu. Setiap warga masyarakat Osing tahu dari
buyut mana mereka berasal.
Misalnya warga desa Kemiren yang menganggap Buyut Cili
sebagai cikal bakal mereka yang dihormati.
14
Para tetua adat Osing biasa disebut dukun
, dan pada saat-saat tertentu mereka mengadakan musyawarah adat untuk bermusyawarah. Kini istilah
dukun ini mulai
ditinggalkan karena sering dianggap berkonotasi negatif sebagai dukun santet
. Padahal masalah
santet ini bagi masyarakat Osing tidak selalu bersifat negatif. Orang selalu salah
kaprah dalam memahami santet
ini dengan hanya mengaitkan dengan ilmu hitam. Namun, menurut salah seorang tokoh masyarakat Osing mengakui bahwa
santet di Banyuwangi
memang ada yang menyerupai ilmu hitam sihir seperti yang juga ditemukan di daerah- daerah lainnya. Akan tetapi, yang lebih banyak berkembang adalah
santet yang berkaitan
dengan pengasihan, yaitu cara bagaimana menimbulkan rasa cinta atau simpati orang lain kepada yang menggunakan jasa ilmu tersebut, misalnya ilmu
jaran goyang atau
sabuk mangir
. Kehidupan sosial orang Osing, dalam berinteraksi dengan warga non-Osing,
mereka walau agak tertutup namun cukup ramah dan bisa menerima adanya perbedaan di sekitar mereka. Justru pada pendatang itulah yang sering memandang mereka seperti
“orang malas” dan merasa lebih tinggi dibanding orang asli Banyuwangi. Para pendatang mengusai sektor-sektor formal, misalnya menjadi pegawai negeri di tingkat Kabupaten
hingga Kecamatan. Mereka kadang memandang orang asli Banyuwangi sebelah mata. Padangan orang terbelakang dan tidak mau diajak maju.
Akibat pada masa silam tidak mau bekerja sama dengan Belanda, praktis orang Osing mengkonsentrasikan hidupnya di sektor pertanian. Sementara sentra-sentra
perekonomian lain di Banyuwangi, justru banyak ditempati oleh orang dari luar Banyuwangi. Sektor perkebunan banyak dikerjakan orang Madura. Demikian pula pada
sektor kelautan yang dilakukan orang-orang dari Madura. Di sektor pemerintahan nyaris tidak ada orang Osing yang mau bekerja di sektor ini. Walau diantara mereka banyak yang
sekolah hingga perguruan tinggi, namun tidak begitu saja orang Osing mengijinkan anaknya untuk menjadi pegawai negeri.
Kebudayaan Osing bersifat dinamis, berkat upaya keras dari para budayawan Osing yang tergabung dalam Dewan Kesenian Blambangan DKB dan budayawan Hasan
Ali yang menyusun Kamus Bahasa Osing, berangasur-angsur orang Osing mulai menunjukkan eksistensi dalam berbagai aspek kehidupan. Festival budaya dan acara
kesenian tahunan lainnya sering diadakan di desa-desa Osing. Misalnya di desa Kemiren, Barong Ider Bumi merupakan salah satu upacara adat tahunan yang dilakukan masyarakat
Osing yang biasanya dilaksanakan dua hari setelah Hari Raya Idul Fitri. Asal muasal ritual Barong Ider Bumi
berawal dari adanya wabah dan bencana yang melanda Kemiren. Untuk menghindari bencana itu harus dilaksanakan
Barong Ider Bumi . Dalam iring-iringan
Barong Ider Bumi
diharuskan ada ” barong
” sebagai lambang persatuan. Bentuk kesenian khas Banyuwangi adalah
gandrung yang merupakan bentuk manifestasi masyarakat suku Osing
15
dalam melawan penjajah Belanda, sehingga sebagian besar gending-gending gandrung
mempunyai makna perjuangan melawan para penjajah.
B. Demografi Battra