113
sering dikenal sebagai SOT Susunan Organisasi dan Tatakerja.
Pada saat penentuan susunan organisasi dan tatakerjanya di daerah
telah muncul tarik menarik kepentingan, lebih-lebih dengan berkuasanya lembaga
perwakilan di daerah. Hal ini kelak juga akan bermuara pada saat pengisian
jabatan- jabatan publik bagi para pejabat di daerah ketika susunan organisasi dan
tatakerjanya sudah diperdakan, maka seringkali muncul kepentingan partai-
partai politik tertentu di daerah untuk mendudukan pejabat-pejabat daerah yang
memiliki afiliasi maupun identifikasi dengan partainya pada jabatan-jabatan
publik tertentu, khususnya yang memiliki nilai strategis baik dari kepentingan
politik maupun kepentingan ekonomi. Pengkajian ini pernah peneliti lakukan
dengan melakukan penelitian eksploratif beberapa waktu yang lalu di kedua
daerah penelitian
tersebut Sonhaji,
2008 dan 2011 Pada kondisi semacam inilah,
sekarang ini
sering muncul
kecenderungan bahwa
pertimbangan diluar faktor meritokrasi antara lain
prestasi dan
karir sebagai
yang dipersyaratkan oleh organisasi birokrasi,
yang seharusnya menjadi kewenangan eksekutif melalui lembaga Baperjakat
sering diintervensi
kepentingan- kepentingan politik baik oleh pimpinan
daerah apakah
itu BupatiWalikota
maupun wakilnya. Intervensi juga datang dari legislatif daerah bukan dalam
kapasitas sebagai lembaga, namun juga lebih sering mewakili kepentingan para
anggota dewan untuk bisa memiliki kepanjangan tangan mereka di lingkungan
eksekutif daerah, yang tujuannya tentu bagi kepentingan pribadi dan atau
kelompok mereka Vested Interest; dan juga dari partai politik yang dominan di
daerah dalam rangka sebagai penopang bagi keberlangsungan partai politik yang
bersangkutan. Berlatar
belakang permasalahan
inilah penelitian
ini dilakukan.
B. Studi Pustaka
Penelitian dan kajian terhadap proses implementasi Otonomi Daerah
telah banyak dilakukan dengan pelbagai macam perspektif yang dipergunakan,
mulai dari perspektif politik, ekonomi, administrasi dan kebudayaan.
Beberapa penelitian dimaksud antara lain seperti penelitian Masyhuri
dan kawan-kawan, tentang Kebijakan Pengembangan Ekonomi Daerah dalam
Era Otonomi P2E LIPI, 2005, penelitian tentang
Dampak Otonomi
Daerah terhadap Kesejahteraan Masyarakat di
Kota Binjai Melia Sinaga, Skripsi FE-
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 111 – 134
114
USU Medan, tidak dipublikasikan, 2011: dan penelitian Potret Belanja Pendidikan
di Era Otonomi daerah, Nurkolis, 2011; yang menggunakan perspektif ekonomi
sebagai pendekatannya;
Penggunaan perspektif adsministrasi dan kebudayan
juga telah dilakukan oleh beberapa penelitian
seperti penelitian
tentang Otonomi Daerah dan Desentralisasi Desa
: Upaya Pemberdayaan Masyarakat Desa
dalam Pelaksanaan
Otonomi Daerah,Andi Ya’kub
dan kawan- kawan, 2008, dan penelitian tentang
Problematika Penyelenggaraan Pemilihan Umum
Kepala daerah
dalam Penyelenggaraan
Otonomi Daerah
Nirahua Salmon EM, Jurnal Konst itusi Vol 2 No.2 November 2010. Kesemua
penelitian tersebut di muka tidak secara khusus
mengkaji bagaimana
kaitan otonomi daerah dengan permasalahan
promosi jabatan di daerah dalam rangka otonomi daerah, belum adanya kajian ini
secara komprehensif mendorong peneliti untuk meneliti permasalahan ini sembari
menawarkan alternatif intervensi program sebagai solusinya, mengingat selama ini
dengan secara parsial peneliti baru bisa menggunakan perspektif politik untuk
meneliti permasalahan promosi jabatan. Penelitian yang pernah dilakukan
peneliti yakni tentang Faktor Dominan dalam Menentukan Promosi Jabatan pada
Satuan Kerja Pemerintah Daerah di Kabupaten
Boyolali, 2008,
UNS- Laporan Penelitian Tidak diterbitkan dan
penelitian tentang
Pengembangan Sumberdaya
Aparatur Pemerintaha
Daerah pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten
Boyolali, 2011,
UNS- Laporan
Penelitian Belum
dipublikasikan. kesemuanya
mempergunakan perspektif politik dalam kajian- kajiannya.
Perkembangan Birokrasi Pemerintah di Indonesia
Birokrasi dewasa ini telah tumbuh menjadi salah satu organisasi vital yang
eksistensinya sangat
mewarnai modernitas kehidupan manusia, baik yang
berdiam pada negara-negara maju maupun negara-negara berkembang.
Bagi negara maju posisi birokrasi dalam struktur kenegaraan sangatlah
jelas, karena ia merupakan instrumen bagi implementasi sebuah kebijakan
publik; namun
bagi negara-negara
berkembang posisi birokrasi tidak hanya merupakan
alat bagi
pelaksanaan kebijakan publik saja, lebih daripada itu
birokrasi merupakan perumus kebijakan itu sendiri.
Potret birokrasi semacam itu juga terlihat dalam sejarah kinerja birokrasi di
Indonesia, sampai hari ini birokrasi masih
dihadapkan pada
masalah-
115
masalah yang dilematis, antara pilihan sebagai abdi pelayanan masyarakat atau
abdi penguasa politik Elit; kajian-kajian terdahulu seperti dilakukan oleh Lidlle
1990, Karl D. Jackson 1978, Crouch 1986
dan Robison
1981 telah
menyimpulkan bahwa
birokrasi Indonesia secara kultural maupun
struktural masih dihadapkan pada pelbagai
masalah, dari
mulai patrimonialisme,
sentralisme, korporatisme
sampai kepada
otoritarianisme. Kondisi semacam inilah yang
akhirnya membawa birokrasi Indonesia menjadi tidak jelas, apakah dia merupakan
institusi modern ataukah masih tradisional, karena pada dasarnya terjadi apa yang
dalam istilah Boeke disebut sebagai dualisme, .dalam hal ini dualisme wajah
birokrasi; karena disatu pihak Birokrasi Indonesia
adalah sebuah
introduksi kemodernan, dari struktur, tugas, fungsi,
fasilitas dan penunjang yang disediakan; namun di pihak lain warisan nilai-nilai
lama, dalam bentuk tradisi dan budaya birokrasi yang bersifat feodalistik dan
patrimonialismenya masih
sangat menonjol.
Sampai pada penghujung tahun 1997, kondisi birokrasi di Indonesia telah
tumbuh jadi
satu-satunya kekuatan
organisasi yang dominan, baik secara ekonomi maupun politik, khususnya
dalam keterlibatan mereka pada pelbagai regulasi dan pengendalian terhadap
jalannya manajemen pemerintahan, atau yang dalam bahasanya Mohtar
Mas’ud disebut gejala yang bersifat omnipoten 1994.
Perubahan menarik terjadi pada periodisasi paska 1998, dimana gerakan
reformasi politik
telah membawa
kepada sejumlah perubahan yang cukup berarti khususnya pada aras manajemen
pemerintahan baik nasional maupun
daerah. Hal yang sangat menonjol yang juga
menjawab tuntutan
gerakan reformasi adalah dilakukan perubahan
manajemen pemerintahan
dari yang
dahulunya lebih bersifat sentralistik,
menuju penyelenggaraan
manajemen pemerintahan yang desentralistik dengan
pelaksanaan otonomi daerah yang lebih nyata, yakni dengan diundangkannya UU
No. 22 tahun 1999 yang kemudian diperbaiki dengan UU No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Melalui pemberlakuan dua UU
pemerintahan daerah tersebut, maka
penataan, penyelenggaraan organisasi pemerintah
daerah Birokrasi
Pemerintahan Daerah
sekarang diserahkan pengaturannya kepada daerah,
dimana daerah diperbolehkan mengatur dan menata struktur, tugas dan fungsi,
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 111 – 134
116
sekaligus rekrutmen
sumberdaya manusianya
sebagai penyelenggara
organisasi birokrasi pemerintahan di daerah.
Birokrasi Versus Intervensi Politik
Perombakan jajaran
aparatus pemerintahan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari reformasi birokrasi Kompas, Maret 2005. Nilai terpenting
yang mestinya diperhatikan berkaitan dengan pernyataan tersebut adalah
netralitas birokrasi Palmer, 1989, dalam arti siapapun sebagai pemimpin politik
apakah Presiden,
Gubernur, Bupati
maupun Walikota,
birokrasi harus
memberikan pelayanan yang kalis dari kepentingan-kepentingan politik.
Intervensi politik terhadap kinerja dan kehidupan birokrasi di Indonesia
telah berlangsung dan memiliki catatan sejarah yang panjang. Dimulai paska
kemerdekaan dimana terlihat betapa
hubungan antara partai politik yang berkuasa dengan
performa birokrasi
demikian intim sekali, sehingga seringkali terlihat kalau pimpinan suatu birokrasi
pemerintahan adalah tokoh
partai politik tertentu maka hampir sebagian
para pegawai berafiliasi dengan partai pimpinan
aparatus pemerintahan
dimaksud. Pada era Orde Baru dengan corak sistem politiknya yang sangat
monolitik dimana rejim berada dalam kekuasaan Golkar dan ABRI, maka
hampir seluruh sendi kehidupan birokrasi berada dibawah kontrol dua
kekuatan politik riil tersebut. Bahkan kemudian muncul konseptualisasi dari
apa yang disebut sebagai Politisasi Birokrasi. Memasuki peralihan menuju
era reformasi yang ditandai dengan kembali munculnya sistem multi partai
lihat Duverger, 1960 intervensi politik polisentris dalam artian tidak monolitis
seperti pada saat berlangsungnya kekuasaan orde baru, lebih terpencar pada
beberapa kekuatan partai politik besar, meskipun secara substansial sebenarnya
intinya sama
saja, memanfaatkan
birokrasi untuk kepentingan partai Eko Prasojo, 2005
Seharusnya dalam penyusunan dan pengisian jabatan-jabatan publik harus
didasarkan pada kontrak kerja, dalam konteks ini untuk Kepala Daerah
Bupati maupun Walikota yang terpilih karena proses pemilihan secara langsung
oleh rakyat di daerahnya memegang kontrak politik dengan warga masyarakat
rakyat di daerah mereka masing-masing, sejalan dengan hal tersebut maka pejabat-
pejabat publik yang diangkat oleh Bupati maupun Walikota juga memiliki kontrak
kerja antara mereka sebagai refleksi dari kontrak kerja politik pimpinan daerah
dengan rakyatnya. Sehingga dalam penentuan siapa pejabat publik yang akan
direkrut jadi pejabat dalam menduduki
117
jabatan pada masing-masing satuan kerja harus
benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan secara
profesional dan administratif, bukan semata-mata
kepentingan politik
pemegang kekuasaan yang berada dalam kontrol partai politik.
C. Metode Penelitian