Kekuatan Pembuktian Kode Wibe Site Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

(1)

KEKUATAN PEMBUKTIAN KODE

WIBE SITE

DALAM

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

TESIS

Oleh

SYMON MORRYS 077005122 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KEKUATAN PEMBUKTIAN KODE

WIBE SITE

DALAM

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Dalam Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SYMON MORRYS 077005122 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : KEKUATAN PEMBUKTIAN KODE WIBE SITE DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

Nama Mahasiswa : Symon Morrys Nomor Pokok : 077005122 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Chainur Arrasjid, SH Ketua

)

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum) (Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum Anggota Anggota

)

Ketua Program Studi D e k a n

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 23 Juli 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Chainur Arrasjid, SH

Anggota : 1. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum 2. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum

3. Prof. Dr. Suwarto, SH, MH


(5)

ABSTRAK

Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap Negara. Upaya penanggulangan tindak pidana terorisme diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Diperlukannya undang-undang ini karena pemerintah menyadari tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa, sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa juga. Dalam beberapa kasus, penguasaan terhadap teknologi sering kali disalahgunakan untuk melakukan suatu kejahatan. Di antara ragam kejahatan menggunakan teknologi, terdapat di dalamnya suatu bentuk kejahatan terorisme baru.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah pertama, bagaimana kedudukan alat bukti berupa informasi elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia? kedua, bagaimana kekuatan pembuktian alat bukti informasi elektronik dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana teorisme? dan ketiga, Apa saja yang menjadi kendala dalam pembuktian kode wibe site dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yakni mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Dalam hal ini Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Putusan Perkara Nomor 84/PID/B/2007 PN SMG.

Kesimpulan yang diperoleh adalah pertama, kedudukan alat-alat bukti wibe site dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, hanya sebagai alat bukti pendukung digolongkan kepada alat bukti petunjuk jika dipandang dari hukum acara pidana, kedua, kekuatan alat bukti dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan alat bukti yang berdiri sendiri, tidak termasuk sebagai alat bukti bukti petunjuk sebagaimana menurut pandangan hukum acara pidana, ketiga, kendala dalam pembuktian Wibe Site terasa sangat sulit untuk mengidentifikasi data-data misalnya kesulitan dalam mencari data-data, nilai, yang selalu berubah dalam suatu dokumen HTML disebabkan baris program HTML yang digunakan hanya terdiri dari delapan baris. Namun, dokumen HTML yang berasal dari Wibe Site Al-Anshar.net memiliki jumlah program HTML sebanyak 326 baris. Dengan jumlah baris program sebanyak itu, menghabiskan waktu apabila dilakukan pemeriksaan baris per baris. Kata Kunci : Tindak Pidana, Terorisme, Web Site, Pembuktian, dan Pemberantasan.


(6)

ABSTRACT

Terrorism is a crime against humanity and civilization and is one of the serious threatto the sovereignty of each State. Criminal acts of terrorism prevention efforts embodied by the government issued Government Regulation in Lieu of Law No. 1 of 2002, which is then approved by Parliament to be a Law No. 15 of 2003 on Combating Criminal Acts of Terrorism. Need for this law because the government realizes the crime of terrorism is an extraordinary crime, requiring extraordinary handling as well. In some cases, mastery of technology is often misused to commit a crime. Among the variety of crime using technology, there is in it some new forms of terrorism crimes.

The problem in this study is the first, how the position of evidences in the form of electronic information in criminal procedural law in Indonesia? second, how the evidence proving the power of electronic information in the legislation the eradication of terrorism? and third, What are the obstacles in the proof wibe code site in the legislation the eradication of terrorism?

The methode used in this research is normative reference to the values and legal norms contained in legislation and court decisions.In this case,act no.15 of 2003 on Combating Criminal Acts of Terrorism and Decision Case Number 84/PID/B/2007 PN SMG.

Conclusions obtained are first, the position of the means of proof wibe site in Law Number 15 Year 2003 on Combating Criminal Acts of Terrorism, just as a means of supporting evidence is classified to guide evidence when viewed from the law of criminal procedure, secondly, the strength of evidence in Law Number 15 Year 2003 on Combating Criminal Acts of Terrorism is evidence of an independent, not included as evidence as proof instructions in the view of criminal procedural law, third, difficulties in proving Wibe Site was very difficult to identify such data problems in search of data, value, which is always changing in an HTML document is caused program lines of HTML that is used only consists of eight lines. However, an HTML document derived from Al-Anshar.net Wibe Site has a number of programs as much as 326 lines of HTML. With the number of lines of the program that much, spend time checking if it is done line by line.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis Panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih karunia-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara, Medan.

Adapun judul Tesis penelitian ini adalah: “ KEKUATAN PEMBUKTIAN

KODE WIBE SITE DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

TERORISME ”. Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing : Prof. Chainur Arrasjid, SH., Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum., Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum., Dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini.

Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K) diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan.


(8)

2. Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Prof. Dr. H. Bismar Nasution, SH, MH, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Suwarto, SH, MH, sebagai Komisi Penguji penulis, yang telah meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran kepada penulis.

5. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum., sebagai Komisi Penguji sekaligus Sekretaris yang telah meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran dan masukan yang sangat penting kepada penulis. 6. Kepada Kedua Orang Tua tercinta yang semasa hidupnya mendidik dengan

penuh rasa kasih sayang.

7. Kepada Abang , Kakak dan Adik Penulis sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan Doa dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

8. Kepada Rekan-rekan di Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Beserta seluruh Staff Ilmu Hukum terima kasih atas segala bantuan selama penulis mengikuti perkuliahan, semoga Tuhan membalas kebaikan yang berlipat ganda, dan rekan-rekan kerja saya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.


(9)

Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini terdapat kekurangan dan kekeliruan, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan Tesis ini.

Medan, Oktober 2010 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Symon Morrys

Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 25 Oktober 1981

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : PNS KEJARI

Alamat : Jl. Bumi Raya VI No. 24 Duren Sawit

Jakarta Timur

Pendidikan : SD Budi Luhur Tangerang Tamat Tahun 1994

SMP Budi Luhur Tangerang Tamat Tahun 1997 SMA Negeri 53 Tangerang Tamat Tahun 2000 Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Tri Sakti Tamat Tahun 2006

Strata Dua (S2) Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2010


(11)

ABSTRAK

Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap Negara. Upaya penanggulangan tindak pidana terorisme diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Diperlukannya undang-undang ini karena pemerintah menyadari tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa, sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa juga. Dalam beberapa kasus, penguasaan terhadap teknologi sering kali disalahgunakan untuk melakukan suatu kejahatan. Di antara ragam kejahatan menggunakan teknologi, terdapat di dalamnya suatu bentuk kejahatan terorisme baru.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah pertama, bagaimana kedudukan alat bukti berupa informasi elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia? kedua, bagaimana kekuatan pembuktian alat bukti informasi elektronik dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana teorisme? dan ketiga, Apa saja yang menjadi kendala dalam pembuktian kode wibe site dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yakni mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Dalam hal ini Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Putusan Perkara Nomor 84/PID/B/2007 PN SMG.

Kesimpulan yang diperoleh adalah pertama, kedudukan alat-alat bukti wibe site dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, hanya sebagai alat bukti pendukung digolongkan kepada alat bukti petunjuk jika dipandang dari hukum acara pidana, kedua, kekuatan alat bukti dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan alat bukti yang berdiri sendiri, tidak termasuk sebagai alat bukti bukti petunjuk sebagaimana menurut pandangan hukum acara pidana, ketiga, kendala dalam pembuktian Wibe Site terasa sangat sulit untuk mengidentifikasi data-data misalnya kesulitan dalam mencari data-data, nilai, yang selalu berubah dalam suatu dokumen HTML disebabkan baris program HTML yang digunakan hanya terdiri dari delapan baris. Namun, dokumen HTML yang berasal dari Wibe Site Al-Anshar.net memiliki jumlah program HTML sebanyak 326 baris. Dengan jumlah baris program sebanyak itu, menghabiskan waktu apabila dilakukan pemeriksaan baris per baris. Kata Kunci : Tindak Pidana, Terorisme, Web Site, Pembuktian, dan Pemberantasan.


(12)

ABSTRACT

Terrorism is a crime against humanity and civilization and is one of the serious threatto the sovereignty of each State. Criminal acts of terrorism prevention efforts embodied by the government issued Government Regulation in Lieu of Law No. 1 of 2002, which is then approved by Parliament to be a Law No. 15 of 2003 on Combating Criminal Acts of Terrorism. Need for this law because the government realizes the crime of terrorism is an extraordinary crime, requiring extraordinary handling as well. In some cases, mastery of technology is often misused to commit a crime. Among the variety of crime using technology, there is in it some new forms of terrorism crimes.

The problem in this study is the first, how the position of evidences in the form of electronic information in criminal procedural law in Indonesia? second, how the evidence proving the power of electronic information in the legislation the eradication of terrorism? and third, What are the obstacles in the proof wibe code site in the legislation the eradication of terrorism?

The methode used in this research is normative reference to the values and legal norms contained in legislation and court decisions.In this case,act no.15 of 2003 on Combating Criminal Acts of Terrorism and Decision Case Number 84/PID/B/2007 PN SMG.

Conclusions obtained are first, the position of the means of proof wibe site in Law Number 15 Year 2003 on Combating Criminal Acts of Terrorism, just as a means of supporting evidence is classified to guide evidence when viewed from the law of criminal procedure, secondly, the strength of evidence in Law Number 15 Year 2003 on Combating Criminal Acts of Terrorism is evidence of an independent, not included as evidence as proof instructions in the view of criminal procedural law, third, difficulties in proving Wibe Site was very difficult to identify such data problems in search of data, value, which is always changing in an HTML document is caused program lines of HTML that is used only consists of eight lines. However, an HTML document derived from Al-Anshar.net Wibe Site has a number of programs as much as 326 lines of HTML. With the number of lines of the program that much, spend time checking if it is done line by line.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling dasar bagi seluruh manusia. Hak hidup merupakan bagian dari hak asasi yang memiliki sifat tidak dapat ditawar lagi (non derogable rights).1 Artinya, hak untuk hidup mutlak harus dimiliki setiap orang, karena tanpa adanya hak untuk hidup, maka tidak ada hak-hak asasi lainnya. Hak tersebut juga menandakan setiap orang memiliki hak untuk hidup dan tidak ada orang lain yang berhak untuk mengambil hak hidupnya. Dalam hal ini terdapat beberapa pengecualian seperti untuk tujuan penegakan hukum, sebagaimana yang diatur dalam Article 2 European Convention on Human Rights yang menyatakan:2

Protection the right of every person to their life. The article contains exceptions for the cases of lawful executions, and deaths as a result of the use of force which is no more than absolutely necessary in defending ones self or others, arresting a suspect or fugitive, and suppressing riots or insurrections”.

Pengecualian terhadap penghilangan hak hidup tidak mencakup pada penghilangan hak hidup seseorang oleh orang lainnya yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu contoh penghilangan hak hidup manusia adalah eksekusi putusan pengadilan melalui sanksi pidana mati bagi pelaku

1

I. Sriyanto., dan Desiree Zuraida,, Modul Instrumen HAM Nasional: Hak Untuk Hidup, Hak

Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan Serta Hak Mengembangkan Diri, (Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2001), hal. 1

2

http://en.wikipedia.org/, “European_Convention_on_Human_Rights_files, “European


(14)

tindak pidana terorime. Sanksi pidana mati dalam tindak pidana terorisme dibuat karena aksi terorisme jelas telah melecehkan nilai kemanusiaan, martabat, dan norma agama. Terorisme juga telah menunjukan gerakannya sebagai tragedi atas hak asasi manusia.3

Terorisme merupakan kejahatan terhadap peradaban kemanusiaan serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat transnasional (internasional) yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.4 Pernyataan tersebut sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia yang termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.5

Secara global, modus-modus serangan bom oleh teorisme masih marak salah satu faktornya adalah kerasnya pertarungan politik dalam kerangka perang global. Secara konstitusi, politik luar negeri Indonesia menganut paham bebas aktif yang berarti tidak memiliki posisi konflik terhadap kelompok mana pun, tetapi imbas

3

Abdul Wahid., Sunardi., dan Muhamad Imam Sidik., Kejahatan Terorisme: Perspektif

Agama, HAM dan Hukum, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2004), hal. 2.

4

Indonesia (a)., Undang-Undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT), LN. No. 45 Tahun 2003, TLN. No. 4284, Penjelasan umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme paragraf 2.

5


(15)

kejadian terorisme internasional kadang mencapai wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Pada Juli 2008, Kedutaan Besar RI (KBRI) Afghanistan di Kabul terkena dampak sampingan ledakan bom mobil bunuh diri di Kedubes India. Akibatnya, lima orang petugas keamanan KBRI tewas dan dua orang diplomat luka-luka dan 60% kaca dan pintu hancur, serta bangunan KBRI di Kabul rusak parah.6

Selain dari kejadian yang bersifat dampak sampingan tersebut, hasil penyelidikan dan penyidikan tindak terorisme besar yang pernah terjadi di Indonesia mengindikasikan bahwa motif pelaku memiliki keterkaitan langsung dengan konflik di dunia internasional atau regional. Masih banyaknya aktor teroris yang belum tertangkap hingga tahun 2010 ini membuktikan bahwa kekuatan berbaur, militansi, mobilitas, dan adaptasi para tokoh terorisme sangat kuat. Sisa jaringan yang melakukan aksi peledakan besar sepanjang 2002-2010 seperti bom Bali pada tahun 2002, Bom di gedung World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat, bom di JW Marriot pada tahun 2003, bom di depan Kedutaan Besar Australia pada tahun 2004, bom Bali II pada tahun 2005, dan sekelompok pelatihan teroris di Nangro Aceh Darussalam, masih berkembang biak di Nusantara, yaitu dengan perekrutan dan penambahan anggota jaringan baru dalam kerangka kaderisasi organisasi. Jaringan tersebut juga diindikasikan masih memiliki sejumlah senjata api, amunisi, dan bahan peledak yang sangat berbahaya.

6

http://www.austlii.edu.au/au/legis/cth/consol_act/cca1995115/, diakses terakhir tanggal 10 Juni 2010.


(16)

Aksi terorisme di Indonesia mencuat ke permukaan setelah terjadinya Bom Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002, Peristiwa ini tepatnya terjadi di Sari Club dan Peddy’s Club, Kuta, Bali. Sebelumnya, tercatat juga beberapa aksi terorisme di Indonesia antara lain kasus Bom Istiqlal pada tanggal 19 April 1999, Bom Malam Natal pada tanggal 24 Desember 2000, Bom di Bursa Efek Jakarta pada September 2000, serta penyanderaan dan pendudukan Perusahaan Mobil Oil oleh Gerakan Aceh Merdeka pada tahun yang sama.

Kembali pada kasus Bom Bali I. Aksi terorisme melalui peledakan bom mobil di Jalan Raya Legian Kuta ini semula direncanakan dilaksanakan pada 11 September 2002, bertepatan dengan peringatan setahun tragedi di Gedung World Trade Center New York, Amerika Serikat. Seperti diketahui, peristiwa tanggal 11 September 2002 ini mengawali “Perang Global” terhadap terorisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Kebijakan Amerika Serikat yang berat sebelah seperti memunculkan “Jihad adalah Terorisme” khususnya di kalangan umat Islam. Dalam memerangi terorisme telah menjadi alasan beberapa kelompok teroris untuk melakukan perlawanan, salah satunya dilakukan oleh Ali Imron, Ali Gufron, dan Amrozi.7

Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) memiliki kewajiban untuk melindungi harkat dan martabat manusia. Demikian pula dalam hal perlindungan warga negara dari tindakan terorisme. Salah satu bentuk perlindungan negara terhadap warganya dari tindakan atau aksi terorisme adalah melalui penegakan

7

http://www.hudzaifah.org/PNphpBB2-viewtopic-t-117.phtml, “Pelaku Bom Bali 1 Okt Adalah JI”, diakses terakhir tanggal 7 Desember 2009.


(17)

hukum, termasuk di dalamnya upaya menciptakan produk hukum yang sesuai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Upaya ini diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (selanjutnya disbut UUPTPT).

Diperlukannya undang-undang ini karena pemerintah menyadari tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary

crime), sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa juga (extraordinary

measures).8

Pada sebuah proses penyelesaian perkara pidana, proses pembuktian merupakan suatu proses pencarian kebenaran materiil atas suatu peristiwa pidana. Hal ini berbeda jika dibandingkan proses penyelesaian perkara perdata yang merupakan UUPTPT ini selain mengatur aspek materil juga mengatur aspek formil. Sehingga, undang-undang ini merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dari KUHP dan KUHAP. Dengan adanya undang-undang ini diharapkan penyelesaian perkara pidana yang terkait dengan terorisme dari aspek materil maupun formil dapat segera dilakukan.

8

T. Nasrullah, ”Sepintas Tinjauan Yuridis Baik Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”,

Makalah Disampaikan Pada Semiloka tentang “Keamanan Negara”, diselenggarakan: Indonesia Police


(18)

proses pencarian kebenaran formil. Proses pembuktian sendiri merupakan bagian terpenting dari keseluruhan proses pemeriksaan persidangan.

Mengenai pembuktian dalam KUHAP mengenal adanya Alat Bukti dan Barang Bukti, di mana keduanya dipergunakan di dalam persidangan untuk membuktikan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. KUHAP menyebutkan bahwa alat bukti yang sah untuk diajukan di depan persidangan, seperti yang diatur Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah:9

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan ahli; 3. Surat;

4. Petunjuk; dan

5. Keterangan terdakwa.

Pada perkembangannya, alat bukti sebagaimana yang diatur dalam KUHAP tidak lagi dapat mengakomodir perkembangan teknologi informasi, hal ini menimbulkan permasalahan baru. Salah satu masalah yang muncul akibat perkembangan teknologi informasi adalah lahirnya suatu bentuk kejahatan baru yang sering disebut dengan cybercrime, dalam istilah yang digunakan oleh Barda Nawawi Arief disebut dengan tindak pidana mayantara.10

9

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 8, LN. No. 76 Tahun 1981, TLN. 3209, Pasal 184.

Secara garis besar cybercrime terdiri dari dua jenis, yaitu kejahatan yang menggunakan Teknologi Informasi (TI) sebagai fasilitas dan kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas TI sebagai sasaran.

10

Abdul Wahid., dan Muhammad Labib., Kejahatan Mayantara (Cybercrime), (Bandung:


(19)

Perkembangan teknologi dan perkembangan hukum telah menyebabkan tergesernya bentuk media cetak menjadi bentuk media digital (paper less). Perlu diperhatikan dalam kejahatan dengan menggunakan komputer, bukti yang akan mengarahkan suatu peristiwa pidana adalah berupa data elektronik, baik yang berada di dalam komputer itu sendiri (hardisk/floppy disc) atau yang merupakan hasil print out, atau dalam bentuk lain berupa jejak (path) dari suatu aktivitas pengguna komputer.11

Tentu saja upaya penegakan hukum tidak boleh terhenti dengan ketidakadaan hukum yang mengatur penggunaan barang bukti maupun alat bukti berupa informasi elektronik di dalam penyelesaian suatu peristiwa hukum. Selain itu, proses mengajukan dalam proses pembuktian alat bukti yang berupa data digital perlu pembahasan tersendiri mengingat alat bukti dalam bentuk informasi elektronik ini serta berkas acara pemeriksaan telah melalui proses digitalisasi dengan proses pengetikan (typing), pemeriksaan (editing), dan penyimpanan (storing) dengan menggunakan komputer. Namun, hasilnya tetap saja dicetak di atas kertas (printing

process). Dengan demikian, diperlukan kejelasan bagaimana mengajukan dan

melakukan proses pembuktian terhadap alat bukti yang berupa data digital.

Proses pembuktian suatu alat bukti yang berupa data digital ini juga menyangkut aspek validasi (keakuratan) data digital yang dijadikan alat bukti tersebut. Aspek lain yang terkait adalah masalah menghadirkan alat bukti tersebut,

11

Edmom Makarim., Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian, (Jakarta: PT


(20)

apakah dihadirkan cukup dengan perangkat lunaknya (software) ataukah harus dengan perangkat kerasnya (hardware). Sebagaimana telah dijelaskan terlebih dahulu, bahwa bukti digital tidak dikenal dalam KUHAP. Namun, untuk beberapa perbuatan hukum tertentu, bukti digital dikenal dan pengaturannya tersebar pada beberapa peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan, Undang-undang Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-undang Tentang Kearsipan, Undang-Undang Tentang Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi fokus dalam penelitian ini.

Sebagai lex specialis, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 memiliki kekhususan secara formil dibandingkan KUHAP. Salah satu kekhususan tersebut yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah terkait penggunaan alat bukti yang merupakan pembaharuan proses pembuktian konvensional dalam KUHAP yakni dengan menerapkan proses pembuktian alat bukti non konvensional yang tidak diatur dalam KUHAP.12

Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi:

Pengaturan mengenai alat bukti pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut terlihat dalam Pasal 27, yaitu:

1. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;

2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

12

Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, (Bandung: Citra Aditya


(21)

3. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

1) Tulisan, suara, atau gambar;

2) Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;

3) Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.13 Beberapa penambahan alat bukti terdapat di dalam UUPTPT, alat bukti yang disebutkan dalam UUPTPT tersebut merupakan bagian dari alat bukti non konvensional. Macam-macam alat bukti nonkonvensional semakin banyak diajukan dalam persidangan di pengadilan. Oleh karena itu, maka pada beberapa undang-undang telah memasukkan seperti dokumen atau bukti elektronik sebagai alat bukti. Seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terdapat dalam Pasal 25 menyebutkan, “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”.

Alat bukti yang diatur dalam Pasal 27 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut berdasarkan KUHAP tidak diakui sebagai alat bukti, tetapi berdasarkan doktrin (ilmu hukum) dikategorikan sebagai Barang Bukti yang

13


(22)

berfungsi sebagai data penunjang bagi alat bukti.14

Dijadikannya alat bukti yang berdiri sendiri dalam UUPTPT tersebut karena adanya prinsip dalam hukum pidana dan perdata menyatakan terdapat model alat bukti yang terbuka ujung (open end), yang memungkinkan masuknya berbagai alat bukti baru, sesuai dengan perkembangan Informasi dan Teknologi yang canggih termasuk alat bukti yang bersifat sainstifik dan atau eksperimental. Alat-alat bukti yang terbuka ujung tersebut menurut Munir Fuady digolongkan ke dalam alat bukti persangkaan dalam hukum acara perdata, dan digolongkan sebagai alat bukti petunjuk dalam hukum acara pidana, dan alat bukti yang terbuka ujung ini sering disebut sebagai alat bukti nonkonvensional.

Akan tetapi berbeda dengan pembuktian di dalam UUPTPT, dimana dalam UUPTPT alat bukti dikenal alat bukti yang berdiri sendiri sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 27 UUPTPT.

15

Alat bukti dalam UUPTPT yang telah ditentukan tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dan mengikat serta memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Meskipun demikian, prinsip lex specialis derogat legi generalis tetap berlaku. Dengan penafsiran secara a contrario, dapat diartikan hal yang tidak diatur dalam ketentuan khusus, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, berlakulah ketentuan umum, dalam hal ini KUHAP.

14

T. Nasrullah, Op. cit., hal. 16.

15

Munir Fuady, Op. cit, hal. 182, perlu diketahui bahwa karena banyaknya alat-alat bukti nonkonvensional tersebut yang canggih dan snagat berorientasi pada perkembangan Teknologi Informasi, maka banyak di antaranya yang dapat memberikan nilai pembuktian yang akurat, bahkan melebihi dari keakuratan alat bukti konvensional (yang di dalam Pasal 184 Ayat 1 KUHAP), sebagai contoh dapat dilihat model pembuktian kejahatan melalui alat canggih yang disebut dengan tes DNA (Deoxyribonucleic acid) yang jauh lebih akurat dibandingkan dengan pembuktian konvensional yang menggunakan saksi mata.


(23)

Penelitian ini bertolak dari permasalahan penggunaan bukti digital (digital

evidence) sebagai alat bukti tindak pidana terorisme di Indonesia. Objek dari

penelitian ini adalah Source Code atau Kode Sumber sebuah website yang merupakan

media informasi teroris, yaitu website Al-Anshar dengan alamat di

http://www.anshar.net. (website ini sekarang sudah diblokir oleh Kepolisian RI dan dinyatakan dilarang untuk diterbitkan akan tetapi data didapatkan penulis dari Pengadilan Negeri Semarang dengan Nomor Perkara 84/PID/B/2007 PN SMG).

Dipilihnya kode sumber sebagai objek penelitian dikarenakan kode sumber adalah tampilan yang paling orisinal dari sebuah website. Segala tampilan yang ramah pengguna atau user friendly interface dari sebuah website dibangun dari baris kalimat pada kode sumber website tersebut. Sehingga apabila tampilan dari suatu website mengandung substansi yang merupakan upaya terorisme, maka harus dilihat dari kode sumber website tersebut. Selain itu, dari website tersebut kode sumber lah yang paling mungkin dijadikan alat bukti.

Situs www.anshar.net yang diduga dibuat oleh Agung Setyadi, dosen salah satu perguruan tinggi di Semarang, dan M. Agung Prabowo Max Fiderman alias Kalingga alias Maxhaser, mahasiswa salah satu universitas di kota itu, dipakai untuk menyampaikan informasi terorisme atas pesanan Noordin M. Top sebagai media informasi perjuangannya.16

Untuk selanjutnya, pembahasan penelitian ini akan menjelaskan bagaimana kode sumber dari sebuah website dapat dijadikan alat bukti. Penjelasan tersebut akan

16


(24)

dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang memungkinkan penggunaan alat bukti digital dalam persidangan, khususnya Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selain itu dari penelitian ini akan terlihat sikap aparat penegak hukum, khususnya hakim dalam mempergunakan alat bukti yang ada.

Akibat semakin berkembangnya tindak pidana saat ini, ketentuan di dalam KUH Pidana mengenai tindak pidana yang telah diatur sebelumnya, tidak dapat menampung berbagai modus-modus tindak pidana yang terjadi sekarang ini. Tindak pidana yang tidak ada pengaturannya di dalam KUH Pidana disebut delik-delik khusus yang pengaturannya diatur secara khusus pula. Delik khusus tersebut seperti tindak pidana terorisme, tindak pidana pencucian uang, dan lain-lain. Tindak pidana terorisme dikriminalisasi sebagai tindak pidana karena sangat berbahaya bagi keamanan, kenyamanan, dan ketenteraman warga negara bahkan mengancam kedaulatan negara itu sendiri. Oleh karenanya, negara Indonesia harus memberantas tindak pidana terorisme ini melalui diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.

Tindak pidana terorisme dihubungkan dengan peranan kejaksaan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Karena kejaksaan adalah penuntut umum juga sebagai aparatur negara dalam melakukan supremasi hukum di Indonesia. Kemudian di dalam penelitian ini, mengkaji peranan kejaksaan khususnya Jaka Agung dalam


(25)

memberantas tindak pidana terorise di Indonesia. Namun pada prakteknya, mengenai pembuktian tindak pidana terorisme di Indonesia masih menggunakan sistem pembuktian dan alat-alat bukti yang dikenal di dalam KUHAP. Oleh karenanya, kejaksaan sebagai penuntut umum dalam melakukan tuntutannya di pengadilan mengajukan berbagai alat bukti yang disebutkan di dalam KUHAP dan alat bukti lain yang di kenal di dalam UUPTPT.

Jika dihubungkan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Repubik Indonesia (UU Kejaksaan), tidak secara terperinci disebutkan, namun tugas dan wewenang kejaksaan dalam mengantisipasi terorisme di Indonesia dapat dilihat pada Pasal 35 UU Kejaksaan. Dimana disebutkan dalam Pasal 35 tersebut bahwa mengenai terjadinya aksi teror ditentukan tugas dan wewenang secara khusus kepada Jaksa Agung yakni terdapat di dalam Pasal 35 huruf f UU Kejaksaan, berbunyi sebagai berikut, “Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Kalimat yang menyatakan, “Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Mencegah atau menangkal berarti Jaksa Agung berwenang bertindak mencegah atau menangkal orang-orang tertantu atau kelompok tertentu untuk masuk ke wilayah Indonesia jika sebenarnya telah ada tanda-tanda yang dapat menguatkan bahwa orang atau kelompok tertentu tersebut dapat membahayakan negara Republik Indonesia. Di


(26)

samping pencegahan yang dimaksud tersebut, seseorang mungkin saja melakukan tindak pidana di luar negara keastuan Republik Indonesia misalnya melalui internet, secara otomatis wibe site yang dijadikan sarana aksi, masuk ke wilayah Indonesia melakukan aksi tindak pidana terorisme.

Berdasarkan paparan tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk memilih, ”Kedudukan Pembuktian Kode Wibe Site Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”, sebagai judul dalam penelitian ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil tiga pokok permasalahan, yaitu:

1. Bagaimana kedudukan alat bukti berupa informasi elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia?

2. Bagaimana kekuatan pembuktian alat bukti informasi elektronik dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana teorisme?

3. Apa saja yang menjadi kendala dalam pembuktian kode wibe site dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat pada perumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:


(27)

1. Untuk mengetahui dan mendalami kedudukan alat bukti berupa informasi elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia;

2. Untuk mengetahui dan mendalami kekuatan pembuktian alat bukti informasi elektronik dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana teorisme; dan 3. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi kendala dalam pembuktian kode

wibe site dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi sejumlah manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum khususnya pemahaman tentang pembutian berupa informasi elektronik melaui website sebagai alat bukti di dalam tindak pidana terorisme. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan dan referensi bagi peneliti lanjutan serta dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga diharapkan bisa memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan mengenai tindak pidana terorisme di Indonesia;

2. Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan aparat penegak hukum dalam hal ini Polisi, Jaksa, dan aparatur hukum lain, khususnya Jaksa dalam mengajukan tuntutannya beserta alat-alat bukti berupa informasi elektronik melalui website dalam perkara tindak pidana terorisme mengenai hal penerapan


(28)

sistem pembuktian terhadap informasi teror melalui website, serta agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang peran serta wewenang kejaksaan sebagai penuntut umum dalam perkara terorisme.

E. Keaslian Penulisan

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka sebelumnya peneliti telah melakukan pemeriksaan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, perpustakaan fakultas pascasarjana USU, perpustakaan fakultas hukum USU. Namun penulis tidak ada menemukan judul tesis yang memiliki kemiripan dan permasalahan yang sama dengan penelitian ini. Oleh karena itu, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini, dapat dinyatakan masih asli dan jauh dari sifat plagiat terhadap karya tulis orang lain.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Beberapa teori yang berhubungan dengan sistem pembuktian rekaman elektronik ini, peneliti mendasarkan pada teori-teori pembuktian yakni Conviction in Time,17 Conviction-Raisonee,18

17

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) Jilid II. (Jakarta: Pustaka Kartini, 1988), hal. 278, sistem pembuktian

conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik


(29)

Positif,19 Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel),20

keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian conviction-in time, sudah

barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas "dasar keyakinan" belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas

kesalahan terdakwa. Jadi, dalam sistem pembuktian conviction-in time, sekalipun kesalahan terdakwa

sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan keyakinan hakim. Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa “tidak terbukti” berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas “dasar keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang “dominan” atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.

gunanya sebagai perbandingan dalam memahami sistem pembuktian yang

18

Dalam sistem ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor

keyakinan hakim ”dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time peran ”keyakinan

hakim” leluasa tanpa batas maka pada sistem convic-tion-raisonee, keyakinan hakim harus didukung

dengan ”alasan-alasan yang jelas”. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem

conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus ”reasonable, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar-dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.

19

Pembuktian menurut undang-undang secara positif merupakan pembuktian yang bertolak

belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Pembuktian menurut

undang-undang secara positif, ”keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata ”digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah”. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. Pokoknya, apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa. Dalam sistem ini, hakim seolah-olah ”robot pelaksana” undang-undang yang tak memiliki hati nurani. Hati nuraninya tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Meskipun demikian, dari satu segi sistem ini mempunyai kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim wajib mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang. Dari sejak semula pemeriksaan perkara, hakim harus melemparkan dan mengesampingkan jauh-jauh faktor keyakinan, tetapi semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa mencampuraduk hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan unsur subjektif keyakinannya. Sekali hakim majelis menemukan hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, tidak perlu lagi menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya. Bagaimana kalau


(30)

diatur dalam KUHAP. Teori pembuktian lain yang digunakan peneliti adalah, peneliti juga menggunakan sistem pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian dimana si terdakwa diperbolehkan membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya.

Menurut M. Yahya Harahap, bahwa alat bukti rekaman elektronik dalam tindak pidana pencucian uang tidak termasuk ke dalam bukti pendukung atau alat bukti petunjuk sebagaimana alat-alat bukti yang disebutkan di dalam KUH Pidana dan KUHAP akan tetapi merupakan alat bukti tersendiri atau berdiri sendiri.21

Sebenarnya bahwa tindak pidana terorisme merupakan kejahatan yang luar biasa (exstra ordinary crime), oleh sebab itu, maka untuk membuktikan kesalahan

pembuktian menurut Undang-Undang secara positif, lebih sesuai dibandingkan dengan sistem pembuktian menurut keyakinan. Sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif, lebih dekat kepada prinsip "penghukuman berdasar hukum". Artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas: seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

20

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau

conviction-in time. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif ”menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Rumusannya berbunyi adalah ”salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.”

21

Ibid, hal. 317, Adapun mengenai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk serupa sifat dan kekuatannya dengan alat bukti yang lain. Sebagaimana dengan kekuatan pembuktian keterangan saksi, keterangan ahli dan alat bukti surat, hanya mempunyai sifat kekuatan pembuktian ”yang bebas”.

1. Hakim tidak terkait atas kebenaran persesuaian yang dieujudkan oleh petunjuk oleh karena itu,

Hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian;

2. Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesahan terdakwa, dia tetap terikat kepada prinsip batas minimum pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain.


(31)

terdakwa dalam tindak pidana terorisme, diperlukan hukum acara yang dikecualikan dari KUHAP karena akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana teorisme ini menyangkut banyak korban nyawa selain itu dengan banyaknya aksi teror di suatu negara, menjadikan eksistensi negara tersebut jatuh di mata dunia sehingga investor pun enggan untuk menanamkan modalnya di negara yang terkena teror tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka teori yang digunakan dalam pembuktian alat-alat bukti tindak pidana terorisme, di samping teori pembuktian yang dianut di dalam KUHAP yaitu pembuktian menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel) yang merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time, juga digunakan teori pembuktian dengan asas pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik yang dikenal di beberapa tindak pidana tertentu termasuk tindak pidana terorisme.22

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif yakni “menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu ”sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Sehingga

22

Yunus Husein., ”Pencegahan dan Pemberantasan tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia”, Makalah disampaikan dalam ceramah Program Pascasarjana (S-2) Bidang Kajian Utama Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, Jakarta, tanggal 8 Mei 2004, hal. 4.


(32)

rumusannya berbunyi, ”salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang”.

Oleh sebab itu, salah atau tidak seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata-mata. Atau hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan terdakwa dibarengi dengan keyakinan hakim.

Bertitik tolak dari uraian di atas, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen:23

a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

b. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.

Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur ”objektif” dan ”subjektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan di antara kedua unsur tersebut. Jika salah satu di antara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Misalnya, ditinjau dari segi cara

23


(33)

dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa cukup terbukti, tetapi sekalipun sudah cukup terbukti, hakim ”tidak yakin” akan kesalahan terdakwa, dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya, hakim benar-benar yakin terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan. Akan tetapi, keyakinan tersebut tidak didukung dengan pembuktian yang cukup menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam hal seperti ini pun terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, di antara kedua komponen tersebut harus saling mendukung.

Jika diperhatikan kepada pembuktian menurut undang-undang secara negatif, menempatkan keyakinan hakim paling berperan dan dominan dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa, pembuktian semacam ini pernah dianut di Indonesia yakni pada pengadilan distrik dan kabupaten.24

24

Andi Hamzah (I)., Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 260.

Umpamanya, walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti menurut cara dan dengan alat bukti yang sah, pembuktian itu dapat ditiadakan dengan adanya keyakinan hakim. Apalagi jika pada diri hakim terdapat motivasi yang tidak terpuji demi keuntungan pribadi, dengan suatu imbalan materi, dapat dengan mudah membebaskan terdakwa dari pertanggungjawaban hukum, atas alasan hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa. Terdakwa memang cukup terbukti secara sah. Namun, sekalipun terbukti secara sah, hakim tidak yakin akan kesalahan yang telah terbukti tersebut. Oleh karena itu, terdakwa harus dibebaskan dari tuntutan hukum. Barangkali di sinilah letak


(34)

kelemahan sistem ini. Sekalipun secara teoretis antara kedua komponen itu tidak saling dominan, tetapi dalam praktek, secara terselubung unsur keyakinan hakim yang paling menentukan dan dapat melemparkan secara halus unsur pembuktian yang cukup. Terutama bagi seorang hakim yang kurang hati-hati, atau hakim yang kurang tangguh benteng iman dan moralnya, mudah sekali memanfaatkan sistem pembuktian ini dengan suatu imbalan yang diberikan oleh terdakwa.25

Pembuktian menurut R. Subekti disebutkan bahwa, ”Proses meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil dan alat-alat bukti yang dikemukakan dalam suatu perkara. Dengan demikian tampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara di muka hakim atau pengadilan”.26

Menurut R. Supomo, pembuktian mempunyai dua arti, yaitu arti yang luas dan arti yang terbatas. Arti yang luas ialah membenarkan hubungan hukum, yaitu misalnya apabila Hakim mengabulkan tuntutan, maka pengabulan ini mengandung arti bahwa, hakim menarik kesimpulan bahwa apa yang didakwakan adalah benar. Untuk membuktikan dalam arti yang luas berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat yang sah. Dalam arti yang terbatas terdapat pembuktian yang hanya diperlukan apabila apa yang dikemukakan Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya dibantah oleh terdakwa dan apa yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan. Dalam arti yang terbatas inilah orang mempersoalkan hal pembagian

25

Ibid, hal. 279-280.

26


(35)

beban pembuktian.27

Menurut Sudikno Mertokusumo, membuktikan mempunyai beberapa pengertian, yaitu pengertian secara logis, secara konvensional, dan secara yiridis.

28

Dalam hukum acara pidana hakim bersifat aktif, yaitu hakim berkewajiban untuk memperoleh bukti yang cukup mampu membuktikan tentang apa yang dituduhkan kepada terdakwa.29

Pembuktian dalam ilmu hukum diatur secara komprehensif dan lugas. Meskipun telah diatur secara komprehensif dan lugas, namun nilai pembuktiannya tidak dapat secara mutlak dan lebih bersifat subyektif. Jadi, kebenaran yang dicapai merupakan kebenaran yang relatif. Hal ini disebabkan karena pembuktian dalam

27

R. Supomo., Hukum Acara Pidana Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978),

hal. 62-63.

28

Sudikno Mertokusumo., Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberti, 1988), hal.

103-104, membuktikan dalam dalam arti logis ialah memberikan kepastian yang bersifat mutlak karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Contohnya berdasarkan aksioma bahwa dua garis yang sejajar tidak mengkin bersilang. Pembuktian dalam arti konvensional

adalah memberikan kepastian yang bersifat nisbi atau relatif dengan tingkatan yaitu, Pertama,

Kepastian yang didasarkan atas atas perasaan belaka, karena didasarkan atas perasaan maka, kepastian ini bersifat intuitif (conviction in time); dan Kedua, Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka oleh karena itu disebut conviction raisonnee. Membuktikan dalam arti yuridis ialah memberikan dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka, dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak, karena ada kemungkinannya bahwa pengakuan, kesaksian atau bukti tertulis itu tidak benar atau dipalsukan, maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Membuktikan secara yuridis dalam hukum acara pidana tidak sama

dengan hukum acara perdata, terdapat ciri-ciri khusus, Pertaman, dalam hukum acara perdata, yang

dicari adalah kebenaran formal, yaitu kebenaran berdasarkan anggapan dari pada pihak yang berperkara. Sedangkan dalam hukum acara pidana yang dicari adalah kebenaran materil, yaitu

kebenaran sejati, yang harus diusakahan tercapai, Kedua, dalam hukum acara perdata, hakim bersifat

passif yaitu hakim memutuskan perkara semata-mata berdasrkan hal-hal yang dianggap benar oleh pihak-pihak yang berperkara dan berdasarkan bukti-bukti yang dibawa mereka itu dalam sidang pengadilan. Jadi, hakim tidak mencampuri hak-hak induividu yang dilanggar, selama orang yang dirugikan tidak melakukan penuntutan di pengadilan.

29

Teguh Samudera., Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1992), hal.


(36)

ilmu hukum hanyalah sebagai upaya memberikan keyakinan terhadap fakta-fakta yang dikemukakan agar masuk akal, yaitu apa yang dikemukakan dengan fakta-fakta itu harus selaras dengan kebenaran. Sehingga, keyakinan tentang sesuatu hal memang benar-benar telah terjadi harus dapat diciptakan dan dapat diterima oleh pihak lainnya, karena apabila hanya dapat diciptakan tanpa diikuti dengan dapat diterimanya oleh pihak lain, maka akan tidak memunyai arti. Tidak mempunyai arti dimaksud karena bukti dalam ilmu hukum itu hanya menetapkan kebenaran terhadap pihak-pihak yang berperkara saja. Jadi, tidak seperti bukti dalam ilmu pasti yakni berlaku umum, yang berarti menetapkan kebenaran untuk setiap orang dan mutlak sifatnya.30

Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu (communis opinio). Secara tidak langsung bagi hakim karena hakim yang harus mengkonstatir peristiwa mengkualifisirnya dan kemudian mengkonstituir maka tujuan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut.31

Menurut A. Mukti Arto, tujuan pembuktian ialah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa fakta atau peristiwa yang diajukan itu benar terjadi, yakni dibuktikan kebenarannya sehingga nampak adanya

30

Ibid, hal. 10-11.

31


(37)

hubungan antara para pihak.32

Sekalipun kebenaran pembuktian dalam ilmu hukum bersifat relatif, akan tetapi mempunyai nilai yang cukup signifikan bagi para hakim. Karena fungsi pembuktian adalah berusaha memberikan kepastian tentang kebenaran fakta hukum yang menjadi pokok perkara bagi hakim.33

Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli hukum tentang arti pembuktian sebagaimana disebutkan di atas, dapat dimengerti bahwa pembuktian adalah suatu proses mempergunakan atau mengajukan atau mempertahankan alat-alat bukti di muka persidangan sesuai dengan hukum acara yang berlaku (dalam hal tindak pidana pencucian uang berlaku hukum acara pidana) sehingga mampu meyakinkan hakim terhadap kebenaran dari alat-alat bukti yang menjadi dasar tuntutan, atau alat-alat bukti yang dipergunakan untuk menyanggah tentang kebenaran alat-alat bukti yang telah dikemukakan oleh pihak lawan.

Karena itu, hakim akan selalu berpedoman dalam menjatuhkan putusannya dari hasil pembuktian. Oleh karena itu, acara pembuktian menempati posisi penting dari jalannya persidangan di pengadilan.

Dalam kaitannya terhadap KUHAP, yang perlu dibuktikan adalah perbuatan yang memiliki unsur kesalahan (schuld). Menurut Pompe, yang perlu dibuktikan adalah kesalahan si terdakwa, yang mengandung ciri-ciri atau unsur-unsur sebagai

32

A. Mukti Arto., Praktek-Praktek Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2003), hal. 140.

33

Bachtiar Effendi, dkk., Surat Gugatan dan Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata,


(38)

berikut:34

1. Kelakuan yang bersifat melawan hukum;

2. Dolus (kesengajaan) atau Culpa (kealpaan); dan 3. Kemampuan bertanggung jawab pelaku.

Sehubungan dengan itu, pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan perkara perdata. Biasanya pembuktian dalam perkara pidana lebih ketat dibandingkan dengan pembuktian dalam perkara perdata. Karena dalam praktek pidana yang mencari kebenaran materiil, dianut pembuktian dengan stelsel

negative, artinya untuk menjatuhkan putusan dalam perkara pidana tidak cukup

berdasarkan alat bukti saja, tetapi juga diperlukan adanya keyakinan hakim, apakah terdakwa bersalah atau tidak bersalah, dan pembuktian ini dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum.35

Pihak yang harus membuktikan adalah pihak yang menyatakan atau menuntut atau mengklaim suatu hak. Beban pembuktian seperti ini, berlaku di negara-negara yang menganut sistem civil law (continental), seperti di Indonesia. Dimana pembuktian terbalik dilakukan oleh terdakwa pada waktu membacakan pembelaannya dan dapat diulangi lagi pada memori banding dan memori kasasi.36

Teori Negatif dalam hukum pidana mengatakan bahwa hakim boleh menjatuhkan pidana, jika hakim mendapatkan keyakinan dengan alat bukti yang

34

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya”,

(Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 163.

35

Adrian Sutedi., Tindak Pidana Pencucian Uang, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 288.

36


(39)

sah, bahwa telah terjadi perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Teori ini dianut dalam HIR, sebagaimana terdapat dalam Pasal 294 HIR Ayat (1), yang pada dasarnya ialah:37

a. Keharusan adanya keyakinan Hakim, dan keyakinan itu didasarkan kepada; b. Alat-alat bukti yang sah.

Teori ini dianut oleh KUHAP, sebagaimana terkandung dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP, meyebutkan sebagai berikut;38

”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Meneliti Pasal 183 menyatakan, ”Sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti yang sah”, ”bukan satu alat bukti”, maka seorang terdakwa telah memenuhi unsur batas minimum pembuktian. Namun menurut hukum posistif unsur sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah harus ditambah dengan unsur keyakinan hakim sebagai unsur complimentary (pelengkap) dan lebih berwarna sebagai unsur formal dalam model putusan.39

Teori bebas adalah teori yang tidak mengikat hakim kepada aturan hukum yang dijadikan pokok, asal saja ada keyakinan tentang kesalahan terdakwa yang didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh

37

Ibid, hal. 279.

38

KUHAP, Op. cit, Pasal 183.

39


(40)

pengalaman.40

Teori bebas dimungkinkan terjadi karena globalisasi menimbulkan teori baru yang relevan dengan situasi saat ini dan akhir-akhir ini berkembang suatu teori baru yakni teori modern. Teori ini tidak dianut dalam sistem HIR maupun sistem KUHAP.

Berdasarkan teori-teori pembuktian yang telah dikemukakan, dan sistem pembalikan beban pembuktian di atas, secara khusus bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, (UUPTPT) ditentukan bahwa, alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi:

a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;

b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan c. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang

dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

1) Tulisan, suara, atau gambar;

2) Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;

3) Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Pada Pasal 27 huruf a, mencakup alat bukti yang disebutkan di dalam KUHAP. Sedangkan pada huruf b, dan c inilah yang dimaksud dengan alat bukti lain yang dikenal di dalam UUPTPT selain itu juga dikenal di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPTPPU), Undang-Undang

40

Martiman Prodjohamidjojo., Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU


(41)

Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE). Dimana dalam undang-undang terkait ini dikenal dengan alat bukti elektronik yang dijadikan sebagai alat bukti di dalam pembuktian tindak pidana terorisme.

Sedangkan dalam pembuktian terbalik bersifat terbatas dan berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana yang didakwakan terhadapnya dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaanya.

Kata-kata ”bersifat terbatas” dimaksudkan bahwa apabila terdakwa secara yakin dapat membuktikan bahwa dakwaan yang ditujukan kepadanya tidak terbukti atau tidak benar, hal ini bukan berarti terdakwa tidak melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang didakwakan oleh JPU. Sebab JPU, masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.41 Dipandang dari sisi tersangka atau terdakwa, alat bukti artinya alat atau upaya yang bisa dipergunakan tersangka atau terdakwa untuk dapat meyakinkan hakim di muka persidangan. Sedangkan jika dipandang dari pengadilan yang memeriksa perkara, alat bukti artinya alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh hakim untuk menjatuhkan putusan.42 Jadi, alat-alat bukti sangat diperlukan oleh para pencari keadilan maupun pengadilan.43

Dalam KUHAP, perihal alat-alat bukti tercantum dalam Pasal 184 dinyatakan dalam pasal tersebut bahwa alat-alat bukti yang sah terdiri dari, keterangan saksi,

41

Ibid, hal. 108.

42

Nashr Farid Washil., Nazhoriyah ad Da’wa wa Istbat fii Fiqhi Islamiyyi ma’a

al-Muqoronati bi al-Qoonunniyyi al- Wad’iyyi, (Kairo: Daaru Asy Syuruq, 2002), hal. 23.

43

Roihan A. Rasyid., Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hal.


(42)

keterangan ahli, surat, petunjuk; dan keterangan terdakwa. Jika alat-alat bukti dalam KUHAP yang dijadikan dasar sebagai alat bukti dalam tindak pidana terorisme mengenai alat bukti wibe site tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dan kuat, dengan kata lain alat bukti tersebut merupakan alat bukti yang lemah, karena wibe site menurut KUHAP dimasukkan ke dalam alat bukti petunjuk.44

Hal tersebut sesuai dengan penegasan yang dirumuskan dalam Pasal 189 Ayat (4) KUHAP bahwa, ”Keterangan terdakwa saja atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain”. Ketentuan itu, ketentuan tersebut sama halnya dengan pengaturan di dalam Pasal 308 HIR yang menegaskan bahwa, ”Untuk dapat menghukum terdakwa, selain daripada pengakuannya harus dikuatkan pula dengan alat-alat bukti yang lain”. Jadi, jelaslah Dikatakan lemah karena ”sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti” barulah putusan dapat dijatuhkan kepada terdakwa. Dengan demikian rekaman elektronik menurut KUHAP bukan alat bukti yang dapat berdiri sendiri.

44

Andi Hamzah (I)., Op. cit., hal. 245. Petunjuk adalah “perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.” Berdasarkan KUHAP, alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Tetapi, menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, bukti petunjuk juga dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (email), telegram, teleks, faksimili, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.


(43)

bahwa jika hakim menerapkan macam-macam alat bukti yang ditentukan dalam KUHAP, harus didukung oleh alat bukti lain untuk menjatuhkan sebuah putusan.

Oleh karena adanya pengecualian alat bukti dalam UUPTPT tersebut, disebabkan karena alat bukti yang disebutkan dalam KUHAP sudah tidak mampu sebagai lex generalis dalam hal merangkum alat-alat bukti, sehingg muncullah pengaturan yang bersifat lex specialist.

Mengenai elektronik disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE), yang dimaksud dengan informasi elektronik adalah, ”Satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”

Elektronik telah diterima sebagai alat bukti yang sah di dalam UUITE dan UUTPPU walaupun dalam hal pencarian pembuktiannya di perlukan keterangan ahli dalam bidang elektronik tersebut untuk menguatkan suatu pembuktian yang menggunakan elektronik.

Ada beberapa cara untuk mengakui elektronik sebagai alat bukti yang sah di dalam persidangan pengadilan adalah sebagai berikut:45

45

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol5954/data-elektronik-sebagai-alat-bukti-masih-dipertanyakan, diakses terakhir tanggal 7 Juni 2010.


(44)

1. Pada umumnya dalam praktek bisnis sudah banyak menggunakan perangkat elektronik (komputer) dalam kegiatan bisnis, maka tidak ada satu alasan untuk menyetarakan dengan tulisan asli. Cakupannya begitu luas, seperti persetujuan, elektronik, kompilasi data dalam berbagai bentuk. Termasuk undang-undang, opini dan hasil diagnosa yang dihasilkan pada waktu transaksi itu dibuat atau yang dihasilkan melalui pertukaran informasi dengan menggunakan komputer. Begitu pula dalam kasus pidana jika terjadinya suatu transfer dari antar bank terhadap niat pelaku untuk melakukan pencucian uang tentu setiap bank memiliki data-data di dalam komputernya, begitu juga dengan kasus-kasus pidana lainnya seperti halnya pencabulan, pornografi, penghinaan nama baik dan sebagainya, sebatas bila kejahatan itu dilakukan dengan menggunakan media computer. Semua bukti tersebut dapat diakui oleh hukum setelah mendengar pendapat (keterangan) seorang ahli. Data di dalam komputer tersebut secara otomatis terekam secara elektronik juga bisa diakui tanpa adanya keterangan ahli, jika sebelumnya telah ada sertifikasi terhadap metode bisnis tersebut. Cara ini disebut sebagai pengakuan yang didasarkan atas kemampuan komputer untuk menyimpan data (computer storage). Pengakuan tersebut sering digunakan dalam praktek bisnis maupun non-bisnis untuk menyetarakan dokumen elektronik dengan dokumen konvensional.

2. Dengan menyandarkan pada hasil akhir sistem komputer. Misalkan, dengan output dari sebuah program komputer yang hasilnya tidak didahului dengan campur tangan secara fisik. Contohnya, rekaman log in internet, rekaman telepon, dan transaksi ATM, gambar yang yang di-upload dalam suatu situs Artinya, dengan sendirinya rekaman elektronik tersebut diakui sebagai bukti elektronik dan memiliki kekuatan hukum. Kecuali bisa dibuktikan lain.

3. Dengan memadukan dari dua cara di atas, yaitu beberapa rekaman elektronik yang dihasilkan oleh output pada suatu sistem komputer yang selanjutnya ditambahi dengan keterangan ahli dalam bidang komputer.

Ada satu hal yang patut dipertimbangkan dalam pengakuan suatu elektronik, sejauh mana keamanan suatu sistem dan keterlibatan dari orang terhadap sistem komputer tersebut. Karena biasanya, tindak pidana terorisme menggunakan komputer (internet) melibatkan orang yang ahli dalam membuat wibe site atau situs sehingga data dapat dapat diinformasikan kepada seluruh dunia. Hampir semua negara di dunia menggunakan dan menerima suatu transaksi yang dilakukan dengan menggunakan komputer melalui internet ini kecuali ada juga data-data dan informasi yang tidak


(45)

boleh diakses dengan sembarang orang karena dikunci oleh pemilik wibe site itu sendiri dan hanya bisa dikases oleh orang-orang tertentu. Menurut penulis wibe

site yang dikunci (password) inilah yang bisa kemungkinan digunakan oleh

para teroris dalam berkomunikasi sesama mereka.

Berkenaan dengan itu, dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (sekarang sudah menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme) Pasal 25 Ayat (1) menyebutkan bahwa, ”Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini”. Selanjutnya Pasal 29 Ayat (1) menyebutkan bahwa, ”Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada bank dan lembaga jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme dan/atau tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme”. Selanjutnya Pasal 30 Ayat (1) menyebutkan bahwa, ”Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana terorisme, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari bank dan lembaga jasa keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme”.


(46)

2. Landasan Konsepsional

Dalam penelitian mengenai Website sebagai alat bukti di dalam tindak pidana terorisme di Indonesia penulis menggunakan beberapa istilah sebagai landasan konsepsional untuk menghindari kesimpangsiuran pengertian mengenai istilah yang dipakai dalam penulisan sebagai berkut:

1. Kode sumber adalah serangkaian pernyataan yang ditulis dalam bahasa program yang dipahami manusia.46

2. Wibe site sebuah kumpulan dari halaman web. Halaman web adalah sebuah

dokumen yang biasanya ditulis dalam Hyper Text Markup Language (HTML) yang dapat diakses melalui protokol Hyper Text Transfer Protocol (HTTP) yang merupakan protokol untuk menyampaikan informasi dari sebuah pusat website untuk ditampilkan dihadapan pengguna program pembaca website.

47

3. Terorisme adalah, penggunaan atau upaya kekerasan untuk mengintimidasi atau menyebabkan kepanikan, khususnya dengan membawa dampak politik.48

4. Tindak Pidana Terorisme adalah, segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.49

5. Bukti Digital adalah bukti yang di dapat dari kejahatan yang menggunakan komputer untuk mengarahkan suatu peristiwa pidana berupa data-data elektronik

46

Bryan A. Graner., Black’s Law Dictionary Eighth Edition, (diterjemahkan oleh Ahmad Zakaria UI 2007), (St. Paul: West Thomson, 2004). Hal. 15.

47

http://en.wikipedia.org/wiki/Website, “Retrieved from”, diakses terakhir tanggal 23 Desember 2009.

48

Bryan, Op. cit.

49


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Afiah, Ratna Nurul., Barang Bukti dalam Proses Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 1989.

Aloysius Wisnubroto., dan Gregorius Widiartana., Pembaharuan Hukum Acara Pidana, Semarang: Citra Aditya Bakti, 2005.

Anshoruddin., Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, Surabaya: Pustaka Pelajar, 2004.

Anwar, H.A.K. Moch., Beberapa Ketentuan Umum Dalam Buku Pertama KUHP, Bandung: Alumni, 1981.

Arto, A. Mukti., Praktek-Praktek Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Bafana, Faiz Abu Bakar., ”Ba’asyir Perintahkan Pembunuhan Megawati”, Dalam SKH Kompas, 27 Juni 2003.

Bemmelen, J.M. van., Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum, Diterjemahkan oleh Hasan, tanpa tempat: Bina Cipta, 1984.

Ben Golder., dan George Williams., “What is Terrorism? Problems of Legal Definition,” UNSW Law Journal Vol. 27, February 2003.

Burke, Jason., Al-Qaeda: The True Story of Radical Islam London: TB. Tauris & Co. Ltd.

Effendi, Bachtiar., dkk., Surat Gugatan dan Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.

Fuady, Munir., Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.

Graner, Bryan A., Black’s Law Dictionary Eighth Edition, (diterjemahkan oleh Ahmad Zakaria UI 2007), St. Paul: West Thomson, 2004.

Hamzah, Andi (I)., Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996. ______(II)., Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi Jakarta: Sinar Grafika,

2001.


(2)

______(IV)., Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.

Harahap, M. Yahya., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Jilid II. Jakarta: Pustaka Kartini, 1988.

Hardiman, F. Budi., dkk., Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi Jakarta: Imparsial, 2005.

Jones, Robert., Internet Forensics United State of America: O’Reilly Publishing, 2005.

Kanter, E.Y., dan S.R. Sianturi., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya”, Jakarta: Storia Grafika, 2002.

Lamintang, P.A.F., Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1990.

Loqman, Loebby., Percobaan Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Jakarta: Universitas Tarumanagara UPT Penerbit, 1995.

Makarim, Edmom., Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.

Mertokusumo, Sudikno., Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberti, 1988.

Makarao, Muhammad Taufik., dan Suhasril., Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004.

Moeljatno., Kitab Undang Undang Hukum Pidana, cet. 21, Jakarta: Bumi Aksara, 2001.

Pangaribuan, Luhut M.P., Hukum Acra Pidana: Surat-Surat Resmi di Pengadilan oleh Advocat, Jakarta: Djambatan, 2005.

Poernomo, Bambang., Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Indonesia, Jogjakarta: Liberty, tanpa tahun.

______Pola Dasar Teori dan Azas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1988.

Prakoso, Djoko., Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1988.

Prodjohamidjojo, Martiman., Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi

(UU No. 31 Tahun 1999), Jakarta: C.V. Mandar Maju, 2001.

Prodjodikoro, Wiryono., Hukum Acara Pidana, (Bandung: Sumur, 1980), hal. 13-14. 156


(3)

______Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, cet. 3, Bandung: PT. Rafika Aditama, 2003.

Prints, Darwan., Hukum Acara Pidana Dalam Praktik Jakarta: Penerbit Djambatan, 1998.

Rasyid, Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1991. Record, Jeffrey., “Bounding The Global War On Terrorism,” Journal, Strategic

Studies Institute, December 2003.

Remmelink, Jan., Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 2003.

Samudera, Teguh., Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Bandung: Alumni, 1992.

Sholehuddin, M., Tindak Pidana Perbankan, Jakarta: Raja Grafindo, Persada, 1997. Sianturi, S.R., Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta:

Alumni Ahaem Petehaem, 1989.

Soekanto, Soerjono., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta: Indonesia Hillco, 1990.

______dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001.

Soemitro, Ronny Hanitijo., Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.

Subekti, R., Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983.

Soepomo, R., Hukum Acara Pidana Pengadilan Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978.

Sunggono, Bambang., Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Suradji, Adjie., Terorisme,Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.

Sutedi, Adrian., Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008. Sriyanto, I., dan Desiree Zuraida, Modul Instrumen HAM Nasional: Hak Untuk

Hidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan Serta Hak Mengembangkan Diri, Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2001.

Wahid, Abdul., Sunardi., dan Muhamad Imam Sidik., Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Bandung: PT. Refika Aditama, 2004.


(4)

Wahid, Abdul., dan Muhammad Labib., Kejahatan Mayantara (Cybercrime), Bandung: PT. Rafika Aditama, 2005.

Waluyo, Bambang., Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1996. Washil, Nashr Farid., Nazhoriyah ad Da’wa wa al-Istbat fii al-Fiqhi al-Islamiyyi

ma’a al-Muqoronati bi al-Qoonunniyyi al- Wad’iyyi, Kairo: Daaru Asy Syuruq, 2002.

Wilkinson, Paul., Terrorism and the Liberal State London: The Macmillan Press Ltd., 1977.

Yudowidagdo, Hendrastanto., Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987.

Zahab, Balihan., Prosedur Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Cyber Crime, Bangka Belitung, Universitas Langlangbuana Bandung, 2009.

Zakariah, Ahmad., Kode Sumber Wibe Site Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007.

B. Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 8, LN. No. 76 Tahun 1981, TLN. 3209.

Undang-Undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT), LN. No. 45 Tahun 2003, TLN. No. 4284.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE).

Undang-Undang Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 15, LN. No. 30 Tahun 2002, TLN No., Pasal 35.

C. Makalah, dan Jurnal

Bastian, Angga., dkk., “Sistem Pembuktian dan Beban Pembuktian”, Makalah disampaikan pada Mata Kuliah Hukum Pembuktian, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2006.

Khan, Ali., “A Legal Theory of International Terrorism,” Journal Connecticut Law Review, 1982.

Nasution, Bismar., ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan


(5)

Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003.

Suprobowati, Gayatri Dyah., “Efektifitas Pelaksanaan UU Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Khususnya Mengenai Pengaturan Transfer Dana Melalui Media Elektronik Pada Bank”, Artikel, Yustisia, Edisi Nomor 69 September-Desember 2006.

T. Nasrullah, ”Sepintas Tinjauan Yuridis Baik Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”, Makalah Disampaikan Pada Semiloka tentang “Keamanan Negara”, diselenggarakan: Indonesia Police Watch bekerjasama dengan Polda Metropolitan Jakarta Raya, Selasa, 29 Maret 2007.

D. Internet

http://en.wikipedia.org/, “European Convention on Human Rights”, diakses terakhir tanggal 18 Desember 2009.

http://www.austlii.edu.au/au/legis/cth/consol_act/cca1995115/, diakses terakhir tanggal 10 Juni 2010.

http://www.hudzaifah.org/PNphpBB2-viewtopic-t-117.phtml, “Pelaku Bom Bali 1 Okt Adalah JI”, diakses terakhir tanggal 7 Desember 2009.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol5954/data-elektronik-sebagai-alat-bukti-masih-dipertanyakan, diakses terakhir tanggal 7 Juni 2010.

http://en.wikipedia.org/wiki/Website, “Retrieved from”, diakses terakhir tanggal 23 Desember 2009.

http://staff.blog.ui.ac.id/abdul.salam/2008/07/01/alat-bukti-elektronik-di-indonesia/,

tanggal 12 Oktober 2009.

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORT AL, diakses terakhir tanggal 12 Juni 2010. .

http://roysanjaya.blogspot.com/2008_09_15_archive.html”, oleh: Roy Sanjaya and Partners, diakases terakhir tanggal 18 Desember 2009. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0210/15/opini/tero30.htm, diakses 12 Juli

2010.

http://www.britannica.com/eb/article-9071797/terrorism, diakses 12 Juli 2010. http://myweb.wvnet.edu/~jelkins/crimlaw/basic/mpc.html, diakses terakhir tanggal 11


(6)

http://en.wikipedia.org/wiki/Definition_of_terrorism, diakses terakhir tanggal 12 Juli 2010.

http://bebas.vlsm.org/v17/com/ictwatch/paper/paper022.htm, diakses terakhir tanggal 12 Januari 2010, oleh: Rapin Mudiardjo., “Data Elektronik sebagai Alat Bukti Masih Dipertanyakan”, Penulis adalah Legal Director ICT Watch dan pengacara. Dapat juga dihubungi melalui e-mail [email protected].

http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=10302&coid=3&caid=31&gid=3, diakses terakhir tanggal 12 Juli 2010.

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/rekaman-perkara-korupsi-2, diakses terakhir tanggal 12 Juli 2010.

http://www.kpk.go.id, “Rekaman Perkara Korupsi”, Artikel Bebas, oleh: Romli Atmasasmita (Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad), diakses terakhir tanggal 18 Juni 2010.

http://www.okezone.com/Pembuat%20Situs%20Anshar%20Divonis%203%20Tahun, diakses terakhir tanggal 20 Juni 2007.

http://id.wikipedia.org/wiki/Elektronik, diakses terakhir tanggal 21 Januari 2010.

http://www.pcmedia.co.id/detail.asp?Id=165&Cid=23&Eid=6, diakses terakhir tanggal 21 Januari 2010.

http://www.korantempo.com/news/2004/10/27/nasional/18.html>, diakses 24 Juni 2010.

http://www.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2004/bulan/10/tgl/26/time/1605 28/idnews/230900/idkanal/10, diakses 24 Juni 2010.