Arti sebuah buku saku

  Arti sebuah buku saku Masih ingat tentang “Buku Saku Pramuka”?. Dinamakan buku saku lantaran ukurannya yang kecil, ringan, dan bisa disimpan di saku.

  Sehingga praktis untuk dibawa ke mana-mana. Kapan saja bisa dibaca. Beberapa tahun terakhir ini “Buku Saku/Kecil” juga “menghiasi” buku- buku yang berisi kajian keagamaan, sejak masalah fiqh, keluarga dan jodoh, kajian Hati sampai buku-buku seputar “Pergerakan”.

  Akhir-akhir ini, sebuah buku saku/kecil berjudul “Taujihat: Ri’ayah Ma’nawiyah” selalu “hadir” di hadapanku, lantaran sering kubawa kemanapun aku pergi. Di manapun aku berada, di Kereta saat perjalanan menuju kampus, saat menunggu misalnya, aku selalu menyempatkan diri untuk membacanya.

  Ri’ayah Ma’nawiyah yang sering diterjemahkan sebagai “Memelihara/Menjaga Integritas Moral”, sebenarnya adalah salah satu kajian yang sudah tidak asing bagiku. Tapi, ia sangat “berarti” bagiku, salah satunya lantaran ia “dikemas” dalam sebuah buku kecil yang bisa kubawa kemana-pun aku pergi, dan sesering mungkin bisa kubaca di setiap keadaan waktu luangku. Buku kecil berjudul “Taujihat: Ri’ayah Ma’nawiyah” berisi Taujih atau nasihat-nasihat dari para “aktivis dakwah dan pergerakan”, bagaimana seorang kader dakwah menjaga moralitasnya. “Integritas moral” para kader dakwah penyeru kebenaran menjadi faktor yang sangat penting guna menghadapi “medan peperangan”, ya, peperangan antara kebenaran “Al-Haq” dan kebatilan “Al-Bathil”.

  Sehingga ia harus dijaga dan dipelihara.

  Buku kecil itu menjadi begitu “berarti” bagiku. Ia kerap hadir di hadapanku lantaran ukurannya yang kecil sehingga memudahkannku untuk aku bawa ke manapun aku pergi. Dan saat aku merampungkan bacaan semua isinya, akupun tidak pernah bosan untuk mengulanginya lagi dari awal, ….. ya….., lantaran ia kerap hadir dalam keseharian “aktivitas-ku”. Tak berlebihan kiranya, jika ia senantiasa menjadi “pengingat” jika aku “lupa”, ya, lantaran ia sering “nongkrong” di tas rangsel-ku, yang senantiasa menemaniku.

  Buku kecil itu diawali dengan nasihat berjudul “Ma’iyatullah dan Optimisme Kader Dakwah” tulisan Ust. Muhith M. Ishaq, Ustadz yang pernah “berkunjung” ke Jepang

  “nama Abu faiz, status bekeluarga, istri dua ….. anaknya” adalah ungkapan humor yang aku “peroleh” dari beliau pada saat aku mengikuti kajiannya di Jepang ini. Ada pesan singkat di bagian akhir/sampul belakang “buku kecilku” itu, yaitu “Antum harus menyimaknya, karena berbagai macam Taujih dari para Ustadz yang direkam dalam buku ini, InsyaaALLOH menjadi penyegar rokhani Antum. Sehingga seberat apapun kendala yang menghadang di depan Antum, semoga Hamasah (gelora semangat) Antum selalu terjaga”. Ya ibarat kita yang sedang dalam perjalanan jauh, kahausan akan sering melanda, maka kita harus berhenti sejenak, mencari air untuk diminum sebagai penyegar dan penghilang rasa haus, dan perjalananpun bisa dilanjutkan kembali. Begitulah, Taujih dari para Ustadz ibarat air, yang dengannya rukhiyah kita akan menjadi “segar”. Sehingga kita membutuhkannya tidak hanya sekali, tapi secara terus menerus, tak pernah henti, diulang dan terus diulang, lantaran hati ini mudah sekali “terbolak-balik”. Dengan buku kecilku itu, “Taujih” dalam untaian kata, bisa diperoleh setiap saat, ya setiap saat dan setiap keadaan.