Penanggulangan Kejahatan Trafficking Melalui Undang-Undang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

(1)

PENANGGULANGAN KEJAHATAN TRAFFICKING MELALUI

UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

TESIS

Oleh

HOTLARISDA GIRSANG

097005052/HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENANGGULANGAN KEJAHATAN TRAFFICKING MELALUI

UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program

Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatra Utara

Oleh

HOTLARISDA GIRSANG

097005052/HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

JUDUL TESIS : PENANGGULANGAN KEJAHATAN

TRAFFICKING MELALUI UNDANG-UNDANG

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NAMA MAHASISWA : HOTLARISDA GIRSANG

NIM : 097005052

PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

Menyetujui : Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) K e t u a

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Sunarmi, SH, M. Hum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 28 Juni 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

ANGGOTA : 1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

2. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M. Hum

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH


(5)

ABSTRAK

Pengaturan pencucian uang sebagai tindak pidana merupakan dasar bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penyitaan hasil tindak pidana. Selama ini sering terjadi penegak hukum tidak dapat menyita hasil tindak pidana karena kesulitan melacak keberadaan hasil tindak pidana itu atau bahkan hasil tindak pidana sudah dipindahtangankan ke pihak ketiga.

Pada umumnya kegiatan pencucian uang dapat dilakukan dengan melalui tahapan penempatan (placement), transfer (layering), dan menggunakan harta kekayaan (integration). Prinsip penelusuran dana hasil kejahatan guna mendapatkan pelaku tindak pidana asal diharapkan dapat menjadi senjata yang ampuh dalam memberantas kejahatan trafficking. Selama ini banyak kasus kejahatan trafficking yang tidak dapat dibuktikan dan pelakunya tidak dapat dijangkau oleh hukum, Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang tidak dapat dengan maksimal mengakomodir segala bentuk kejahatan trafficking. Berdasarkan pemikiran bahwa biasanya pelaku kejahatan pasti akan selalu berusaha untuk menyembunyikan, menyamarkan asal-usul harta kekayaannya melalui upaya pemanfaatan layanan penyedia jasa keuangan guna menghindari upaya pelacakan oleh aparat penegak hukum atau yang sekarang dikenal dengan pencucian uang

(money laundering). Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang merupakan undang-undang terbaru sebagai pengganti Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 dan kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, mengatur dalam pasalnya bahwa perdagangan orang merupakan salah satu predicate

crime dalam tindak pidana pencucian uang. Rumusan masalah dalam penelitian ini

yakni : Pertama, bagaimana bentuk kejahatan trafficking dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia. Kedua, bagaimana implementasi Undang-Undang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan trafficking. Ketiga, bagaimana hambatan-hambatan dalam implementasi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan trafficking.

Penelitian ini merupakan penelitian normatif, dimana datanya bersumber dari data pustaka (libray research).

Bentuk kejahatan trafficking dalam sistem perundang-undangan Indonesia

yaitu pekerja migran yang terbagi atas dua yaitu migran internal dan migran internasional, pekerja anak, perdagangan anak melalui adopsi (pengangkatan anak), pernikahan dan pengantin pesanan, implantasi organ tubuh. Implementasi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana dalam untuk menanggulangi kejahatan trafficking dapat dilakukan dengan penerapan prinsip–prinsip dalam sistem keuangan yaitu prinsip mengenali pengguna jasa (customer due diligence) dan identifikasi transaksi mencurigakan, kemudian juga dengan adanya ketentuan perluasan pihak pelapor. Hambatan-hambatan dalam


(6)

implementasi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan trafficking adalah undang-undang itu sendiri yang kurang tegas, lambannya informasi transaksi keuangan mencurigakan, kurangnya kerjasama antara lembaga penyedia jasa keuangan dengan aparat penegak hukum. Kemudian adanya kecendrungan profit

orinted bagi pihak penyedia jasa keuangan, juga dengan PJTKI/PPTKIS sehingga

terkadang tidak melaksanakan kepatuhan terhadap peraturan yang seharusnya dijalankan.


(7)

ABSTRACT

Setting money laundering as criminal act is the base for the law enforcement to expropriate the proceeds of crime during this common law can not confiscate the proceeds of crime because of the difficulty to track the presence of the crime or even the proceeds of crime has been transferred to third countries.

Money laundering activities can do through to the stages of placement, transfer, and using property (integration). The principles of tracing proceeds of crime in order to obtain the criminal origins are expected to become the powerfull weapon in combating the criminal of trafficking, many cases of trafficking crime which can not be prevent and the perpetrators can not be reached by the law, Law No. 21/2007 concerning the crime of trafficking not able to accomodate all forms of trafficking crimes. Based on the premise that offenders usually muts be trying to hide, disguise proceeds of crime utilization services of financial system providers in oder to avoid tracting efforts by law enforcement officers or known as money laundering. Law No. 8/2010 on the prevention and combating money laundering whic is the lates legislation in lieu of Law No. 15/2002 and then amended with Law No. 25/2003 on Money Laundering, set in the article that human trafficking is one of the predicate crime of money laundering. Formulating of the problem in this study are first, how the crime of trafficking in a system of laws and regulations of Indonesian. Second, how the implementations of the act prevention and combating money laundering as a means to tackle the crime of the trafficking. Third, how the obstacles to the implementation of the act prevention and combating money laundering as a means to combat crime of trafficking. This is normative research methods, which is sourched from library research.

Crime of trafficking in Indonesian legislation system of migrant workers, divided into two namely the internal migrants and international migrants, child labour, trafficking of children through adoptions, wedding and bride in orders, implantasi organs. Implementasi on act prevention and combating money laundering as a means for trackling crime in trafficking can be done by applying the principlesss in the financial system that recognized the principles of service user (cuctomer due diligence) and identification of suspicious transactions, and also with the provisions of the expansion of the complainant. Constraints in the implementations of the act prevention and combating money laundering as a means to combat crime of trafficking is the law itself, which is less strick, financial transactioninfoemation to steak, the lack of cooperation betwen institution of financial services providers with law enforcement. Then the trend oriented profit for financial services providers, also PJTKI/PPTKIS that sometimes did not carry out compliance with the regulation that should be run.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih karuniaNYA sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Adapun judul Tesis ini adalah ”Penanggulangan Kejahatan Trafficking

Melalui Undang-Undang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang”.

Dalam penyusunan Tesis ini, Penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan maupun semangat dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih. Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya secara khusus saya sampaikan kepada Komisi Pembimbing yaitu Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS., Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH., dan Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum., yang telah bekenan meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, dorongan semangat, serta koreksi untuk penyelesaian Tesis ini.

Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K) yang berkenan memberikan kesempatan bagi


(9)

penulis untuk mengikuti pendidikan di program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Pimpinan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan beasiswa (BPPS) kepada penulis selama menjalani Pendidikan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

3. Prof. Dr. Baltazar Kambuaya, MSc, selaku Rektor pada Universitas Cenderawasih Papua yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi.

4. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus selaku penguji atas kesediaannya memberikan arahan demi kesempurnaan Tesis ini.

6. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku penguji yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk memberikan arahan demi kesempurnaan Tesis ini. 7. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum

Universitas Sumatera Utara.

8. Seluruh Dosen di lingkungan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas pengajaran dan bimbingannya.


(10)

9. Kepada sahabatku Maria, Ika, Rahmadany, Halimah, Meyer, Erni, Andry Mahyar dan rekan-rekan yang lain di Program Studi Ilmu Hukum yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terimakasih atas kebersamaan yang indah selama ini. 10. Kepada seluruh pegawai sekretariat Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera

Utara dan Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu atas bantuannya selama ini.

Penulis juga menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda T. Girsang dan Ibunda K. Sinaga, juga kepada Bapak Mertua N. Karo

Karo dan Ibu Mertua N. Girsang atas semua dukungan, semangat dan doa selama

ini. Ucapan terima kasih juga kepada suamiku Ribel Jaya P. Karo Karo, ST dan putriku Desera Karo Karo yang senantiasa memberi semangat untuk menyelesaikan Tesis ini.

Penulis berharap bahwa Tesis ini dapat memberikan konstribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, karena itu penulis mengharapkan masukan yang sifatnya membangun guna menyempurnakan tulisan ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkah, karunia dan kekuatan lahir dan bathin kepada kita semua.

Medan, Juli 2011 Penulis


(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Hotlarisda Girsang

Tempat/Tanggal Lahir : Nagasaribu, 11 April 1977 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan

Jabatan/Pekerjaan : Dosen FH. Universitas Cenderawasih Papua

Alamat : Perumnas IV Jalan Potong, Hedam, Heram,

Jayapura

Pendidikan : SD Negeri II Gunung Bayu Tamat Tahun 1989 SMP Swasta PTPN IV Gunung Bayu Tamat Tahun

1992

SMK YPI Kartini P. Siantar Tamat tahun 1995 Fakultas Hukum Universitas Jambi (UNJA) Tamat

Tahun 1999

Strata Dua (S2) Peogram Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum


(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK... i

ABSTRACK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan... 10

C. Tujuan Penelitian... 11

D. Manfaat Penelitian... 11

E. Keaslian Penelitian... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsional... .. 13

1. Kerangka Teori... 13

2. Kerangka Konsepsional... 17

G. Metode Penelitian... 19

1. Jenis dan Sifat Penelitian... 19

2. Pendekatan Masalah... 19

3. Sumber Bahan Hukum... 20

4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum... 22


(13)

BAB II : BENTUK KEJAHATAN TRAFFICKING DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

A. Pengertian Trafficking ... 23 B. Bentuk-bentuk Trafficking... 33 C. Perbuatan Pidana Trafficking... 43

BAB III : IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN DAN

PEBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG SEBAGAI SARANA UNTUK MENANGGULANGI TINDAK PIDANA TRAFFICKING

A. Konsep Dasar Tindak Pidana Pencucian Uang... 50 B. Tujuan Undang-Undang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang... 54 C. Trafficking sebagai Predicate Crime

Tindak Pidana Pencucian Uang... 74 D. Pemberantasan Trafficking melalui Undang-undang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang... 78 1. Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa

(Customer Due Diligence) dan Analisis Transaksi

Mencurigakan Untuk Menanggulangi Trafficking.... 80 2. Penerapan Peluasan Pihak Pelapor... 92


(14)

BAB IV : HAMBATAN DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG SEBAGAI SARANA MENANGGULANGI KEJAHATAN TRAFFICKING

A. Hambatan dari Sisi Materi Hukum ... 94 B. Hambatan Dari Sisi Struktur hukum... 97 C. Hambatan Dari Sisi Budaya Hukum... 104

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan... 106 B. Saran... 108


(15)

ABSTRAK

Pengaturan pencucian uang sebagai tindak pidana merupakan dasar bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penyitaan hasil tindak pidana. Selama ini sering terjadi penegak hukum tidak dapat menyita hasil tindak pidana karena kesulitan melacak keberadaan hasil tindak pidana itu atau bahkan hasil tindak pidana sudah dipindahtangankan ke pihak ketiga.

Pada umumnya kegiatan pencucian uang dapat dilakukan dengan melalui tahapan penempatan (placement), transfer (layering), dan menggunakan harta kekayaan (integration). Prinsip penelusuran dana hasil kejahatan guna mendapatkan pelaku tindak pidana asal diharapkan dapat menjadi senjata yang ampuh dalam memberantas kejahatan trafficking. Selama ini banyak kasus kejahatan trafficking yang tidak dapat dibuktikan dan pelakunya tidak dapat dijangkau oleh hukum, Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang tidak dapat dengan maksimal mengakomodir segala bentuk kejahatan trafficking. Berdasarkan pemikiran bahwa biasanya pelaku kejahatan pasti akan selalu berusaha untuk menyembunyikan, menyamarkan asal-usul harta kekayaannya melalui upaya pemanfaatan layanan penyedia jasa keuangan guna menghindari upaya pelacakan oleh aparat penegak hukum atau yang sekarang dikenal dengan pencucian uang

(money laundering). Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang merupakan undang-undang terbaru sebagai pengganti Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 dan kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, mengatur dalam pasalnya bahwa perdagangan orang merupakan salah satu predicate

crime dalam tindak pidana pencucian uang. Rumusan masalah dalam penelitian ini

yakni : Pertama, bagaimana bentuk kejahatan trafficking dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia. Kedua, bagaimana implementasi Undang-Undang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan trafficking. Ketiga, bagaimana hambatan-hambatan dalam implementasi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan trafficking.

Penelitian ini merupakan penelitian normatif, dimana datanya bersumber dari data pustaka (libray research).

Bentuk kejahatan trafficking dalam sistem perundang-undangan Indonesia

yaitu pekerja migran yang terbagi atas dua yaitu migran internal dan migran internasional, pekerja anak, perdagangan anak melalui adopsi (pengangkatan anak), pernikahan dan pengantin pesanan, implantasi organ tubuh. Implementasi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana dalam untuk menanggulangi kejahatan trafficking dapat dilakukan dengan penerapan prinsip–prinsip dalam sistem keuangan yaitu prinsip mengenali pengguna jasa (customer due diligence) dan identifikasi transaksi mencurigakan, kemudian juga dengan adanya ketentuan perluasan pihak pelapor. Hambatan-hambatan dalam


(16)

implementasi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan trafficking adalah undang-undang itu sendiri yang kurang tegas, lambannya informasi transaksi keuangan mencurigakan, kurangnya kerjasama antara lembaga penyedia jasa keuangan dengan aparat penegak hukum. Kemudian adanya kecendrungan profit

orinted bagi pihak penyedia jasa keuangan, juga dengan PJTKI/PPTKIS sehingga

terkadang tidak melaksanakan kepatuhan terhadap peraturan yang seharusnya dijalankan.


(17)

ABSTRACT

Setting money laundering as criminal act is the base for the law enforcement to expropriate the proceeds of crime during this common law can not confiscate the proceeds of crime because of the difficulty to track the presence of the crime or even the proceeds of crime has been transferred to third countries.

Money laundering activities can do through to the stages of placement, transfer, and using property (integration). The principles of tracing proceeds of crime in order to obtain the criminal origins are expected to become the powerfull weapon in combating the criminal of trafficking, many cases of trafficking crime which can not be prevent and the perpetrators can not be reached by the law, Law No. 21/2007 concerning the crime of trafficking not able to accomodate all forms of trafficking crimes. Based on the premise that offenders usually muts be trying to hide, disguise proceeds of crime utilization services of financial system providers in oder to avoid tracting efforts by law enforcement officers or known as money laundering. Law No. 8/2010 on the prevention and combating money laundering whic is the lates legislation in lieu of Law No. 15/2002 and then amended with Law No. 25/2003 on Money Laundering, set in the article that human trafficking is one of the predicate crime of money laundering. Formulating of the problem in this study are first, how the crime of trafficking in a system of laws and regulations of Indonesian. Second, how the implementations of the act prevention and combating money laundering as a means to tackle the crime of the trafficking. Third, how the obstacles to the implementation of the act prevention and combating money laundering as a means to combat crime of trafficking. This is normative research methods, which is sourched from library research.

Crime of trafficking in Indonesian legislation system of migrant workers, divided into two namely the internal migrants and international migrants, child labour, trafficking of children through adoptions, wedding and bride in orders, implantasi organs. Implementasi on act prevention and combating money laundering as a means for trackling crime in trafficking can be done by applying the principlesss in the financial system that recognized the principles of service user (cuctomer due diligence) and identification of suspicious transactions, and also with the provisions of the expansion of the complainant. Constraints in the implementations of the act prevention and combating money laundering as a means to combat crime of trafficking is the law itself, which is less strick, financial transactioninfoemation to steak, the lack of cooperation betwen institution of financial services providers with law enforcement. Then the trend oriented profit for financial services providers, also PJTKI/PPTKIS that sometimes did not carry out compliance with the regulation that should be run.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan teknologi yang semakin pesat senantiasa mempengaruhi perkembangan di berbagai sektor seperti ekonomi, politik, dan sosial budaya. Perkembangan ini juga mempengaruhi perkembangan kriminalitas. Pada kenyataannya perkembangan kriminalitas tidak selalu dapat diimbangi oleh perkembangan perangkat hukum untuk mencegah dan memberantas kriminalitas tersebut, hal ini menimbulkan kesenjangan yang sangat nyata yang pasti mempengaruhi upaya memaksimalkan fungsi hukum.

Dikatakan bahwa hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia.1 Hukum menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum sebagai pengendali perilakunya, efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma.

Dalam pergaulan kehidupan masyarakat banyak ditemui konflik. Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa suatu masyarakat yang tanpa konflik merupakan masyarakat yang mati, atau hanya merupakan masyarakat berdasarkan angan-angan saja.2 Dalam hal terjadi konflik atau peristiwa konkrit berupa pelanggaran hukum, maka hukum itu harus kembali ditegakkan.

1

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, “Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”, (Yogyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 1

2

Soerjono Soekanto, “Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Di


(19)

Penegakan hukum3 dewasa ini dapat dikatakan belum memenuhi harapan, bukan hanya karena masalah profesionalisme aparat penegak hukum yang dipertanyakan tetapi juga masalah peraturan perundang-undangan serta masalah ketersediaan sarana dan prasarana pendukungnya. Proses penegakan hukum tidak akan pernah terlepas dari upaya kebijakan politik kriminal, karena kebijakan kriminal atau upaya penanggulangan kejahatan itu merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (sosial defence) dan upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat (social welfare).4

Salah satu bentuk konflik yang muncul dalam masyarakat dan telah mendapat perhatian dari pemerintah adalah tindak pidana pencucian uang. Indonesia mulai mengenal money laundering sejak dimasukkannya Indonesia untuk pertama kalinya dalam Non-Cooperatif Countries and Territories (NCCTs) oleh FATF (Financial

Action Task Force), dengan pertimbangan bahwa di Indonesia belum ada peraturan

perundang-undangan yang menyatakan pencucian uang sebagai tindak pidana,

loopholes dalam pengaturan lembaga keuangan terutama lembaga keuangan non-

3

Satjipto Rahardjo, “Membedah Hukum Progresif”, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hal. 122-124 ”Penegakan hukum perlu dibedakan antara peraturan (gezetz, wet,rule) dan kaidah (recht,

norm). Apabila kita membaca undang-undang, maka yang dibaca adalah peraturan, pasal-pasal.

Berhenti pada pembacaan undang-undang sebagai peraturan bisa menimbulkan kesalahan besar karena kaidah yang mendasari peraturan itu dilupakan. Kaidah adalah merupakan spirit atau roh yang kemudian diterjemahkan melalui kata-kata atau kalimat dalam peraturan. Membaca kaidah, bukan peraturan adalah pedoman yang baik dalam penegakan hukum. Membaca kaidah berarti menyelam ke dalam roh, azas, dan tujuan hukum”.

4

Barda Nawawi Arief, “Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP


(20)

bank, terbatasnya sumber daya yang dimiliki, serta minimnya kerjasama internasional dalam upaya memerangi kejahatan pencucian uang.5

Upaya untuk merekomendasi FATF dilakukan dengan menyusun Rancangan Undang Undang (RUU) Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang kemudian disahkan menjadi undang-undang pada tanggal 17 April 2002, kemudian dalam perkembangannya undang–undang ini diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Tanggal 22 Oktober undang-undang ini dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Usaha ini dilakukan dengan tujuan untuk memaksimalkan pemberantasan pencucian uang di Indonesia.

Pencucian uang diperangi dan dinyatakan sebagai tindak pidana karena pengaruhnya pada sistem keuangan dan ekonomi diyakini memiliki dampak negatif, baik bagi perekonomian nasional maupun perekonomian dunia. Hal ini terjadi karena tidak efektifnya penggunaan sumber daya dan dana, misalnya dengan dilakukannya “sterile investment” dalam bentuk property.6 Dana digunakan untuk kegiatan yang

tidak sah dan tidak bermanfaat, serta tidak memiliki sumbangan positif untuk pertumbuhan ekonomi.

5

Tb. Irman S., “Hukum Pembuktian Pencucian Uang Money Laundering”, (Jakarta: MQS Publishing & AYYCCS Group, 2006), hal. 2

6

Bismar Nasution, “Rejim Anti Money Laundering Di Indonesia”, (Bandung: BookTerrace & Library, 2008), hal. 1


(21)

Fluktuasi yang tajam pada nilai tukar dan suku bunga juga merupakan bagian dari akibat negatif dari pencucian uang.7 Hal ini sangat merugikan bagi pertumbuhan ekonomi dan kegiatan usaha di dalam negeri.

Pengaturan bahwa pencucian uang sebagai tindak pidana merupakan dasar bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penyitaan hasil tindak pidana. Selama ini sering terjadi penegak hukum tidak dapat menyita hasil tindak pidana karena kesulitan melacak keberadaan hasil tindak pidana itu atau bahkan hasil tindak pidana sudah dipindahtangankan ke pihak ketiga.

Dengan adanya penetapan pencucian uang sebagai tindak pidana maka pelarian uang hasil tindak pidana dapat dicegah. Hal ini berarti bahwa orientasi pemberantasan tindak pidana beralih dari “menindak pelakunya” ke arah menyita “hasil tindak pidana”. Di banyak negara dengan dinyatakannya pencucian uang sebagai tindak pidana merupakan dasar bagi penegak hukum untuk memidana pihak ketiga yang dianggap menghambat upaya penegakan hukum.8

Alasan lain mengapa pencucian uang perlu ditetapkan sebagai tindak pidana karena dengan adanya sistem pelaporan transaksi yang mencurigakan, maka ini dapat lebih memudahkan para penegak hukum untuk menyelidiki kasus pidana sampai kepada tokoh-tokoh yang ada dibelakangnya.9

7

Ibid., hal. 2

8

Yunus Husein, “Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia”, http://Yunushusein.files.wordpress.com/2007/07/12_pencegahan-pemberantasan-tppu-x.pdf, hal.5, diakses pada tanggal 23 Februari 2011

9


(22)

Hasil penelitian Komisi Hukum Nasional (KHN) tahun 2006 menyebutkan implikasi negatif dari tindak pidana pencucian uang adalah :10

1. membiarkan masyarakat menikmati uang haram berarti mengizinkan

organized crime membangun fondasi usaha yang ilegal dan membiarkan

mereka menikmati hasil aktivitasnya;

2. praktek ini bisa menciptakan kondisi persaingan usaha yang tidak jujur. Dengan perlakuan yang permisif terhadap money laundering, adalah suatu tindakan keliru yang turut berperan membangun etos persaingan usaha yang tidak jujur, yang pada gilirannya dapat menurunkan moral bisnis dan wibawa hukum secara drastis, serta menguatkan orientasi materialistik dan lain sebagainya;

3. praktek ini akan melemahkan kekuatan finansial masyarakat pada umumnya, karena semakin banyaknya uang yang berjalan diluar kendali sistem perekonomian.

Dengan demikian maka dapat dilihat bahwa tindak pidana pencucian uang dapat merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat dan berbangsa, karena dapat menciptakan gangguan bagi stabilitas perekonomian nasional, karena itu maka berbagai upaya dilakukan agar dapat memberantas tindak pidana ini.

Pada umumnya kegiatan pencucian uang dapat dilakukan dengan melalui tahapan yaitu penempatan (placement), transfer (layering), dan menggunakan harta kekayaan (integration).11

Penempatan (placement) merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik dari uang tunai, baik melalui penyelundupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain,

10

Naskah Akademik, “RUU tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang, (Jakarta: 2006), hal. 13 11


(23)

menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah.

Transfer (layering) diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ketempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan sumber dana “haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin rekening-rekening perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.

Menggunakan harta kekayaan (integration) yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan yang sah hasil kejahatan. Uang yang di ”cuci” melalui placement maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan yang merupakan penghasil uang yang dicuci. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali kedalam sirkulasi dana dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum.

Kejahatan pencucian uang ini memanfaatkan layanan penyedia jasa keuangan baik bank maupun non bank dalam aksi perbuatan pidananya.

Tingginya tingkat perkembangan tekhnologi dan arus globalisasi di sektor perbankan membuat industri ini menjadi lahan yang empuk bagi tindak kejahatan


(24)

pencucian uang, hal ini terjadi karena adanya jaminan kerahasiaan bank dan karena belum dikenalnya anti tipping off.12

Pengungkapan tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang lebih difokuskan pada penelusuran aliran dana/uang haram (follow the money) atau transaksi keuangan, dengan kata lain penelusuran aliran dana melalui transaksi keuangan, merupakan cara yang paling mudah untuk menemukan jenis kejahatan, pelaku kejahatan dan tempat dimana hasil kejahatan disembunyikan atau disamarkan.13

Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Penucian Uang mengatur 25 tindak pidana asal (predicate crime) tindak pidana pencucian uang, selain itu juga menyebutkan bahwa setiap tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun juga termasuk sebagai predicate crime dari tindak pidana pencucian uang.14

Salah satu predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang adalah trafficking (perdagangan orang). Dalam Protokol PBB, untuk mencegah,

memberantas, dan menghukum perdagangan manusia, khususnya perempuan dan

12

Anti tipping off adalah ketentuan bahwa direksi, komisaris, pengurus atau pegawai Pihak Pelapor dilarang memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu dalam Pasal 12 ayat (1), ayat ini dimaksudkan agar Pengguna Jasa tidak memindahkan Harta Kekayaannya sehingga mempersulit Penegak Hukum untuk melakukan pelacakan terhadap Pengguna Jasa dan Harta Kekayaan yang bersangkutan.

13

Naskah Akademik, Ibid., hal. 14

14

Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberntasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 2


(25)

anak Tahun 2000, Suplemen Konvensi PBB untuk melawan oganisasi kejahatan lintas batas dikatakan :

Perdagangan manusia adalah perekrutan, pengangkutan, pengiriman, menyembunyikan atau menerima seseorang, dengan ancaman atau kekerasan atau bentuk-bentuk lain pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi seksual, kerja paksa atau pelayanan atau perbudakan atau yang dalam prakteknya dikategorikan sebagai perbudakan, pemindahan organ tubuh. Persetujuan koban perdagangan manusia yang membenarkan eksploitasi menjadi tidak relevan dimana kejahatan perdagangan manusia telah terjadi.

Dari defenisi ini Ruth Rosenbergh membuat kesimpulan bahwa terdapat tiga unsur pokok sehingga suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai trafficking (perdagangan orang) yaitu :15

a. Proses

Perbuatan yang termasuk sebagai proses adalah perekrutan atau pengiriman atau pemindahan atau penampungan atau penerimaan

b. Jalan /Cara

Perbuatan yang memenuhi unsur jalan/cara adalah ancaman atau pemaksaan atau penculikan atau penipuan atau kecurangan atau kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan

c. Tujuan

Eksploitasi, eksploitasi disini dapat berupa eksploitasi seksual, kerja paksa atau pelayanan atau perbudakan atau yang dalam prakteknya dikategorikan sebagai perbudakan, pemindahan organ tubuh.

Isu perdagangan manusia atau trafficking dewasa ini semakin banyak mendapat perhatian dari banyak kalangan, baik media massa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bahkan telah menjadi sorotan dunia.

15

Farhana, “Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 22


(26)

Data International Organization of Migration (IOM) tahun 2005 sampai

dengan September 2010 ada 3.808 (tiga ribu delapan ratus delapan) Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban trafficking (perdagangan orang). Dari jumlah tersebut 90,30% adalah perempuan atau sekitar 3.090 ( tiga ribu sembilan puluh) orang korban yang dilarikan ke luar negeri dengan rincian 92,20% ke Malaysia, 2.14% ke Arab Saudi, 0.94% ke Singapura. Bahkan dari seluruh jumlah persentase tersebut ada sebanyak 67,24% korban trafficking tersebut yang kejahatannya dilakukan oleh Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) resmi.16

Disinyalir bahwa Asia Pasifik dan Timur Tengah menjadi tujuan utama buruh migran perempuan. Negara tujuan antara lain Malaysia, Singapura, Brunei, Hongkong, Taiwan, Jepang, Kuwait, Arab Saudi.17 Sedangkan Indonesia merupakan salah satu negara pengirim buruh migran terbesar.18

Menyadari tingginya tingkat tindak pidana trafficking (perdagangan orang) bahkan terus bertambah dari tahun ke tahun dengan tingkat perputaran uang yang besar, dapat dikatakan meskipun Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO) telah dibentuk tetapi pada pelaksanaanya belum berjalan dengan optimal, maka perlu pemikiran yang

16

Risma, “Catatan Solidaritas Perempuan”, http://dk-insu.info/home/index-php?option=com_content&view=articke&id=331%3Acatatan-solidaritas-perempuan, hal. 2, diakses pada tanggal 16 Februari 2011

17

Rini Maryam, “Perdagangan Perempuan dan Anak Suatu Permasalahan Dan

Penanganannya”, http://www.pemantauperadilan.com/opini/38.PERDAGANGAN (TRAFFICKING)

Perempuan Dan Anak, hal. 1, diakses 9 Februari 2011

18

Rokimdakas, “Koran Seputar Indonesia”, http://id.shvoong.com/society-and-news/news-items/1951218-koran-seputar-indonesia/, tanpa halaman, diakses tanggal 22 Februai 2011


(27)

lebih mendalam mengenai sarana dan prasarana yang dapat dipakai untuk menjerat pelaku tindak pidana trafficking (perdagangan orang).

Pendekatan paradigma pencucian uang yang menyatakan bahwa hasil dari kejahatan (proceeds of crime) merupakan “blood of the crime”, artinya hasil kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak kejahatan itu sendiri sekaligus titik lemah dari mata rantai kejahatan.19 Dengan demikian maka perlu dikaji kebijakan untuk memotong mata rantai kejahatan itu sendiri, dengan penegakan hukum posistif yang ada.

B. Permasalahan

Dari latar belakang, maka dirumuskan isu hukum sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk kejahatan trafficking dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia?

2. Bagaimana implementasi Undang-Undang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan

trafficking?

3. Bagaimana hambatan-hambatan dalam implementasi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan trafficking?

19


(28)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan isu hukum yang diangkat dalam tulisan ini, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bentuk kejahatan trafficking dalam sistem perundang-undangan Indonesia.

2. Untuk mengetahui implementasi Undang-Undang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan trafficking.

3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam implementasi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan trafficking.

D. Manfaat Penelitian

Secara garis besar manfaat penelitian tesis dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis, yaitu:

1. Secara Teoritis penelitian ini diharapkan akan menjadi masukan bagi penelitian lebih lanjut terhadap kejahatan trafficking sebagai predicate crime dan penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya tindak pidana pencucian uang sebagai organized crime.

2. Secara Praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi aparat penegak hukum yang terkait untuk menindak pelaku kejahatan trafficking dan tindak pidana pencucian uang, selain itu juga diharapkan agar penelitian ini dapat


(29)

memberi masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang.

E. Keaslian Penelitian

Permasalahan dalam penelitian ini mengenai tindak pidana pencucian uang dan trafficking adalah suatu topik yang relatif berkembang untuk dibahas oleh para peneliti. Guna menghindari terjadi pengulangan penelitian terhadap masalah yang sama, maka peneliti melakukan penelusuran kepustakaan (library research) terhadap beberapa hasil penelitian yang memiliki kemiripan khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan yang membahas tentang tindak pidana pencucian uang. Dari hasil penelusuran peneliti maka didapatkan beberapa penelitian yang memiliki kemiripan dengan topik yang dibahas dalam tulisan ini, yaitu:

1. Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Melalui Rezim Anti Money Laundering oleh Y. Ragil Heru Susetyo.

2. Penerapan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Terhadap Kejahatan Kehutanan (Illegal

Logging) oleh Masdani.

3. Tinjauan Yuridis Terhadap peran PPATK dalam Mencegah dan Memberantas Tindak Pidana pencucian Uang oleh Andry Mahyar.

Dari hasil penelusuran kepustakaan (libray research) juga ditemukan satu tesis dengan judul “Kejahatan Perdagangan Anak Sebagai Predicate Crime dalam


(30)

Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang” yang ditulis oleh Robinson Perangin-angin dengan permasalahan yang diangkat dalam tulisan itu adalah :

1. Bagaimanakah pengaturan praktek kejahatan perdagangan anak sebagai

predicate crime dalam TPPU?

2. Bagaimanakah penanggulangan kejahatan perdagangan anak?

3. Bagaimanakah bentuk pembaharuan hukum tentang perdagangan anak? Dari judul memang terdapat kesamaan dengan judul yang penulis angkat yaitu Penanggulangan Kejahatan Trafficking Melalui Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, tetapi permasalahan yang diangkat adalah berbeda, maka dengan demikian penelitian ini dapat dijamin keasliannya serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsional

1. Kerangka Teori

Teori merupakan suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lain atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berpikir tentang dunia itu bekerja.20

Penelitian ini akan dibahas dengan menggunakan kerangka pemikiran mengenai tindak pidana yang memberikan fokus perhatian pada perbuatan dan sifat melawan hukum dari tindak pidana pencucian uang.

20

Neuman dalam H.R. Otje Salman S., Arton F. Samson, “Teori Hukum Mengingat,


(31)

Pada dasarnya suatu tindak pidana menurut undang-undang terdiri dari tiga bagian yaitu :21

a. Terdiri dari pasal-pasal yang mempunyai rumusan yang kompleks

b. Terdapat rangkuman singkat dari rumusan dan pemberian nama pada rumusan, yaitu kualifikasi

c. Ketentuan itu berisi ancaman pidana atau hukuman

Perbuatan akan dikaji tentang adanya delik komisi dan delik omisi. Delik

komisi adalah merupakan rumusan yang menghendaki ditepatinya suatu norma yang

melarang suatu perbuatan tertentu, maka terciptalah ketentuan pidana yang mengancam perbuatan itu dengan pidana. Kemudian delik omisi adalah rumusan yang menghendaki ditepatinya suatu norma yang mengharuskan suatu perbuatan, maka terciptalah ketentuan pidana yang mengancam keadaan tidak berbuat dengan pidana. Dapat disimpulkan bahwa delik komisi melarang suatu perbuatan dilakukan sedangkan delik omisi adalah mengharuskan suatu perbuatan dilakukan.

Selanjutnya dalam peraturan pidana dikatakan perbuatan yang dapat dipidana adalah perbuatan yang mempunyai sifat melawan hukum yang berarti berkaitan dengan azas legalitas yaitu bahwa suatu tindakan dikatakan melawan hukum jika perbuatan itu telah terlebih dahulu ditentukan sebagai perbuatan yang dapat dipidana, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu : ”suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali didasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.

21


(32)

Makna yang terkandung didalam Pasal 1 ayat (1) KUHP ini, yaitu :22 1. Berlaku azas non-retroaktif

2. Perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan tindak pidana sejelas-jelasnya

3. Hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana berdasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan

4. Tidak berlaku penafsiran analogi

Mengenai pengertian bersifat melawan hukum ini, Simons23 menyatakan peristiwa pidana adalah merupakan perbuatan yang diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seseorang yang bersalah dan yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Langemeyer dalam Moeljatno24 mengatakan bahwa ”untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang tidak dapat dipandang keliru, itu tidak masuk akal”, yang menjadi soal adalah apakah ukuran dari keliru atau tidaknya suatu perbuatan.

Mengenai hal ini ada dua pendapat, yang pertama adalah apabila suatu perbuatan bertentangan dengan undang-undang, maka sifat melawan hukumnya telah jelas yaitu melanggar ketentuan undang-undang, pendirian ini disebut pendirian yang formal. Pandangan yang kedua yaitu belum tentu perbuatan itu bertentangan dengan undang-undang, tetapi perbuatan itu bertentangan dengan norma-norma atau kenyataan-kenyataan dalam masyarakat, maka dalam hal ini sifat melawan hukumnya

22

Alvi Syahrin, “Sifat Melawan Hukum (wederrechtelijk)”, http://alviprofdr.blogspot

.com/2010/11/melawan-hukum.html, diakses pada tanggal 17 Januari 2011 23

Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 2000), , hal. 255

24


(33)

terdapat pada perbuatan yang bertentangan menurut norma-norma atau kenyataan-kenyataan dalam masyarakat, pendirian ini disebut pendirian materil.25

Sifat melawan hukum itu tidak selalu dicantumkan sebagai salah satu unsur delik, walaupun ada beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkannya secara tegas. Mengenai hal ini maka penganut pendirian formal beranggapan jika dicantumkan sifat melawan hukum tersebut dalam norma, maka hal itu berarti menghendaki penelitian apakah tindakan itu bersifat melawan hukum atau tidak. Sedangkan bagi penganut pendirian materil bahwa sifat melawan hukum itu akan selalu ada dalam delik walaupun tidak dengan tegas dirumuskan dalam pasal.

Selanjutnya penelitian ini akan dianalisis dengan teori Lawrence M. Friedman, yang menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dari materi hukum

(substance of law), struktur hukum (structure of law) dan budaya hukum (legal culture).26

Materi hukum (substance of law) adalah peraturan-peraturan yang dipakai

oleh para pelaku hukum pada waktu melakukan perbuatan-perbuatan hukum serta melakukan hubungan-hubungan hukum. Struktur hukum (structure of law) adalah pola yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan formalnya di pengadilan, pembuatan hukum oleh para legislator, serta proses hukum itu dijalankan. Kemudian budaya hukum (legal culture) adalah unsur

25

Ibid.

26

Lawrence M. Friedman, “Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial”, Terjemahan oleh M. Khozim, (Bandung : Nusa Media, 2009), hal. 12-19


(34)

yang terpenting dalam sistem hukum yakni tuntutan dan permintaan. Tuntutan datangnya dari masyarakat atau para pemakai jasa hukum. Budaya hukum mengandung potensi untuk dipakai sebagai sumber informasi guna menjelaskan sistem hukum.

2. Kerangka Konsepsional

Untuk menghindar kesalahan persepsi dalam pembacaan dan pemahaman penulisan dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk memberikan beberapa kerangka konsepsional sebagai berikut :

Kejahatan adalah tindakan yang sengaja merugikan subjek hukum dan penyimpangan terhadap norma atau kaedah yang telah ditentukan oleh hukum positif. Trafficking (perdagangan orang) didefenisikan sebagai perekrutan,

pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan orang, dengan cara ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, tipu muslihat, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, pemberian atau menerima bayaran atau manfaat untuk mendapatkan persetujuan dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi seksual, kerja paksa atau pelayanan, perbudakan atau praktek serupa perbudakan, perhambaan atau pemindahan organ tubuh.

Predicate crime merupakan istilah yang dipakai untuk merujuk pada tindak

pidana asal baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, yang mana tindakan itu digunakan untuk memperoleh hasil tindak pidana berupa harta kekayaan.


(35)

Dalam penelitian ini yang dimaksud sebagai predicate crime adalah trafficking (perdagangan orang).27 Kegiatan trafficking (perdagangan orang), sebagai media penghasil harta kekayaan, atau trafficking sebagai kegiatan illegal yang menghasilkan harta kekayaan.

Tindak Pidana yaitu sesuatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan oleh undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan pidana.28

Pencucian uang adalah perbuatan untuk menyamarkan atau menyembunyikan identitas awal dari harta yang merupakan hasil dari proses illegal atau kejahatan, kemudian menjadikannya sebagai harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah. 29

Penanggulangan adalah merupakan upaya untuk menguasai, melebihi dalam hal, mengalahkan, membatasi, atau dapat dikatakan sebagai upaya untuk menekan tindak pidana dan ada upaya untuk mencegah terulangnya kembali perbuatan tindak pidana tersebut.

Hambatan yaitu yang menjadi penghalang atau yang menghalangi keefektifannya suatu peraturan, peraturan yang dimaksud disini adalah

27

Pasal 2 ayat (1) huruf a s/d y UU No. 8 Tahun 2010, diatur ada 25 (dua puluh lima) perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana asal ditambah lagi dengan ketentuan yang memperluas cakupan predicate crime yaitu tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.

28

R. Soesilo, “ Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum Dan Delik-delik Khusus”, (Bogor: Politea, 1984), hal. 6

29

John Madinger and Sydney A. Zalopany, “Money Laundering A Guide For Criminal


(36)

Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Implementasi adalah pelaksanaan atau penerapan, tindakan mempraktekkan suatu ketentuan terhadap suatu perbuatan, dalam tulisan ini merupakan pelaksanaan atau penerapan aturan undang-undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang terhadap kejahatan trafficking.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.30 Penelitian hukum normatif yaitu difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang berkaitan dengan Penanggulangan Kejahatan Trafficking melalui Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual

approach).

30

Johnny Ibrahim, “Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif”, (Jakarta: Banyumedia, 2007), hal. 295, bahwa penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.


(37)

Pendekatan perundang-undangan merupakan pendekatan utama dalam penelitian ini, karena yang menjadi pusat dalam penelitian ini adalah kejahatan

trafficking (perdagangan orang) dan pemakaian Undang-Undang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang guna menekan peningkatan kejahatan

trafficking tersebut. Dengan demikian penelitian ini menitikberatkan pada peraturan

perundang-undangan yang berkaitan kejahatan trafficking dan mengenai penerapan undang-undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan trafficking tersebut.

Pendekatan konseptual digunakan dalam rangka untuk lebih memahami tentang kejahatan trafficking dan tindak pidana pencucian uang.

3. Sumber Bahan Hukum

Bahan yang dipakai untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer,31 bahan hukum sekunder,32 dan bahan hukum tersier.33 Ketiga bahan hukum ini merupakan data sekunder.

Bahan hukum primer berupa perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang (money laundering) yaitu Undang-Undang Nomor 8

31

Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 142, bahan hukum primer yang berupa perundang-undangan, yang memiliki otoritas tertinggi adalah Undang-Undang Dasar karena semua peraturan dibawahnya baik isi maupun jiwanya tidak boleh bertentangan dengan UUD tersebut.

32

Ibid, bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku teks karena buku teks berisi prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi.

33

Ibid, hal. 143. Disamping sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum, peneliti hukum juga dapat menggunakan bahan-bahan non-hukum apabila dipandang perlu.


(38)

Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer

Principles), kemudian undang-undang yang berkaitan dengan tindak pidana trafficking (perdagangan orang) yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Konvensi International Labour Organization (ILO), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia.

Bahan hukum sekunder yang merupakan bahan yang akan memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu terdiri dari buku-buku teks, jurnal, laporan penelitian, artikel, majalah, surat kabar, dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang (money laundering) dan kejahatan

trafficking (perdagangan orang).

Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yaitu yang mencakup bahan hukum yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, serta bahan-bahan dari bidang ilmu lain diluar bidang hukum yang dianggap relevan dan berguna untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini.


(39)

4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan-bahan dalam penelitian ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan

(library research). Bahan-bahan dokumen diperoleh dengan cara menginventarisasi

semua peraturan perundang-undangan serta dokumen yang berhubungan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang sebagai sarana yang digunakan dalam menekan kejahatan trafficking (perdagangan orang).

5. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data

Bahan hukum yang telah diperoleh yaitu yang berkaitan dengan masalah kejahatan trafficking (perdagangan orang) dan tindak pidana pencucian uang (money

laundering), kemudian diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga dapat

disajikan dalam penulisan yang sistematis untuk dapat menjawab isu hukum yang telah dirumuskan.

Cara pengolahan yang sedemikian rupa disebut sebagai pengolahan data deskrtiptif analisis,34 yaitu yang menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkrit yang dihadapi sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan.

34

Soerjono Soekanto, “Metodologi Research”, (Yogyakarta: Andi Offset, 1998), hal. 3. Penelitian deskriptif analitis adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan. secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki.


(40)

BAB II

BENTUK KEJAHATAN TRAFFICKING DALAM

SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

A. Pengertian Trafficking

Kejahatan trafficking (perdagangan orang) atau yang dapat dikategorikan sebagai “perbudakan modren” adalah merupakan persoalan global sangat serius.35 Hal ini merupakan suatu permasalahan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Perlindungan terhadap Hak Azasi Manusia menekankan bahwa setiap orang dilahirkan memiliki kebebasan, dengan harkat dan martabat yang sederajat, serta berhak atas perlindungan tanpa diskriminasi.

Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab mengatur bahwa bangsa Indonesia mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, kemudian wajib mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban azasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.36

Undang-Undang Dasar 1945 dalam rumusan salah satu pasalnya disebutkan mengenai hak untuk tidak diperbudak.37 Untuk mewujudkan perlindungan hak tersebut,

35

Karen E. Bravo, “Human Trafficking: Global and National Responses To The Cries for Freedom,” Article, (Westlaw: University of St. Thomas Law Journal, 2009), hal. 2

36

Pancasila sila ke-2, butir kesatu dan kedua

37


(41)

maka Pemerintah Indonesia memandang perlu untuk melakukan pengaturan tersendiri mengenai tindak pidana trafficking (perdagangan orang).

Secara universal juga telah diakui bahwa setiap manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Setiap orang berhak atas kehidupan, pekerjaan, kemerdekaan, dan keamanan pribadi.38 Namun terkadang dalam upaya memperoleh hak-hak tersebut diperhadapkan pada beragam tantangan dan perlakuan yang melanggar Hak Asasi Manusia yang disertai dengan kekerasan fisik maupun kekerasan seksual.

Trafficking (perdagangan orang) bukan merupakan bentuk kejahatan yang

baru dikenal. Dalam sejarah bangsa Indonesia, perdagangan orang pernah terjadi yaitu melalui perbudakan atau perhambaan. Pada masa kerajaan, perdagangan perempuan merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal.39 Perdagangan orang lebih terorganisir dan berkembang pesat pada masa penjajahan Belanda, hal ini terlihat dari adanya perbudakan tradisional dan perseliran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Eropa. Perdagangan orang ini dapat berbentuk

38

Founding Father negara Indonesia mengatur tentang Hak Azasi Manusia (HAM) ini dalam pasal-pasal Batang Tubuh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, ini yang menjadi dasar bagi pelaksanaan perlindungan Hak Azasi Manusia (HAM) di Indonesia.

39

Farhana, Op.Cit., hal. 1, pada masa itu konsep kekuasaan raja digambarkan sebagai kekuasaan yang bersifat agung dan mulia, kekuasaan raja tidak terbatas, sehingga raja bebas memiliki selir yang banyak. Selir-selir ini sebahagian merupakan putri-putri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan, selain itu ada juga sebagai persembahan dari kerajaan lain, dan ada juga yang berasal dari lingkungan masyarakat bawah yang dijual atau diserahkan oleh keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana.


(42)

kerja rodi, penjualan anak perempuan untuk mendapatkan imbalan materi dan kawin kontrak,40 demikian juga halnya dengan masa penjajahan Jepang.41

Pada awal perkembangan perdagangan orang belum merupakan tindak pidana, sehingga tidak ada hukuman yang diberikan pada para pelaku perdagangan orang tersebut. Kemudian, pada masa kemerdekaan perdagangan orang dinyatakan sebagai tindakan yang melawan hukum. Hal ini dengan pemikiran bahwa perdagangan orang tersebut telah meluas baik dalam bentuk jaringan kejahatan yan terorganisir, antar negara maupun internal negara, maka timbul keinginan pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang dengan melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerjasama.42

Pemerintah Indonesia mengkriminalisasi perdagangan orang dengan Pasal 297 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang secara eksplisit mengatur tentang perdagangan orang. Pasal itu mengatur bahwa memperniagakan perempuan dan memperniagakan laki-laki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun. Pasal-pasal yang sering dipakai sebagai dasar hukum untuk menjerat pelaku trafficking (perdagangan orang) adalah Pasal 285, Pasal 287-298, Pasal 324, dan Pasal 506 KUHP. Pengaturan dalam KUHP masih membutuhkan penyempurnaan agar dapat menjerat setiap kegiatan atau modus baru perdagangan orang.

40

Ibid., hal. 2

41

Ibid., hal. 3, pada masa ini Jepang bukan hanya memaksa perempuan pribumi menjadi pelacur, tetapi Jepang juga membawa perempuan dari Singapura, Malaysia, dan Hongkong ke Jawa untuk melayani Perwira Tinggi Jepang.

42

Konsideran Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.


(43)

Kebijakan pemerintah dilakukan dengan mengeluarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, yang salah satu tujuan kuncinya adalah untuk mendorong dan/atau menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perdagangan orang, khususnya perdagangan perempuan dan anak.

Dalam Deklarasi Universal tentang Hak Azasi Manusia (DUHAM)43 dinyatakan bahwa pengakuan martabat dan hak yang sama dan mutlak umat manusia adalah dasar dari kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian dunia, dan bahwa aspirasi tertinggi rakyat adalah penikmatan kebebasan mengeluarkan pendapat, kepercayaan, dan bebas dari rasa takut dan kekurangan.44

Lebih lanjut diatur juga bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat pekerjaan yang adil dan menguntungkan.45 Kenyataannya dalam pelaksanaannya upaya masyarakat untuk keinginan memperoleh pekerjaan untuk kehidupan yang layak menyebabkan banyak yang terperangkap dalam sebuah perdagangan orang. Perdagangan orang terjadi dengan tidak memandang jenis kelamin dan usia, baik laki-laki atau perempuan, dewasa atau bahkan anak-anak.46

43

Deklarasi Universal tentang Hak Azasi Manusia (DUHAM) diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948, yang merupakan standar umum mengenai pemajuan dan mendorong penghormatan terhadap hak dan kebebasan manusia sebagai landasan dari keadilan, kebebasan dan kedamaian.

44

Achie Sudiarti Luhulima, “ Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan”, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2007), hal. 38-39

45

Ibid., hal 78

46

Administrator, ”Trafficking di Indonesia“, http://www.humantrafficking.org/countries/ Indonesia, diakses tanggal 2 Mei 2011


(44)

Daerah-daerah di Indonesia yang dulunya hanya sebagai daerah penerima sekarang berubah menjadi daerah transit, bahkan sebagai daerah pengirim dan sebaliknya. Perdagangan orang terjadi tidak hanya lintas daerah dalam wilayah Indonesia namun telah meluas menjadi lintas negara atau antar negara.47

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (UU HAM) dalam Pasal 65 diatur secara eksplisit mengenai kriminalisasi perdagangan orang tersebut yaitu dengan menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan ekploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa perbudakan merupakan salah satu kejahatan kemanusiaan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik. Penjelasan pasal ini menyebutkan dengan tegas bahwa perbudakan adalah termasuk tindakan perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak-anak.

Perkembangan selanjutnya yaitu lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), undang-undang ini semakin memperjelas pemahaman tentang tindak pidana ini.

47


(45)

Pasal 1 ayat (1) UU PTPPO berbunyi :

Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalagunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tersebut tereksploitasi.

Penjelasan umum dari undang-undang ini menyebutkan bahwa perdagangan orang adalah bentuk modren dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia.

Kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi ini dimanfaatkan oleh orang atau sekelompok orang untuk melakukan atau mengembangkan kejahatannya. Salah satu bentuk kejahataan yang berkembang itu adalah perbudakan atau perhambaan dalam bentuk yang baru yaitu perdagangan orang (trafficking), yang beroperasi secara tertutup dan terorganisasi dan disertai dengan semakin canggihnya peralatan dan modus operandinya.48

Monsignor Franklyn M, menyatakan bahwa :49

Human trafficking is not a new phenomenon. Since a decade or so, however, this appalling practice has reached epidemic proportions. Listed as one of the three most profitable organized crimes alongside the trafficking of weapons and drugs and intrinsically related to them, human trafficking is part of the dark side of reality virtually everywhere. The U.S. State Department's 2007 report on human trafficking estimates that 800,000 people

48

Karen E. Bravo, Op.Cit., hal. 2

49

Monsignor Franklyn M., “International Trafficking in Persons : Suggested Responses to a scourge of Humankind“, (Westlaw : Intercultural Human Rights Law Review, 2008), hal. 1


(46)

are being trafficked across borders each year, with 80% of the victims being women and children, and up to 50% minors.

Protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum pelaku perdagangan orang khusus perempuan dan anak, Suplemen Konvensi PBB untuk Melawan Organisasi Kejahatan Transnasional, Protokol ini memberi pengertian perdagangan orang adalah :

a. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalagunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk, paling tidak, eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh.

b. Persetujuan korban perdagangan orang terhadap eksploitasi yang dimaksud yang dikemukakan dalam sub alinea (a) ini tidak relevan jika salah satu dari cara-cara yang dimuat dalam subalinea (a) digunakan.

c. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seorang anak untuk tujuan eksploitasi dipandang sebagai perdagangan orang bahkan jika kegiatan ini tidak melibatkan satu pun cara yang dikemukakan dalam subalinea (a) pasal ini.

d. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 tahun.50

Dalam suplemen ini juga disebutkan maksud dibuatnya protokol ini yaitu : untuk mencegah dan melawan perdagangan terhadap orang, memberi perlindungan kepada perempuan dan anak-anak, untuk melindungi dan mendampingi korban perdagangan orang dengan penuh kepedulian terhadap hak-hak azasi mereka.51

50

Farhana, Op.Cit., hal. 21

51


(47)

Kathleen K. Hogan dalam komentarnya mengatakan “Human trafficking is a

very profitable form of organized crime. It is the most profitable form of illegal trade worldwide, second to the trafficking of arms and drugs. Criminal groups make more than nine billion dollars in annual revenue globally from the trafficking of human beings.52

Dengan demikian dapat dilihat bahwa Trafficking (perdagangan orang) merupakan tindak pidana yang bisa dilakukan oleh perorangan dan sindikasi

(organised crime) yang sangat menguntungkan karena perputaran uang yang sangat

besar. Sebagai bukti bahwa kejahatan perdagangan orang adalah merupakan kejahatan yang sangat menguntungkan, hal itu bisa dilihat dari perkembangan tindak kejahatan ini dari tahun ke tahun.

Data International Organization of Migration (IOM) Indonesia, disebutkan Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara pengirim terbesar dengan total persentase sebesar 99,71% (sembilan puluh sembilan koma tujuh puluh satu persen), diikuti oleh negara Uzbekistan sebesar 0.24% (nol koma dua puluh empat persen) dan Kamboja dan Ukraina masing-masing dengan persentase 0.03% (nol koma nol tiga persen).53

52

Kathleen K. Hogan, “Comment Slavery In The 21st Century and In New York : What Has The State Legislature Done?”, (West law : Albany Law School, 2008), hal. 2

53

International Organization Migration (IOM) Indonesia, http://www.iom. or.id/ loadpdf.jsp?lang=eng=upd2fike=custatistics2010June2010(28072010).pdf, diakses tanggal 27 April 2011


(48)

Data perdagangan orang dengan kategori provinsi pengirim atau daerah asal di Indonesia, lima kota yang menduduki peringkat teratas adalah Jawa Barat, Kalimantan Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara.54

Dari semua data kejahatan trafficking (perdagangan orang) yang terjadi sebagian besar kejahatan itu dilakukan ke luar negeri dengan negara tujuan Malaysia, Saudi Arabia dan Singapura,55 ketiga negara ini menduduki 3 (tiga) peringkat teratas.

Dari penelitian yang dilakukan International Organization Migration (IOM) Indonesian, dapat dilihat bahwa kejahatan trafficking (perdagangan orang) yang dilakukan oleh agen sejumlah 2059 (dua ribu lima puluh sembilan) kasus atau sebanyak 54.40 %, agen penyalur resmi sebanyak 736 (tujuh ratus tiga puluh enam) kasus atau sebanyak 19.54 %, anggota keluarga sebanyak 260 (dua ratus enam puluh) kasus atau sebanyak 6.87 %, teman 236 (dua ratus tiga puluh enam) kasus atau sebanyak 6.24 %, tetangga sebanyak 232 (dua ratus tiga puluh dua) kasus atau sebanyak 6.13 %, kontak pribadi ada 112 (seratus dua belas) kasus atau sebanyak 2.96 %, sedangkan yang tanpa data sebanyak 150 (seratus lima puluh) kasus atau sekitar 3.96 %.56

Meskipun kejahatan trafficking (perdagangan orang) telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, tetapi aparat penegak hukum masih belum bisa memaksimalkan perannya dalam memberantas trafficking, hal ini dapat terjadi karena ringannya hukuman yang diberikan kepada para pelaku trafficking di

54

Ibid., hal. 2

55

Ibid., hal. 4

56


(49)

Indonesia.57 Akibatnya kasus trafficking bukannya dapat diatasi tetapi sebaliknya makin meningkat.

Peningkatan ini juga terjadi karena beberapa faktor seperti adanya kelemahan pada perangkat hukum (peraturan perundang-undangan) dan juga adanya faktor-faktor di luar peraturan perundang-undangan. Kelemahan pada perangkat hukum disebabkan adanya peraturan yang sulit untuk diterapkan pada kasus-kasus trafficking yang ditangani oleh aparat penegak hukum.58

Faktor-faktor di luar peraturan perundang-undangan misalnya adanya pandangan masyarakat tentang perempuan yang menganggap bahwa bila ada kejahatan yang terjadi pada dirinya, maka hal itu merupakan kesalahannya sendiri. Selain itu ada juga pandangan masyarakat yang enggan terlibat dengan masalah orang lain terutama yang berhubungan dengan polisi karena akan merugikan diri sendiri, alasan lainnya ada kecendrungan paradigma pemerintah yang memandang tenaga kerja sebagai komoditi penghasil devisa negara, kemudian adanya faktor-faktor sosial yang berkembang di masyarakat, misalnya masih adanya diskriminasi terhadap perempuan. Ada juga kelemahan yang datang dari aparat penegak hukum yang disebabkan ketidaktahuan mereka tentang masalah trafficking (perdagangan orang). 59

57

Banyak kasus trafficking diputus hakim Pengadilan Negeri dengan pidana jauh lebih rendah dari batas minimal yang ditetapkan oleh undang-undang.

58

Farhana, Op.Cit., hal. 137

59


(50)

Bachtiar H. Tambunan mengatakan bahwa kesulitan untuk memberantas

trafficking karena beberapa kendala yaitu : 60

1. luas wilayah Indonesia yang tidak sebanding dengan petugas pengawas di perbatasan.

2. kemampuan penyidik polisi yang masih rendah, sedangkan tempat kejadian perkara terkadang melintasi dua negara, hal ini menimbulkan masalah dalam pelaksanaan penyidikan.

3. belum adanya atau jarangnya kerjasama antar negara untuk menindaklanjuti kasus trafficking dan sulitnya melakukan penyidikan apabila tempat kejadian perkara di luar negeri dan tersangkanya adalah warga negara asing. 0

5 - June

Menghadapi kondisi ini, maka diperlukan kebijakan yang lebih dapat mengatur secara komprehensif mengenai pencegahan, penanganan, penanggulangan, dan penegakan hukum atas tindak pidana perdagangan orang.

B. Bentuk-bentuk Trafficking

Bentuk-bentuk perdagangan orang dapat berupa pekerja migran, pekerja anak, perdagangan anak melalui adopsi (pengangkatan anak), pernikahan dan pengantin pesanan, dan implantasi organ tubuh.61

1. Pekerja Migran

Pekerja migran adalah orang yang berimigrasi dari wilayah kelahirannya ke tempat lain dan kemudian bekerja di tempat yang baru tersebut dalam jangka waktu relatif menetap. Pekerja migran terbagi dua yaitu :

60

Administrator, ”Kasus Trafficking terus meningkat”, http://matanews.com/2009/06/28-kasus-trafficking -terus- meningkat, diakses tanggal 23 April 2011

61


(51)

a. Pekerja Migran Internal

Pemerintah mengatur kebijakan tentang penempatan tenaga kerja dalam negeri untuk menjamin perlindungan bagi tenaga kerja yang ditempatkan melalui penetapan prosedur dan mekanisme penempatan tenaga kerja serta pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan tersebut, sehingga tidak terjadi perdagangan orang.

Dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPPO disebutkan :

Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalagunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut diwilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) rahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).

Dari rumusan pasal ini dapat dilihat bahwa tindak pidana perdagangan orang tersebut adalah :

1) adanya perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan,atau penerimaan seseorang.

2) adanya ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahguanaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat.

3) walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain.


(52)

5) di wilayah Negara Republik Indonesia.

Kemudian dalam Pasal 3 UU PTPPO, memberi rumusan tindak pidana

trafficking (perdagangan orang) sebagai berikut:

a. memasukkan orang

b. ke wilayah Negara Republik Indonesia c. dengan maksud untuk dieksploitasi d. di wilayah negara Republik Indonesia e. atau dieksploitasi di negara lain

Pasal ini dapat digunakan apabila pelaku perdagangan orang menjadikan negara Republik Indonesia sebagai tempat tujuan perdagangan orang tempat dilakukannya eksploitasi, atau apabila pelaku menjadikan negara Republik Indonesia sebagai tempat transit atau persinggahan sebelum pelaku membawa korban perdagangan orang ke negara lain sebagai tempat tujuan.

b. Pekerja Migran Internasional Pasal 4 UU PTPPO disebutkan :

Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara pengirim tenaga migran terbesar. Kebijakan penempatan Tanaga Kerja Indonesia (TKI) dan Tenaga Kerja Wanita (TKW) pada prinsipnya adalah penempatan jasa manusia bukan komoditas barang,


(53)

tetapi dalam pelaksanaannya masih banyak kelemahan dan tantangan di dalam proses tersebut, sehingga penyimpangan-penyimpangan dari visi dan misi kebijakan penempatan TKI/TKW tersebut menimbulkan banyak peluang yang memungkinkan terjadinya trafficking (perdagangan manusia. Kaitannya dengan pengadaan jasa TKI/TKW yaitu bahwa banyak kasus trafficking terjadi akibat dari kesalahan yang dimulai dari proses perekrutan bahkan sampai pada proses penempatan tenaga kerja di luar negeri. Trafficking terjadi akibat kesalahan PJTKI dan PPTKIS.62

Banyak ditemui kasus TKI/TKW mengalami penyiksaan di luar negeri, hal ini bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 10 dari Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, dimana pasal ini diatur bahwa tidak seorangpun buruh migran dan anggota keluarganya dapat dijadikan sasaran penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat.

2. Pekerja Anak

Pada tahun 1990 pemerintah Indonesia telah meratifikasi hak-hak anak. Hal ini sebagai bentuk perhatian bagi masalah buruh anak. Batas minimum anak yang diperbolehkan bekerja diundangkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 1999 tentang pengesahan Konvensi ILO.

62

Hal ini berhubungan dengan reputasi dari PJTKI dan PPTKIS sebagai perusahaan yang berwenang untuk melakukan yang melakukan perekrutan dan penempatan tenaga kerja di luar negeri. Dari hasil audit yang dilakukan oleh Kementrian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi terhadap 560 (lima ratus enam puluh) PJTKI, maka ada sejumlah 165 ( seratus enam puluh lima) yang memiliki reputasi jelek, 150 (seratus lima puluh) reputasi sedang dan sisanya sebanyak 245 (dua ratus empat puluh lima) dengan predikat baik.


(1)

B. Saran

1. Dengan banyaknya PJTKI/PPTKIS yang terlibat sebagai pelaku trafficking maka diharapkan pemerintah menertibkan dan memperketat pemberian izin untuk mendirikan perusahaan jasa dalam bentuk PJTKI/PPTKIS, demikian juga untuk bisa mempermudah pengawasan maka dibuat ketentuan tentang laporan keuangan secara berkala kepada pihak pemerintah, dapat dilakukan dengan kerjasama antara pemerintah dengan penyedia jasa keuangan dalam hal ini bank, artinya setiap aliran dana ke pihak PJTKI/PPTKIS wajib melalui bank. Dengan demikian pemerintah dapat mengawasi dan menilai kesehatan financial dari PJTKI/PPTKIS, sehingga akan memperkecil kemungkinan adanya trafficking (perdagangan orang).

2. Pentingnya dibentuk suatu koordinasi yang pro dan aktif dimana antara penyedia jasa keuangan, penyedia barang dan jasa, PPATK dan aparat penegak hukum lainnya dapat berada pada koordinasi yang setara, dan dapat dibentuk kerjasama yang baik dalam tujuan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang pada akhirnya nanti dapat menekan terjadinya tindak pidana asal.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Akademik, Naskah RUU tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta, 2006

Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta: Kencana, 2008

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010 Emmy Yuhassarie, Prosiding Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta: Pusat

Pengkajian Hukum, 2005

Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2010

Farid, Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007

Friedman M. Lawrence, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, terjemahan oleh M. Khozim, Bandung: Nusa Media, 2009

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Banyumedia, 2007

Irman S. Tb., Hukum Pembuktian Pencucian Uang Money Laundering, Bandung: MQS Publishing & AYYCCS Group, 2006

Kanter E.Y., dan S.R. Sianturi, Azas-azas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, 2002

Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Bandung: Alumni, 2002

Madinger, John and Sydney A. Zalopany, Money Laundering A Guide For Criminal Inverstigators, United States: CRC Press LLC, 1999


(3)

Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008

Mozasa, Chairul Bariah, Aturan-aturan Hukum Trafficking (Perdagangan Perempuan Dan Anak), Medan:USU Press, 2005

Nasution, Bismar, Rejim Anti Money Laundering Di Indonesia, Bandung: BookTerrace & Library, 2008

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Hukum, Edisi Lengkap, Semarang: Aneka Ilmu, 1977

Rahardjo, Satjipto, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006

Rasjidi, Lili dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Dan Teori Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001

Salman, H.R. Otje dan Arton F. Samson, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Bandung: Refika Aditama, 2005

Sapardjaja, Komariah Emong, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Alumni, 2002

Sjahdeini, Sutan Remy, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorism, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2004

Soekanto, Soerjono, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Di Indonesia, Jakarta: UI-Press, 1983

..., Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1998

...,Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007

Sutedi, Adrian, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008

Syamsudin M., Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007


(4)

Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 2000

B. Makalah

Anonim, Optimalisasi Peran Kepolisian Dalam Meningkatkan Efektivitas Kerjasama Penanganan Tindak pidana Penucian Uang, Mabes POLRI, Kabareslim, Makalah, disampaikan pada seminar Sosialisasi Pencegahan dan Pemberantasan Tindak pidana Pencucian Uang, Medan, 14 April 2011 Atmasasmita, Romli, Dilema UU Tindak Pidana Pencucian Uang,

http://suar.okezone.com/read/2010/11/11/58/392175/dilema-uu-tindak-pencucian -uang, diakses tanggal 3 Mei 2011

Bravo, Karen E., Human Trafficking: Global and National Responses To the Cries for Freedom, Article, Westlaw: University of St. Thomas Law Journal, 2009

Garnasih, Yenti, Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai fenomena baru Di Indonesia Dan Permasalahannya, Makalah Pada Seminar Nasional Sosialisasi (Pemahaman Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang), Di selenggarakan oleh Departemen Kehakiman RI, Medan, 9 September 2004

Hogan, Kathleen K., Comment Slavery In The 21st Century and In New York : What Has The State Legislature Done?, West law : Albany Law School, 2008

Husein, Yunus, Dirty Money, http://Yunushusein.wordpress.com/2009/02/26/dity-money/ diakses tanggal 16 Februari 2011

……….,Kebijaksanaan Bank Indonesia Tentang Pencucian Uang (Money Laundering), http://yunushusein.files-wosdprress.com/2007/07/27_ kebijakan-bank-indonesia_yh_x.pdf. diakses pada tanggal 9 Apil 2011 ...,Kegiatan Pemutihan Uang,

http://yunushusein.files-wordpress.com/2007/07/11_upaya-p.u. _x.pdf diakses tanggal 16 Februari 2011


(5)

pemberantasan-tppu-di-indonesia_x.pdf diakses tanggal 16 Februari 2011

……….,The Money vs Follow The Suspect, Harian Seputar Indonesia (Sindo) http://wordpress.com/ diakses tanggal 25 Maret 2011

………, Urgensi Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, disampaikan pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panitia Khusus (Pansus) RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dengan Kepala PPATK tanggal 6 Mei 2010 di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Maryam, Rini, Perdagangan Perempuan dan Anak Suatu Permasalahan Dan

Penanganannya, http://www.pemantauperadilan.com/opini/38. PERDAGANGAN (TRAFFICKING) Perempuan Dan Anak, hal. 1, diakses 9 Februari 2011

McDowell, John & Gary Novis, Effect Negative Money Laundering, http:// www. Apglm.org/issus/docs/30/negativeEffect_economic Perspektives May 2001.pdf, diakses 3 Mei 2011

Rokimdakas, Koran Seputar Indonesia, http://id.shvoong.com/society-and-news/news-items/1951218-koran-seputar-indonesia/, tanpa halaman, diakses tanggal 22 Februai 2011

Rajagukguk, Erman, Rezim Anti Pencucian Uang dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Makalah, disampaikan pada lokakarya ”Anti Money Laundering” Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan 15 September 2005

Steel, Billy, Conclusion, http://www.launderyman.unet.com/page14conclusions.html, diakses tanggal 5 Mei 2011

Syahrin, Alvi, Sifat Melawan Hukum (wederrechtelijk),

http://alviprofdr.blogspot.com/2010/11/melawan-hukum.html, diakses

pada tanggal 17 Januari 2011

Wirawan, Ketut, Perbuatan Pidana, http://ketutirawan.com/perbuatan-pidana/ akses Tanggal 25 April 2011


(6)

3. Undang-undang

Konvensi International Labour Organization (ILO)

Keputusan Kepala PPATK No. 2/1/LEP.PPATK/2003 tentang Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberanasan TPPU Bagi Penyedia Jasa Keuangan Peraturan Bank Indonesia No. 5/21/PBI/2003 tentang Perubahan Kedua Atas

Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles)

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 Tntang Bank Indonesia

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime


Dokumen yang terkait

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Perpajakan Melalui Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

1 69 151

Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

3 71 102

Kejahatan Perdagangan Anak Sebagai Predicate Crime Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

3 39 136

.UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL KEJAHATAN NARKOTIKA MELALUI UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG.

0 2 14

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG uu0082010

0 0 65

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA

0 0 20

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

0 0 15

BAB II UPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG A. Sejarah Terjadinya Pencucian Uang - Identifikasi Transaksi Keuangan Mencur

0 0 44

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN MELALUI PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

0 0 14

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang JURNAL ILMIAH

0 0 35