2.1.5. Patogenesis HIV
Ahli epidemiologi telah lama berpendapat bahwa infeksi oleh human immunodeficiency virus tipe 1 HIV-1 menyebabkan acquired immune
deficiency syndrome AIDS. Pengamatan ahli epidemiologi ini menunjukkan bahwa HIV-1 penyebab AIDS secara bebas dari major histocompatibility
complex MHC dan HIV-1 Jonathan Weber, 2001. Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting.
Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progressif.
Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian Immunodeficiency Virus SIV. SIV dapat menginfeksi limfosit CD4+
dan monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh antigen-presenting cells ke kelenjar getah bening regional. Pada model ini, virus dideteksi pada
kelenjar getah bening dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat dideteksikan dengan
hibridisasi in situ dalam 7 sampai 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari setelah infeksi. Puncak jumlah sel yang mengekspresikan
SIV di kelenjar getah bening berhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang mengekspresikan virus di jaringan limfoid kemudian
menurun secara cepat dan dihubungkan sementara dengan pembentukan respons imun spesifik. Koinsiden dengan menghilangnya viremia adalah
peningkatan sel limfosit CD8. Walaupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respons sel limfosit CD8+ menyebabkan kontrol optimal terhadap
replikasi HIV. Replikasi HIV berada pada keadaan ‘steady-state’ beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahan relative stabil selama beberapa
tahun, namun lamanya sangat bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan demikian juga perjalanan kekebalan tubuh
Universitas Sumatera Utara
penjamu, adalah heterogeneitas kapasitas replikatif virus dan heterogeneitas intrinsik penjamu.
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah
menurun sampai ke level ‘steady-state’ . Walaupun antibodi ini umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus, namun
ternyata tidak dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh antibodi dengan melakukan adaptasi pada amplopnya, termasuk
kemampuannya mengubah situs glikosilasi-nya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga netralisasi yang diperantai antibody tidak dapat
terjadi Zubairi Djoerban, 2009.
2.1.6. Stadium Infeksi