Pendahuluan Latar Belakang Masalah

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 111 – 134 112

A. Pendahuluan Latar Belakang Masalah

Perkembangan Sistem Pemerintahan di Indonesia mengalami dinamikanya tersendiri, hal ini bisa dilihat dari bagaimana proses transformasi politik pada era Reformasi ini telah merubah perimbangan yang sangat signifikan, antara konstelasi pada era kekuasaan politik rejim Orde Baru yang demikian condong pada pemberatan ruang eksekutif Executive Heavy, yang mengabaikan ruang-ruang lain yakni legislatif dan yudikatif lihat konsep Trias Politika Montesquieu bahkan juga peran serta kekuatan politik di luar negara NGO’s Non-Govermental Organizations menuju pemberatan pada ruang Legislatif Legislative Heavy Afan Gaffar, 2004. Pada aras pemerintahan lokal, juga terjadi fenomena yang hampir sama, apalagi jika dilihat pada dinamika permasalahan otonomi daerah maka perubahan undang-undang pemerintahan daerah dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di daerah, digantikan dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diperbaiki dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 telah membawa kepada sejumlah perubahan tata kelola pemerintahan daerah yang lebih signifikan. Berkaitan dengan perubahan tata kelola pemerintahan daerah ini, terdapat satu permasalahan yang cukup krusial yakni tentang masalah pengisian jabatan publik di daerah, maka dengan diundangkannya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pengisian jabatan publik pada birokrasi pemerintahan di daerah menjadi kewenangan dari pemerintah daerah yang bersangkutan untuk menentukannya. Untuk mengatur pelaksanaan hal tersebut telah dilakukan dengan Peraturan Pemerintah PP, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah; namun dikarenakan belum cukup memberikan pedoman yang menyeluruh bagi penyusunan dan pengendalian organisasi perangkat daerah yang dapat menangani seluruh urusan pemerintahan, maka Peraturan Pemerintah Nomor 8 ini lantas diganti dengan Peraturan Pemerintah yang lebih baru yakni Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 yang kemudian oleh Daerah ditindak lanjuti dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Perda yang mengatur tentang Susunan dan Tatakerja Organisasi di Daerah yang 113 sering dikenal sebagai SOT Susunan Organisasi dan Tatakerja. Pada saat penentuan susunan organisasi dan tatakerjanya di daerah telah muncul tarik menarik kepentingan, lebih-lebih dengan berkuasanya lembaga perwakilan di daerah. Hal ini kelak juga akan bermuara pada saat pengisian jabatan- jabatan publik bagi para pejabat di daerah ketika susunan organisasi dan tatakerjanya sudah diperdakan, maka seringkali muncul kepentingan partai- partai politik tertentu di daerah untuk mendudukan pejabat-pejabat daerah yang memiliki afiliasi maupun identifikasi dengan partainya pada jabatan-jabatan publik tertentu, khususnya yang memiliki nilai strategis baik dari kepentingan politik maupun kepentingan ekonomi. Pengkajian ini pernah peneliti lakukan dengan melakukan penelitian eksploratif beberapa waktu yang lalu di kedua daerah penelitian tersebut Sonhaji, 2008 dan 2011 Pada kondisi semacam inilah, sekarang ini sering muncul kecenderungan bahwa pertimbangan diluar faktor meritokrasi antara lain prestasi dan karir sebagai yang dipersyaratkan oleh organisasi birokrasi, yang seharusnya menjadi kewenangan eksekutif melalui lembaga Baperjakat sering diintervensi kepentingan- kepentingan politik baik oleh pimpinan daerah apakah itu BupatiWalikota maupun wakilnya. Intervensi juga datang dari legislatif daerah bukan dalam kapasitas sebagai lembaga, namun juga lebih sering mewakili kepentingan para anggota dewan untuk bisa memiliki kepanjangan tangan mereka di lingkungan eksekutif daerah, yang tujuannya tentu bagi kepentingan pribadi dan atau kelompok mereka Vested Interest; dan juga dari partai politik yang dominan di daerah dalam rangka sebagai penopang bagi keberlangsungan partai politik yang bersangkutan. Berlatar belakang permasalahan inilah penelitian ini dilakukan.

B. Studi Pustaka