POTRET KOMUNITAS GRUNGE (Studi Pada Komunitas Kaum Kucel di Bandar Lampung)

(1)

POTRET KOMUNITAS GRUNGE

(Studi Pada Komunitas Kaum Kucel di Bandar Lampung) Oleh

Rizky Okto Danela

Mahasiswa Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung

ABSTRAK

Grunge (seringkali disebut juga Seattle Sounds) termasuk dalam subgenre rock altenative. Mulai dikenal sepanjang pertengahan 1980an di Washington, lebih tepatnya di Seattle. Adapun, dipercaya dari berbagai sumber bahwasannya Mark Arm, vocalis band Green River dan kemudian berganti menjadi Mudhoney, adalah orang yang pertama kali menggunakan kata grunge untuk menyebut jenis musik tertenrtu. Mark Arm pertama kali menggunakan kata tersebut sekitar tahun 1981. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian kualitatif, dengan fokus penelitian yaitu pengetahuan tentang grunge, alasan tergabung dalam anggota kelompok kaum kucel, identitas grunge dan gaya hidup grunge. Sumber data dalam penelitian ini adalah dari data primer yang meliputi wawancara secara mendalam serta terjun langsung dalam komunitas grunge dan data sekunder yang meliputi buku, leflet, video clip serta lagu yang bercirikan grunge juga diperkuat dengan studi kepustakaan. Informan dalam penelitian ini adalah anggota komunitas kaum kucel yang berjumlah 3 orang dan telah memenuhi kriteria informan yang ditentukan. Adapun kriteria dan informan yang ditunjuk atau dipilih dalam penelitian ini adalah informan yang telah tergabung baik itu sudah lama maupun baru di komunitas tersebut, orang yang dituakan (pendiri) dan subjek yang masih aktif dalam komunitas tersebut. Hasil yang didapatkan dari penelitian yang penulis lakukan, Pengenalan mereka terhadap subkultur Grunge dengan cara yang berbeda-beda, walaupun berbeda setelah mendapatkan sedikit pengetahuan tentang Grunge, mereka merasakan hal yang sama tentang Grunge. Alasan seorang remaja tergabung dalam komunitas Grunge dan mengimitasi gaya hidupnya karena dari pengaruh pergaulan lingkungan pertemanannya, selain itu ada pula dikarenakan adanya kesamaan dalam hal kegemaran dengan musik Grunge. Identitas Grunge yang dapat terlihat secara kasat mata adalah dari pakaiannya yang menggunakan kemeja flannel, kaos lusuh, jeans belel, cardigans dengan model v-neck, baju dengan merk Lonsdale, ataupun baju kaos yang bergambar tentang Grunge, sepatu boot yang bermerk Dr. Martens, Monkey Boot, atau sepatu casual Converse. Sedangkan untuk potongan rambut mereka membiarkan rambut mereka panjang tak beraturan bahkan sampai mewarnainya untuk membedakan mereka dengan komunitas lainnya.Gaya hidup Grunge adalah menjadi individu yang sederhana dan lebih menjadi diri sendiri. Walaupun terkadang subkultur ini dipandang sebelah mata oleh masyarakat karena cara berpakaian mereka, akan tetapi mereka tetap memakai nilai-nilai Grunge sebagai salah satu gaya hidup mereka.


(2)

THE GRUNGE PORTRAIT

(A Study on Kucel Community in Bandar Lampung) By

Rizky Okto Danela

Student of Faculty of Social and Politic Science in Lampung University ABSTRACT

Grunge (often called as Seattle Sounds) belongs to an alternative rock sub-genre. It started to be known in the mid of 1980s in Seattle, Washington. It was believed from some sources that Mark Arm, the vocalist of Green River and then Mudhoney was the first persons to use the word grunge to refer a particular type of music. Mark Arm for the first time used the word grunge in 1981. This was a qualitative research focusing on grunge reasons for joining to be members of kucel group, viewed from grunge identity and life style. This research used primary data coming from deep interviews and experiences of becoming grunge community, and secondary data including books, leaflets, video clips and songs characterized with grunge and literary study. Informants were 3 members of kucel group having completed determined criteria for informant including that informants should be members of the group, the public figures in the group (founders) and subject should be still active in the community. The results showed that their recognitions to grunge sub culture were obtained with some different ways, however, they did feel the same about grunge. Youths’ reasons to join grunge community and to imitate grunge life style were the influences of surroundings, fellowships, and similar favors to grunge music. Grunge identities could visibly be seen from flannel shirt, shabby t-shirt, worn out jeans, v-necked cardigan, Lonsdale cloths, t-shirts with grunge pictures, boots with brands like Dr.Marten and Monkey Boot, or Converse brand casual shoes. They leaved their hair growing longer and untidy, and even colored their hair to be distinctive from other communities. Grunge life style is becoming simple individual and being the self. Even though this sub culture is overlooked by the society because the way of their wearing cloths, they remain using grunge values as their life style.


(3)

(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Kegunaan Penelitian ... 10

1. Secara Akademis ... 10

2. Secara Praktis ... 10

II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Tinjauan Tentang Komunitas ... 12

B. Tinjauan Mengenai Grunge ... 18

1. Sejarah Grunge ... 18

2. Perkembangan Grunge ... 20

3. Karakter Musikal Grunge ... 25

4. Konser Musik Grunge ... 27

C. Tinjauan Mengenai Identitas ... 28

D. Tinjauan Mengenai Gaya Hidup ... 32

E. Kerangka Pemikiran ... 34

III METODE PENELITIAN ... . 35

A. Tipe Penelitian ... . 35

B. Fokus Penelitian ... . 36

C. Teknik Penentuan Informan ... . 37

D. Lokasi Penelitian ... 38

E. Jenis Data ... 39

1. Data Primer ... 39


(7)

F. Tehnik Pengumpulan Data ... 39

1. Wawancara Mendalam ... 39

2. Studi Pustaka ... 40

G. Teknik Analisis Data ... 40

1. Reduksi Data ... 41

2. Tahap Penyajian Data ... 41

3. Tahap Penarikan Kesimpulan ... 41

IV GAMBARAN UMUM ... 43

A. Sejarah Singkat Bandar Lampung Pra Kemerdekaan Indonesia ... 43

B. Sejarah Singkat Bandar Lampung Zaman Pasca Kemerdekaan ... 43

C. Hari Jadi Kota Bandar Lampung ... 44

1. Geografi ... 45

2. Topografi & Geologi ... 45

3. Demografi ... 46

4. Administrasi Pemerintahan ... 46

5. Sarana Transportasi ... 46

D. Sekilas Biografi Komunitas Kaum Kucel ... 46

E. Realitas Prilaku Keseharian Grunge di Bandar Lampung ... 50

V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 54

A. Hasil dan Pembahasan Penelitian ... 54

1. Pengetahuan tentang Grunge ... 54

2. Alasan Tergabung Dalam Anggota Kelompok Penggemar Grunge ... 60

3. Identitas Grunge Pada Anggota Komunitas Kaum Kucel di Bandar Lampung ... 63

a. Style Berpakaian ... 67

b. Potongan Rambut ... 68

4. Gaya Hidup Grunge Pada Komunitas Kaum Kucel ... 69

a. Cara Berpikir ... 71

b. Cara Bersikap ... 72

c. Latar Belakang Orang Tua ... 73

d. Latar Belakang Individu Grunge ... 74


(8)

VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 78 A. Kesimpulan ... 78 B. Saran ... 79 DAFTAR PUSTAKA


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masuknya budaya luar ke Indonesia yang kian meningkat membuat masyarakat sedikit demi sedikit mengadopsi budaya luar dalam kesehariannya. Setiap tahunnya atau tiap bulan atau bahkan tiap harinya budaya luar masuk ke negeri ini dan tak jarang dapat mengabaikan budaya negerinya sendiri. Objek utama dari transformasi budaya luar umumnya adalah kaum remaja, di mana mereka tergolong masih senang mencari jati diri dan selalu ingin bebas dalam memilih jalan hidupnya sehingga sangat mudah dipengaruhi. Kejenuhan bisa dikatakan menjadi salah satu penyebab masyarakat memilih mengikuti budaya luar di banding budaya sendiri. Atau juga budaya luar yang mereka terima itu terasa lebih ideal di dalam diri mereka. Lama kelamaan hal seperti ini akan menimbulkan pergeseran kebudayaan.

Pergeseran kebudayaan tersebut berarti menjadi perubahan sosial pula. Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagiannya yaitu kesenian, ilmu


(10)

2

pengetahuan, teknologi, filsafat dan seterusnya bahkan perubahan-perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial.

Selo Soemarjan dan Soeloeman Soemardi (Soekanto.1990:189) merumuskan budaya sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan tekhnologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (materical culture) yang diperlukan manusia untuk menguasai alam sekitarnya. Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti yang luas. Selanjutnya,cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir orang-orang yang hidup dan yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu yang pengetahuan. Secara singkat Samuel dan koenig (Soekanto, 1990:337) mengatakan bahwa perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia. Modifikasi-modifikasi terjadi karena sebab-sebab intern maupun sebab-sebab ekstern.

Sebenarnya sulit sekali untuk menentukan letak garis pemisah antara perubahan sosial dan perubahan kebudayaan karena tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan sebalik nya tidak mungkin ada kebudayaan yang tidak terjelma dalam suatu masyarakat. Dalam perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai suatu aspek yang sama yaitu kedua-dua nya bersangkut paut dengan suatu penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam suatu masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Banyak sekali budaya-budaya baru yang muncul dikarenakan perpindahan suatu masyarakat atau individu ke daerah yang baru (migrasi). Salah satunya


(11)

aliran musik Grunge yang lama kelamaan menjadi budaya/sub-kultur Grunge.

Grunge adalah salah satu sub-kultur yang mengibarkan bendera perlawanan yang berwujudkan alunan nada. Musik sebagai effort perlawanan dan ketika perlawanan itu tidak berhasil menjangkau tujuannya, bukan berarti gagal total. Tapi setidaknya menjadi bukti bahwa kesadaran untuk “melawan” itu masih ada dan terjaga, itu adalah selemah-lemahnya iman. Sebagaimana ditunjukkan oleh Eddie Vedder pada lagu “Insignificance” tersebut menjadi sebuah ajakan mulia bahwa musik secara umum adalah menjadi media penyadaran dan koridor tepat untuk mengemukakan pendapat atau pun bentuk protes sosial dan politik kepada bentuk apapun yang menjadi tirani dan kesewenangan. Sebagaimana ditunjukkan oleh Rage Against The Machine, sebagaimana Yusuf Islam, sebagaimana Iwan Fals, sebagaimana Slank, sebagaimana Jeruji, sebagaimana musisi kritis lainnya imani yaitu bahwa musik sebagai perlawanan adalah menjadi sesuatu yang pasti, saat sudah muak dengan kondisi pengabaian, keterasingan, kezaliman, kebohongan, atau disfungsi kondisi yang tidak bisa memberi keadilan dalam sosial, politik atau aspek lainnya.

Perlawanan melalui musik bukan sesuatu yang baru, bahkan definisi seni (art) sendiri adalah tak lepas dari upaya untuk memberontak atau melawan dari tatanan statis yang menjenuhkan sebagaimana Albert Camus (filsuf absurditas-eksistensialis Prancis) sampaikan sebelum ia wafat. Tapi sebagai salah satu cabang dari seni, musik adalah media paling efektif dan to-the-point dalam menyampaikan suatu “pesan” tertentu itu. Musik tidak dibatasi


(12)

4

dimensi geometris. Musik sanggup “menyerang” langsung pendengarnya, menyusuri ruang-ruang, ”mencuci” pendapat, dan pemikiran. Oleh karenanya musik dijadikan media ekspresi yang sebenarnya paling lengkap. Sebagaimana blues menjadi medium ekspresi sosial kaum kulit hitam Amerika, sebagaimana punk menjadi ekspresi seni yang menakutkan bagi monarki Inggris, musik adalah karya seni terbesar manusia di dunia. (Yoyon Sukaryono. http: //echolic. blogspot.com /2010/06/ grunge- indonesia- still-alive-catatan.html)

Dari berbagai aliran musik di atas, grunge adalah salah satu aliran musik yang berasal dari Seattle, kota kecil di inggris. Grunge adalah salah satu dari sekian banyak penanda revolusi musik dunia yang lahir pada pertengahan tahun 1980-an. Dari berbagai literatur disebutkan bahwa grunge lahir dari suatu komunitas yang sudah jenuh dengan konsep musik industri (mainstream) yang ada saat itu, ditambah dengan kondisi represifnya politik dan ekonomi global masa tersebut menandai eksistensi grunge tidak hanya sebagai produk kebudayaan modern tapi “sumber kekuatan” baru bagi kaum muda dunia (awalnya hanya di scene underground Seattle).

Grunge bukanlah pionir, bukan perintis, bukan pelopor yang pertama kali membaca mantra besar dan mengagumkan bernama Perlawanan. Mengapa perlawanan penulis sebut sebagai mantra, karena kata mantra adalah sakral, suci, bahkan tabu, dan perlawanan hanya terjadi ketika barrier berupa norma yang membatasi mampu kita coba terobos dan kita pertanyakan atau pun kita dekonstruksi apakah untuk mewujudkan sesuatu yang lebih baik maupun ternyata lebih buruk. Tapi sebagai suatu daur kehidupan sejatinya


(13)

pattern tersebut akan selalu bergulir. Dan mengapa penulis sebut Perlawanan sebagai mengagumkan karena hakikatnya perlawanan adalah kondisi yang tak pernah puas untuk mencapai suatu kondisi stabil atau mapan, adalah bagaimana selalu mengkondisikan kegelisahan dan kecemasan mencapai pertanyaannya tentang hidup dan kehidupan, di mana tak selalu mendapatkan jawaban.

Grunge memberikan tawaran yang fresh ketika era rock, pop 80’s, metal, rap, bahkan punk mulai memberikan harapan yang kosong untuk menjadi penanda revolusi budaya dan sosial, lucunya grunge hadir ketika jaman-jamannya glam-appearance is everything, glamrock look, Vanilla Ice look, Debbie Gibson, Axl Rose, dan lain lainnya. Tapi saat itu grunge malah hadir dengan kesederhanaannya. Grunge menawarkan semangat perlawanan dari kesederhanaan. Sebagaimana revolusi musik yang lain, (pada awalnya) grunge yang masih punya kekerabatan dengan punk ternyata memberi influence juga tentang fashion. Grunge sebagai produk budaya yang memberikan ruang perlawanan dengan caranya sendiri. Simpel dan efektif.

Grunge mulai dikenal di indonesia ketika televisi adalah satu-satunya media yang menyajikan band Nirvana dengan hit globalnya “Smells Like Teen Spirit” dari album Nevermind. Televisi seakan satu-satunya jendela yang “membuka” corak-warna dunia saat itu. Melalui televisi pada era 90an itu kita (kaum muda Indonesia) sebelumnya hanya disuguhi keseragaman dalam hal apapun (hampir semuanya), berbeda dengan saat ini pasca reformasi 1998 yang lebih banyak memberikan pilihan.


(14)

6

Adalah televisi swasta yang akhirnya membuka keran masuknya kultur grunge saat itu ke Indonesia. Walaupun penulis yakin saat itu pun masih sedikit orang yang mampu langsung mengapresiasi dan menikmati musik yang diberikan Nirvana, Pearl Jam, ataupun Soundgarden di saat New Kids On The Block, Take That, Tommy Page, Metallica, Megadeth, Run DMC, bahkan Tommy J Pisa masih merajai kuping-kuping pendengar Indonesia. Perlu diketahui pada saat itu untuk memperoleh record album (kaset) band luar negeri yang masih jarang didengar umum adalah sesuatu yang sangat keren atau hebat karena butuh perjuangan dan uang yang banyak untuk bisa memperolehnya atau membelinya di luar negeri/import.

Nirvana datang saat itu dengan musik yang sederhana, videoklip yang sederhana, kemasan cover kaset yang sederhana. Tapi entah kenapa ada semacam energi yang terpompa dari uraian kesederhanaan itu, Nirvana memberi ambience yang berbeda soal ekspresi musik, energi liar, dan ia meresonansi dan mentranformasi emosi menjadi kesadaran bahwa memang revolusi musik waktu itu sedang terjadi dan euforia itu pun berlangsung. Grunge menjadi fenomenal dan keniscayaan untuk kaum muda saat itu. Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota-kota lain memiliki scene grunge masing-masing.

Nirvana menyuguhkan kesederhanaan dan heavy distorted sounds sebagai elemen terkuat dalam ekspresivitas, adalah Pearl Jam yang kemudian memberi pilihan baru lain tentang kesederhanaan, sikap hidup, pandangan politik, aktifitas sosial dan konsistensi di luar batas musikalitas yang mereka berikan. Pearl Jam menjadi sebuah penanda grunge dunia yang mungkin


(15)

agak sedikit berbeda dengan awal kehadiran Nirvana pada awalnya. Tapi kedua-duanya telah memberi awal pencerahan baru untuk proses apresiasi diri dan hidup melalui media musik.

Ada sesuatu yang sedikit berbeda dengan “perlawanan” yang diberikan oleh grunge. Kata kuncinya sebenarnya terletak di “kesederhanaan”. Grunge muncul dengan corak musik yang jauh lebih sederhana (like punk but not aggresive), tapi dengan sound yang lebih unik, lebih melodius, sound gitar lebih cenderung menjangkau distorsi dan feedback. grunge muncul dengan style musisi grunge dan komunitasnya yang berpakaian “nyeleneh”, “beda dengan yang lain” atau malah terlihat “keras” dan maskulin (kemeja flanel, sepatu boots, celana PDL) tapi tidak mau tampak seperti dandan atau dibuat-buat. Sehingga dari tampilannya pun komunitas grunge adalah komunitas yang sederhana. Berbeda dengan scene atau komunitas musik lain yang “sepertinya” tampak akan lebih berupaya menunjukkan eksistensinya melalui atribut-atribut yang terkesan malah seperti “dibuat-buat”.

Intinya adalah perlawanan melalui grunge adalah bagaimana transformasi pemikiran perlawanan itu mewujud yaitu salah satunya melalui kekuatan lirik yang kritis. Lirik yang kritis adalah lirik yang bisa cukup sederhana dan mudah dimengerti tapi kandungannya adalah semacam peluru yang siap menyayat-nyayat kesadaran.

Di bandar lampung komunitas Grunge bisa di jumpai di jalan Palapa, rajabasa dan mereka menamakan komunitas mereka Kaum Kucel. Mereka biasa menghabiskan waktu dengan berkumpul bersama, bercanda ria dan tak jarang mereka menyanyikan lagu lagu Grunge ketika sedang berkumpul,


(16)

8

berbagi info dan lain-lain. Sedikitnya untuk band lokal grunge yang pernah ada dan masih menunjukkan kesadaran ini adalah:

1. Navicula (Bali) 2. Noise (Jogja) 3. DuaSisi (Jakarta) 4. EvenFlow(Lampung) 5. G.U.R.V.I.E (Lampung)

Kini mungkin sangat jarang ada band lokal dengan genre musik grunge yang masih memegang teguh bahwa pada dasarnya grunge dengan kesederhanaannya ternyata tidak melulu hanya berkutat di lirik tentang depresivitas dan keterkungkungan (semacam otokritik), tapi juga kritis mengenai penyelamatan lingkungan, politik, sosial, pendidikan, filsafat dan lain-lain. Walaupun sebenarnya grunge sebagai sebuah trend, sebuah revolusi musik dunia adalah telah “berakhir” karena sepertinya ternyata “dibunuh” sendiri oleh industri yang juga telah “membesarkannya”. Grunge kini, sebagai salah satu generasi 90an, ternyata berkembang tidak hanya untuk diapresiasi kandungan musiknya saja, tapi grunge sebagai sikap perlawanan juga telah menjadi pola idealisme yang mungkin sulit dijelaskan. Grunge telah menandai sikap hidup dan pola pikir yaitu untuk selalu “berbuat kreatif” dan memandang segala hal secara kritis dan selalu tetap sederhana, grunge tetap mewujud dalam interaksi di kantor, di keluarga, masyarakat sekitar, di pongahnya atasan, di keserakahan pejabat, di setiap ketidakadilan yang kita saksikan atau kita alami, grunge tetap mewujud di lirik-lirik lagu tak terdokumentasikan, grunge akan tetap


(17)

mewujud melalui kesadaran dan ia akan tetap melawan. Grunge akan tetap melawan dalam kesederhanaannya.

Adalah hal yang sangat menarik untuk digali lebih dalam berkaitan dengan eksistensi komunitas yang terus membesar ini, membentuk suatu sub budaya tersendiri yang meliputi cara berpakaian, ritual komunitas, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan itu. Sebagai "komunitas yg tersingkir dari komunitas", mereka melibatkan diri dalam segala bentuk aktivitas yang diharapkan mampu mendongkrak eksistensi komunitas tersebut.

Penulis mencoba untuk menjelaskan mengapa sub-kultur ini berbentuk sebuah komunitas, dikarenakan komunitas merupakan suatu wadah terkecil/keluarga bagi mereka dimana mereka bisa mencurahkan segala keluh-kesah, bahagia, kebersamaan, dan segala permasalahan mereka yang terjadi sehari-hari. Dan tentunya juga membantu peneliti dalam melakukan penelitian yang akan dilakukan.

Penulis mengambil tema Potret kehidupan Komunitas Grunge dikarenakan Grunge merupakan suatu budaya baru/sub-kultur yang unik dengan gaya hidup dan pola berfikir yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Grunge merupakan tema yang menarik untuk diangkat sebab ini merupakan gaya hidup yang resisten terhadap budaya yang ada selama ini, selain itu masih banyak masyarakat yang memandang Grunge sebagai kaum minor yang memiliki kualitas hidup yang tidak positif, padahal pada kenyataannya Grunge tidak seburuk stigma tersebut. Penulis melihat ada banyak potensi yang dimiliki para Grunge salah satunya adalah komunitas Kaum Kucel yang ada di Bandar Lampung.


(18)

10

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis merumuskan permasalahan dalam skripsi ini “Bagaimana Potret Kehidupan Komunitas Grunge (Studi Pada Komunitas Kaum Kucel Bandar Lampung)”.

C. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui potret kehidupan komunitas grunge dilihat dari sisi identitas yaitu gaya berpakaian dan potongan rambut dan gaya hidup yang meliputi cara berfikir, cara bersikap, latar belakang anggota komunitas grunge, latar belakang orang tua, serta musik sebagai salah satu bentuk apresiasi.

D. Kegunaan Penulisan

Adapun kegunaan dari penulisan ini adalah: 1. Secara akademis

a. Mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat selama kuliah di fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Sosiologi, Universitas Lampung Bandar Lampung.

b. Untuk menambah wawasan keilmuan dan pengetahuan tentang Potret Kehidupan Komunitas Grunge pada komunitas Grunge Bandar Lampung.

c. Sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana Strata-1 pada jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Lampung.

2. Secara praktis

a. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan sosial dan juga diharapkan dapat


(19)

menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya, khususnya yang berkaitan dengan budaya baru/sub-kultur.

b. Untuk memberikan informasi bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui identitas Grunge dan seperti apa gaya hidup dan attitude yang mereka pegang teguh.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Komunitas

Komunitas berasal dari bahasa latin communitas yang berarti "kesamaan", kemudian dapat diturunkan dari communis yang berarti "sama, publik, dibagi oleh semua atau banyak". Komunitas sebagai sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama. Dalam komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa. Soenarno (2002), Definisi Komunitas adalah sebuah identifikasi dan interaksi sosial yang dibangun dengan berbagai dimensi kebutuhan fungsional.

Pengertian Komunitas Menurut Kertajaya Hermawan (2008), adalah sekelompok orang yang saling peduli satu sama lain lebih dari yang seharusnya, dimana dalam sebuah komunitas terjadi relasi pribadi yang erat antar para anggota komunitas tersebut karena adanya kesamaan interest atau values.


(21)

Loren O. Osbarn dan Martin H. Neumeyer (1984 : 59) ; “Pada dasarnya setiap orang itu lahir dalam suatu keluarga, dan pada mulanya dia tidak mengetahui bahwa ia merupakan anggota dari suatu ketetanggaan. Akan tetapi, apabila dia mulai dapat berjalan serta bermain, maka dia akan bermain dengan anak-anak tetangga atau beberapa dari antara mereka. Dalam perkembangan selanjutnya, dia akan mengetahui bahwa ia tinggal dalam suatu kampung atau suatu desa atau juga dalam suatu kota. Pada tahap selanjutnya dia akan mengetahui pula bahwa dia merupakan anggota suatu bangsa atau suatu negara”.

Deskripsi tersebut di atas menunjukkan bahwa seseorang itu dapat merupakan anggota dari beberapa kelompok; dan kecuali keluarga (sebagai primary group) kesemuanya mungkin dapat dikategorikan sebagai community atau komunitas. Loren O. Osbarn dan Martin H. Neumeyer (1984 : 59) menyatakan bahwa komunitas adalah “a group of a people having in a contiguous geographic area, having common centers interests and activities, and functioning together in the chief concern of life”.

Dengan demikian suatu komunitas merupakan suatu kelompok sosial yang dapat dinyatakan sebagai “masyarakat setempat”, suatu kelompok yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu dengan batas-batas tertentu pula, dimana kelompok itu dapat memenuhi kebutuhan hidup dan dilingkupi oleh perasaan kelompok serta interaksi yang lebih besar di antara para anggotanya.

Komunitas adalah sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama.


(22)

14

Dalam komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa. (Wenger, 2002: 4). Menurut Crow dan

Allan, Komunitas dapat terbagi menjadi 2 komponen:

1. Berdasarkan Lokasi atau Tempat Wilayah atau tempat sebuah komunitas dapat dilihat sebagai tempat dimana sekumpulan orang mempunyai sesuatu yang sama secara geografis

2. Berdasarkan Minat Sekelompok orang yang mendirikan suatu komunitas karena mempunyai ketertarikan dan minat yang sama, misalnya agama, pekerjaan, suku, ras, maupun berdasarkan kelainan seksual.

Proses pembentukannya bersifat horisontal karena dilakukan oleh individu-individu yang kedudukannya setara. Komunitas adalah sebuah identifikasi dan interaksi sosial yang dibangun dengan berbagai dimensi kebutuhan fungsional (Soenarno, 2002). Kekuatan pengikat suatu komunitas, terutama, adalah kepentingan bersama dalam memenuhi kebutuhan kehidupan sosialnya yang biasanya, didasarkan atas kesamaan latar belakang budaya, ideologi, sosial-ekonomi. Disamping itu secara fisik suatu komunitas biasanya diikat oleh batas lokasi atau wilayah geografis. Masing-masing komunitas, karenanya akan memiliki cara dan mekanisme yang berbeda dalam menanggapi dan menyikapi keterbatasan yang dihadapainya serta mengembangkan kemampuan kelompoknya.

Menurut Vanina Delobelle , definisi suatu komunitas adalah group beberapa orang yang berbagi minat yang sama, yang terbentuk oleh 4 faktor, yaitu:


(23)

1. Komunikasi dan keinginan berbagi : Para anggota saling menolong satu sama lain.

2. Tempat yang disepakati bersama untuk bertemu

3. Ritual dan kebiasaan: Orang-orang datang secara teratur dan periode 4. Influencer Influencer merintis sesuatu hal dan para anggota selanjutnya

Vanina juga menjelaskan bahwa komunitas mempunyai beberapa aturan sendiri, yaitu:

1. Saling berbagi : Mereka saling menolong dan berbagi satu sama Lain dalam komunitas.

2. Komunikasi: Mereka saling respon dan komunikasi satu sama lain. 3. Kejujuran: Dilarang keras berbohong. Sekali seseorang berbohong, maka

akan segera ditinggalkan.

4. Transparansi: Saling bicara terbuka dan tidak boleh menyembunyikan sesuatu hal.

5. Partisipasi: Semua anggota harus disana dan berpartisipasi pada acara bersama komunitas.

Komunitas adalah sekelompok orang yang saling peduli satu sama lain lebih dari yang seharusnya, dimana dalam sebuah komunitas terjadi relasi pribadi yang erat antar para anggota komunitas tersebut karena adanya kesamaan interest atau values (Kertajaya Hermawan, 2008). Komunitas adalah sebuah identifikasi dan interaksi sosial yang dibangun dengan berbagai dimensi kebutuhan fungsional (Soenarno, 2002).


(24)

16

Ada demikian banyak defenisi komunitas ditemukan dalam literatur. George Hillery Jr (dikutip oleh Fredian Tonny, 2003:23) pernah mengidentifikasi sejumlah besar defenisi, kemudian menemukan bahwa kebanyakan defenisi tersebut memfokuskan makna komunitas sebagai:

1. the common elements of area; 2. common ties; dan

3. social interaction.

Kemudian, George merumuskan pengertian komunitas sebagai “people living within a specific area, sharing common ties, and interacting with one another” (orang-orang yang hidup di suatu wilayah tertentu dengan ikatan bersama dan satu dengan yang lain saling berinteraksi).

Sementara itu, Christensson dan Robinson (seperti dikutip oleh Fredian Tonny, 2003:22) melihat bahwa konsep komunitas mengandung empat komponen, yaitu:

1. people

2. place or territory 3. social interaction

4. psychological identification.

Sehingga kemudian mereka merumuskan pengertian komunitas sebagai ”people the live within a greographically bounded are who are involved in social interction and have one or more psychological ties with each other an with the place in which they live” (orang-orang yang bertempat tingal di suatu daerah yang terbatas secara geografis, yang terlibat dalam interaksi


(25)

sosial dan memiliki satu atau lebih ikatan psikologis satu dengan yang lain dan dengan wilayah tempat tinggalnya).

Komunitas yaitu yang menunjuk pada bagian masyarakat yang bertempat tinggal di suatu wilayah (geografis) dengan batas-batas tertentu dan faktor utama yang menjadi dasar adalah interaksi yang lebih besar di antara anggotanya, dibanding dengan penduduk di luar batas wilayahnya. Soekanto (1990)

Komunitas adalah sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan yang sama, dalam komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa. Community (masyarakat ) merupakan bagian kelompok dari masyarakat (society) dalam lingkup yang lebih kecil, serta mereka lebih terkait oleh tempat (territorial) ( Fairi,et al.1980;52n )

Menurut Soerjono soekanto, istilah community dapat di terjemahkan sebagai “masyarakat setempat”, istilah lain menunjukkan pada warga-warga sebuah kota, suku, atau suatu bangsa . Apabila anggota-anggota suatu kelompok baik itu kelompok besar atupun kecil, hidup bersama sedemikian rupa sehingga mereka merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama, maka kelompok tadi dapat disebut masyarakat setempat. Intinya mereka menjalin hubungan sosial ( social relationship ).


(26)

18

Dan dapat disimulkan bahwa masyarakat setempat (community) adalah suatu wilayah kehidupan sosial yang ditandai oleh suatu derajat hubungan sosial yang tertentu. Dasar-dasar dari masyarakat setempat adalah lokalitas dan perasaan semasyarakat setempat ( Efendi,ridwan.2009 ).

B. Tinjauan mengenai Grunge 1. Sejarah Grunge

a. Gaya grunge asli, berakar dari: - Rock Alternatif

- Hardcore Punk - Heavy Metal - Indie Rock

b. Budaya asli, berasal dari:

- Pertengahan tahun 1980an, di Washington c. Tipikal instrumen musik:

- Gitar elektrik - Gitar bass - Drum - Vokal

d. Popularitas mainstream:

- Popularitasnya tinggi selama awal hingga pertengahan 1990an; rendah, namun tetap eksis semenjak itu.

e. Turunan:

- Menjadi musik yang dikenal kemudian sebagai Post Grunge f. Wilayah scene:


(27)

Grunge (seringkali disebut juga Seattle Sounds) termasuk dalam subgenre rock altenative. Mulai dikenal sepanjang pertengahan 1980an di Washington, lebih tepatnya di Seattle. Di dalam Wikihow (Grunge Music; Origin of the Term) ditulis, menurut kata asalnya, grunge berasal dari bentuk paling belakang kata slang grungy. Di mana, pada sekitar tahun 1965 bentuk asli dari kata slang tersebut dapat diartikan sebagai kata penyebut sesuatu yang “kotor” atau “jorok”. (www.wikihow.com)

Adapun, dipercaya dari berbagai sumber bahwasannya Mark Arm, vocalis band Green River dan kemudian berganti menjadi Mudhoney, adalah orang yang pertama kali menggunakan kata grunge untuk menyebut jenis musik tertenrtu. Mark Arm pertama kali menggunakan kata tersebut sekitar tahun 1981. Ketika ia menulis surat dengan memakai nama Mark McLaughlin untuk sebuah majalah Seattle Desperate Times, mengkritik band Mr. Epp dan the Calculations sebagai “Pure grunge! Pure noise! Pure shit!”.(www.wikihow.com; grunge tips)

Kemudian, Clark Humphrey, editor majalah Desperate Times memakai istilah grunge tersebut untuk menyebut band-band dari Seattle. Dan ini berarti bahwa Bruce Pavitt dari Sub Pop telah mempopulerkan istilah tersebut sebagai sebuah label music pada tahun 1987-1988, dengan mengkaitkan langsung pada Green River. Arm memakai istilah grunge untuk mendeskripsikan bukan hanya terbatas untuk jenis musik tertentu, melainkan lebih untuk mendeskripsikan suatu bentuk baru percampuran antara punk dengan metal di scene musik Seattle.


(28)

20

Beberapa individu, dianggap berperan serta langsung terhadap perkembangan grunge. Mereka diantaranya, termasuk Jack Endino produser Sub Pop, dan juga para personil the Melvins. Bahkan grup band seperti "Kiss" dianggap juga turut memprovokasi grunge secara musikal. Pergerakan awal grunge disatukan oleh salah satu record label independen bernama Sub Pop pada akhir 1980an. Kemudian grunge menjadi sukses secara komersial pada paruh tengah 1990an, seiring dengan dirilisnya album Nirvana "Nevermind", dan Pearl Jam "Ten". (www.wikihow.com; grunge tips)

2. Perkembangan Grunge

Mark Arm termasuk diantara beberapa musisi di Green River yang bergabung dengan band lain setelah grupnya bubar. Band Arm selanjutnya, Mudhoney, berfungsi sebagai band kapal pemimpin bagi record label asal Seattle, Sub Pop, di akhir tahun 1980an. Rilisan yang meningkatkan perkembangan grunge adalah kompilasi di tahun 1986, Deep Six, dirilis oleh C/Z Records (kemudian dirilis ulang di A&M). Rekaman ini menampilkan multiple tracks dari enam band: Green River, Soundgarden, The Melvins, Malfunkshun, Skin Yard, dan The U-Men; bagi sebagian besar mereka merupakan penampilan pertama mereka dalam sebuah rekaman. Para artis memiliki "sound yang sangat berat, agresif, yang dilarutkan ke dalam tempo yang lebih pelan dari Heavy Metal dengan hardcore yang intensif" seperti yang dikatakan Jack Endino, "Orang-orang berkata, 'well, musik seperti apa ini? ini bukan metal, bukan


(29)

pula punk, apa ini?' lalu orang-orang mengatakan 'Eureka! band-band ini memiliki semua itu'"

Kemudian di tahun itu, Bruce Pavitt merilis kompilasi "Sub Pop 100" dan EP Green River "Dry As a Bone" yang menjadi bagian dari label barunya, Sub Pop. Katalog awal Sub Pop mendeskripsikan EP Green River sebagai "Grunge sangat-pecundang yang menghancurkan moral dan sebuah generasi". Bruce Pavitt dari Sub Pop dan Jonathan Poneman, mendapat inspirasinya dari scene musik wilayah lain dalam sejarah musik, bekerja untuk meyakinkan bahwa label mereka mempunyai proyek sebuah "Seattle Sound". Diperkuat oleh gaya yang hampir sama pada produksi dan packaging album.

Saat itu, penulis musik Michael Azerrad mengakui bahwa band-band grungepertama seperti Mudhoney, Soundgarden, dan Tad, memiliki sound yang berbeda, ia mengingatkan, "sebagai peneliti yang obyektif, di sana ada persamaan yang jelas terlihat".

Mudhoney, yang mana dibentuk oleh para pendiri Green River, berfungsi sebagai band pembawa bendera Sub Pop selama waktu mereka bergabung dengan label dan menyiarkan gerakan grunge Seattle. Sedangkan pecahan Green River lainnya membentuk Mother Love Bone, yang dipimpin oleh seorang vokalis utama flamboyan Andrew Wood, musik Mother Love Bone secara jelas mengindikasikan ambisi komersial band tersebut, dan setelah segenggam penuh pertunjukan, mereka mendapatkan kontrak dari PolyGram Records. Hal yang hampir mustahil untuk scene independen musik.


(30)

22

Setelah kematian Wood di tahun 1991 karena hal yang berkaitan dengan obat-obatan, anggota band yang lain menemukan bakat dari penyanyi asal San Diego, Eddie Vedder, dan membentuk Pearl Jam.

Sebagai kebalikan dari Mother Love Bone, Mudhoney membukanya dengan sindiran terhadap seluruh kerajaan bintang rock. Sound mereka dengan sangat kasar, bersama vokal sang pemimpin Mark Arm lebih mendekati berteriak-teriak sampai parau daripada bernyanyi.

Mengambil nama mereka dari judul sebuah film soft-core yang disutradarai oleh Russ Meyer, mereka memeluk pelanggaran-sexisme yang secara simultan merupakan lelucon dan merayakan betapa berlebihannya nama-nama besar band-band rock.

Soundgarden memenuhi suat tempat diantara keributan komersial Pearl Jam dan sound garage yang belum terpoles dari Mudhoney. Penyanyi utama Chris Cornell memiliki suara falsetto yang sangat kuat, mengalahkan Ozzy Osbourne dari Black Sabbath, pengaruh utamanya. Soundgarden membangun reputasinya sebagai band independen. Album grup ini di tahun 1989 "Louder Than Love", dinominasikan mendapat Grammy, dan "Superunknown" dirilis pada 1994, memulai debutnya menjadi nomor satu di charts Billboard. Pada waktu itu, sound band tersebut mendekati Metallica atau Guns 'N Roses (di mana mereka pernah sekali tour bersama) daripada Mudhoney atau Nirvana. Soundgarden bubar di tahun 1997. Hal ini seperti bahwa band-band tersebut lenyap dengan cepat, atau mungkin bahkan tidak dibentuk sama sekali, jika bukan untuk Sub Pop Records.


(31)

Para pendirinya, Bruce Pavitt dan Jonathan Poneman mengenalkan kekuatan scene musik Seattle dan, seperti halnya BerryGordon, yang mana label Motown telah mempopulerkan pop dan rhytm-and-blues di Detroit pada 1960an, mereka merancang untuk mempromosikan band-band kota mereka. Sebagai awal langkah, mereka menunjukkan sebuah ambisi yang sebelumnya tak pernah absen dari label-label independen.

Rilisan pertama Sub Pop. sebuah kompilasi band-band yang sebagian besar, bahkan tidak berasal dari Seattle sama sekali. Mendeskripsikan labelnya sebagai "Hal yang baru, hal yang besar, ciptaan Tuhan: sebuah kumpulan multi-nasional yang berasal dari Pacific Northwest". Hampir semua orang menganggap itu sebagai candaan, tetapi Pavitt dan Poneman tidak sedang bercanda.

Banyak label rekaman independen di Amerika telah merilis musik unggulan yang tidak pernah mencapai derajat kesuksesan komersial, tetapi Pavitt dan Poneman merupakan penjual cerdas dengan berkah tidak ada saingan bagi sebuah publisitas generasi. Mereka menyewa sebuah agen pers Inggris untuk mempromosikan band-bandnya, dan membayar jurnalis Everett True dari koran musik inggris Melody Maker untuk datang ke Seattle. Mereka percaya-dengan benar-bahwa cara terbaik untuk mempromosikan band-band mereka di Amerika adalah melalui reputasi yang dibangun di luar negeri. Segera setelah itu, kota tersebut terkenal sebagai salah satu pusat terkemuka dari musik independen dunia. Daya tarik grunge bagi media adalah bahwa itu, "menjanjikan kembalinya pendapat tentang sebuah wilayah, penulisan pandangan terhadap rock


(32)

24

Amerika".(Yoyon Sukaryono.http://echolic.blogspot.com/2010/06/grunge-indonesia-still-alive-catatan.html)

Popularitas grunge di scene musik underground diawali ketika band-band mulai pindah ke Seattle dan mendekati penampilan dan sound dari band-band grunge asli. Steve Turner dari Mudhoney mengatakan, "Hal ini sangat buruk. Band-band yang bertahan meledak disini, sesuatu tidak lagi berasal dari sesuatu di mana kami semua berasal".

Sebagai reaksinya, banyak band grunge menganekaragamkan sound mereka, bersama Nirvana dan Tad dalam hal tertentu menciptakan lagu-lagu yang lebih melodik. Heather Dawn dari fanzine Seattle Backlash mengatakan hal itu bahwa pada 1990an banyak band lokal lelah dengan publisitas yang mengelilingi scene Seattle dan sebagai awalnya berharap media-media itu segera terusir.

Namun demikian, pada awal 1991, Sub Pop mendekati kebangkrutan. Keselamatannya datang dari keseluruhan kesuksesan tak terduga album full-length pertama Nirvana, "Nevermind". Ketika David Geffen dari label DGC mengkontrak Nirvana, dalam kontrak ditetapkan bahwa Sub Pop nantinya akan menerima royalti sebesar dua persen jika albumnya terjual lebih dari 200.000 copy. Kebanyakan peneliti menduga album ini akan terjual pecahan dari angka tersebut. Bagaimanapun, "Smells Like Teen Spirit", single pertama album itu, menjadi anthem sepanjang malam. Menggabungkan riff yang menular dengan sound gitar yang berat dan lirik-lirik yang mengekspresikan tentang kemuakan akan keletihan dunia. Beberapa bulan sebelumnya, Nirvana hanya dikenal dalam lingkungan


(33)

kecil musik independen; sekarang lagu mereka mengudara pada stasiun-stasiun radio top 40 rock dan alternatif di seluruh dunia. Dalam satu tahun, "Nevermind" telah menjual empat juta album. Pearl Jam "Ten" dirilis pada bulan yang sama dengan album Nirvana, dan meskipun penjualan terlihat lambat, album tersebut menjual dengan nilai angka yang sama, selama satu tahun pertama. Record label lain di Pacific Northwest yang membantu mempromosikan band diantaranya adalah: C/Z Records, Estrus Records, Empty Records, dan PopLlamaRecords. (Yoyon- Sukaryono. http:// echolic. blogspot.com /2010/06/ grunge- indonesia- still- alive-catatan. html)

3. Karakter Musikal Grunge

Dalam situs Grunge 101 History, "dipermudah" untuk menjelaskan bagaimana musik grunge, situs tersebut menjelaskan, bahwa musik grunge adalah bentuk unggul persilangan antara progressif rock dicampur rock klasik, ditambah musik psikedelik, digabung dengan musik rakyat dari selatan, terakhir dikawinkan dengan musik hard rock. Situs tersebut juga mengakui bahwa band grunge generasi pertama yang dianggap telah menorehkan cetak biru terhadap musik grunge antara lain adalah; Green River, Mudhoney, dan yang menurut mereka terbaik, the Melvins.

Untuk lebih jelasnya, sebagai bahan perbandingan, single dari Mudhoney yang berjudul “Touch Me I’m Sick”. Dalam lagu ini digambarkan bahwa musik grunge sebagai: tempo yang tingggi, riff pada gitar utama, penggunaan distorsi yang berat, dan drum yang dipukul gila-gilaan. juga


(34)

26

penggunaan lirik yang menggambarkan perasaan tertekan ditulis dalam kata-kata sarkastik atau penuh kekerasan.

Grunge secara umum digambarkan sebagai permainan gitar yang kasar, kacau, menghantam, menggunakan distorsi pada level tinggi, efek gitar fuzz dan feedback. Grunge menggabungkan unsur-unsur yang terdapat dalam hardcore punk dan heavy metal. Bahkan meskipun, bila beberapa band hanya menampilkan dengan lebih menekankan salah satu unsur tersebut atau unsur yang lainnya.

Musik grunge sendiri, hampir bisa disamakan dengan sound mentah yang biasa terdapat pada sound punk dan juga lirik-lirik yang menekankan pada hal-hal yang hampir sama. Akan tetapi, terkadang juga menggunakan tempo yang lebih lambat, harmonisasi yang tidak lazim, dan penggunaan instrumen-instrumen yang lebih kompleks lainnya, yang secara signifikan masih berkaitan dengan heavy metal. Musik grunge pada umumnya berkarakter gitar elektrik menggunakan efek berdistorsi berat, dinamisasi lagu yang sangat kontras dengan lagu pada umumnya, dan lirik yang berbeda ataupun penuh kemarahan.

Secara garis besar penulisan lirik grunge biasanya penuh dengan ungkapan akan permasalahan, kesengsaraan, kecemasan, ketakutan, dan hal-hal tentang absurditas kejiwaan. Meskipun seringkali juga bertemakan tentang keterasingan dalam sosial, apathy, keterkungkungan, hasrat untuk bebas merdeka bahkan juga tentang perasaan tidak nyaman akan diskriminasi dalam sosial.


(35)

Tetapi tidak semua lagu-lagu grunge mengangkat issue yang sama seperti itu. sebagai contoh, sebuah lagu satire dari Nirvana "In Bloom", adalah salah satu contoh dari lagu yang ditulis dengan nada sindiran, humor satire. Beberapa lagu grunge dipenuhi dengan penulisan bergaya humor riang namun tetap bernuansa gelap. lagu dari Mudhoney "Touch Me I'm Sick" atau lagu Tad "Stumblin Man". Meskipun lagu-lagu tersebut kurang mendapat perhatian masyarakat pada waktu itu. Humor pada grunge seringkali menyindir secara sinis glam metal dan juga musik rock populer sepanjang 1980an. Sebagai contoh, lagu Soundgarden "Big Dumb Sex". Tetapi banyak pendengar yang kelihatannya melewatkan humor tersebut. (www.wikihow.com;grunge tips)

4. Konser Musik Grunge

Konser-konser grunge pada awalnya sangat jarang ditonton (kebanyakan hanya segelintir daripada selusin orang yang mau hadir) tetapi gambar-gambar dari photographer Charles Peterson membantu menciptakan impresi selayaknya event-event besar.

Namun, grunge mulai mendapatkan perhatian media di Inggris setelah Pavitt dan Poneman meminta jurnalis Everett True dari koran musik Inggris Melody Maker untuk menulis artikel tentang scene musik lokal. Langkah pembuka ini, membantu membuat grunge lebih dikenal di luar area lokal selama akhir 1980an dan menarik lebih banyak orang untuk datang ke show.

Konser-konser musik grunge dikenal sebagai pertunjukan musik yang menampilkan energi tinggi. Band grunge dengan tegas menolak kerumitan


(36)

28

dan pertunjukan berbiaya besar yang biasanya ditampilkan oleh jenis musik lain, termasuk di dalamnya tata cahaya panggung yang rumit, efek-efek visual yang tidak berkaitan dengan permainan musik itu sendiri. Mereka sangat menjaga penampilan panggung band itu sendiri tanpa harus direpotkan hal-hal bersifat teknis diluar penampilan mereka.

Jack Endino berkata (Hype!;1996) bahwa band-band Seattle sangat konsisten dalam menjaga penampilan panggungnya, semenjak tujuan utama mereka tidak lagi menjadi penghibur, tetapi lebih sederhana lagi, untuk "nge-rock habis!". Lebih lanjut, konser band grunge melibatkan interaksi langsung antara fans dan musisi, mereka berpartisipasi dalam stage diving, crowd surfing, headbanging, pogoing, dan moshing. (http: //echolic.blogspot.com/2010/06/grunge-indonesia-still-alive-catatan.html)

C. Tinjauan Mengenai Identitas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, identitas adalah ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang. Sedangkan diri adalah, seseorang (terpisah dari yang lain). Jika disimpulkan, identitas diri adalah ciri-ciri atau kedaan seseorang yang berbeda dengan orang lain. Setelah kita pahami makna identitas diri di atas, dapat kita pahami bahwa identitas diri merupakan hal yang mutlak ada dalam kehidupan manusia. Setiap orang memiliki identitas diri, dan hal itu tidak bisa disamakan dengan orang lain. Identitas bisa dikatakan sebagai pembeda seseorang dengan yang lainnya. Bisa dibayangkan apa yang terjadi seandainya semua orang tidak memiliki identitas diri masing-masing, maka yang terjadi adalah banyak


(37)

kesalahpahaman dalam mengenal seseorang, dan semacamnya.(http:// pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php)

Manusia memiliki dua peran dalam hidupnya. Pertama, ia merupakan makhluk individu, yang mau tak mau harus bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Kedua, manusia merupakan makhluk sosial yang harus bergaul dengan lingkungan sekitarnya. Setiap manusia akan digolongkan menurut jenis kelamin, ras, kebangsaan, suku, umur, agamanya, dan banyak lagi kategori lainnya.

Rasa memiliki sebuah identitas ini adalah sesuatu yang amat penting bagi manusia. Memiliki identitas akan menjadi sumber lahirnya kebanggaan, kebahagiaan, juga sumber tumbuhnya kekuatan dan kepercayaan diri. Saat seorang manusia menjadi semakin dewasa, maka ia akan menyadari keberadaan dirinya sebagai sebuah identitas terpisah yang tak berdaya menghadapi banyak hal. Oleh karenanya keterpisahan seorang manusia, membuat eksistensi diri seorang manusia menjadi tak tertahankan. Untuk membebaskan dirinya dari hal ini manusia kemudian mencari penyatuan, mengidentikkan dirinya dengan sesuatu, menyatukan dirinya dengan kelompok lain di luar dirinya. Oleh karena itu kemudian identitas dianggapnya sebagai sesuatu yang amat penting guna menapaki hidupnya. Hal ini semata-mata agar dia tidak merasa hidup seorang diri di dunia ini.

Rasa tentang identitas bisa memberi sumbangan berarti bagi kekuatan dan kehangatan hubungan kita dengan pihak lain, seperti tetangga, anggota kelompok yang sama, sesama warga negara, atau penganut agama yang sama. Perhatian kita pada identitas tertentu bisa mempererat pertalian dan membuat


(38)

30

kita bersedia melakukan berbagai hal satu sama lain dan turut membawa kita melampaui hidup yang berpusat pada diri sendiri. (http://achyar89.wordpress.com/)

Identitas menyatukan kita dengan sebuah kelompok, namun memisahkan kita dengan kelompok yang lain. Di banyak tempat di penjuru dunia pembagian identitas macam ini adalah akar dari segala kekerasan serta tindakan brutal yang tak berperikemanusiaan.

Hal memaknai identitas sebagai suatu produksi, bukan esensi yang tetap dan menetap. Dengan begitu, identitas selalu berproses, selalu membentuk, di dalam bukan di luar representasi. Ini juga berarti otoritas dan keaslian identitas dalam konsep ’identitas kultural’ misalnya, berada dalam masalah. Identitas hanya bisa ditandai dalam perbedaan sebagai suatu bentuk representasi dalam sistem simbolik maupun sosial, untuk melihat diri sendiri tidak seperti yang lain (Woodward dalam Woodward (ed.), 1997:8-15).

Identitas dapat dilihat sebagai sebuah konflik yang lengkap dengan daerah konflik atau medan dialognya. Identitas tersebut berusaha dibangun dan kemudian diperebutkan atau malah dipertentangkan, diubah, dipengaruhi, dilupakan atau juga ditinggalkan di dalam sebuah wacana. Identitas dalam sebuah masyarakat diingat, digali, dikumpulkan, diceritakan kembali atau malah dikubur, dilupakan dan dihapus dari pikiran kolektif. Identitas ditafsirkan sebagai sebuah budaya milik bersama, dimiliki secara bersama-sama oleh orang yang memiliki sejarah dan asal-usul yang bersama-sama.

Identitas menjadi rantai perubahan secara terus menerus, sebagai bentuk pelestarian masa lalu atau warisan budaya (primordial) dan sebagai bentuk


(39)

transformasi dan perubahan masa depan (kreatifitas perubahan budaya). Identitas digunakan untuk menjelaskan berbagai cara kita diposisikan dan sekaligus memposisikan diri kita secara aktif dalam narasi sejarah. Identitas akan selalu mengalami perubahan, pada kadar sekecil apapun sesuai dengan perubahan sejarah dan kebudayaan (Giddens, Anthony.1991, Modernity and Self identity).

Percepatan tempo kehidupan dalam masyarakat pasca industri, serta percepatan pergantian tanda, citra, makna, kode dan tafsiran simbolik, yang menggiring ke dalam kondisi yang di sebut kondisi ekstase kecepatan, sebuah kondisi ketika manusia hanyut atau bahkan tenggelam dalam arus kecepatan (perubahan atau pergantian tanda, citra dan makna), sehingga tidak mampu menyerap dan mengendapkan segala perubahan menjadi sesuatu yang bermakna. Identitas bukan sesuatu yang tetap yang bisa kita simpan, melainkan suatu proses menjadi (Alfred Vierkandt: 1867-1953).

Identitas yang dimaksud dalam penelitian ini digambarkan dalam bentuk sesuatu yang kasat mata atau terlihat pada seorang Grunge, baik itu dandanan atau gaya berpakaian dan sikap mereka dalam menghadapi kerasnya hidup. Identitas ini juga yang membedakan mereka dengan komunitas lainnya dikarenakan gaya berpakaian mereka yang berbeda. Pada haketatnya femonena ini bersifat konkret, terjadi disekeliling kita, bisa diobservasi, difoto dan didokumentasikan.


(40)

32

D. Tinjauan Mengenai Gaya Hidup

Berbeda dengan identitas, gaya hidup lebih menekankan pada aktivitas yang dilakukan sehari-hari, bukan lagi hanya sekedar penampilan fisik saja namun sudah sampai pada tahap penjiwaan. Entah siapa yang mulai mempopulerkan kata ini, atau pun ikut mendukung bahwa inilah jaman yang harus bergaya hidup. Kalau saja seseorang ikut trend terbaru yang berkembang saat ini, dia layak dikatakan orang yang bergaya hidup tinggi. Sebaliknya, jika tidak mau ikut-ikutan, akan dicap bergaya hidup rendah. Sebuah tudingan yang menurut penulis terlalu menghakimi, hingga muncullah gap atau jarak antara dua kelompok tersebut (http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php).

Gaya hidup adalah perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam aktivitas, minat dan opini khususnya yang berkaitan dengan citra diri untuk merefleksikan status sosialnya. Gaya hidup merupakan frame of reference yang dipakai sesorang dalam bertingkah laku dan konsekuensinya akan membentuk pola perilaku tertentu. Terutama bagaimana dia ingin dipersepsikan oleh orang lain, sehingga gaya hidup sangat berkaitan dengan bagaimana ia membentuk image di mata orang lain, berkaitan dengan status sosial yang disandangnya. Untuk merefleksikan image inilah, dibutuhkan simbol-simbol status tertentu, yang sangat berperan dalam mempengaruhi perilakunya.Fenomena ini pokok pangkalnya adalah stratifikasi sosial, sebuah struktur sosial yang terdiri lapisan-lapisan :

1. Dari lapisan teratas sampai lapisan terbawah. 2. Dalam struktur masyarakat modern,


(41)

4. Dan bukannya karena diberi atau berdasarkan garis keturunan (ascribed).

Selayaknya status sosial merupakan penghargaan masyarakat atas prestasi yang dicapai oleh seseorang. Jika seseorang telah mencapai suatu prestasi tertentu, ia layak di tempatkan pada lapisan tertentu dalam masyarakatnya. Semua orang diharapkan mempunyai kesempatan yang sama untuk meraih prestasi, dan melahirkan kompetisi untuk meraihnya (

http://lifestyle-awan.blogspot.com/)

Gaya hidup sering dijadikan patokan atau sebuah standar penempatan seseorang dalam sebuah kelompok atau pergaulan. Sebuah kondisi yang membuat orang-orang, terutama anak muda yang masih mencari jati diri dan pertemanan, terjebak dalam dunia konsumerisme. Melihat temannya memakai sesuatu yang terbaru, dengan alasan supaya tidak minder dan diterima dalam pergaulan, segala cara ditempuh supaya dia juga memilikinya.

Tidak heran pada akhirnya banyak orang yang terjebak dalam dunia keglamoran dengan aneka konsekuensi yang membuatnya pusing tujuh keliling akibat korban gaya hidup: masalah keuangan. Entah dari sekadar mempergunakan uang sekolah atau kuliah, mengoleksi sejumlah kartu kredit yang hampir semuanya over limit, menggantungkan diri pada lintah darat, hingga melakukan korupsi atau penipuan-penipuan keuangan yang akhirnya akan menghancurkan masa depannya sendiri.

Di sisi lain, gaya hidup juga terkadang menjadi sebuah pilihan hidup bagi seseorang. Sebuah kenyamanan dan ketenangan akan didapatkan apabila dia


(42)

34

telah menjalani gaya hidupnya. Tidak selamanya gaya hidup itu penuh akan keglamoran. Komunitas Grunge juga memiliki gaya hidup, tetapi sangat jauh dari keglamoran. Mereka justru memilih gaya hidup yang sederhana. Dan dengan gaya hidup yang sederhana ini mereka mencoba untuk lebih baik menjalani hidup mereka seterusnya.

E. Kerangka Pemikiran

Melihat dari tinjauan diatas, penulis ingin melakukan penelitian terhadap para remaja yang sampai selama ini mengadopsi ideologi Grunge pada kehidupan sehari-hari mereka, apakah ada penyesuaian lagi dengan kebudayaan/adat lokal yang telah ada sebelum ideologi ini mereka anut.

Untuk menjelaskan potret komunitas Grunge (Studi pada Kaum Kucel di Bandar Lampung), dapat dilihat pada gambar berikut:

Penganut Ideologi Grunge

di Bandar Lampung (Komunitas Kaum Kucel)

Identitas Grunge - Style berpakaian, - Potongan rambut.

Gaya hidup Grunge - Cara berfikir,

- Cara bersikap,

- Latar belakang anggota komunitas Grunge, - Latar belakang orang tua, - Musik sebagai salah satu


(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Metode penelitian adalah urutan kerja yang harus dilakukan dalam melaksanakan penelitian, termasuk alat-alat apa yang dipergunakan untuk mengukur maupun mengumpulkan data serta bagaimana melakukan penelitian di lapangan (Nasir,1998: 5). Tipe penelitian yang penulis digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Nawawi (1993:208) berpendapat bahwa objek dari penelitian kualitatif adalah manusia atau segala sesuatau yang dipengaruhi manusia. Objek itu diteliti dalam kondisi sebagaimana adanya atau dalam keadaan sewajarnya atau secara naturalistik (natural setting). Dalam proses penelitian kualitatif, data yang didapatkan catatan berisi tentang perilaku dan keadaan individu secara keseluruhan. Penelitian kualitatif menunjukkan pada prosedur riset yang menghasilkan data kualitatif, ungkapan atau catatan orang itu sendiri atau tingkah lakunya.

Menurut Suyono (1985:307), penelitian kualitatif adalah penelitian dengan metode pengumpulan sebanyak mungkin fakta detail secara mendalam


(44)

36

mengenai suatu masalah atau gejala guna mendapat pengertian tentang sebanyak mengkin sifat masalah atau gejala itu.

Karena pendapat tersebut di atas sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penulis untuk memaparkan tentang potret komunitas Grunge, maka tipe penelitian kualitatif penulis rasa tepat digunakan sebagai tipe penelitian pada penelitian ini.dengan mengunakan tipe penelitian kualitatif, penulis berusaha mengetahui secara mendetail alasan mendasar remaja atau seorang dewasa mengadopsi Grunge sebagai gaya hidup mereka. Untuk mendapatkan informasi tersebut, penulis juga menggunakan pendekatan kualitatif dengan maksud penulis dapat menjajaki secara lebih mendalam objek yang akan diteliti yaitu komunitas Kaum Kucel.

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian bertujuan untuk membatasi studi yang akan diteliti. Tanpa penggunaan fokus penelitian, maka nantinya penulis akan terjebak oleh melimpahnya volume data yang diperoleh pada saat di lapangan. Untuk mengetahui bagaimana potret komunitas Grunge dilihat dari sisi identitas dan gaya hidup di Bandar Lampung, penulis mencoba untuk mengklasifikasikannya sebagai berikut :

1. Pengetahuan tentang Grunge,

2. Alasan tergabung dalam anggota kelompok musik Grunge,

3. Identitas Grunge, yang merupakan bentuk yang terlihat dan dapat dirasakan oleh indera yaitu :


(45)

a. Style berpakaian; yang meliputi pakaian, celana jeans, flanel maupun aksesoris yang digunakan oleh Grunge.

b. Potongan Rambut; gaya dan potongan rambut seorang Grunge.

4. Gaya Hidup Grunge, merupakan ciri dari mereka yang tidak terlihat tapi merupakan gambaran dalam diri mereka:

a. Cara berfikir; pola fikir yang digunakan dalam keseharian

b. Cara bersikap; aktifitas dansosialisasi terhadap masyarakat dalam keseharian

c. Latar belakang orang tua; Agama, tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi orang tua anggota komunitas Grunge

d. Latar belakang anggota komunitas Grunge; Agama, gender, tingkat pendidikan, usia dan tingkat ekonomi seorang Grunge

e. Musik sebagai salah satu bentuk apresiasi; musik yang di apresiasikan seorang Grunge dalam kesehariannya.

C. Teknik Penentuan Informan

Menurut pendapat Spradley dalam Faisal (1990:45) informan harus memiliki beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan yaitu :

1. Subjek yang telah lama dan intensif menyatu dengan suatu kegiatan atau medan aktivitas yang menjadi sasaran atau perhatian penelitian dan ini biasanya ditandai oleh kemampuan memberikan informasi di luar kepala tentang sesuatu yang ditanyakan.

2. Subjek masih terikat secara penuh serta aktif pada lingkungan dan kegiatan yang menjadi sasaran atau penelitian.


(46)

38

3. Subjek mempunyai cukup banyak waktu dan kesempatan unuk dimintai informasi.

4. Subjek yang dalam memberikan informasi tidak cenderung diolah atau dikemas terlebih dahulu dan mereka relatif masih lugu dalam memberikan informasi.

Penentuan informan pada penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling, di mana pemilihan dilakukan secara sengaja berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dan ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian.

Adapun kriteria dan informan yang ditunjuk atau dipilih dalam penelitian ini adalah informan yang mengadopsi identitas dan gaya hidup Grunge` dalam kesehariannya. Kriteria-kriteria informan dalam penelitian ini antara lain :

1. Orang yang menggemari dan mengadopsi gaya hidup grunge dalam kesehariannya

2. Orang yang menjadi anggota kelompok grunge

D. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian menurut Iskandar (2008:219) adalah situasi dan kondisi lingkungan tempat yang berkaitan dengan masalah penelitian. Moeleong (2000:86) menyatakan bahwa dalam penentuan lokasi penelitian cara terbaik yang ditempuh dengan jalan mempertimbangkan teori substantive dan menjajaki lapangan untuk mencari kesesuaian dengan kenyataan yang ada di lapangan, sementara itu keterbatasan geografis dan praktis seperti waktu, biaya dan tenaga perlu juga dijadikan pertimbangan dalam penentuan lokasi penelitian.


(47)

Guna memperoleh data, penelitian ini dilakukan pada komunitas Grunge yang bernama Kaum Kucel di Bandar Lampung. Dipilihnya lokasi ini karena dirasa dapat mewakili atas kelompok serupa lainnya yang ada di Bandar Lampung untuk menjelaskan potret komunitas Grunge di dalamnya.

E. Jenis Data

Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan ada dua macam yaitu : 1. Data Primer

Data ini bersumber dari responden secara langsung. Dalam prakteknya diperoleh dari wawancara. Selain itu dari pengamatan langsung terhadap situasi lokasi penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari sumber-sumber pendukung lokasi penelitian yaitu dokumen-dokumen data statistik, buku-buku, majalah, koran dan keterangan lainnya yang ada kaitannya dengan obyek penelitian.

F. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dan informasi pada penelitian ini digunakan beberapa teknik, antara lain :

1. Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu persoalan terentu. Ini merupakan proses tanya jawan lisan di mana dua orang atau lebih dapat berhadap-hadapan secara fisik. Metode wawancara mendalam ini digunakan untuk mendapat keterangan-keterangan secara mendalam dari permasalahan yang dikemukakan. Wawancara mencalam ini dengan percakapan secara langsung, bertatap muka dengan informan


(48)

40

yang diwawancarai. Dengan menggunakan metode wawancara mendalam ini diharapkan akan memperoleh data primer yang berkaitan dengan penelitian ini dan mendapat gambaran yang lebih jelas guna mempermudah dan menganalisis data selanjutnya. Wawancara mendalam akan dilakukan dengan pedoman wawancara. Hal ini dimaksudkan agar pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dapat terarah, tanpa mengurangi kebebasan dalam mengembangkan pertanyaan, serta suasana tetap terjaga agar kesan dialogis informan nampak

2. Studi Pustaka

Teknik ini merupakan penelaahan terhadap referensi-referensi yang berhubungan dengan faktor permasalahan penelitian. Dokumen yang dimaksud diantaranya adalah buku, artikel, skripsi, jurnal melalui internet, foto-foto yang digunakan untuk mengambil gambar informan dan melakukan wawancara.

G. Teknik Analisis Data

Menurut Sugiyono dalam Iskandar (2008:221), analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil pengamatan, wawancara, catatan lapangan, dan studi dokumentasi dengan cara mengotanisasikan data ke sintesis, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan mana yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain. Adapun teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.


(49)

1. Reduksi Data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan data, pengabstraksikan dan transformasi data kasar yang muncul dari wawancara. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan dapat ditarik dan diverivikasi (Miles dan Huberman, 1992:15). Setelah mengklasifikasikan data atas dasar tema kemudian peneliti melakukan abstraksi data kasar tersebut menjadi uraian singkat. 2. Tahap Penyajian Data (Display)

Menurut Miles dan Huberman (1992:14) data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Data yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam terhadap masyarakat dikumpulkan untuk diambil kesimpulan sehingga bisa dijadikan dalam bentuk narasi deskriptif. Menurut Iskandar (2008:223), dalam penyajian data, peneliti harus mampu menyusun secara sistematis atau simultan sehingga data yang diperoleh dapat menjelaskan atau menjawab masalah yang diteliti, untuk itu peneliti harus tidak gegabah dalam mengambil kesimpulan.

3. Tahap Penarikan Kesimpulan (Verifikasi)

Pengambilan kesimpulan juga merupakan analisis lanjutan dari reduksi data, dan display dat sehingga data dapat disimpulkan dan peneliti masih berpeluang untuk menerima masukan (Iskandar, 2008:223). Pada tahap ini data yang telah dihubungkan satu dengan yang lain sesuai dengan konfigurasi-konfigurasi lalu ditarik kesimpulan. Pada tahap ini, peneliti


(50)

42

selalu melakukan uji kebenaran setiap makna yang muncul dari data. Setiap data yang menunjang komponen uraian diklarifikasi kembali dengan informan. Apabila hasil klarifikasi memperkuat simpulan atas data yang tidak valid, maka pengumpulan data siap dihentikan.


(51)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan di bab sebelumnya tentang Identitas dan Gaya Hidup Grunge Studi kasus pada komunitas Kaum Kucel di Bandar Lampung dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain :

A. Kesimpulan

1. Pengenalan mereka terhadap subkultur Grunge dengan cara yang berbeda-beda, walaupun berbeda setelah mendapatkan sedikit pengetahuan tentang Grunge, mereka merasakan hal yang sama tentang Grunge ini, bahwa ini membuat mereka lebih menjadi diri sendiri dan kesederhanaan mereka dalam kehidupan sehari-hari.

2. Alasan seorang remaja tergabung dalam komunitas Grunge dan mengimitasi gaya hidupnya karena dari pengaruh pergaulan lingkungan pertemanannya, selain itu ada pula dikarenakan adanya kesamaan dalam hal kegemaran dengan musik Grunge . Atas dasar kesaman itulah mereka membentuk sebuah kelompok penggemar musik Grunge dengan nama Kaum Kucel. Pembentukan kelompok ini bertujuan untuk menyalurkan hobi para anggotanya yang menggemari musik Grunge. Walaupun mempunyai latar


(52)

79

belakang yang berbeda satu sama lainnya, di Komunitas Kaum Kucel ini. Mereka dipersatukan karena merasa berada di jalur yang sama.

3. Identitas Grunge yang dapat terlihat secara kasat mata adalah dari pakaiannya yang menggunakan kemeja flannel, kaos lusuh, jeans belel, cardigans dengan model v-neck, baju dengan merk Lonsdale, ataupun baju kaos yang bergambar tentang Grunge, sepatu boot yang bermerk Dr. Martens, Monkey Boot, atau sepatu casual Converse. Sedangkan untuk potongan rambut mereka membiarkan rambut mereka panjang tak beraturan bahkan sampai mewarnainya untuk membedakan mereka dengan komunitas lainnya.

4. Gaya hidup Grunge adalah menjadi individu yang sederhana dan lebih menjadi diri sendiri. Walaupun terkadang subkultur ini dipandang sebelah mata oleh masyarakat karena cara berpakaian mereka, akan tetapi mereka tetap memakai nilai-nilai Grunge sebagai salah satu gaya hidup mereka.

B. Saran

1. Pengetahuan tentang budaya baru yang coba masuk ke suatu lingkungan dapat dari bermacam cara. Baik itu melalui media maupun sekedar obrolan saja. Baiknya seorang yang coba mengenal suatu budaya baru, mempunyai pemahaman tentang budaya lokal yang kuat. Agar budaya yang baru tersebut dapat menyesuaikan dengan kearifan lokal.

2. Dalam pengenalan budaya baru yang masuk ke Indonesia khususnya pada remaja yang sedang mencari jati diri, baiknya tetap memperhatikan budaya yang telah ada. Karena tidak semua dari budaya Grunge ini sesuai dengan kultur Indonesia yang telah ada sebelumnya. Disinilah peran orang tua


(53)

maupun individu-individu yang sudah mengerti tentang sub-kultur skinhead ini.

3. Sebaiknya untuk style Grunge ini sendiri disesuaikan dengan kondisi ekonomi tiap individu, jangan memaksakan untuk membeli produk yang harganya terbilang mahal karena kebanyakan produk untuk style Grunge merupakan produk luar negeri.

4. Sepenuhnya penulis mendukung gaya hidup seorang Grunge, karena dengan ini mereka dapat menjadi orang yang optimis, sederhana, lebih percaya diri, bangga akan dirinya, seorang yang pintar dalam mensiasati hidupnya dan selalu bersemangat menjalani hidup.


(54)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

DIPL, Gerungan. 1991. Psikologi Sosial. PT. Eresco. Bandung

Faisal, Snapiah. 1990. Metode Penelitian Pendidikan. PT. Usaha-Usaha Nasional. Surabaya

Moleong, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung

Nawawi, Hadari. 1990. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Nawawi, Hadiri dan Mimi Martini. 1994. Penelitian Kualitatif. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Nazir, Moh. 1998. Metode Penelitian. PT. Ghalia Indonesia. Jakarta

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Pers. Jakarta

Soekanto, Soerjono. 1992. Memperkenalkan Sosiologi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Usman, Husaini dan Purnomo Setiyadi A. 1995. Metode Penelitian Sosial. Bumi Aksara. Bandung

M. Habib Mustopo, 1983. Ilmu Budaya Dasar


(55)

(Encyclopedie Van Nedderland Indie, D.C.STIBBE bagian IV)

Internet

(www.wikihow.com; grunge tips)

(http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php)

(http://achyar89.wordpress.com/)

(http://echolic.blogspot.com/2010/06/grunge-indonesia-still-alive-catatan.html)

(http://lifestyle-awan.blogspot.com/)


(56)

(57)

(58)

Gambar Lokasi Penelitian


(59)

(60)

Gambar Pekalongan Grunge Charity 1


(61)

Gambar Pekalongan Grunge Charity 3


(62)

Gambar Batang Still Alive Pekalongan 1


(63)

Gambar Batang Still Alive Pekalongan 3


(64)

Gambar Batang Still Alive Pekalongan 5


(65)

Gambar Batang Still Alive Pekalongan 7


(1)

Gambar Pekalongan Grunge Charity 1


(2)

Gambar Pekalongan Grunge Charity 3


(3)

Gambar Batang Still Alive Pekalongan 1


(4)

Gambar Batang Still Alive Pekalongan 3


(5)

Gambar Batang Still Alive Pekalongan 5


(6)

Gambar Batang Still Alive Pekalongan 7