Latar Belakang Masalah Upaya pemberantasan dan penanggulangan tindak pidana narkoba oleh kepolisian kota besar ( Poltabes ) Surakarta AGUSTIN

10

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam sidang umum ICPO International Criminal Police Organization ke-66 Tahun 1997 di India, dinyatakan Indonesia termasuk dalam daftar tertinggi negara-negara yang menjadi sasaran peredaran obat-obat terlarang narkotika. Indonesia yang semula menjadi negara transit atau pemasaran, sekarang sudah meningkat menjadi salah satu negara tujuan, dan bahkan telah meningkat menjadi Negara produsen dan eksportir Republika, 27 Oktober 1999 . Menurut Ketua Umum Gerakan Anti Narkotika Granat , peredaran uang dalam transaksi bisnis narkotika setiap harinya sekitar Rp. 800 millar atau 24 trillun rupiah per bulan Republika, 21 Mei 2006 . Sehingga dalam kondisi demikian, kasus narkotika di Indonesia betul-betul berada pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Selain itu yan sangat memprihatikan bahwa penanganan kasus narkotika tidak pernah tuntas karena dari sejumlah kasus yang ada baru 10 persen yang sampai ke pengadilan Granat, Republika 21 Mei 2006 . Fenomena penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan obat-obatan terlarang narkoba , kiranya dapat dijadikan sinyalemen terhadap adanya upaya penghancuran bangsa Indonesia melalui perusakan mental generasi muda. Dari berbagai bentuk daya upaya untuk menanggulangi persoalan narkoba itu, sampai kini dapat dikatakan yang terpantau barulah puncak gunung es-nya saja. Lebih lanjut Henry Yosodiningrat menyatakan bahwa Indonesia kini gencar dibidik sebagai pasar narkoba oleh pihak tertentu bukan semata karena profit, tapi untuk penghancuran. Sekarang masih dijual, mungkin nanti narkoba digratiskan Republika, 11 Maret 2007 . Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa persoalan narkoba sudah menjadi ancaman besar bagi bangsa Indonesia. Adanya upaya-upaya terhadap perusakan mental generasi muda bangsa Indonesia itu kian terlihat dari data-data sebagaimana yang dilaporkan oleh Badan Narkotika Nasional BNN bahwa pengguna terbesar adalah anak-anak dari 11 kalangan dunia pendidikan. Pelaku tindak pidana narkoba dilihat dari pendidikan pelaku terdiri dari kalangan SD sebanyak 8.449 orang; SLTP sebanyak 21.068 orang; SLTA sebanyak 52.185 orang dan Perguruan Tinggi sebanyak 3.987 orang Sumber BNN, Republika, 11 Maret 2007 . Kenyataan itu sejalan dengan pernyataan Riyanto Solopos, 13 Maret 2007 bahwa remaja sangat potensial menjadi sasaran peredaran narkotika dan obat-obatan berbahaya narkoba , terlebih mereka yang berasal dari keluarga mampu. Kecuali itu, terjadinya peningkatan grafik pengguna narkoba dari tahun ke tahun, dapat dikatakan merupakan bentuk semakin kuatnya rongrongan terhadap upaya-upaya perusakan bangsa Indonesia. Rongrongan dari persoalan narkoba itu akan terus menguat seiring dengan adanya kemajuan berbagai bentuk kemajuan ilmu dan teknologi, utamanya dengan adanya sarana teknologi informasi yang berskala global seperti halnya internet. Maka kedepannya, persoalan narkoba akan mengeliminir persoalan batas-batas wilayah. Dari skala global diketahui, sebagaimana dilaporkan oleh United Nation Office on Drug and Crime UNODC dalam laporannya yang bertajuk World Drug Report 2006, dinyatakan bahwa prevalensi terakhir penyalahgunaan narkoba di dunia sebesar 5 dari populasi dunia yang diperkirakan sekitar 200 juta orang Republika, 11 Maret 2007 . Prevalensi atau meratanya persoalan narkoba di tingkat global di atas termasuk didalamnya adalah wilayah Surakarta. Dari data yang ada menunjukkan bahwa dari tahun 2002 - 2006 Kepolisian Kota Besar Poltabes Surakarta pada setiap tahunnya tidak pernah lepas dari penanganan kasus narkoba. Naik turunnya grafik penanganan kasus narkoba yang dihadapi oleh Poltabes Surakarta pada setiap tahunnya, dapat diindikasikan sebagai berituk telah adanya daya upaya penanggulangan penggunaan narkoba. Suatu daya upaya pada hakekatnya merupakan perwujudan dari adanya kecerdikan, kepintaran yang selanjutnya dijadikan dasar untuk menyusun konsep, asas, garis haluan, mulai dari perencanaan sampai dengan bagaimana bentuk pelaksanaannya, dalam dan untuk menangani suatu pekerjaan. Dengan demikian tindakan pemberantasan dan penanggulangan narkoba yang dilakukan oleh 12 Poltabes Surakarta pada hakekatnya telah digariskan dalam suatu bentuk kebijakan yang selaras dengan karakter masyarakat wilayah Surakarta. Dengan kata lain, walaupun telah ada akses perundang-undangan yang mengatur penanganan narkoba dari pemerintah pusat, dalam pelaksanaannya Poltabes Surakarta harus pula mengatur kebijakan sendiri dalam penangannya. Kebijakan, sebagaimana ditegaskan Peter dan Yenny 1991 : 201 adalah suatu kecerdikan, kepintaran, garis haluan, rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan dan kepemimpinan, terutama pada pemerintahan, organisasi, dan sebagainya. Kaitannya dengan kecerdikan dan kepintaran menanggulangi masalah narkoba maka yang dimaksud adalah dalam hal bagaimana Poltabes Surakarta menemukan dan menyelesaikan berbagai modus operandi peredaran narkoba, misalnya memantau penyelundupan lewat bandara udara, lewat paket kiriman pos, ditelan sementara, dililitkan di badan, disembunyikan dibagian tubuh tertentu. Kecuali itu bagaimana menemukenali berbagai bentuk kejahatan yang bersifat terorganisir seperti halnya yang dilakukan 2 orang atau lebih, memiliki power , memiliki akses dan lain-lain. Termasuk menemukenali kejahatan yang bersifat transnasional yaitu tidak mengenal batas wilayah, pelaku bisa WNA pribumi, dan memiliki sarana yang canggih. Di samping persoalan mata rantai peredaran narkoba, mulai dari produsen, bandar gede, jaringan putus di kurir, bandar kecilpengedar sampai dengan konsumen pengguna. Persoalan-persoalan dasar yang demikian tentu tidak terlepas faktor karakter sosial budaya di wilayah Surakarta yang selanjutnya dijadikan bagian dari pertimbangan Poltabes Surakarta dalam menentukan kebijakan penanggulangan narkoba. Dengan kata lain, pengambilan kebijakan untuk penanggulangan narkoba akan dijalankan selaras dengan terjadinya berbagai bentuk perubahan sosial budaya masyarakat dan seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang ikut memudahkan pula bagi peredaran narkoba. 13 Adanya hukum pidana formal perundang-undangan yang menyertai tindakan aparat kepolisian di wilayah Poltabes Surakarta sekaligus adanya sanksi pidana berat bagi para pelaku narkoba, seperti di antaranya diatur dalam UU Psikotropika No. 5 Th. 1997 dan UU Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, beberapa sanksi pidana yang diterapkan, misalnya : memproduksi, mengedarkan, dikenai pidana penjara 15 tahun denda 100 juta pasal 60 ; memiliki, menyimpan, dikenai pidana penjara 5 tahun denda 100 juta pasal 62 ; menggunakan psikotropika golongan 1, dikenai pidana penjara minimal 4-15 tahun denda 150-750 juta pasal 59 . Juga dalam UU Narkotika No. 22 Tahun 1997, memberikan sanksi pidana bagi penjual, pembeli menjadi perantara dengan penjara 20 tahun denda 1 milyar pasal 82 ; memiliki, menyimpan, menguasai golongan I dikenai penjara 10 tahun denda 500 juta pasal 78 . Demikian pula sanksi pidana yang dijatuhkan oleh para hakim terhadap para pelaku kejahatan ini masih dinilai belum memberikan rasa takut, padahal selama ini penjatuhan sanksi pidana dimaksudkan sebagai politik pemerintah sebagai salah satu tindakan prevensi dalam penanggulangan tindak pidana narkotika tersebut. Akan tetapi meskipun telah ada sanksi pidana yang demikian berat, namun pada kenyataannya tidak menyurutkan sebagian pelaku tindak pidana narkotika. Bahkan ada sinyalemen dari gejala- gejala yang ada menunjukkan kecenderungan yang meningkat, terutama dalam skala global. Sementara kejadian di wilayah Surakarta sebagaimana telah disinggung di atas, penanganan kasus narkoba menunjukkan grafik turun naik yaitu dari data yang ada, diketahui bahwa kasus narkoba yang ditangani Poltabes Surakarta pada tahun 2002 sebanyak 34 kasus, tahun 2003 sebanyak 57 kasus, tahun 2004 sebanyak 63 kasus, tahun 2005 sebanyak 92 kasus, dan tahun 2006 sebanyak 35 kasus. Pada kenyataannya, walaupun telah terjadi penurunan kasus di tahun 2006, tetapi tindak pidana narkoba tetap ada. Hal demikian berarti, tindakan kebijakan harus selalu bersifat progresif yaitu penanganan ke depan dan yang bersifat tindak lanjut. Dengan kata lain, kebijakan penanganan narkoba pada dasarnya harus 14 bersifat multi-dimensi, mulai dari kebijakan pencegahan sampai dengan penanganannya. Dari fenomena kebijakan yang muncul terlihat adanya kegiatan dari pihak kepolisian berupa pemasangan baliho, spanduk, himbauan, pemasangan stiker. Juga adanya kegiatan pembinaan dan penyuluhan, dialog interaktif dengan warga masyarakat luas, seminar-seminar, pemantauan tempat hiburan. Kecuali itu, banyak media masa yang menginformasikan hasil dari tindakan proses sidik, razia- razia yang dilakukan oleh Poltabes Surakarta. Langkah-langkah kebijakan yang telah dilakukan oleh Poltabes Surakarta dalam menangani tindak pidana narkoba di atas, di samping sebagai tugas dan kewajiban atas pekerjaannya, pada hakekatnya merupakan suatu bentuk daya upaya untuk memperkokoh kehidupan bangsa dan negara dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Dari kenyataan yang ada, walaupun telah ada sanksi pidana yang berat, akan tetapi pelaku tindak pidana narkotika masih tetap ada sampai sekarang. Terkait dengan berbagai upaya penegakkan hukum terhadap tindak pidana narkoba oleh Poltabes Surakarta maka merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji lebih jauh melalui penelitian dengan judul : Upaya Pemberantasan Dan Penanggulangan Terhadap Tindak Pidana Narkoba Oleh Kepolisian Kota Besar Poltabes Surakarta ”

B. Perumusan Masalah