TINDAK TUTUR TAK LANGSUNG DALAM BAHASA JAWA

(1)

TINDAK TUTUR TAK LANGSUNG BAHASA JAWA Studi Metapesan pada Masyarakat Tutur Jawa

di Surakarta Oleh : Paina Partana

Jur. Sastra Daerah FSSR UNS Februari 2004

Abstrak

Fungsi transaksional dalam sistem komunikasi merupakan salah satu fungsi yang paling dikenal. Fungsi transaksional secara teoretis berciri pada kecermatan pemakaian bahasa demi keakuratan pemahaman di dalam tindak tutur tak langsung. Yang dimaksud adalah maksud tuturan tidak dieksplisitkan. Untuk memahami tuturan itu, mitra tutur harus membuat simpulan-simpulan (inferensi). Maksud-maksud yang tidak dikatakan itu disebut metapesan. Untuk memahami metapesan dalam tindak tutur tak langsung ini diperlukan pengetahuan budaya yang saling terpahami antara penutur dan mitra tutur, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalan komunikasi.

Kata kunci : tidak tutur tak langsung, komuniukasi, fungsi transaksi, metapesan

1. Pendahuluan

Di dalam masyarakat mempunyai kultur yang berbeda dengan masyarakat lain, maka masyarakat itu dalam menggunakan bahasa juga mengalami perbedaan cara menggunakan bahasanya. Demikian pula di dalam masyarakat Jawa, pemakaian bahasa Jawa sebagai alat komunikasi diikuti pula pola budaya yang menjadi ciri masyarakat itu. Pola pengungkapan gagasan secara kultural tercermin dalam cara penyusunan wacana dalam komunikasi, dan bagi masyarakat Jawa ada suatu ciri kultural dalam bentuk wacana tak langsung (band. Sujoko, 1999:40). Pandangan yang berterima di kalangan pakar pragmatik dan sosiolinguitik saat ini bahwa jika kita berbicara atau mengeluarkan ujaran (apakah ujaran itu berupa kalimat, frasa, atau kata), apa yang keluar dari mulut kita itu dapat dianggap sebagai tindakan. Tindakan itu dapat disebut sebagai tindak berbicara, tindak berujar atau tindak bertutur. Istilah yang lazim dipakai untuk mengacu ke tindakan itu aial tindak tutur, yang merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris speech act (Gunarwan, 2003:1-2). Tindak tutur adalah tindakan bertutur untuk menyampaikan maksud ujaran atau tuturan kepada mitra tutur. Tindak tutur dipergunakan untuk menyampaikan maksud secara tersurat dan tersirat. Tindak tutur yang disampaikan secara tersurat dapat berbentuk wacana lengkap baik tertulis maupun lisan. Dengan demikian tindak tutur ini dalam bentuk wacana langsung dan penyampaian maksud secara langsung (tindak tutur langsung). Maksud yang tersirat (tak terungkap) di dalam tindak tutur pemahamannya perlu mempertimbangkan konteks. Hal semacam inilah yang disebut tindak tutur tak langsung. Tunnen (1996) memberikan istilah metapesan Yang dimaksud konteks adalah suatu yang sarana pemerjelas maksud. Kontek di sini terdiri dua macam, yaitu ekspresi dan situasi. Untuk memahami maksud yang tersirat (di dalam tindak tutur tak langsung) perlu mempertimbangkan situasi tutur, meliputi aspek situasi


(2)

tutur, pihak yang harus berinferensi, sifat keliteralan tuturan, dan struktur wacana yang tidak langsung (band. Wijana, 1996:4) dan Leech, 1983:2). Di dalam tulisan ini merupakan kajian awal pemahaman maksud yang tersirat di dalam tindak tutur tak langsung bahasa Jawa. Bahasa Jawa dipakai sebagai objek kajian dengan pertimbangan sebagai berikut. Pertama, bahasa Jawa masih digunakan sebagai alat komunikasi pada masyarakat tutur Jawa di wilayah Surakarta, kedua, bahasa Jawa masih berkait erat dengan budaya Jawa yang selalu mengedepankan prinsip sopan santun berbahasa, ketiga, bahasa bahasa Jawa termasuk bahasa bentuk pasif atau bentuk ketidaklangsungan (indirectness), karena bentuk itu dipakai untuk menyatakan kesantunan berbahasa. Lain halnya dengan penggunaan bentuk aktif atau bentuk langsung yang dirasakan kurang sopan.

Tujuan kajian ini adalah akan mengungkap maksud yang terkandung di dalam tindak tutur tak langsung bahasa Jawa. Masyarakat Surakarta sebagian besar masyarakat tutur Jawa. Bahasa Jawa masih aktif dipakai sebagai alat komunikasi di dalam masyarakat, sehingga masyarakat Surakarta merupakan masyarakat tutur Jawa.

2. Kajian Teoretik

Fungsi bahasa dapat dipilah menjadi dua jenis, yaitu (1) fungsi transaksional, dan (2) fungsi interaksional (Brown dan G. Yule, 1983:1). Yang dimaksud bahasa sebagai fungsi transaksional adalah fungsi bahasa sebagai penyampai informasi atau proposisi. Secara teoritis fungsi ini berciri kecermatan pemakaian bahasa untuk keakuratan pemahaman pesapa (pendengar atau penulis). Bahasa sebagai fungsi interpersonal adalah fungsi bahasa sebagai pemelihara hubungan sosial. Untuk fungsi ini dapat diperiksa pada pemakaian bentuk fatis (band. Wardhaugh, 1988:275). Pada fungsi pemelihara hubungan sosial ini nilai informasi cenderung diabaikan dan hanya fungsi pemeliharaan hubungan sosial yang lebih menonjol.

Dua fungsi bahasa di atas secara dalam pemakaiannya tidak tampak berbeda. Namum demikian sebenarnya dapat dipilah secara tegas, walau batas pemakaian dua fungsi itu terlalu tipis. Hal demikian ini sering kita jumpai sebuah pernyataan yang sifatnya transaksional yang berciri lugas, namun diungkapkan dengan prinsip ketidaklangsungan (indirectness). Untuk masalah ini dapat diperiksa contoh sepenggal dialog berikut.

(1) A : “Mas, adoh mas, mengko kesuwen ” mangkono tembunge Safik.

B :“Iki kontake, aja banter-banter” jawab Azan karo ngulungake kunci kontak sepeda motornya.

A. : “Mas, jauh mas, nanti terlalu lama”. Begitu kata Safik.

B. : Ini kontaknya, jangan kencang-kencang”. Jawab Azan sambil memberikan kunci kontak sepeda mtornya.

Dialog (1) di atas merupakan bentuk tutur tak langsung. Wacana ini berbentuk tutur tak langsung yang berciri pada munculnya pertanyaan yang berhubungan dengan apa, mengapa, siapa, bagaimana, di mana, dan kapan di dalam diri petutur (periksa, Brown dan G.Yule, 1983:260-262). Pernyataan seperti contoh di atas terdapat sebagaian informasi yang dilesapkan. Pada (1) pernyataan yang berhubungan dengan mengapa yaitu mengapa Azan memberikan kunci kontak sepeda motornya ketika Safik mengeluh karena jauh dan terlalu lama.


(3)

Pemahaman terhadap informasi yang lesap wacana (1) akan diperoleh pesapa setelah ia melakukan penyimpulan-penyimpulan topik pembicaraan dalam peristiwa tutur tak langsung itu. Dasar penyimpulan pemahaman informasi yang lesap itu adalah kontek situasi yang melatabelakangi pertuturan (periksa, Wijana, 1996:5). Pemahaman terhadap informasi yang lesap atau tak terungkapkan ini kadang dijadikan dasar bagi pesapa untuk memberikan tanggapan (band. Tunnen, 1996:15). Oleh karena itu sering kita jumpai wacana yang secara lingual tidak relevan, tetapi secara semantis tetap memperlihatkan kepaduan maknanya.

Seacara lingual kesan ketidakrelevanan isi informasi pada contoh (1) tersirat pada tanggapan Azan yang kemudian memberikan kunci kontak kepada Safik, meskipun tidak ada permintaan yang dinyatakan oleh Safik meminta kunci kontak sepeda motor Azan. Tanggapan yang demikian itu semata-mata didasarkan pada pemahaman Azan terhadap konteks peristiwa tutur dan latar belakang aktivitas yang dilakukan oleh peserta tutur. Jika dibahasakan secara lengkap, informasi yang lesap itu kira-kira berbunyi demikian mas sepeda motore tak nggone, wong adoh mundak kesuwen ”Mas sepeda motornya akan saya pakai karena jauh agar tidak terlalu lama”. Seacara lengkap kurang lebih contoh (1) akan berbentuk seperti berikut.

(1a) A : Mas, adoh mas, mengo kesuwen ( Sepeda motore dak enggone, ben ora kesuwen)”. Mengkono tembunge Safik.

B.: “Iki kontake, aja banter-banter”. Azan mangsuli karo ngulungake kunci kontak sepeda motornya.

(yang tercetak tebal adalah merupakan proposisi yang implikasikan)

Tuturan (1aA) adalah sebuah contoh bentuk penyembunyian maksud dan inilah yang oleh Wijana (1996) disebut tindak tutur tak langsung. Bentuk wacana itu disebut juga wacana tutur tak langsung. Bentuk kebahasaan yang menunjuk pada pesan yang disembunyikan di balik sinyal kebahasaan telah dibicarakan oleh Tunnen (1996:15-16). Gaya pemahaman makna/maksud yang tersembunyi yangsecra harafiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan oelh pembicara/penulis (yang merupakan bentuk tutur taklangsung) Hasan Alwi menyebutnya inferensi (Alwi, 1998:441).

Penyampaian maksud dalam bentuk tindak tutur tak langsung berhubungan dengan anggapan bahwa bersapa itu tidaklah semata-mata masalah pengungkapan informasi, melainkan juga pengungkapan keberadaan sosial dirinya melalui cara menyatakan (band. Brown dan G. Yule, 1983:225).

Dengan kata lain, apa dan mengapa mengatakan memiliki peran yang sama pentingnya ( Chaika, 1982:32 dan Wardhaugh, 1988:251). Sehubungan dengan hal ini Grice (lih. Levinson, 1983: 131-132) merinci herarki maksud ke dalam delapan jenis dengan urutan said, implicated, conventionally, non conventionally, non conversationally, generally, dan particularly.

3. Situasi Tutur yang Melatari Tindak Tutur Tak Langsung

Menurut Leech (1983) (lih. Oka, 1993:19-22 dan Wijana, 1996:10-11) situasi tutur dapat diperinci menjadi lima aspek, yaitu (1) peserta tutur, (2) konteks tuturan, (3) tujuan tuturan, (4) tuturan sebagai bentuk tindakan, dan (5) tuturan sebagai bentuk tindak verbal.


(4)

Situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan. Pernyataan ini sejalan dengan pandangan bahwa tuturan merupakan akibat, sedangkan situasi tutur merupakan sebabnya. Dalam komunikasi tidak ada tuturan tanpa situasi tutur. Maksud tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui situasi tutur yang mendukungya. Pemahaman terhadap maksud tuturan tampa memperhitungkan sutuasi tuturan kurang dapat membawa hail yang memadai. Komponen situasi tutur adalah (1) penutur yaitu orang yang bertutur, orang yang menytakan fungsi pragmatis tertentu dalam peristiwa komunikasi. Mitra tutur orang yang menjadi sasaran sekaligus menjadi kawan penutur dalam penuturan. (2) Konteks tuturan adalah semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tuturnya. Konteks ini berperanmembantu mitra tutur dalam menafsirkan maksud yang ingin disampaikan oleh penutur. (3) Tujuan tutur adalah apa yang ingin dicapai oleh penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Komponen ini yang menjadi latar belakang tuturan. (4) Tuturan sebagai tindakan yang dimakssud adalah orang bertutur itu meruapan tindakan atau aktivitas juga. (5) Tuturan sebagai produk tindak verbal yang dimaksud adalah tuturan merupakan hasil tindakan. 3.1 Aspek Peserta Tuturan Tak Langsung

Di dalam pertuturan peserta tutur dapat melibatkan penyapa (O1), pesapa (O2), hadirin, pendegar atau yang dibicarakan (O3). Yang dimaksud hadirin atau pendengar atau yang dibicarakan dibedakan dengan O1 dan O2 berdasarkan kewajiban yang diperankan dalam percakapan itu. Meskipun kadang kala dapat bersifat krusial (band. G.Yule, 1983:36-38; Leech, 1983: 19). Jadi dalam pertuturan itu setidaknya terdiri atas dua partisipan dan dimungkinkan pula tiga partisipan. Seperti contoh berikut.

(2) O1 : Fik, mas Rosyad mau tindak ngendi ta Fik, mas Rosyad tadi ke mana ta

O2 : Sik mas durung tangi. Wangsulane Safik Sebentar mas, belum bangun. Jawab Safik (2) O1 : Mas Hanif sida tindak Bumiayu, mas.

Mas Hanif jadi berangkat ke Bumiayu mas O2 : Ora ngerti sesuk Akhmad piye.

Tidak tahu besok Akhmad bagaimana

O3 : Bareng aku wae mas numpak sepur. Akhmad nawani mase.

Bersama saya saja mas, naik kereta api. Tawaran Akhmad kepada kakaknya.

Wacana (2) adalah wacana tutur tak langsung yang melibatkan dua partisipan. Ketaklangsungan itu terdapat pada tuturan (O1) yang bermodus interogatif, tetapi dimaksudkan sebagai perintah, yaitu agar Safik membangunkan mas Rosyad. Wacana (3 adalah wacana tak langsung yang melibatkan tiga partisipan. Ketaklangsungan itu terlihat pada tuturan O2 yang bermodus deklaratif, namun yang dimaksud adalah sebagai meminta ketegasan Akhmad jadi berangkat atau tidak. Dengan demikian tuturan O3 (Akhmad wajib hadir dalam tuturan itu, sehingga wacana itu dapat berbentuk wacana langsung dan bersifat konvensional ( Wijana, 1996:30) . Kita perhatikan contoh berikut .


(5)

(3a) : O1 : Mas sida tindak Bumuiayu Mas Jadi berangkat ke Bumiayu O2 : Bareng aku wae numpak sepur

Bersama saya saja naik kereta api. 3.2 Aspek Konteks Tuturan

Wijana (1996) menjelaskan bahwa istilah konteks menunjuk kepada semua latar belakang pengetahuan (back graund knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur (1996: 11). Konteks dalam semua aspek fisik atau seting sosial yang relevan dengan tuturan bersangkutan. Kontek fisik lazim disebut koteks, sedangkan kontek seting sosial disebut kontek. Setiyanto (2001: 109) menjelaskan bahwa aspek konteks memperlihatkan korelasi terhadap tiga variabel, yaitu variabel relasi sosial antarpeserta tutur, waktu pertuturan, dan tempat pertuturan. Di dalam tulisan ini akan dibahasa pula situasi pertuturan, dengan pertimbangan bahwa situasi formal dan inforamal akan terjadi pemumculan tidak tutur langsung atau tidak tutur tak langsung. 3.2.1 Relasi sosial antarpeserta tutur

Relasi sosial antarpenutur ditentukan oleh tingkat keakraban, usia, dan status sosial. Tingkat keakraban di antara penutur adalah tingkat keakraban peseta tutur yang sudah saling mengenal dan hal ini sangat menentukan bentuk tuturan dalam peristiwa tutur itu. Di dalam masyarakat Jawa terutama di wilayah Surakarta faktor usia akan menentukan tingkat keakraban dan cara pemilihan bentuk tutur. Adapun status sosial peserta tutur akan sangat berpengaruh terhadap tingkat keakraban dan pemilihan bentuk tutur, karena biasanya tingkat status sosial yang lebih tinggi (dalam peristiwa tutur) akan berperan menjadi inisiator. Kita perhatikan contoh berikut.

(4) O1 : Kok wis tekan ngomah ta mas, mau tutup jam pira ?

Kok sudah sampai di rumah ta mas, tadi tutup jam berapa ?

O2 : Arep ndang nyang Delanggu marani Safik sesuk rak wis mlebu sekolah. Akan segera ke Delanggu menjemput Safik besok kan sudah masuk

sekolah.

(5) O1 : Nggih(Singgih) arep budhal jam pira ?Bareng ya. Mangkono pitakone Antoni

Nggih akan berangkat jam berapa ? Bersama ya. Begitu Antoni bertanya’.

O2 : Ngenteni bapak kondor saka kampus. Menunggu bapak pulang dari kampus.

(6) O1 : Lho ora ndang golek SIM ta Zan ? Ngono ngendikane pak Lurah. ‘Lho tidak segera mencari SIM ta Zan’. Begitu kata pak Lurah’. O2 : Mbenjing Kemis kemawon radi longgar.


(6)

Wacana (4) adalah wacana tindak tutur tak langsung yang dilatarbelakangi tingkat keakraban yang tinggi. Peristiwa tutur ini terjadi O1 sedang berkunjung di rumah Hanif, ketika itu Hanif baru datang dari tokonya yang sengaja tutup lebih awal. Adanya perbedaan usia O1 memanggil O2 mas ‘mas’, dengan persamaan status sosial (O1 dan O2 sama-sama cucu H.M.Ridwan) menandai sifat ketaklangsungan wacana ini lebih dilatarbelangi oleh faktor keakraban.

Wacana (5) adalah wacana tutur tak langsung yang dilatarbelakangi faktor usia. Dilihat dari cara penyapaan menunjukkan bahwa O1 dan O2 adalah seusia. Singgih dan Antoni adalah teman kuliah di fakultas Kedokteran seangkatan, dan usianya sebaya. Secara lingual tingkat kesebayaan usia itu tercermin pula pada penggunaan tingkat tutur ngoko. Dalam hal ststus sosial, O1 dan O2 mempunyai kedudukan sama yaitu sama-sama mahasiswa seangkatan dan sefakultas. Pada wacana ini terdapat tuturan yang bermodus pertanyaan, tetap maksud yang dikehendaki O2 adalah sebuah permintaan. Tuturan O1 menanyakan jam berapa O2 berangkat, O1 akan ikut bersama-sama.

Wacana (6) adalah wacana tutur tak langsung yang dilatarbelakangi ststus sosial. Pak Lurah (O1) berstatus sosial lebih tinggi dari pada Azan (O2), berperan sebagai inisiator. Pada wacana ini terdapat tindak tutur tak langsung yang tercermin pada pada tuturan O1 yang bermodus interogatif, tetapi maksud yang terkandung di dalamnya adalah sebuah perintah agar Azan segera mencari SIM

3.2.2 Waktu Pertuturan

Yang dimaksud waktu pertuturan di sini adalah saat kapan peristiwa pertuturan itu berlangsung. Saat kapan pertuturan itu terjadi bisa pada waktu pagi, siang, dan malam hari. Pemakaian bentuk-bentuk lingual dapat pula mencerminkan waktu yang lazim dan relevan dengan maksud tuturan itu terjadi. Hal ini dapat diperksa contoh wacana tutur tak langsung berikut.

(7) O1 : Han, wis sholat subuh? ‘Han, sudah sholat Subuh ?.

2 : Ya mas, aku adus pisan wae ya mas. ‘Ya mas, saya mandi sekalian saja ya mas’.

O1 : Mengko adine diterake ben ora telat, kuliah jam pertama. ‘Nanti adiknya diantar agar tidak terlambat, kuliah yang pertama’.

(8) O1 : Pak, aku mulange mung tekan jam ketujuh, hondane rak ora macet ta?. Mengko sisan mampir pasar tuku beras.

‘Pak, saya hanya mengajar sampai jam ketujuh, hondanya (speda motor) tidak macet ta /. Nanti sekaligus mampir pasar beli beras’.


(7)

O2 : Ya ngiras kanggo nyoba jarak jauh. ‘Ya sekaligus untuk mencoba jarak jauh’.

(9) O1 : Nung, wis berita terakhir, sesuk Prameke (Kereta Api) jam 5.45 lho.

‘Nung, sudah berita terakhir, besok Prameksnya jam 5.45 lho’. O2 : Nggih pak, kula inggih sampun ngantuk.

‘Ya pak, saja juga sudah ngantuk’.

Wacana (7) adalah wacana tutur tak langsung yang mencirminkan waktu pristiwa tutr itu terjadi. Hal ini dapat dicemati dari tuturan yang menanyakan apakah sudah sholat subuh. Wacana ini bermodus interogasi, tatapi maksudnya adalah meminta agar segera melakukan sholat subuh kerena waktu sudah pagi hari. Jadi wacana tutur tak langsung ini latarbelakang waktu terjadinya pada pagi hari. Selain kata subuh mengindikasikan pagi hari yang dituturkan oleh O1, juga bentuk leksikal kuliah jam pertama dapat menyiratkan bahwa kuliah jam pertama itu pada jam 07.00.

Pada wacana (8) merupakan contoh wacana tutur tak langsung yang bermodus deklaratif (berita pulang jam ketujuh) dan sekaligus juga interogatif (menanyakan apakah hondanya macet), tetapi secara inferensial dan kontekstual ada maksud yang tidak ditunjukkan dalam tuturan, yaitu O1 memberitahukan bahwa akan pulang siang (jam ketujuh) dan apabila hondanya tidak macet minta untuk dijemput. Tradisi jam sekolah jam ketujuh menunjukkan siang hari ( jam 12.00 siang). Tuturan O2 adalah tuturan tak langsung yang dapat diinterpresaikan bahwa O2 akan menjemput O1 sekaligus mencoba sepeda motor Hondanya. Wacana (8) ini terjadi waktu siang hari ayang tercirmin dalam tuturan jam ketujuh.

Wacana (9) adalah wacana tutur tak langsung yang bermodus deklaratif, yaitu memberitahukan bahwa sudah sampai acara berita terakhir TV RI, tetapi maksud yang terkandung adalah bermodus imperatif yaitu O2 menyuruh O1 segera istirahat (tidur). Tuturan berita terakhir mengisyaratkan bahwa waktu sudah malam. Jadi wacana (9) ini mengisyaraktkan bahwa terjadi pada waktu malam hari.

3.2.3 Tempat Pertuturan

Di dalam peristiwa tindak tutur terdapat pula tindak tutur tak langsung yang bentuk tuturanya sangat dipengaruhi tempat pertuturan itu. Kita perhatikan contoh berikut.


(8)

(10) O1 : Mas Adnan ... dhahare piye?.

‘Mas Adnan ... makannya bagaimana? O2 : Nggih Bu, Adnan matur karo ngalonake kecape.

‘ Ya Bu, Adnan berkata sambil memperpelan mengunyahnya’.

Wacana (10) menunjukkan tindak tutur tak langsung yang tercermin pada tuturan O1 yang bermodus interogatif, tetapi terkandung maksud imperatif, yaitu perintah agar O2 memperlambat cara mengunyah makanannya. Bentuk tindak tutur ini pada tempat lain bisa ada kecemderungan dituturkan dengan tuturan langsung. Maksud O1 itu dapat berupa directif imperatif seperti Mas Adnan yen dhahar kecape aja seru-seru.

3.2.4 Faktor Situasi

Faktor situasi pertuturan adalah situasi ketika terjadinya tindak tutur itu berlangsung. Dua perbedaan situasi, yaitu situasi formal dan nonforamal akan mempengaruhi terjadinya tindak tutur, baik tindak tutur langsung atau tindak tutur tak langsung.

(11) O1 : Pak Partana, mangga kula aturi maringi ular-ular kangge putra temanten. Mangkono ngendikane pranata wicara. ‘Pak Partana, dipersilakan memberi nasehat kepada pengenten’. Begitu kata pembawa acara.

O2 : Matur nuwun dhateng sedherek pranata wicara ingkang paring wedal dhateng kula kangge paring ... ‘Terima kasih kepada saudara pembawa acara yang memberi waktu kepada saya untuk memberi ...’. (12) O1 : Lis, kok adheme jekut ta ?

‘ Lis, dingin sekali ta ?

O2 : Daktutupe jendhelane dhisik ya mas. ‘Kututup jendelanya dulu ya mas.

Wacana (11) adalah wacana tindak tutur langsung yang terjadi dalam situasi resmi (formal) pada upacara penganten. Keformalan itu selalu menghendaki bentuk tindak tutur langsung. Tuturan O1 bermodus imperatif dengan maksud yang juga imperatif, dan tidak ada interpretasi lain dari maksud impormasi O1. Begitu juga O2 juga menyampaikan tuturan langsung tanpa ada informasi yang tersembunyi.

Lain halnya dengan wacana (12) tindak tutur itu adalah tindak tutur tak langsung. Peristiwa ini terjadi dalam rumah tangga, sehingga situasinya tidak


(9)

resmi (nonformal). Wacana tindak tutur tak langsung tampak pada tuturan O1 yang bermodus interogatif, tetapi mempunyai maksud imperatif, yaitu agar Lisa menutup jendela. O2 sudah tanggap akan perintah O1 dan langsung bertutur bahwa akan menutup jendela.

4. Tujuan Tuturan

Setiap tindak tutur mepunyai tujuan atau maksud tertentu. Kalimat yang merupakan bentuk fisik tuturan dapat dipilah (1) kalimat berita untuk memberitakan suatu, (2) kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, (3) kalimat perintah untuk memerintah atau menyuruh ( Alwi, 1998: 352-357 dan Wedhawati, dkk., 2001: 445-447). Pada tindak tutur tak langsung dijumpai beberapa penyimpangan modus yaitu (1) kaliamat berita dimaksudkan untuk memerintah, (2) kalimat tanya dimaksukan juga untuk memerintah.

(13) O1 : Mbak Nita, mas Tana rawuh lho mbak. ‘Mab Nita, mas Tana datang lho mbak. O2 : Sik ya, dakgawe unjukan dhisik.

‘Sebentar ya, saya membuat minuman dahulu’. (14) O1 : Sigit ana ngendi ta Lis ?

‘Sigit ada di mana ta Lis?.

O2 : Sik mas, taparanane nggone Budhe Ana. ‘Sebentar mas, saya jemputnya di Bude Ana.

Wacana (13) adalah wacana tindak tutur tak langsung yang bermodus berita, yang tercermin pada O1 yang memberitahukan bahwa mas Tana sudah datang. Oleh O2 ditanggapi sebagai sebuah perintah, sehingga ia bersegera membuatkan minuman kerena suaminya (mas Tana) sudah pulang kerja. Hal ini tercermin pada tuturan sik ya dakgawe unjukan dhisik.

Wacana (14) adalah wacana tindak tutur tak langsung yang bermodus bertanya, tetapi terkandung maksud memerintah. O1 menanyakan keberadaan Sigit, tetapi masudnya adalah memerintah O2 untuk mencari Sigit. Oleh karena itu O2 menyanggupi perintah O1, ia akan menjemput Sigit.

Penyimpangan modus dan maksud ini ada kalanya dipakai sebagai perintah halus, sehingga O2 harus tanggap apa yang akan dilakukan. Untuk hal ini diperlukan penafsiran terhadap implikatur tindak tutur tak lansgsung itu.

5. Pemahaman Maksud Wacana Tindak Tutur Tak Langsung

Di dalam wacana tindak tutur tak langsung maksud tuturan justru tidak terungkapkan dalam hal ini disebut metapesan. Untuk memahami maksud dalam metapesan ini harus ditempuh melalui penginferensian. Adapun ang dimaksud inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk


(10)

memahami makna yang secara harafiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis (Alwi, 1998:441).

(15) O1 : Mas Darmo, aku saiki iki paribasane wis ora duwe sikil. Arep tilik anak bae wis kangelan. Dasar ya adoh tenan, anakku mbarep ana Pekalongan, adhine ana Malang. Malah putuku sing Malang arep disupitake. Ibune yen ngebis apa nyepur mesthi mabuk. Wah jan repot tenan, mas. Kijange iki isih ngirit bensine ta mas ?.

‘Mas Darmo, saya sekarang ini peribahasanya sudah tidak punya kaki. Akan melihata anak saja sudah susah. Memang ya jauh betul, anak saya yang bungsu di Pelakolongan, adiknya di Malang. Malah cucu saya yang (di) Malanga akan dikhitankan. Ibunya (Istri saya) kalau anaik bis atau kereta pai pasti mabuk. Wah repot sekali. Kijangnya itu bensinnya masih irit ta mas ?’.

O2 : Lha mangga yen arep diagem, mesakake mbakyu wis sepuh. Tur aku ya lagi prei nganti tekan tanggal 2 Febuari kok dhik. ‘Lha silakan kalau akan dipakai, kasihan mbakyu sudah tua. Apalagi saya sedang libur sampai tanggal 2 Februari kok dik’.

Pada contoh (15) adalah wacana tindak tutur tak langsung dan tidak ada pernyataan bahwa O1 akan meminjam mobil Kijang. O1 hana menceritakan anaknya yang berada di Pekalongan dan Malang, dan cucunya yang kan dikhitan. Sebuah tindak tutur tak langsung yang bermodus pertanyaan tentang apakah mobil kijang milik O2 masih irit bensinnya itu dijadikan dasar inferensi oleh O2, sehingga O2 tanggap bahwa sebenarnya O1 akan meminjam mobil Kijangnya. Maka O2 mempersilakan lha mangga yen arep kagem. Di dalam wacana tindak tutur tak langsung ini tidak tersurat mengenai secara harafiah tentang O1 akan pinjam mobil kepada O2. Pemahaman maksud yang demikian ini selalu menggunakan inferensi. Maka untuk memahami metapesan diperlukan kemampuan inferensi yang berkaitan erat dengan budaya penutur bahasa tersebut.


(11)

6. Kesimpulan

1) Setiap tindak tutur mepunyai tujuan atau maksud tertentu. Kalimat yang merupakan bentuk fisik tuturan dapat dipilah (1) kalimat berita untuk memberitakan suatu, (2) kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, (3) kalimat perintah untuk memerintah atau menyuruh. Pada tindak tutur tak langsung dijumpai beberapa penyimpangan modus yaitu (1) kaliamat berita dimaksudkan untuk memerintah, (2) kalimat tanya dimaksukan juga untuk memerintah. Dalam penyimpangan itu tecermin adanya maksud yang tidak terinformasikan secara harafiah. Oleh karena itu informasi tentang maksud tindak tutur itu ada dalam bingkai metapesan.

2). Pemahaman maksud yang yang terkandung dalam metapesan selalu menggunakan inferensi. Maka untuk memahami metapesan diperlukan kemampuan inferensi yang berkaitan erat konteks budaya penutur bahasa tersebut.


(12)

Daftar Pustaka

Alwi, Hasan dkk., 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Austin, J.L. 1962. How To Do Thing With Words. J.M. Urmson (Eds.) New York:

Oxford University Press.

Brown Gillian dan George Yule, 1983. Discourse Analysis. Terj. I.Sitikno, 1996, Analisis Wacana. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Chaika, Elaine. 1982. Langage The Social Mirror. Massachusetts: Newbury House Publiher Icn.

Gunarwan, Asim. 2003. Rasa Kejawaan dan Pengungkapan Tindak Tutur Pengancam Muka di Kalangan Orang Jawa. Makalah Seminar Rasa Bahasa Jawa. Depok: FIB-UI.

Leech G.N. 1983. Principle of Pragmatics. New York: Longman.

Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press. Searle, J.R. 1969. Speech Atcs. Cambridge: Cambridge University Press.

Setiyanto, Edi. 2001. Tindak Tutur Tidak Langsung Bahasa Jawa: Upaya Memahami Meta Pesan. Malakah Kongres Bahasa Jawa III. Yogyakarta.

Sujoko, 1999. Pola Pikir Kultural: Benarkah Orang Indonesia Berpikir Berputar-Putar. Makalah Kongres MLI IX. Jakarta.

Tunnen, Deborah. 1986. That’s Not What I Meant !: How conversational style mekes or breaks yuor relation with other. Terj. Amita Kumara. 1996. Seni Kumunikasi Efektif: Membangun Relasi dengan Membina Gaya Percakapan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Wardhaugh, Ronald.1988. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blacwell. Wedhawati, dkk., 2001. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Jakarta: Pusat Bahasa


(13)

(1)

(10) O1 : Mas Adnan ... dhahare piye?.

‘Mas Adnan ... makannya bagaimana? O2 : Nggih Bu, Adnan matur karo ngalonake kecape.

‘ Ya Bu, Adnan berkata sambil memperpelan mengunyahnya’.

Wacana (10) menunjukkan tindak tutur tak langsung yang tercermin pada tuturan O1 yang bermodus interogatif, tetapi terkandung maksud imperatif, yaitu perintah agar O2 memperlambat cara mengunyah makanannya. Bentuk tindak tutur ini pada tempat lain bisa ada kecemderungan dituturkan dengan tuturan langsung. Maksud O1 itu dapat berupa directif imperatif seperti Mas Adnan yen dhahar kecape aja seru-seru.

3.2.4 Faktor Situasi

Faktor situasi pertuturan adalah situasi ketika terjadinya tindak tutur itu berlangsung. Dua perbedaan situasi, yaitu situasi formal dan nonforamal akan mempengaruhi terjadinya tindak tutur, baik tindak tutur langsung atau tindak tutur tak langsung.

(11) O1 : Pak Partana, mangga kula aturi maringi ular-ular kangge putra temanten. Mangkono ngendikane pranata wicara. ‘Pak Partana, dipersilakan memberi nasehat kepada pengenten’. Begitu kata pembawa acara.

O2 : Matur nuwun dhateng sedherek pranata wicara ingkang paring wedal dhateng kula kangge paring ... ‘Terima kasih kepada saudara pembawa acara yang memberi waktu kepada saya untuk memberi ...’. (12) O1 : Lis, kok adheme jekut ta ?

‘ Lis, dingin sekali ta ?

O2 : Daktutupe jendhelane dhisik ya mas. ‘Kututup jendelanya dulu ya mas.

Wacana (11) adalah wacana tindak tutur langsung yang terjadi dalam situasi resmi (formal) pada upacara penganten. Keformalan itu selalu menghendaki bentuk tindak tutur langsung. Tuturan O1 bermodus imperatif dengan maksud yang juga imperatif, dan tidak ada interpretasi lain dari maksud impormasi O1. Begitu juga O2 juga menyampaikan tuturan langsung tanpa ada informasi yang tersembunyi.


(2)

resmi (nonformal). Wacana tindak tutur tak langsung tampak pada tuturan O1 yang bermodus interogatif, tetapi mempunyai maksud imperatif, yaitu agar Lisa menutup jendela. O2 sudah tanggap akan perintah O1 dan langsung bertutur bahwa akan menutup jendela.

4. Tujuan Tuturan

Setiap tindak tutur mepunyai tujuan atau maksud tertentu. Kalimat yang merupakan bentuk fisik tuturan dapat dipilah (1) kalimat berita untuk memberitakan suatu, (2) kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, (3) kalimat perintah untuk memerintah atau menyuruh ( Alwi, 1998: 352-357 dan Wedhawati, dkk., 2001: 445-447). Pada tindak tutur tak langsung dijumpai beberapa penyimpangan modus yaitu (1) kaliamat berita dimaksudkan untuk memerintah, (2) kalimat tanya dimaksukan juga untuk memerintah.

(13) O1 : Mbak Nita, mas Tana rawuh lho mbak. ‘Mab Nita, mas Tana datang lho mbak. O2 : Sik ya, dakgawe unjukan dhisik.

‘Sebentar ya, saya membuat minuman dahulu’. (14) O1 : Sigit ana ngendi ta Lis ?

‘Sigit ada di mana ta Lis?.

O2 : Sik mas, taparanane nggone Budhe Ana. ‘Sebentar mas, saya jemputnya di Bude Ana.

Wacana (13) adalah wacana tindak tutur tak langsung yang bermodus berita, yang tercermin pada O1 yang memberitahukan bahwa mas Tana sudah datang. Oleh O2 ditanggapi sebagai sebuah perintah, sehingga ia bersegera membuatkan minuman kerena suaminya (mas Tana) sudah pulang kerja. Hal ini tercermin pada tuturan sik ya dakgawe unjukan dhisik.

Wacana (14) adalah wacana tindak tutur tak langsung yang bermodus bertanya, tetapi terkandung maksud memerintah. O1 menanyakan keberadaan Sigit, tetapi masudnya adalah memerintah O2 untuk mencari Sigit. Oleh karena itu O2 menyanggupi perintah O1, ia akan menjemput Sigit.

Penyimpangan modus dan maksud ini ada kalanya dipakai sebagai perintah halus, sehingga O2 harus tanggap apa yang akan dilakukan. Untuk hal ini diperlukan penafsiran terhadap implikatur tindak tutur tak lansgsung itu.

5. Pemahaman Maksud Wacana Tindak Tutur Tak Langsung

Di dalam wacana tindak tutur tak langsung maksud tuturan justru tidak terungkapkan dalam hal ini disebut metapesan. Untuk memahami maksud dalam metapesan ini harus ditempuh melalui penginferensian. Adapun ang dimaksud inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk


(3)

memahami makna yang secara harafiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis (Alwi, 1998:441).

(15) O1 : Mas Darmo, aku saiki iki paribasane wis ora duwe sikil. Arep tilik anak bae wis kangelan. Dasar ya adoh tenan, anakku mbarep ana Pekalongan, adhine ana Malang. Malah putuku sing Malang arep disupitake. Ibune yen ngebis apa nyepur mesthi mabuk. Wah jan repot tenan, mas. Kijange iki isih ngirit bensine ta mas ?.

‘Mas Darmo, saya sekarang ini peribahasanya sudah tidak punya kaki. Akan melihata anak saja sudah susah. Memang ya jauh betul, anak saya yang bungsu di Pelakolongan, adiknya di Malang. Malah cucu saya yang (di) Malanga akan dikhitankan. Ibunya (Istri saya) kalau anaik bis atau kereta pai pasti mabuk. Wah repot sekali. Kijangnya itu bensinnya masih irit ta mas ?’.

O2 : Lha mangga yen arep diagem, mesakake mbakyu wis sepuh. Tur aku ya lagi prei nganti tekan tanggal 2 Febuari kok dhik. ‘Lha silakan kalau akan dipakai, kasihan mbakyu sudah tua. Apalagi saya sedang libur sampai tanggal 2 Februari kok dik’.

Pada contoh (15) adalah wacana tindak tutur tak langsung dan tidak ada pernyataan bahwa O1 akan meminjam mobil Kijang. O1 hana menceritakan anaknya yang berada di Pekalongan dan Malang, dan cucunya yang kan dikhitan. Sebuah tindak tutur tak langsung yang bermodus pertanyaan tentang apakah mobil kijang milik O2 masih irit bensinnya itu dijadikan dasar inferensi oleh O2, sehingga O2 tanggap bahwa sebenarnya O1 akan meminjam mobil Kijangnya. Maka O2 mempersilakan lha mangga yen arep kagem. Di dalam wacana tindak tutur tak langsung ini tidak tersurat mengenai secara harafiah tentang O1 akan pinjam mobil kepada O2. Pemahaman maksud yang demikian ini selalu menggunakan inferensi. Maka untuk memahami metapesan diperlukan kemampuan inferensi yang berkaitan erat dengan budaya penutur bahasa tersebut.


(4)

6. Kesimpulan

1) Setiap tindak tutur mepunyai tujuan atau maksud tertentu. Kalimat yang merupakan bentuk fisik tuturan dapat dipilah (1) kalimat berita untuk memberitakan suatu, (2) kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, (3) kalimat perintah untuk memerintah atau menyuruh. Pada tindak tutur tak langsung dijumpai beberapa penyimpangan modus yaitu (1) kaliamat berita dimaksudkan untuk memerintah, (2) kalimat tanya dimaksukan juga untuk memerintah. Dalam penyimpangan itu tecermin adanya maksud yang tidak terinformasikan secara harafiah. Oleh karena itu informasi tentang maksud tindak tutur itu ada dalam bingkai metapesan.

2). Pemahaman maksud yang yang terkandung dalam metapesan selalu menggunakan inferensi. Maka untuk memahami metapesan diperlukan kemampuan inferensi yang berkaitan erat konteks budaya penutur bahasa tersebut.


(5)

Daftar Pustaka

Alwi, Hasan dkk., 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Austin, J.L. 1962. How To Do Thing With Words. J.M. Urmson (Eds.) New York:

Oxford University Press.

Brown Gillian dan George Yule, 1983. Discourse Analysis. Terj. I.Sitikno, 1996, Analisis Wacana. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Chaika, Elaine. 1982. Langage The Social Mirror. Massachusetts: Newbury House Publiher Icn.

Gunarwan, Asim. 2003. Rasa Kejawaan dan Pengungkapan Tindak Tutur Pengancam Muka di Kalangan Orang Jawa. Makalah Seminar Rasa Bahasa Jawa. Depok: FIB-UI.

Leech G.N. 1983. Principle of Pragmatics. New York: Longman.

Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press. Searle, J.R. 1969. Speech Atcs. Cambridge: Cambridge University Press.

Setiyanto, Edi. 2001. Tindak Tutur Tidak Langsung Bahasa Jawa: Upaya Memahami Meta Pesan. Malakah Kongres Bahasa Jawa III. Yogyakarta.

Sujoko, 1999. Pola Pikir Kultural: Benarkah Orang Indonesia Berpikir Berputar-Putar. Makalah Kongres MLI IX. Jakarta.

Tunnen, Deborah. 1986. That’s Not What I Meant !: How conversational style mekes or breaks yuor relation with other. Terj. Amita Kumara. 1996. Seni Kumunikasi Efektif: Membangun Relasi dengan Membina Gaya Percakapan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Wardhaugh, Ronald.1988. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blacwell. Wedhawati, dkk., 2001. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Jakarta: Pusat Bahasa


(6)