Kajian Teoretik TINDAK TUTUR TAK LANGSUNG DALAM BAHASA JAWA

tutur, pihak yang harus berinferensi, sifat keliteralan tuturan, dan struktur wacana yang tidak langsung band. Wijana, 1996:4 dan Leech, 1983:2. Di dalam tulisan ini merupakan kajian awal pemahaman maksud yang tersirat di dalam tindak tutur tak langsung bahasa Jawa. Bahasa Jawa dipakai sebagai objek kajian dengan pertimbangan sebagai berikut. Pertama, bahasa Jawa masih digunakan sebagai alat komunikasi pada masyarakat tutur Jawa di wilayah Surakarta, kedua, bahasa Jawa masih berkait erat dengan budaya Jawa yang selalu mengedepankan prinsip sopan santun berbahasa, ketiga, bahasa bahasa Jawa termasuk bahasa bentuk pasif atau bentuk ketidaklangsungan indirectness, karena bentuk itu dipakai untuk menyatakan kesantunan berbahasa. Lain halnya dengan penggunaan bentuk aktif atau bentuk langsung yang dirasakan kurang sopan. Tujuan kajian ini adalah akan mengungkap maksud yang terkandung di dalam tindak tutur tak langsung bahasa Jawa. Masyarakat Surakarta sebagian besar masyarakat tutur Jawa. Bahasa Jawa masih aktif dipakai sebagai alat komunikasi di dalam masyarakat, sehingga masyarakat Surakarta merupakan masyarakat tutur Jawa.

2. Kajian Teoretik

Fungsi bahasa dapat dipilah menjadi dua jenis, yaitu 1 fungsi transaksional, dan 2 fungsi interaksional Brown dan G. Yule, 1983:1. Yang dimaksud bahasa sebagai fungsi transaksional adalah fungsi bahasa sebagai penyampai informasi atau proposisi. Secara teoritis fungsi ini berciri kecermatan pemakaian bahasa untuk keakuratan pemahaman pesapa pendengar atau penulis. Bahasa sebagai fungsi interpersonal adalah fungsi bahasa sebagai pemelihara hubungan sosial. Untuk fungsi ini dapat diperiksa pada pemakaian bentuk fatis band. Wardhaugh, 1988:275. Pada fungsi pemelihara hubungan sosial ini nilai informasi cenderung diabaikan dan hanya fungsi pemeliharaan hubungan sosial yang lebih menonjol. Dua fungsi bahasa di atas secara dalam pemakaiannya tidak tampak berbeda. Namum demikian sebenarnya dapat dipilah secara tegas, walau batas pemakaian dua fungsi itu terlalu tipis. Hal demikian ini sering kita jumpai sebuah pernyataan yang sifatnya transaksional yang berciri lugas, namun diungkapkan dengan prinsip ketidaklangsungan indirectness. Untuk masalah ini dapat diperiksa contoh sepenggal dialog berikut. 1 A : “Mas, adoh mas, mengko kesuwen ” mangkono tembunge Safik. B :“Iki kontake, aja banter-banter” jawab Azan karo ngulungake kunci kontak sepeda motornya. A. : “Mas, jauh mas, nanti terlalu lama”. Begitu kata Safik. B. : Ini kontaknya, jangan kencang-kencang”. Jawab Azan sambil memberikan kunci kontak sepeda mtornya. Dialog 1 di atas merupakan bentuk tutur tak langsung. Wacana ini berbentuk tutur tak langsung yang berciri pada munculnya pertanyaan yang berhubungan dengan apa, mengapa, siapa, bagaimana, di mana, dan kapan di dalam diri petutur periksa, Brown dan G.Yule, 1983:260-262. Pernyataan seperti contoh di atas terdapat sebagaian informasi yang dilesapkan. Pada 1 pernyataan yang berhubungan dengan mengapa yaitu mengapa Azan memberikan kunci kontak sepeda motornya ketika Safik mengeluh karena jauh dan terlalu lama. 2 Pemahaman terhadap informasi yang lesap wacana 1 akan diperoleh pesapa setelah ia melakukan penyimpulan-penyimpulan topik pembicaraan dalam peristiwa tutur tak langsung itu. Dasar penyimpulan pemahaman informasi yang lesap itu adalah kontek situasi yang melatabelakangi pertuturan periksa, Wijana, 1996:5. Pemahaman terhadap informasi yang lesap atau tak terungkapkan ini kadang dijadikan dasar bagi pesapa untuk memberikan tanggapan band. Tunnen, 1996:15. Oleh karena itu sering kita jumpai wacana yang secara lingual tidak relevan, tetapi secara semantis tetap memperlihatkan kepaduan maknanya. Seacara lingual kesan ketidakrelevanan isi informasi pada contoh 1 tersirat pada tanggapan Azan yang kemudian memberikan kunci kontak kepada Safik, meskipun tidak ada permintaan yang dinyatakan oleh Safik meminta kunci kontak sepeda motor Azan. Tanggapan yang demikian itu semata-mata didasarkan pada pemahaman Azan terhadap konteks peristiwa tutur dan latar belakang aktivitas yang dilakukan oleh peserta tutur. Jika dibahasakan secara lengkap, informasi yang lesap itu kira-kira berbunyi demikian mas sepeda motore tak nggone, wong adoh mundak kesuwen ”Mas sepeda motornya akan saya pakai karena jauh agar tidak terlalu lama”. Seacara lengkap kurang lebih contoh 1 akan berbentuk seperti berikut. 1a A : Mas, adoh mas, mengo kesuwen Sepeda motore dak enggone, ben ora kesuwen”. Mengkono tembunge Safik. B.: “Iki kontake, aja banter-banter”. Azan mangsuli karo ngulungake kunci kontak sepeda motornya. yang tercetak tebal adalah merupakan proposisi yang implikasikan Tuturan 1aA adalah sebuah contoh bentuk penyembunyian maksud dan inilah yang oleh Wijana 1996 disebut tindak tutur tak langsung. Bentuk wacana itu disebut juga wacana tutur tak langsung. Bentuk kebahasaan yang menunjuk pada pesan yang disembunyikan di balik sinyal kebahasaan telah dibicarakan oleh Tunnen 1996:15-16. Gaya pemahaman maknamaksud yang tersembunyi yangsecra harafiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan oelh pembicarapenulis yang merupakan bentuk tutur taklangsung Hasan Alwi menyebutnya inferensi Alwi, 1998:441. Penyampaian maksud dalam bentuk tindak tutur tak langsung berhubungan dengan anggapan bahwa bersapa itu tidaklah semata-mata masalah pengungkapan informasi, melainkan juga pengungkapan keberadaan sosial dirinya melalui cara menyatakan band. Brown dan G. Yule, 1983:225. Dengan kata lain, apa dan mengapa mengatakan memiliki peran yang sama pentingnya Chaika, 1982:32 dan Wardhaugh, 1988:251. Sehubungan dengan hal ini Grice lih. Levinson, 1983: 131-132 merinci herarki maksud ke dalam delapan jenis dengan urutan said, implicated, conventionally, non conventionally, non conversationally, generally, dan particularly.

3. Situasi Tutur yang Melatari Tindak Tutur Tak Langsung