DESKRIPSI KEBIJAKAN FISKAL DAERAH TERHADAP KEMISKINAN DI PROVINSI LAMPUNG

(1)

DESKRIPSI KEBIJAKAN FISKAL DAERAH TERHADAP KEMISKINAN DI PROVINSI LAMPUNG

Oleh

DESTY ANGGRENI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi

Pada

Jurusan Ekonomi Pembangunan

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

DESKRIPSI KEBIJAKAN FISKAL DAERAH TERHADAP KEMISKINAN DI PROVINSI LAMPUNG

Oleh :

DESTY ANGGRENI

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis

bagaimana pengaruh masing-masing variabel independen yaitu penerimaan daerah dan pengeluaran pemerintah sebagai instrumen kebijakan fiskal terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Lampung.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode statistik deskriptif dengan menggunakan teori-teori dan data-data yang

berhubungan dengan penelitian ini. Data yang dipakai adalah data runtun waktu (time series) selama periode 2002-2011.

Hasil analisis penelitian ini menunjukan bahwa kebijakan penerimaan daerah sebagai instrumen kebijakan fiskal berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan dan pengeluaran pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan di Provinsi Lampung.

Kata kunci : Kebijakan Fiskal Daerah, Penerimaan Daerah, Pengeluaran Pemerintah, Kemiskinan


(3)

(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK

ABSTRACT

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Ruang Lingkup Penelitian ... 11

E. Manfaat Penelitian ... 11

F. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 12

G. Hipotesis Penelitian ... 14

II. LANDASAN TEORI A. Teori Kebijakan Fiskal ... 15

B. Teori Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ... 16

C. Teori Pendapatan Daerah ... 19

1. Pendapatan Asli Daerah ... 20

2. Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah ... 21

3. Transfer Pusat ke Daerah ... 26

4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah ... 30

D. Teori Pengeluaran Pemerintah ... 30

1. Pengeluaran Rutin ... 33

2. Pengeluaran Pembangunan ... 33

E. Kemiskinan ... 34


(7)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian ... 46

B. Lokasi Penelitian ... 46

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 47

D. Jenis dan Sumber Data ... 48

E. Metode Penelitian... 48

F. Teknik Analisis ... 49

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan Fiskal Daerah ... 50

1. Penerimaan Daerah ... 52

2. Pengeluaran Pemerintah ... 62

B. Kemiskinan ... 66

1. Jumlah Penduduk Miskin ... 66

C. Kaitan Kebijakan Fiskal dengan Tingkat Kemiskinan... 67

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 70

B. Saran ... 71 DAFTAR PUSTAKA


(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Kemiskinan merupakan isu sentral yang dihadapi oleh semua negara di dunia termasuk negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Kemiskinan menjadi masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus dalam merancang kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan. Permasalahan kemiskinan akibat ketidakmerataan pembangunan tidak langsung menekan tingkat kemiskinan di Provinsi Lampung. Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar ataupun sulitnya akses terhadap

pendidikan dan pekerjaan.

Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Kondisi inilah yang membuat kebijakan fiskal harus dibuat sebaik mungkin dalam penerimaaan dan pengeluarannya sehingga dapat memberikan penghidupan yang lebih baik bagi masyarakat miskin.

Sampai saat ini definisi tentang kemiskinan juga sangat beragam. Terutama bila kemiskinan dilihat dari pendekatan subyektif. Konsep kemiskinan itu antara lain


(9)

dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan

memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral.

Kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan bahan di berbagai keadaan hidup. Penggunaan istilah ini termasuk : (1) Penggambaran kebutuhan material termasuk kekurangan bahan pokok dan pelayanan, dan (2) Keadaan ekonomi dimana kekurangan kekayaan (biasanya dianggap sebagai modal, uang, barang material, atau sumber daya). Kemiskinan juga merupakan bentuk ketidakmampuan terhadap pihak penguasa sehingga mereka masuk dalam pihak kategori yang lemah yang tidak bisa berbuat apa-apa, terancam dan tereksploitasi dan juga kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat (Mubyarto, 2002).

Menurut Mubyarto (2002) bila kemiskinan dilihat dengan hal ini maka dapat mempermudah dalam melihat indikator kemiskinan, tetapi tetap tidak cukup layak untuk mengkategorikan seseorang dalam kemiskinan karena (1) tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan, (2) dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai, dan (3) tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor bahkan bisa kontraproduktif.

Todaro dan Smith (2003) mendeskripsikan kaum miskin sebagai berikut : Mereka ini berjumlah lebih dari tiga perempat total penduduk dunia yang kini hampir mencapai 6 milyar jiwa, nasibnya jauh kurang beruntung karena sehari – harinya harus hidup dalam kondisi serba kekurangan. Mereka tidak memiliki rumah


(10)

sendiri, dan kalaupun punya ukurannya begitu kecil. Persediaan makanan yang ada juga acapkali tidak memadai. Kondisi kesehatan mereka pada umumnya tidak begitu baik ataupun buruk, dan banyak dari mereka yang buta huruf, serta

menganggur. Masa depan mereka untuk mencapai suatu kehidupan yang lebih baik biasanya suram atau sekurang – kurangnya tidak menentu.

Konsep tentang kemiskinan dari Bappenas adalah kemiskinan dilihat dari kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan

kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar menurut Bappenas yaitu

terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari

perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Dalam melihat hak-hak ini Bappenas menggunakan beberapa pendekatan yaitu pendekatan kebutuhan dasar, pendekatan pendapatan, pendekatan kemampuan dasar dan pendekatan objektif dan subjektif. Dengan pemahaman yang memadai terhadap masalah kemiskinan, maka diharapkan para pembuat kebijakan dapat

merumuskan kebijakan dan program yang tepat sasaran, sehingga masalah kemiskinan dapat dipecahkan atau setidaknya ditekan sampai pada tingkat yang serendah mungkin.

Berikut adalah data Persentase Jumlah Penduduk Miskin per Provinsi di Indonesia Tahun 2010 – 2011 :


(11)

Tabel 1. Persentase Jumlah Penduduk Miskin per Provinsi di Indonesia Tahun 2010 – 2011

Provinsi

Jumlah Penduduk Miskin (ribu)

Persentase Penduduk Miskin

2010 2011 2010 2011

Aceh 861,85 900,19 20,98 19,48

Sumatera Utara 1.490,90 1.421,44 11,31 10,83

Sumatera Barat 430,02 441,80 9,50 8,99

Riau 500,26 472,45 8,65 8,17

Kepulauan Riau 129,66 122,50 8,05 6,79

Jambi 241,61 251,79 8,34 7,90

Sumatera Selatan 1.125,7 1.061,87 15,47 13,95

Kep. Bangka Belitung 67,75 65,55 6,51 5,16

Bengkulu 324,93 303,35 18,30 17,36

Lampung 1.479,9 1,277,93 18,94 16,58

DKI Jakarta 312,18 355,20 3,48 3,64

Jawa Barat 4.773,7 4.650,81 11,27 10,57

Banten 758,16 690,87 7,16 6,26

Jawa Tengah 5.369,2 5.255,99 16,56 16,21

DI Yogyakarta 577,30 564,23 16,83 16,14

Jawa Timur 5.529,3 5.227,31 15,26 13,85

Bali 174,93 183,13 4,88 4,59

Nusa Tenggara Barat 1.009,4 896,19 21,55 19,67

Nusa Tenggara Timur 1.014,1 986,50 23,03 20,48

Kalimantan Barat 428,76 376,12 9,02 8,48

Kalimantan Tengah 164,22 150,02 6,77 6,64

Kalimantan Selatan 181,96 198,61 5,21 5,35

Kalimantan Timur 243,00 247,13 7,66 6,63

Sulawesi Utara 206,72 194,72 9,10 8,46

Gorontalo 209,89 192,40 23,19 18,02

Sulawesi Tengah 474,99 432,07 18,07 16,04

Sulawesi Selatan 913,43 835,51 11,60 10,27

Sulawesi Barat 141,33 163,18 13,58 13,64

Sulawesi Tenggara 400,70 334,28 17,05 14,61

Maluku 378,63 356,40 27,74 22,45

Maluku Utara 91,07 107,08 9,42 10,00

Papua 761,62 944,79 36,80 31,24

Papua Barat 256,25 249,84 34,88 28,53

Indonesia 31.023,39 29.890,14 13,33 12,36

Sumber: Diolah dari Susenas panel modus konsumsi. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi, BPS.


(12)

Menurut Tabel 1, kondisi kemiskinan Provinsi Lampung pada tahun 2010 berada pada peringkat ke-8 terbesar di Indonesia dengan proporsi penduduk sebesar 1.479.900 jiwa dan turun menjadi peringkat ke-9 dengan jumlah penduduk sebesar 1.277.930 jiwa pada tahun 2011.

Terkait dengan target tujuan pembangunan milenium yang telah disepakati Indonesia mengenai penanggulangan kemiskinan dan kelaparan yang harus tercapai pada tahun 2015, maka pemerintah, khususnya pemerintah Provinsi Lampung masih harus bekerja keras untuk mencapai target tersebut, mengingat upaya penanggulangan kemiskinan bukan merupakan hal yang mudah untuk dilaksanakan demi tercapainya masyarakat yang sejahtera.

Menurut Badan Pusat Statistik (2010), penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan. Penetapan perhitungan garis kemiskinan dalam masyarakat adalah masyarakat yang berpenghasilan dibawah Rp 7.057 per orang per hari. Penetapan angka Rp 7.057 per orang per hari tersebut berasal dari perhitungan garis kemiskinan yang mencakup kebutuhan makanan dan non makanan. Untuk kebutuhan minimum makanan disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per kapita per hari. Garis kemiskinan non makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, pendidikan, dan kesehatan.

Sedangkan ukuran menurut World Bank menetapkan standar kemiskinan berdasarkan pendapatan perkapita. Penduduk yang pendapatan per kapitanya kurang dari sepertiga rata-rata pendapatan per kapita nasional, maka termasuk dalam kategori miskin. Dalam konteks tersebut, maka ukuran kemiskinan menurut


(13)

World Bank adalah USD $2 per orang per hari. Adapun data perkembangan persentase penduduk miskin di Provinsi Lampung, tahun 2002-2011 dapat dilihat dari gambar 1 berikut :

30 27 24 21 18 15 12

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Gambar 1. Perkembangan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi

Lampung Tahun 2002 – 2011

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, (data diolah).

Dari gambar 1 tersebut diketahui bahwa persentase penduduk miskin tahun 2002 sebesar 24,05%, tahun 2003 sebesar 22,63%, tahun 2004 sebesar 22,22% pada tahun 2005 sebesar 21,42%, 2006 sebesar 22,77%, 2007 sebesar 22,19%, 2008 sebesar 20,93%, 2009 sebesar 20,22%, 2010 sebesar 18,94%, dan pada tahun 2011 jumlah penduduk miskin Provinsi Lampung turun menjadi 16,93%.

Peran pemerintah dalam mengurangi laju pertumbuhan penduduk miskin salah satunya adalah dalam bentuk kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal merupakan bentuk intervensi pemerintah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian dengan


(14)

maksud agar keadaan perekonomian tidak terlalu menyimpang dari keadaan yang diinginkan dengan alat (policy instrument variable) berupa pajak (T), transfer pemerintah (Tr), dan pengeluaran pemerintah (G). Kebijakan fiskal disebut juga kebijakan anggaran (budgetary policy) yang dilakukan melalui anggaran

pendapatan dan belanja negara (APBN), (Dornbusch. at al. 2008; Romer, 2001).

Kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah

penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.

Tujuan kebijakan fiskal adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memperluas lapangan kerja dalam rangka mengurangi pengangguran, menanggulangi kemiskinan, dan mengatasi inflasi (Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2009). Penerapan kebijakan fiskal diharapkan dapat membantu merangsang pertumbuhan perekonomian daerah, sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi kemiskinan.

Pelaksanaan kebijakan fiskal daerah di Provinsi Lampung memberikan pengaruh yang cukup signifikan pada penerimaan pendapatan asli daerah (PAD), terlihat dengan meningkatnya penerimaan PAD dari tahun ke tahun. Penerimaan PAD ini sebagian akan digunakan dalam perencanaan pembangunan. Perencanaan dan


(15)

penganggaran pembangunan diharapkan dapat mengentaskan kemiskinan yang sebagian besar menjadi tanggung jawab pemerintah daerah bersama masyarakat.

Tingginya tingkat kemiskinan masyarakat Indonesia, salah satunya karena

rendahnya kinerja pencapaian kesejahteraan masyarakat pada skala pembangunan daerah. Hal ini karena masih belum efektif dan meratanya alokasi pembangunan pada setiap daerah. Berikut ini data – data mengenai penerimaan daerah dan pengeluaran pemerintah dalam peranannya mempengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi Lampung :

Tabel 2 Penerimaan Daerah Provinsi Lampung Tahun 2002 - 2011

Tahun

Pendapatan Asli Daerah

Transfer Pusat Ke Daerah

Lain-Lain Pendapatan yang

Sah 2002 237,011,653,000 328,183,700,000 0 2003 306,859,131,000 393,449,019,000 63,447,000 2004 410,682,088,000 410,775,132,000 1,268,235,000 2005 549,673,305,000 561,566,863,000 63,447,000 2006 631,981,956,000 662,966,877,000 0

2007 674,693,660,000 686,784,795,000 12,617,592,000 2008 891,761,560,000 817,632,624,000 13,622,459,000 2009 860,357,826,000 829,026,291,000 53,002,723,000 2010 1,118,340,908,000 908,420,167,000 64,923,054,000 2011 1,132,601,212,000 1,161,193,286,000 68,027,826,000 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Provinsi Lampung, 2011

Menurut Tabel 2, Penerimaan Daerah Provinsi Lampung mengalami kenaikan disetiap tahunnya. Pendapatan asli daerah Provinsi Lampung terendah terjadi pada tahun 2002 sebesar Rp. 237.011.653.000 dan tertinggi terjadi pada tahun 2011 sebesar Rp. 1.132.601.212.000. Transfer pusat ke daerah terendah terjadi pada tahun 2002 sebesar Rp. 328.183.700.000 dan tertinggi terjadi pada tahun 2011 sebesar Rp. 1.161.192.286.000 dan Lain-lain pendapatan yang sah tidak ada


(16)

penerimaan pada tahun 2002 dan 2006 dan penerimaan tertinggi pada tahun 2011 sebesar Rp 68.027.826.000.

Tabel 3 Pengeluaran Pemerintah Provinsi Lampung Tahun 2002-2011 Tahun Pengeluaran Rutin Pengeluaran Pembangunan

2002 147,975,681,000 391,142,244,000 2003 175,209,285,000 468,649,873,000 2004 206,501,927,000 544,606,824,000 2005 341,994,244,000 595,816,587,000 2006 744,321,160,000 596,735,505,000 2007 766,700,354,000 748,559,857,000 2008 1,062,018,773,000 648,996,390,000 2009 1,053,357,172,000 793,750,676,000 2010 968,441,248,000 1,036,457,939,000 2011 1,143,029,805,000 1,423,049,501,000 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Provinsi Lampung, 2011

Menurut Tabel 3 Pengeluaran Daerah Provinsi Lampung mengalami naik turun. Pengeluaran Rutin Pemerintah Daerah Provinsi Lampung terendah terjadi pada tahun 2002 sebesar Rp. 147,975,681,000 dan tertinggi terjadi pada tahun 2011 sebesar Rp. 1.143.029.805.000 dan Pengeluaran Pembangunan terendah terjadi pada tahun 2002 sebesar Rp. 391.142.244.000 dan tertinggi terjadi pada tahun 2011 sebesar Rp. 1.423.049.501.000.

Namun adanya fakta dimana di satu sisi pemerintah telah banyak melakukan kebijakan-kebijakan dalam upaya penanggulangan kemiskinan dan di sisi yang lain kemiskinan ternyata masih saja menjadi persoalan serius yang dihadapi pemerintah daerah Provinsi Lampung telah mendorong penulis untuk melakukan suatu analisis tentang “Deskripsi Kebijakan Fiskal Daerah terhadap


(17)

B. Rumusan Masalah

Kemiskinan merupakan tolok ukur kondisi sosial ekonomi dalam menilai keberhasilan pembangunan yang dilakukan pemerintah di suatu daerah. Banyak sekali masalah-masalah sosial yang bersifat negatif yang timbul akibat

meningkatnya kemiskinan.

Jumlah penduduk miskin di Provinsi Lampung pada tahun 2010 relatif lebih tinggi di banding provinsi lain di Indonesia. Hal ini tampak pada Tabel 1 yang menunjukkan bahwa Provinsi Lampung menempati peringkat ke-8 penduduk miskin terbesar di Indonesia. Sedangkan pengeluaran pemerintah yang meningkat dari tahun ke tahun belum dapat menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh kebijakan fiskal daerah, melalui pendapatan daerah dan pengeluaran pemerintah terhadap kemiskinan di Provinsi Lampung. Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaruh penerimaan daerah (instrumen kebijakan fiskal) terhadap kemiskinan di Provinsi Lampung?

2. Bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah (instrumen kebijakan fiskal) terhadap kemiskinan di Provinsi Lampung?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Mengetahui pengaruh penerimaan daerah terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Lampung.


(18)

2. Mengetahui pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Lampung.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Analisis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini hanya meliputi kebijakan fiskal daerah saja. Keterbatasan penelitian ini hanya melihat Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah satu pemerintahan saja.

Agar penelitian di masa yang akan datang dapat menjadi lebih baik, sebaiknya penelitian selanjutnya tidak hanya membahas satu daerah saja melainkan untuk 14 kabupaten/kotamadya yang ada di Provinsi Lampung serta menambah variabel lain dan membandingkan perkembangannya dengan tingkat kemiskinan.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :

1. Sebagai bahan masukan untuk mengetahui penyebab tingginya tingkat kemiskinan di Provinsi Lampung.

2. Sebagai rujukan bagi pembuat kebijakan pembangunan di Provinsi Lampung khususnya yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan. 3. Sebagai saran untuk menerapkan ilmu yang diperoleh selama perkuliahan

untuk diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

4. Sebagai referensi dan kajian pustaka untuk penelitian lebih lanjut dengan tema yang sama di masa – masa yang akan datang.


(19)

F. Kerangka Pemikiran Teoritis

Dalam perspektif pembangunan daerah, pemerintah daerah berperan kuat dalam menurunkan tingkat kemiskinan melalui kebijakan fiskal daerah. Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mengelola dan mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih baik atau diinginkan dengan cara mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah.

Strategi kebijakan fiskal dilakukan untuk mencapai tujuannya yaitu mencegah pengangguran dan meningkatkan kesempatan kerja, menstabilitasi harga,

mengatur laju investasi, mendorong investasi sosial secara optimal,

menanggulangi inflasi, meningkatkan dan meredistribusikan pendapatan nasional dan meningkatkan stabilitas ekonomi ditengah ketidakstabilan internasional. Strategi kebijakan fiskal tersebut dapat dilakukan dengan memaksimalkan penerimaan daerah melalui Pendapatan Asli Daerah dan transfer pusat ke daerah sebagai salah satu alat yang berperan dalam mendanai pembangunan ekonomi melalui pengeluaran pemerintah dalam peranannya untuk menurunkan tingkat kemiskinan.

Komponen penerimaan daerah difokuskan pada Pendapatan Asli Daerah dan Transfer Pusat ke Daerah. Pengeluaran pemerintah difokuskan pada pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat digambarkan skema penelitian konseptual sebagai berikut :


(20)

Gambar 2 Kerangka Konseptual

Gambar 3. Hubungan Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Kemiskinan

Kebijakan Fiskal Daerah

APBD Provinsi Lampung Pendapatan Daerah Pengeluaran Pemerintah Lain-lain pendapatan yang sah Transfer Pusat ke Daerah P A D Pengeluaran Rutin Pengeluaran Pembangunan Kemiskinan Penerimaan Daerah (X1) Kemiskinan (Y) Pengeluaran Pemerintah (X2)


(21)

G. Hipotesis Penelitian

Hipotesis tidak lain dari jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang kebenarannya harus diuji secara empiris. Hipotesis menyatakan hubungan apa yang kita cari atau yang ingin kita pelajari. Hipotesis adalah pernyataan yang diterima secara sementara sebagai suatu kebenaran sebagaimana adanya, pada saat fenomena dikenal dan merupakan dasar serta panduan dalam verifikasi. Hipotesis adalah keterangan sementara dari hubungan fenomena-fenomena yang kompleks. (Nazir, 2003). Adapun hipotesis dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :

1. Diduga penerimaan daerah (instrumen kebijakan fiskal) berpengaruh negatif terhadap kemiskinan di Provinsi Lampung.

2. Diduga pengeluaran pemerintah (instrumen kebijakan fiskal) berpengaruh positif terhadap kemiskinan di Provinsi Lampung.


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mengelola/mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih baik atau diinginkan dengan cara mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah.

Kebijakan fiskal daerah merupakan salah satu kebijakan dalam perekonomian yang dilakukan oleh pemerintah melalui instrumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah provinsi yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. APBD berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran daerah selama satu tahun anggaran.

APBD merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan daerah dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabilitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum.

Dalam buku teori ekonomi makro, penerimaan pemerintah diasumsikan berasal dari pajak. Besarnya pajak yang diterima pemerintah dipengaruhi oleh tingkat


(23)

pendapatan, sebaiknya pajak dapat dipengaruhi pola Prilaku produksi dan konsumsi.

Secara ekonomi, pajak dapat didefinisikan sebagai pemindahan sumber daya yang ada disektor rumah tangga dan perusahaan (dunia usaha) ke sektor pemerintah melalui mekanisme pemungutan tanpa wajib memberi balas jasa langsung. Jika, pungutan pemerintah sifatnya memberi balas jasa langsung, maka pengutan tersebut disebut retribusi. (Budiarto, 2008)

B. Teori Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Reformasi Keuangan Daerah sebagai konsekuensi logis dari otonomi daerah memberikan peluang untuk menunjukan kemampuan dalam megelola anggaran pendapatan daerah tanpa banyak campur tangan Pemerintah Pusat atau Provinsi (Pasal 40 PP No. 105/2000). Dapat dikatakan bahwa yang menjadi perhatian utama dalam Pengelolaan Keuangan Daerah adalah adanya paradigma baru dalam manajemen atau pengelolaan anggaran pendapatan daerah. Anggaran pendapatan dan belanja daerah sebagai suatu arahan kegiatan operasional dan sebagai suatu alat komunikasi terhadap publik. Masing-masing maksud atau tujuan tersebut mempunyai kriteria-kriteria tersendiri untuk evaluasinya, menurut (Coe(1989) dalam Mardiasmo, 108:2002).

Menurut teori keyness, APBD merupakan salah satu mesin pendorong

pertumbuhan ekonomi. Peranan APBD sebagai pendorong dan salah satu penentu tercapainya target dan sasaran makro ekonomi daerah diarahkan untuk mengatasi berbagai kendala dan permasalahan pokok yang merupakan tantangan dalam mewujudkan agenda masyarakat yang sejahtera dan mandiri. Kebijakan


(24)

pengelolaan APBD difokuskan pada optimalisasi fungsi dan manfaat pendapatan dan belanja daerah bagi tercapainya sasaran atas agenda- agenda pembangunan tahunan.

APBD adalah rencana kerja Pemerintah Daerah dalam bentuk uang (Rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun). Anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Sebagai instrument kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah menjalankan fungsi dan peranannya secara efesien, sedangkan efektifitas diartikan sebagai upaya untuk menyelaraskan kapabilitasnya dengan tuntutan dan kebutuhan publik (World Bank (1997) dalam Mardiasmo (2002)).

Di bidang pengelolaan pendapatan daerah, akan terus diarahkan pada peningkatan PAD. Untuk merealisasikan hal tersebut akan dilakukan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi dengan mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan yang telah ada maupun menggali sumber-sumber baru. Sebagai langkah awal untuk mewujudkan peningkatan pendapatan daerah beberapa hal penting yang perlu dilakukan antara lain dengan memperbaharui data obyek pajak, peningkatan pelayanan dan

perbaikan administrasi perpajakan, peningkatan pengawasan terhadap wajib pajak, peningkatan pengawasan internal terhadap petugas pajak, dan mencari sumber-sumber pendapatan lainnya yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Sementara pada sisi belanja, kebijakan pengelolaan belanja daerah diarahkan untuk meningkatkan fungsi pelayanan kepada masyarakat, dengan mengupayakan


(25)

peningkatan porsi belanja pembangunan dan melakukan efisiensi pada belanja aparatur. Pengeluaran belanja daerah berdasarkan pada konsep Value for Money yang tercermin dalam indikator 3-E (Ekonomi, Efisien dan Efektivitas).

Pengertian dari indikator 3-E dapat disajikan sebagai berikut (Ana Dwi Kurniawati dalam Mulyanto( 2003)):

1. Ekonomi

Indikator ekonomi dihasilkan dari suatu perbandingan antara input (masukan) dengan input value (nilai uang). Indikator ekonomi juga

menunjukan adanya praktek pemberian barang dan jasa pada kualitas yang diinginkan dan pada harga yang terbaik yang dimungkinkan (spending tess). Pengertian ekonomi sebaiknya mencakup juga pengertian bahwa pengeluaran daerah hendaknya dilakukan secara berhati-hati (prudency) dan keuangan daerah harus digunakan secara optimal tanpa pemborosan (hemat).

2. Efesiensi

Indiktor efesiensi erat kaitannya dengan konsep produktivitas yaitu rasio yang membandingkan antara output (keluaran) yang dihasilkan terhadap input (masukan) yang digunakan. Proses kegiatan operasional telah

dilakukan secara efesien, apabila suatu target kinerja tertentu dapat dicapai dengan penggunaan sumber daya dan biaya yang serendah-rendahnya diperbandingkan secara relatif terhadap kinerja usaha sejenis atau antar kurun waktu (spending well). Indikator efesiensi diukur dengan rasio antara output (keluaran) dan secondary input (masukan sekunder).


(26)

3. Efektivitas

Indikator efektivitas merupakan perbandingan antara outcome

(pencapaian/dampak) dengan output (keluaran). Kegiatan operasional dikatakan efektif apabila proses keigatan mencapai tujuan dan sasaran akhir dari suatu kebijakan (spending wesely) yang telah ditetapkan.

Indikator efektivitas juga berarti dapat diselesaikannya suatu kegiatan pada waktunya dan di dalam batas anggaran yang tersedia atau dapat mencapai tujuan dan sasaran seperti apa yang direncanakan. Efektivitas

menggambarkan jangkauan akibat dan dampak dari keluaran program dalam mencapai tujuan program (yaitu Outcome atau hasilnya dalam mencapai tujuan fungsional dan tujuan akhir).

C. Teori Pendapatan Daerah

Pendapatan daerah adalah semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah yang menambah ekuitas dana lancar yang merupakan hak pemerintah daerah dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah (UU No 33 Tahun 2004). Sehubungan dengan hal tersebut, pendapatan daerah yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan. Pendapatan Daerah merupakan hak Pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode yang bersangkutan. Semua barang dan jasa sebagai hasil dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang beroperasi di wilayah domestik, tanpa

memerhatikan apakah faktor produksinya berasal dari atau dimiliki oleh penduduk daerah tersebut.


(27)

1. Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Pendapatan Asli Daerah bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah (meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro,

pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah).

Menurut Warsito (2001) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang bersumber dan dipungut sendiri oleh pemerintah daerah. Sumber PAD terdiri dari: pajak daerah, restribusi daerah, laba dari badan usaha milik daerah (BUMD), dan pendapatan asli daerah lainnya yang sah.

Sedangkan menurut Herlina Rahman(2005) Pendapatan asli daerah Merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah ,hasil distribusi hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otoda sebagai perwujudan asas desentralisasi.

Kebijakan keuangan daerah diarahkan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah sebagai sumber utama pendapatan daerah yang dapat dipergunakan oleh daerah dalam rnelaksanakan pemerintahan dan pembangunan daerah sesuai dengan kebutuhannya guna memperkecil ketergantungan dalam mendapatkan


(28)

dana dan pemerintah tingkat atas (subsidi). Dengan demikian usaha peningkatan pendapatan asli daerah seharusnya dilihat dari perspektif yang Iebih luas tidak hanya ditinjau dan segi daerah masing-masing tetapi daham kaitannya dengan kesatuan perekonomian Indonesia. Pendapatan asli daerah itu sendiri, dianggap sebagai alternatif untuk memperoleh tambahan dana yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan pengeluaran yang ditentukan oleh daerah sendiri khususnya keperluan rutin. Oleh karena itu peningkatan pendapatan tersebut merupakan hal yang dikehendaki setiap daerah. (Mamesa, 1995)

Sebagaimana telah diuraikan terlebih dahulu bahwa pendapatan daerah dalam hal ini pendapatan asli daerah adalah salah satu sumber dana pembiayaan

pembangunan daerah pada kenyataannya belum cukup memberikan sumbangan bagi pertumbuhan daerah, hal ini mengharuskan pemerintah daerah menggali dan meningkatkan pendapatan daerah terutama sumber pendapatan asli daerah.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi Daerah, basil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai mewujudan asas desentralisasi. (Penjelasan UU No.33 Tahun 2004)

2. Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah

Dalam upaya memperbesar peran pemerintah daerah dalam pembangunan, pemerintah daerah dituntut untuk lebih mandiri dalam membiayai kegiatan


(29)

operasionah rumah tangganya. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa pendapatan daerah tidak dapat dipisahkan dengan belanja daerah, karena adanya saling terkait dan merupakan satu alokasi anggaran yang disusun dan dibuat untuk melancarkan roda pemerintahan daerah. (Rozali Abdullah, 2002)

Sebagaimana halnya dengan negara, maka daerah dimana masing-rnasing pemerintah daerah mempunyai fungsi dan tanggung jawab untuk meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan rakyat dengan jalan melaksanakan pembangunan disegala bidang sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah bahwa “Pemerintah daerah berhak dan berwenang menjalankan otonomi, seluas-Iuasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan”. (Pasal 10).

Adanya hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, merupakan satu upaya untuk meningkatkan peran pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi daerahnya dengan mengelola sumber-sumber pendapatan daerah secara efisien dan efektif khususnya pendapatan asli daerah sendiri.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

mengisyaratkan bahwa Pemerintah Daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri diberikan sumber-sumber pedapatan atau penerimaan keuangan Daerah untuk membiayai seluruh aktivitas dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas pemerintah dan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat secara adil dan


(30)

makmur. Adapun sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD) sebagaimana datur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 157, yaitu:

1. Hasil pajak daerah.

Pajak merupakan sumber keuangan pokok bagi daerah-daerah disamping retribusi daerah. Pengertian pajak secara umum telah diajukan oleh para ahli, misalnya Rochmad Sumitro merumuskan pajak daerah yaitu pajak yang dipungut oleh daerah-daerah swatantra, seperti Provinsi, Kotapraja, Kabupaten, dan sebagainya.

Sedangkan Siagin merumuskannya sebagai pajak negara yang diserahkan kepada daerah dan dinyatakan sebagai pajak daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dipergunakan guna membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum publik. Dengan demikian ciri-ciri yang menyertai pajak daerah dapat diikhtisarkan seperti berikut:

1) Pajak daerah berasal dan pajak negara yang diserahkan kepada daerah sebagai pajak daerah.

2) Penyerahan dilakukan berdasarkan undang-undang.

3) Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan undang-undang dan/atau peraturan hukum lainnya.

4) Hasil pungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan urusan-urusan rumah tangga daerah atau untuk membiayai perigeluaran daerah sebagai badan hukum public.


(31)

2. Hasil retribusi daerah

Sumber pendapatan daerah yang penting lainnya adalah retribusi daerah. Pengertian retribusi daerah menurut UU no. 28 tahun 2009 adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan pribadi atau badan. Berbeda dengan pajak pusat seperti Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak, Retribusi yang dapat di sebut sebagai Pajak Daerah dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Dari pendapat tersebut di atas dapat diikhtisarkan ciri-ciri pokok retribusi daerah, yaitu:

1) Retribusi dipungut oleh daerah;

2) Dalam pungutan retribusi terdapat prestasi yang diberikan daerah yang Iangsung dapat ditunjuk;

3) Retribusi dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkan, atau mengenyam jasa yang disediakan daerah;

3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan

Kekayaan daerah yang dipisahkan berarti kekayaan daerah yang dilepaskan dan penguasaan umum yang dipertanggung jawabkan melalui anggaran belanja daerah dan dimaksudkan untuk dikuasai dan dipertanggungjawabkan sendiri. Dalam hal ini hasil laba perusahaan daerah merupakan salah satu daripada pendapatan daerah yang modalnya untuk seluruhnya atau untuk sebagian merupakan kekayaan


(32)

perusahaan yang khusus dimaksudkan untuk menambah penghasilan daerah disamping tujuan utama untuk mempertinggi produksi, yang kesemua kegiatan usahanya dititkberatkan kearah pembangunan daerah khususnya dan

pembangunan ekonomi nasional umumnya serta ketentraman dan kesenangan kerja dalam perusahaan menuju masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, dalam batas-batas tertentu pengelolaan perusahaan haruslah bersifat professional dan harus tetap berpegang pada prinsip ekonomi secara umum, yakni efisiensi. (Penjelasan atas UU No.5 Tahun 1962).

Berdasarkan ketentuan di atas maka walaupun perusahaan daerah merupakan salah satu komponen yang diharapkan dapat memberikan kontribusinya hagi pendapatan daerah, tapi sifat utama dan perusahaan daerah bukanlah berorientasi pada profit (keuntungan), akan tetapi justru dalam memberikan jasa dan

menyelenggarakan kemanfaatan umum. Atau dengan perkataan lain, perusahaan daerah menjalankan fungsi ganda yang harus tetap terjainin keseimbangannya, yakni fungsi sosial dan fungsi ekonomi.

Walaupun demikian hal ini tidak berarti bahwa perusahaan daerah tidak dapat memberikan kontribusi maksimal bagi ketangguhan keuangan daerah. Pemenuhan fungsi sosial oleh perusahaan daerah dan keharusan untuk mendapat keuntungan yang memungkmnkan perusahaan daerah dapat memberikan sumbangan bagi pendapatan daerah, bukanlah dua pilihan dikotomis yang saling bertolak belakang. Artinya bahwa pemenuhan fungsi sosial perusahaan daerah dapat berjalan seiring dengan pemenuhan fungsi ekonominya sebagal badan ekonomi yang bertujuan untuk mendapatkan laba/keuntungan. Hal ini dapat berjalan apabila


(33)

profesionalisme dalam pengelolaannya dapat diwujudkan. (Josef Kaho Riwu, 2005)

4. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah

Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:

1) Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; 2) Jasa giro;

3) Pendapatan bunga;

4) Keuntungan seIisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dan penjualan dan/ataupengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah

3. Transfer Pusat ke Daerah

Hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam sistem otonomi daerah dicirikan oleh adanya penerapan sistem desentralisasi, salah satunya adalah desentralisasi keuangan. Adanya pemberian kewenangan kepada daerah otonom untuk mengelola pendapatan daerah yang bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD).

Selain tersedia ruang untuk mengelola otonomi daerah, dalam perspektif hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah juga dikenal adanya transfer keuangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Transfer pusat ke daerah adalah dana yang bersumber dari APBN yang


(34)

a. Dana Bagi Hasil, yang bersumber dari pajak dan sumberdaya alam. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas :

1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),

2) Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTP), 3) Pajak Penghasilan (PPh).

b. Dana Alokasi Umum (DAU), yang dialokasikan berdasarkan persentase tertentu dari pendapatan dalam negeri netto yang ditetapkan dalam APBN. c. Dana Alokasi Khusus (DAK), yang dialokasikan dari APBN kepada

daerah dalam rangka pendanaan pelaksanaan desentralisasi, untuk:

1) mendanai kegiatan khsusus yang ditentukan Pemerintah atas dasar prioritas nasional,

2) mendanai kegiatan khusus yang diusulkan daerah.

Prinsip – prinsip tujuan umum dari transfer dana pemerintah pusat adalah untuk : a. Meniadakan atau meminimumkan ketimpangan fiskal vertikal.

b. Meniadakan atau meminimumkan ketimpangan fiskal horizontal.

c. Menginternalisasikan/memperhitungkan sebagian atau seluruh limpahan manfaat (biaya) kepada daerah-daerah yang menerimalimpahan manfaat tersebut.

d. Mempertimbangkan pemberian transfer pusat dalam rangka menjamin tetap baiknya kinerja fiskal pemerintah daerah. Artinya, tranfer ini dimaksudkan agar pemerintah daerah terdorong untuk menggali sumber-sumber penerimaan, sehingga hasil yang dicapai menyamai atau melebihi kapasitasnya. Dengan kata lain, transfer ini dimaksudkan sebagai sarana edukasi kepada pemerintah daerah.


(35)

Ada beberapa alasan diperlukan transfer dana pusat ke daerah. Adapun beberapa alasan yang dimaksud antara lain :

a. Untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal vertikal. Di banyak negara, pemerintah pusat menguasai sebagian besar sumber-sumber penerimaan (pajak). Sedangkan pemerintah daerah hanya menguasai sebagian kecil dari sumber tersebut. Kekurangan sumber penerimaan daerah relatif terhadap kewajibannya ini akan menyebabkan dibutuhkannya transfer dana dari pusat.

b. Untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal horizontal. Pengalaman empirik di berbagai negara menunjukkan bahwa kemampuan daerah untuk menghimpun pendapatan sangat bervariasi, tergantung kekayaan sumber daya alam dan intensitas kegiatan ekonomi. Hal ini berimplikasi kepada besarnya basis pajak di daerah-daerah yang bersangkutan.

Di sisi lain, kebutuhan belanja untuk pelayanan publik dapat menjadi tolak ukur variasi pendapatan. Ada beberapa daerah dengan penduduk yang miskin, lanjut usia, yang tinggi proporsinya. Ada pula daerah yang berbentuk kepulauan luas, di mana sarana dan prasarana belum memadai. Ini semua mencerminkan tinggi-rendahnya kebutuhan fiskal.

Membandingkan kebutuhan fiskal ini dengan kapasitas fiskal, maka dapat dihitung kesenjangan atau celah fiskal dari masing-masing daerah, yang seyogyanga tertutupi oleh dana transfer dari pusat.

c. Untuk melihat peran transfer dari pemerintah pusat. Dalam konteks ini adalah adanya kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum di setiap daerah. Daerah-daerah dengan sumber daya yang


(36)

sedikit memerlukan subsidi agar dapat mencapai standar yang dimaksud. Jika dikaitkan dengan postulat Musgrave (1983) yang menyatakan bahwa peran redistributif dari sektor publik akan lebih efektif dan cocok jika dijalankan oleh pemerintah pusat, maka penerapan standar pelayanan minimum di setiap daerah pun akan lebih bisa dijamin pelaksanaannya oleh pemerintah pusat.

d. Untuk mengatasi persoalan yang timbul dari penyebaran atau pelimpahan efek pelayanan publik. Beberapa jenis pelayanan publik di suatu wilayah memiliki “efek menyebar” (atau eksternalitas) ke wilayah-wilayah lainnya. Misalnya, perguruan tinggi, pemadam kebakaran, jalan raya penghubung, rumah sakit, itu tidak bisa dibatasi manfaatnya hanya untuk masyarakat daerah tertentu saja. Oleh karena itulah, pemerintah pusat perlu untuk memberikan semacam insentif atau menyerahkan sumber keuangan agar pelayanan-pelayanan publik demikian dapat terpenuhi di daerah.

e. Peran stabilisasi. Alasan terakhir perlunya dana transfer pusat ke daerah adalah untuk mencapai tujuan stabilisasi dari pemerintah pusat. Transfer dana dapat ditingkatkan oleh pemerintah ketika aktivitas perekonomian sedang lesu. Di lain sisi, dana transfer ke daerah dikurangi apabila perekonomianbooming atau meningkat. Transfer untuk dana-dana pembangunan (capital grant) adalah instrumen yang tepat untuk tujuan ini. Namun kecermatan dalam mengalkulasi amat diperlukan agar tindakan menaikkan/menurunkan dana itu tidak berakibat merusak atau


(37)

4. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah

Lain-lain pendapatan daerah yang sah, merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbangan, yang meliputi hibah, dana darurat dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan Pemerintah.

D. Teori Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah berperan untuk mempertemukan permintaan masyarakat dengan penyediaan sarana dan prasarana yang tidak dapat dipenuhi oleh pihak swasta. Dikatakan pula bahwa pengeluaran pemerintah yang dinyatakan dalam belanja pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi dalam proyek yang mengacu pada pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, peningkatan kesejahteraan, dan program yang menyentuh langsung kawasan yang terbelakang.

Tidak dapat dipungkiri bahwa campur tangan pemerintah dalam perekonomian sangat membantu, terutama stelah terjadi krisis ekonomi tahun 1997. Pemerintah menetapkan kebijakan pokok mengenai arah perekonomian melalui perencanaan, kebijakan pemerintah dan pengaturan. Pemerintah harus melakukan pengeluaran untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan umum, dan pembangunan, (Sicat, G.P dan Arndt, H. W,1991).

Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa. Pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk meleksanakan kebijakan tersebut. Teori mengenai pengeluaran pemerintah terdiri dari pendekatan teori makro (Basri dan Subri, 2003).


(38)

Adapun teori mengenai pengeluaran pemerintah (Mangkoesoebrata dalam Yuswar Zainul basri dan Mulyadi Subri, 2003) terdiri dari :

Hukum Adolf Wagner

Hukum Wagner menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman empiris dari negara –negara maju (USA, Jerman, Jepang), Wagner mengemukakan bahwa dalam suatu perekonomian, apabila pendapatan perkapita meningkat secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Meski demikian, Wagner menyadari bahwa dengan tumbuhnya perekonomian hubungan antara industri, hubungan industri dengan masyarakat dan sebagainya menjadi semakin rumit atau kompleks. Kelemahan hukum Wagner adalah hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang publik, tetapi Wagner mendasarkan pandangannya dengan teori organis mengenai pemerintah (organic theory of state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepes dari anggota masyarakat lainnya.

Teori Peacok dan Wiseman

Teori Peacok dan Wiseman yang didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Namun masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah sehingga mereka mempunyai suatu tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak.


(39)

Menurut teori Peacok dan Wiseman, perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah. Meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh sebab itu dalam keadaan normal, meningktnya GDP menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar.

Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya adanya perang maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Karena itu pemerintah melakukan penerimaanya dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Akan tetapi perang tidak hanya bisa dibiayai dengan pajak sehingga pemerintah juga harus meminjam dari negara lain. Setelah perang selesai, sebetulnya pemerintah dapat menurunkan kembali tarif pada tingkat sebelum adanya gangguan, tetapi hal tersebut tidak dilakukan karena pemerintah harus mengembalikan angsuran utang dan bunga pinjaman untuk membiayai perang, sehingga pengeluaran pemerintah setelah perang selesai meningkat tidak hanya karena GDP naik, tetapi juga karena pengembalian utang dan bunganya.

Teori Rostow dan Musgrave

Teori perkembangan peranan pemerintah yang dikemukakan oleh Rostow dan musgrave adalah pandangan yang ditimbulkan dari pengamatan berdasarkan pembangunan ekonomi yang dialami oleh banyak negara, tetapi tidak didasarkan oleh suatu teori tertentu. Selain itu, tidak jelas apakah akan terjadi pertumbuhan


(40)

ekonomi dalam tahap demi tahap atau akan terjadi dalam beberapa tahap secara simultan.

Secara garis besar, ppengeluaran negara dikelompokan menjadi 2 yakni :

1. Pengeluaran Rutin

Pengeluaran rutin adalah pengeluaran yang dapat dikatakan selalu adalah dan telah terencana sebelumnya secara rutin, diantaranya :

a. Pengeluaran untuk belanja pegawai b. Pengeluaran untuk belanja barang c. Pengeluaran subsidi daerah otonom

d. Pengeluaran untuk membayar bunga dan cicilan hutang e. Pengeluaran lainnya

2. Pengeluaran pembangunan

Secara garis besar, yang termasuk dalam pengeluaran pembangunan diantaranya adalah :

a. Pengeluaran pembangunan untuk berbagai departemen / lembaga negara, diantaranya untuk membiayai proyek – proyek pembangunan sektoral yang menjadi tanggung jawab masing – masing departemen / negara bersangkutan.

b. Pengeluaran pembangunan untuk anggaran pembangunan daerah. c. Pengeluaran pembangunan lainnya.


(41)

E. Kemiskinan

1. Pengertian Kemiskinan

Menurut Suparlan (1995) kemiskinan dapat diartikan sebagai suatu standar hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau golongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan umum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya pada tingkat kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri bagi mereka yang tergolong sebagai orang miskin.

Ginandjar (1993), kemiskinan ditandai oleh pengangguran dan keterbelakangan yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga makin tertinggal jauh dari masyarakat lain yang memiliki potensi lebih tinggi. Keadaan kemiskinan umumnya diukur dengan tingkat pendapatan dan pada dasarnya dapat dibedakan dalam kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.

Karlsson (1978), dimensi-dimensi dari kemiskinan absolut adalah makanan, air, perumahan, kesehatan dan pemeliharaannya, pendidikan dan kesempatan kerja, sementara penyebab dari berlanjutnya kemiskinan absolut adalah tidak

mencukupinya barang-barang dan jasa yang tersedia atau tidak memadainya pertumbuhan-pertumbuhan ekonomi, besarnya jumlah penduduk atau peledakan populasi dan tidak meratanya distribusi sumber-sumber yang ada.


(42)

Menurut Bradley R. Schiller (1979), kemiskinan merupakan ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan jasa-jasa yang memadai guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial yang terbatas. Lewis (1969), mengatakan bahwa kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan dan keperluan-keperluan material seseorang.

Amarta Sen (1989) menyatakan bahwa kemiskinan lebih bersifat absolut karena berkaitan dengan batasan minimum, dan didefinisikan sebagai “The failure to

have certain minimum capabilities”.

Kemiskinan menurut BPS dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar baik kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk

memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan yang bersifat mendasar seperti sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan.

Kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena

dikehendaki oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Kemiskinan ditandai oleh sikap dan tingkah laku yang mencerminkan keadaan yang seakan-akan tidak dapat diubah yang tercermin dalam lemahnya kemauan untuk maju, rendahnya kualitas sumber daya manusia, lemahnya nilai tukar hasil produksi, rendahnya produktivitas,

terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pendapatan dan dan terbatasnya kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan (Supriatna, 1997).


(43)

Levitan (1980) mengemukakan kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak. Sedangkan menurut Faturchman dan Marcelinus Molo (1994)

mendefenisikan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dan atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.

Friedman (1979) mengemukakan kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk memformulasikan basis kekuasaan sosial, yang meliptui : aset (tanah, perumahan, peralatan, kesehatan), sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai), organisiasi sosial politik yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang atau jasa, pengetahuan dan keterampilan yang memadai, dan informasi yang berguna.

Dari definisi-definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kemiskinan adalah keadaan kekurangan akan kebutuhan dasar akibat terbatasnya akses dan

kemampuan yang dimiliki terhadap kegiatan ekonomi untuk meningkatkan standar kehidupan.

2. Indikator Kemiskinan

Indikator yang digunakan untuk melihat kemiskinan adalah tingkat kemiskinan dan kesenjangan kemiskinan, pendekatan di dalam mengukur tingkat kemiskinan tersebut yaitu (1) headcount measure, yaitu memperkirakan jumlah orang yang berada dibawah garis kemiskinan, dan (2) poverty gap, yaitu memperhitungkan jumlah dana yang diperlukan untuk mengatasi masalah kemiskinan (BPS; 2005). Ukuran lain yang di gunakan untuk melihat tingkat garis kemiskinan yang ada di


(44)

tingkat masyarakat adalah dengan melihat pengeluaran dan penerimaan per kapita yang akan dibandingkan dengan tingkat kemiskinan yang dikeluarkan BPS.

Ada dua pendekatan seseorang tergolong sebagai orang miskin. Pertama,

pendekatan absolut yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan fisik manusia. Tolok ukur yang dipakai adalah kebutuhan keluarga, dengan memperhatikan kebutuhan minimal yang harus dipenuhi oleh suatu keluarga agar dapat

melangsungkan kehidupannya secara sederhana, tetapi memadai sebagai warga masyarakat yang layak. Termasuk didalamnya kebutuhan akan pangan,

perumahan, sandang, pemeliharaan kesehatan dan pendidikan anak. Menurut pendekatan ini kemiskinan dipahami sebagai suatu keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu mencapai kebutuhan fisik pada tingkat minimal dari standar kebutuhan yang sudah ditetapkan (Suparlan, 1993).

Kedua adalah pendekatan relatif yang mendefinisikan kemiskinan dalam kaitannya dengan kebutuhan seseorang di dalam masyarakat. Tolok ukur yang dipakai adalah tingkat pendapatan kepala keluarga per bulan atau per tahun. Berdasarkan tolok ukur ini seseorang yang tergolong miskin ditentukan berdasarkan kedudukan relatifnya dalam masyarakat dengan memperhatikan sejauhmana mutu kehidupannya berbeda dibandingkan dengan rata-rata mutu kehidupan yang berlaku secara keseluruhan. Menurut pendekatan relatif, kemiskinan sekelompok orang dalam masyarakat yang hidup dalam keadaan melarat, terhina, dan tidak layak disebabkan tidak meratanya pembagian pendapatan di dalam masyarakat.


(45)

Kemiskinan dapat juga ditentukan dengan cara membandingkan tingkat pendapatan individu atau keluarga dengan pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasar minimum. Dengan demikian, tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dan tidak miskin. Konsep kemiskinan seperti ini dikenal sebagai konsep kemiskinan absolut. Pada kondisi lain bila tingkat pendapatan sudah mencapai tingkat pemenuhan kebutuhan dasar minimum, tetapi masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan pendapatan masyarakat di sekitarnya. Dalam pengertian masih berada dalam keadaan miskin bila dibandingkan dengan keadaan masyarakat di sekitarnya. Konsep kemiskinan seperti ini dikenal sebagai kemiskinan relatif (Esmara, 1986).

Dengan demikian, sekurang-kurangnya ada dua pendekatan yang digunakan untuk pemahaman tentang kemiskinan, yaitu pendekatan absolut dan pendekatan relatif. Pendekatan pertama adalah perspektif yang melihat kemiskinan secara absolut yaitu berdasarkan garis absolut yang biasanya disebut dengan garis kemiskinan (Syahrir, 1992). Pendekatan yang kedua adalah pendekatan relatif, yaitu melihat kemiskinan itu berdasarkan lingkungan dan kondisi sosial masyarakat.

Pendekatan yang sering digunakan oleh para ahli ekonomi adalah pendekatan dari segi garis kemiskinan (poverty line). Garis kemiskinan diartikan sebagai batas kebutuhan minimum yang diperlukan seseorang atau rumah tangga untuk dapat hidup dengan layak. Akan tetapi, diantara para ekonom terdapat perbedaan dalam menetapkan tolok ukur yang digunakan untuk menetapkan garis kemiskinan tersebut.


(46)

Para pakar kemiskinan dan lembaga pemerintah mencoba menetapkan garis kemiskinan tersebut berdasarkan alasan yang logis, yaitu berdasarkan kebutuhan pokok (basic needs). Kebutuhan pokok merupakan kebutuhan minimum yang diperlukan untuk kelangsungan hidup manusia baik yang berupa konsumsi individu seperti perumahan, pakaian, ataupun keperluan pelayanan sosial seperti kebutuhan air minum, transportasi, kesehatan, dan pendidikan (Sumardi dan Dieter, 1985).

Manullang (1971) membedakan kebutuhan pokok (basic needs) menjadi dua, yaitu kebutuhan primer dan kebutuhan skunder. Kebutuhan primer adalah kebutuhan yang paling utama, untuk mempertahankan hidup sepertimakanan, pakaian, dan perumahan. Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang diperlukan guna melengkapi kebutuhan primer seperti alat-alat dan perabotan.

Sinaga dan White (1980) menyatakan bahwa kemiskinan dibedakan dalam dua bentuk, yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan. Kemiskinan alamiah merupakan kemiskinan yang timbul sebagai akibat sumberdaya yang langka jumlahnya atau karena perkembangan teknologi yang rendah. Kondisi ini dapat diatasi dengan pembangunan infrastruktur fisik, pemasukan modal serta

pengembangan teknologi baru.

Untuk menghasilkan program yang benar-benar mengenai sasaran penduduk miskin tersebut perlu dibuat pengelompokan penduduk miskin berdasarkan kriteria yang jelas, yaitu melalui penetapan suatu batas kemiskinan yang sesuai dengan keadaan kemiskinan di daerah itu sendiri. Penetapan batas kemiskinan tersebut haruslah berdasarkan landasan teori yang kuat sehingga dapat digunakan


(47)

sebagai batas kemiskinan yang sesuai dengan keadaan kemiskinan di suatu lokasi dengan kondisi dan waktu tertentu. Garis kemiskinan dapat pula digunakan untuk melihat berapa luas kemiskinan di suatu daerah, yaitu dengan melihat persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan tersebut. Dengan demikian, garis kemiskinan dapat juga digunakan sebagai indikator keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan di suatu daerah (Todaro, 1994).

Dalam literatur studi kemiskinan didokumentasikan bahwa ukuran garis kemiskinan berdasarkan kemampuan pengeluaran per kapita untuk memenuhi suatu tingkat minimum kebutuhan kalori mula-mula dikemukakan oleh Den Daker dan Rath pada tahun 1971 dalam studi mereka di India. Ukuran garis kemiskinan ini kemudian diterapkan di Indonesia oleh BPS (Arief, 1993).

Secara garis besar ada dua cara orang memandang kemiskinan. Sebagian orang berpendapat bahwa kemiskinan adalah suatu proses, sedangkan sebagian lagi memandang kemiskinan sebagai suatu akibat atau fenomena di dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem

masyarakat dalam mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil kepada anggota masyarakatnya. Dengan demikian, kemiskinan dapat dipandang pula sebagai salah satu akibat dari kegagalan kelembagaan pasar dalam

mengalokasikan sumber daya yang terbatas secara adil kepada seluruh anggota masyarakat. Paham ini mengemukakan konsep tentang kemiskinan nisbi atau sering pula dikenal sebagai kemiskinan struktural. Di dalam konsep kemiskinan nisbi dinyatakan bahwa garis kemiskinan berubah-ubah menurut kondisi


(48)

Pandangan tentang kemiskinan sebagai suatu fenomena atau gejala dari suatu masyarakat melahirkan konsep kemiskinan mutlak. Dalam kemiskinan mutlak, suatu perekonomian mempunyai patokan garis kemiskinan yang tetap sepanjang waktu. Departemen Sosial menetapkan bahwa seseorang individu berada di bawah Garis Fakir Miskin (GFM) apabila tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok

minimal, yaitu sejumlah rupiah untuk membayar makanan setara 2.100 kkal sehari ditambah nilai sewa rumah dan nilai satu stel pakaian. Batas miskin untuk

makanan ditambah pengeluaran minimum untuk pemenuhan kebutuhan bukan makanan inilah yang disebut garis kemiskinan.

3. Tipe dan Faktor Penyebab Kemiskinan

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensional yang berarti tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi saja seperti ketiadaan pendapatan dan aset (lack of income and assets), akan tetapi terkait dengan aspek-aspek lainnya, seperti aspek sosial budaya, politik, kelembagaan, dan sebagainya. Hal ini berarti pula bahwa tingkat

kemiskinan di dalam suatu negara, tidak hanya ditentukan atau dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi saja akan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor non-ekonomi.

Ditinjau dari kelompok sasaran, terdapat beberapa tipe kemiskinan. Hasibuan (2000) membagi kemiskinan menjadi tiga kategori, yaitu (1) kemiskinan absolut dimana pendapatan di bawah garis kemiskinan dan tidak dapat memenuhi

kebutuhan dasarnya, (2) kemiskinan relatif dimana situasi kemiskinan di atas garis kemiskinan berdasarkan pada jarak antara miskin dan non-miskin dalam suatu


(49)

komunitas, dan (3) kemiskinan struktural dimana kemiskinan ini terjadi saat orang atau kelompok masyarakat enggan untuk memperbaiki kondisi hidupnya sampai ada bantuan untuk mendorong mereka keluar dari kondisi tersebut.

F. Studi-studi Terdahulu

Boyke T.H. Situmorang (2009) dalam jurnal pembangunan yang berjudul “ Dampak Kebijakan Fiskal Daerah terhadap Ketahanan Pangan dan Kemiskinan di Provinsi Sumatra Utara”. Hasil dari penelitian ini adalah faktor-faktor yang memengaruhi : (1) kinerja fiskal daerah adalah (a) pajak daerah dan bagi hasil, pajak dipengaruhi oleh PDRB dan kebijakan fiskal daerah (b) pengeluaran rutin dipengaruhi oleh PAD, (c) pengeluaran pembangunan di sektor pertanian dan transportasi dipengaruhi oleh DAU, dan (2) faktor-faktor yang memengaruhi kinerja kemiskinan di pedesaan dan perkotaan adalah (a) harga jual beras, (b) PDRB, dan (c) jumlah pengangguran. Kebijakan non fiskal daerah justru memberikan pengaruh yang lebih baik bila berkaitan dengan usaha untuk mengurangi kemiskinan. Pendidikan menjadi salah satu faktor penting untuk menstimulus kehidupan masyarakat menjadi lebih berkualitas.

Andros MP Hasugian (2006) dalam skripsi “Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Keuangan Daerah dan Kemiskinan di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja keuangan yang ditunjukkan dengan tingkat kemandirian lebih baik ketika sebelum desentralisasi fiskal sedangkan laju pengurangan kemiskinan lebih cepat pada masa desentralisasi fiskal. Peranan mekanisme transfer terhadap tingkat

kemandirian menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan satu persen rasio DAU terhadap penerimaan maka akan menurunkan tingkat rasio PAD terhadap


(50)

penerimaan sebesar 0,02 persen. Demikian juga dengan variabel dummy

desentralisasi fiskal yang negatif dan signifikan yang artinya rasio PAD terhadap penerimaan relatif lebih kecil pada masa desentralisasi fiskal. Hasil penelitian analisis regresi dengan metode panel data yang menganalisis pengaruh dari penerimaan daerah berupa DAU, PAD, bagi hasil terhadap kemiskinan menunjukkan bahwa dana transfer berupa DAU tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemiskinan. Tetapi variabel dummy negatif dan signifikan, yang artinya persentase penduduk miskin pada masa desentralisasi fiskal relatif lebih kecil. Hal ini menandakan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memang berpihak pada kemiskinan.

Muana Nanga (2006), dalam disertasi “Dampak Transfer Fiskal Terhadap Kemiskinan di Indonesia : Suatu Analisis Simulasi Kebijakan”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa (1) transfer fiskal di Indonesia memiliki dampak yang cenderung memperburuk ketimpangan pendapatan dan kemiskinan, dan (2) kemiskinan ternyata sangat dipengaruhi oleh ketimpangan pendapatan, dan hal ini ditunjukkan oleh berbagai ukuran kemiskinan yang memiliki hubungan yang responsif atau elastis terhadap perubahan indeks Gini.

Wiwiek Rindayati (2009), dalam disertasi “Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat”. Hasil dari penelitian ini adalah desentralisasi fiskal membawa perubahan struktur penerimaan dan struktur pengeluaran pemerintah. Penerimaan daerah mengalami peningkatan secara signfikan. Peningkatan terjadi pada semua komponen PAD, bagi hasil maupun dana alokasi dari pusat. Nilai kenaikan pajak dan retribusi


(51)

daerah secara relatif menurun hal ini dikarenakan adanya peningkatan penerimaan dari pos DAU yang kontribusinya relarif besar. Sehingga walaupun secara absolut PAD meningkat, namun secara relatif share terhadap penerimaan daerah menurun dari 15 % menjadi 13 %. Komponen dana transfer dari pemerintah pusat berupa dana Subsidi Daerah Otonom (SDO) masa sebelum desentralisasi fiskal dan Dana Alokasi Umum (DAU) masa desentralisasi fiskal mengalami peningkatan sangat besar. Desentralisasi fiskal diharapkan membawa perubahan pada peningkatan kemandirian daerah yang tercermin pada kontribusi PAD, namun pada saat ini masih belum bisa terealisasi karena peranan daerah belum optimal dalam

menggali sumber-sumber PAD baru terutama dari sumber peningkatan laba usaha daerah (BUMN) yang relatif masih kecil.

Dwi Muslianti (2011) dalam tesis “Dampak Kebijakan Fiskal Daerah Terhadap Kemiskinan di Indonesia Pada Masa Desentralisasi Fiskal”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan dinamika fiskal daerah, output daerah, dan kemiskinan yang telah diteliti ditemukan bahwa (1) kinerja fiskal daerah provinsi-provinsi di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal (2003-2009) tercatat cukup rendah, (2) proporsi pengeluaran pemerintah pada sector-sektor yang mendukung upaya penurunan kemiskinan pada masa desentralisasi fiscal di dominasi oleh pengeluaran pendidikan, (3) rata-rata laju pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi masih cukup rendah, (4) rata-rata laju pertumbuhan tenaga kerja sector pertanian paling rendah diantara sector lainnya, dan (5) persentase penduduk miskin di Indonesia lebih banyak berada di luar Pulau Jawa, terutama di kawasan Indonesia Timur. Sedangkan berdasarkan simulasi skenario kebijakan fiskal daerah terhadap


(52)

kemiskinan, diperoleh dampak positif terhadap penurunan jumlah penduduk miskin dengan besaran yang berbeda-beda.

Akhmad (2012) dalam disertasi “Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Perekonomian Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Selatan”. Hasil penelitian menunjukan bahwa simulasi kebijakan dengan melakukan realokasi anggaran dengan menurunkan belanja-belanja lain, dan belanja barang dan jasa, yang selanjutnya digunakan untuk meningkatkan belanja modal, baik pada sektor pertanian maupun pada sektor lain memberikan hasil yang lebih baik dan lebih realistis dari alternatif kebijakan meningkatkan variabel pendapatan asli daerah, dan kebijakan meningkatkan transfer dana dari pemerintah pusat, baik pada kabupaten yang berbasis pertanian maupun pada kabupaten kota yang berbasis non pertanian. Hasil simulasi kebijakan non fiskal yaitu meningkatkan investasi swasta member dampak yang cukup besar terhadap pertumbuhan produk domestik regional bruto dan pengurangan pengangguran, baik pada kabupaten yang


(53)

III. METODE PENELITIAN .

A. Ruang Lingkup Penelitian

Kebijakan fiskal yang telah dilakukan oleh pemerintah salah satunya adalah bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan. Adapun program penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan selama ini diantaranya adalah (1) program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang dimulai pada tahun anggaran 1994/1995 (2) program pengembangan kecamatan (PPK) yang dimulai tahun anggaran

1998/1999 (3) program penanggulangan kemiskinan di perkotaan (P2KP), yang diluncurkan pada tahun anggaran 1999/2000, dan (4) kebijakan otonomi daerah (Otda) yang digulirkan sejak januari 2001, dimana desentralisasi fiskal menjadi salah satu komponen yang sangat penting yang bertujuan untuk memecahkan berbagai persoalan yang terjadi termasuk kemiskinan. Oleh karena itu penelitian ini mengambil judul “Analisis Deskriptif Kebijakan Fiskal Daerah terhadap Kemiskinan di Provinsi Lampung”

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini di lakukan di Provinsi Lampung dengan menggunakan data

sekunder dari Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung dan Statistik Keuangan Daerah Provinsi Lampung. Penetapan daerah penelitian ini didasarkan


(54)

pada pertimbangan untuk memudahkan penulis mengumpulkan data yang diperlukan, serta waktu, biaya dan tenaga dapat dihemat seefisien mungkin.

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Dalam penelitian ini digunakan dua jenis variabel, yaitu variabel dependen (terikat) dan variabel independen (bebas).

1. Variabel Dependen

Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kemiskinan, yaitu keadaan kekurangan akan kebutuhan dasar akibat terbatasnya akses dan kemampuan yang dimiliki terhadap kegiatan ekonomi untuk meningkatkan suatu standar hidup. Dalam penelitian ini kemiskinan dilihat dari sumbangsih penerimaan dan pengeluaran daerah terhadap kemiskinan. Data yang

digunakan bersumber dari Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. Data yang digunakan merupakan data sekunder berupa data runtut waktu ( time-series) selama sepuluh tahun (2002-2011).

2. Variabel Independen

Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kebijakan fiskal daerah.

Kebijakan Fiskal Daerah yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Daerah.

Penerimaan daerah terdiri dari penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, dana alokasi umum, dan bagi hasil pajak.

Pengeluaran daerah yang terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Variabel Kebijakan Fiskal Daerah menggunakan data Statistik


(55)

Keuangan Daerah Provinsi Lampung. Data yang diambil merupakan data sekunder berupa data runtut waktu (time-series) selama sepuluh tahun (2002-2011).

D. Jenis dan Sumber Data

Sumber data adalah subjek dari mana data dapat kita diperoleh. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data runtut waktu (time-series) selama sepuluh tahun (2002-2011).

Data sekunder adalah data yang sudah tersedia di suatu instansi sehingga kita tinggal mencari dan mengumpulkan data tersebut. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersifat kuantitatif, meliputi kebijakan fiskal daerah dan kemiskinan. Penelitian ini menggunakan data runtut waktu (time-series) selama sepuluh tahun (2002-2011).

Data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh berdasarkan informasi yang telah disusun dan dipublikasikan oleh instansi tertentu (Soeratno dan Arsyad, 2003). Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data time series dari tahun 2002 – 2011. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, dan Statistik Keuangan Daerah Provinsi Lampung.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data runtut waktu (time-series) selama sepuluh tahun (2002-2011). Penulis menetapkan satu variabel terikat yaitu


(56)

kemiskinan dan kebijakan fiskal daerah yang terdiri dari penerimaan daerah dan pengeluaran daerah sebagai variabel bebas.

F. Teknik Analisis

Teknik analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah Analisis Statistik deskriptif. Statistik deskriptif menurut Imam Ghozali (2009), memberikan gambaran atau deskripsi suatu data yang dilihat dari nilai rata – rata (mean), standar deviasi, varian, maksimum, minimum, sum, range, kurtosis, dan kemencengan distribusi (skewness). Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data runtut waktu (time series) dari tahun 2002 – 2011. Metode yang didasarkan pada analisis ini adalah dengan pendeskripsian faktor – faktor yang berhubungan dengan permasalahan yang dimaksud sebagai pendukung hasil dari analisis metode kuantitatif.


(57)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan pada Bab IV, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Kebijakan fiskal daerah melalui penerimaan daerah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Lampung.

2. Kebijakan fiskal daerah melalui pengeluaran daerah berpengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Lampung.

3. Peningkatan pendapatan asli daerah terbesar diperoleh melalui sektor pajak telah ikut meningkatkan pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Namun pertumbuhan ekonomi yang dilakukan selama ini belum dapat menurunkan tingkat kemiskinan di Provinsi Lampung secara maksimal.


(58)

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka dapat diajukan saran untuk penelitian selanjutnya sebagai berikut:

1. Dalam sistem pemerintahan, kabupaten/kota merupakan ujung tombak pelaksana sistem tersebut. Oleh karena itu akan lebih baik apabila pada penelitian berikutnya analisis penelitian dilakukan pada level

kabupaten/kota.

2. Indikator kemiskinan dalam model penelitian ini diukur dari jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan berdasarkan kriteria BPS, sebaiknya perlu dikembangkan indikator kemiskinan lain dan variabel yang lebih luas.


(59)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, 2011. Lampung dalam Angka 2011. BPS. Lampung.

Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, 2011. Statistik Keuangan Daerah Propinsi Lampung Tahun 2011. BPS. Lampung.

Dedy Supriady, dkk, 2003. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.

Fisher, Ronald C, 1996. State and Local Public Finance.

Indra Bastian, dkk, 2002. Sistem Akuntansi Sektor Publik. Jakarta, Salemba Empat.

Situmorang, Boyke T.H, 2009. Dampak Kebijakan Fiskal Daerah Terhadap Ketahanan Pangan dan Kemiskinan di Sumatera Utara Jurnal Universitas Sumatera Utara.

Hasugian, Andros M.P, 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Keuangan Daerah dan Kemiskinan di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat Skripsi

Rindayati, Wiwiek, 2009. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat Disertasi Institut Pertanian Bogor

Muslianti , Dwi , 2011. Dampak Kebijakan Fiskal Daerah Terhadap

Kemiskinan di Indonesia Pada Masa Desentralisasi Fiskal Disertasi

Institut Pertanian Bogor

UNDP, 2009. Human Development Report 2008/2009.

Widarjono, Agus, 2010. Ekonometrika Pengantar dan Aplikasinya. Jakarta: Ekonisia.


(1)

47

pada pertimbangan untuk memudahkan penulis mengumpulkan data yang diperlukan, serta waktu, biaya dan tenaga dapat dihemat seefisien mungkin.

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Dalam penelitian ini digunakan dua jenis variabel, yaitu variabel dependen (terikat) dan variabel independen (bebas).

1. Variabel Dependen

Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kemiskinan, yaitu keadaan kekurangan akan kebutuhan dasar akibat terbatasnya akses dan kemampuan yang dimiliki terhadap kegiatan ekonomi untuk meningkatkan suatu standar hidup. Dalam penelitian ini kemiskinan dilihat dari sumbangsih penerimaan dan pengeluaran daerah terhadap kemiskinan. Data yang

digunakan bersumber dari Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. Data yang digunakan merupakan data sekunder berupa data runtut waktu (time-series) selama sepuluh tahun (2002-2011).

2. Variabel Independen

Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kebijakan fiskal daerah.

Kebijakan Fiskal Daerah yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Daerah.

Penerimaan daerah terdiri dari penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, dana alokasi umum, dan bagi hasil pajak.

Pengeluaran daerah yang terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Variabel Kebijakan Fiskal Daerah menggunakan data Statistik


(2)

Keuangan Daerah Provinsi Lampung. Data yang diambil merupakan data sekunder berupa data runtut waktu (time-series) selama sepuluh tahun (2002-2011).

D. Jenis dan Sumber Data

Sumber data adalah subjek dari mana data dapat kita diperoleh. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data runtut waktu (time-series) selama sepuluh tahun (2002-2011).

Data sekunder adalah data yang sudah tersedia di suatu instansi sehingga kita tinggal mencari dan mengumpulkan data tersebut. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersifat kuantitatif, meliputi kebijakan fiskal daerah dan kemiskinan. Penelitian ini menggunakan data runtut waktu (time-series) selama sepuluh tahun (2002-2011).

Data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh berdasarkan informasi yang telah disusun dan dipublikasikan oleh instansi tertentu (Soeratno dan Arsyad, 2003). Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data time series dari tahun 2002 – 2011. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, dan Statistik Keuangan Daerah Provinsi Lampung.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data runtut waktu (time-series) selama sepuluh tahun (2002-2011). Penulis menetapkan satu variabel terikat yaitu


(3)

49

kemiskinan dan kebijakan fiskal daerah yang terdiri dari penerimaan daerah dan pengeluaran daerah sebagai variabel bebas.

F. Teknik Analisis

Teknik analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah Analisis Statistik deskriptif. Statistik deskriptif menurut Imam Ghozali (2009), memberikan gambaran atau deskripsi suatu data yang dilihat dari nilai rata – rata (mean), standar deviasi, varian, maksimum, minimum, sum, range, kurtosis, dan kemencengan distribusi (skewness). Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data runtut waktu (time series) dari tahun 2002 – 2011. Metode yang didasarkan pada analisis ini adalah dengan pendeskripsian faktor – faktor yang berhubungan dengan permasalahan yang dimaksud sebagai pendukung hasil dari analisis metode kuantitatif.


(4)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan pada Bab IV, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Kebijakan fiskal daerah melalui penerimaan daerah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Lampung.

2. Kebijakan fiskal daerah melalui pengeluaran daerah berpengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Lampung.

3. Peningkatan pendapatan asli daerah terbesar diperoleh melalui sektor pajak telah ikut meningkatkan pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Namun pertumbuhan ekonomi yang dilakukan selama ini belum dapat menurunkan tingkat kemiskinan di Provinsi Lampung secara maksimal.


(5)

71

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka dapat diajukan saran untuk penelitian selanjutnya sebagai berikut:

1. Dalam sistem pemerintahan, kabupaten/kota merupakan ujung tombak pelaksana sistem tersebut. Oleh karena itu akan lebih baik apabila pada penelitian berikutnya analisis penelitian dilakukan pada level

kabupaten/kota.

2. Indikator kemiskinan dalam model penelitian ini diukur dari jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan berdasarkan kriteria BPS, sebaiknya perlu dikembangkan indikator kemiskinan lain dan variabel yang lebih luas.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, 2011. Lampung dalam Angka 2011. BPS. Lampung.

Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, 2011. Statistik Keuangan Daerah

Propinsi Lampung Tahun 2011. BPS. Lampung.

Dedy Supriady, dkk, 2003. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.

Fisher, Ronald C, 1996. State and Local Public Finance.

Indra Bastian, dkk, 2002. Sistem Akuntansi Sektor Publik. Jakarta, Salemba Empat.

Situmorang, Boyke T.H, 2009. Dampak Kebijakan Fiskal Daerah Terhadap

Ketahanan Pangan dan Kemiskinan di Sumatera Utara Jurnal Universitas

Sumatera Utara.

Hasugian, Andros M.P, 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Keuangan Daerah dan Kemiskinan di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa

Barat Skripsi

Rindayati, Wiwiek, 2009. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan

dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat Disertasi Institut

Pertanian Bogor

Muslianti , Dwi , 2011. Dampak Kebijakan Fiskal Daerah Terhadap

Kemiskinan di Indonesia Pada Masa Desentralisasi Fiskal Disertasi

Institut Pertanian Bogor

UNDP, 2009. Human Development Report 2008/2009.

Widarjono, Agus, 2010. Ekonometrika Pengantar dan Aplikasinya. Jakarta: Ekonisia.