PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI PROVINSI SUMATERA UTARA

(1)

PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP

PERTUMBUHAN EKONOMI DI PROVINSI SUMATERA UTARA

Freddy Situngkir

*

, Sirojuzilam

**

, Erlina

**

dan Agus Suriadi

**

*Alumni PWD SPs USU/BPS Sumatera Utara **Dosen PWD SPs USU

Abstract: The purpose of this study was to look at the influence of fiscal decentralization on the economic growth in the Province of Sumatera Utara. The variables of fiscal desentralization used were the indicators of expenditure, income and autonomy. The influence of fiscal decentralization on economic growth will be seen along with the other variables functioning as the factors of economic growth, which in this case are called control variables, namely investment, human capital accumulation, and the initial level of economic growth. The data used in this study were the panel data from 30 districts/cities in the Province of Sumatera Utara from 2009 to 2012 (4 years). The data obtained were analyzed through multiple regression analysis model using fixed effect estimation model.The result of this study showed that fiscal decentralization with the indicators of expenditure and income had negative influence on the economic growth in the Province of Sumatera Utara, while the indicators of income and autonomy, if the revenue derived from the balance fund was not taken into account, did not have any significant influence on the economic growth in the Province of Sumatera Utara.

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Variabel desentralisasi fiskal yang digunakan adalah indikator pengeluaran, indikator pendapatan, dan indikator otonomi. Pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi akan dilihat bersama-sama dengan variabel lain yang merupakan faktor-faktor pertumbuhan ekonomi, dalam hal ini disebut variabel kontrol yaitu investasi, akumulasi modal manusia, dan level awal pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menggunakan data panel 30 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara selama 4 tahun (2009-2012). Analisis dilakukan dengan model analisis regresi berganda dengan metode estimasi fixed effect. Hasil penelitian menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal dengan indikator pengeluaran dan indikator pendapatan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Sedangkan indikator pendapatan apabila tidak memperhitungkan penerimaan yang bersumber dari dana perimbangan, demikian juga dengan indikator otonomi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

Kata kunci: desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi PENDAHULUAN

Dillinger (1994) dalam Hirawan (2007) tentang pelaksanaan desentralisasi di berbagai belahan dunia menemukan bahwa pemicu dilakukannya kebijakan ini adalah keinginan atau upaya untuk memperoleh layanan publik yang lebih baik. Kebijakan desentralisasi penerimaan dan pengeluaran merupakan bagian dari cara untuk meningkatkan efisiensi sektor publik, mengurangi defisit anggaran, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Bird,

1993; Bird dan Wallich, 1993; Bahl dan Linn, 1992; Gramlich, 1993; dan Oates, 1993, dalam Zhang dan Zou 1998).

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan untuk melihat pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Hasil penelitian dari Davoodi dan Zou (1998), Zhang dan Zou (1998), dan Xie

et al. (1999) menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan


(2)

hasil penelitian Akai dan Sakata (2002), Desai et al. (2003), dan Thiessen (2003) menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara hasil penelitian Woller dan Phillips (1998), Baskaran dan Feld (2009) gagal mendapatkan pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi.

Breuss dan Eller (2004) menyatakan bahwa ada efek embivalen dalam hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi, sehingga sulit untuk menarik rekomendasi yang jelas mengenai desentralisasi yang optimal.Hasil penelitian Breuss dan Eller menunjukkan bahwa tidak ada kejelasan, hubungan otomatis antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi.Oates (1993) menyatakan bahwa tidak ada teori formal mengenai hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi.

Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia untuk melihat pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, juga menghasilkan kesimpulan yang berbeda.Hasil penelitian Swasono (2007) menyatakan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.Sedangkan hasil penelitian Wibowo (2008) menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Wibowo (2008) menyatakan bahwa potensi kontribusi desentralisasi fiskal terhadap laju pembangunan akan bergantung kepada ruang dan waktu. Artinya, dampak positif desentralisasi fiskal yang terjadi pada suatu negara atau daerah dalam periode tertentu belum bisa dijadikan tolok ukur bahwa transfer keuangan publik antarpemerintah akan memberikan imbas positif pula di daerah lain pada waktu yang sama.

Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia baru efektif dilaksanakan pada tahun 2001. Dalam pelaksanaannya dilakukan penyempurnaan terhadap Undang-Undang Otonomi Daerah sebelumnya, yaitu dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 mengganti Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 mengganti Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999

tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Desentralisasi menurut Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.Dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 disebutkan bahwa pembentukan Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada Pemerintah Daerah yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pendanaan tersebut menganut prinsip money follows function, yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan. Sumber-sumber pendanaan pelaksanaan Pemerintahan Daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lain-lain Pendapatan Yang Sah.Dana Perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-daerah. Ketiga komponen Dana Perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari pemerintah serta merupakan satu kesatuan yang utuh.

Kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan derivatif dari kebijakan otonomi daerah sebagai pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah.Semakin banyak wewenang yang dilimpahkan, semakin besar biaya yang dibutuhkan oleh daerah.Oleh karena itu, dalam pengelolaan desentralisasi prinsip efisiensi menjadi suatu ketentuan yang harus dilaksanakan. Anggaran untuk pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan atau layanan publik harus


(3)

dikelola secara efisien, namun menghasilkan output yang maksimal. Hal penting lainnya yang harus dipahami adalah desentralisasi fiskal di Indonesia adalah desentralisasi fiskal di sisi pengeluaran yang didanai terutama melalui transfer ke daerah (Rochjadi 2006, dalam Badrudin 2012).

Implementasi desentralisasi fiskal di Indonesia ditandai dengan proses pengalihan sumber keuangan dalam jumlah yang sangat signifikan bagi daerah. Transfer ke daerah berupa dana perimbangan pada awal desentralisasi fiskal tahun 2001 sebesar Rp.81,1 triliun. Tahun 2012, dana perimbangan telah mencapai Rp.411,2 triliun.

Dana perimbangan yang ditransfer kepada pemerintah daerah sebagian besar adalah berupa DAU, kemudian diikuti oleh DBH dan DAK. Besarnya DAU hingga tahun 2012 mencapai Rp.273,8 triliun rupiah atau sekitar 66,59 persen dari total dana perimbangan pada tahun yang sama. Sementara itu, porsi DBH cenderung semakin baik dimana tahun 2012 DBH mencapai Rp.111,5 triliun atau jauh lebih besar dibandingkan DBH tahun 2001 sebesar Rp.20,0 triliun. Secara proporsi, DBH juga mengalami peningkatan, yakni dari 24,66 persen pada tahun 2001 menjadi 27,12 persen dari total dana perimbangan pada tahun 2012. Demikian juga pada transfer DAK tahun 2012 yang telah mencapai Rp.25,9 triliun, jumlahnya jauh lebih besar dibanding DAK tahun 2001 yang hanya sebesar Rp.0,7 triliun.

Besarnya dukungan pendanaan untuk menjalankan urusan/kewenangan yang diserahkan kepada daerah, harus disertai dengan diskresi untuk membelanjakan dana tersebut sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah, sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik akan lebih efisien dan efektif. Keberhasilan daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada pemerintah daerah dalam mengalokasikan belanjanya untuk program dan kegiatan yang berorientasi pada kepentingan publik, sehingga akan bermanfaat dan menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi daerah.

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 32 dan Undang-Undang Nomor 33

Tahun 2004, dana yang berasal dari pemerintah pusat sebagian besar dilimpahkan ke daerah dalam bentuk dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) sehingga penentuan proyek sebagian besar sudah berada di tangan pemerintah kabupaten atau kota. Justru hal ini membuat pemerintah kabupaten atau kota memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam menentukan proyek-proyek yang diprioritaskan dan keahlian di bidang perencanaan wilayah makin dibutuhkan karena kegagalan pembangunan sudah menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten atau kota. Artinya, mereka harus lebih arif dalam mengalokasikan dana yang tersedia dan lebih mampu dalam menetapkan skala prioritas (Tarigan, 2010). Menurut Kuncoro (2004) dalam Badrudin (2012), titik tolak desentralisasi fiskal di Indonesia adalah kabupaten dan kota. Hal ini berdasarkan pertimbangan (1) dimensi politik bahwa kabupaten dan kota dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga resiko gerakan separatisme dan tuntutan federalisme relatif minimum; (2) dimensi administratif bahwa kabupaten dan kota dipandang lebih efektif dalam penyelenggaraan pemerintahan dan layanan kepada masyarakat; (3) kabupaten dan kota sebagai ujung tombak pelaksanaan pembangunan sehingga kabupaten dan kota lebih mengetahui kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya; dan (4) dapat meningkatkan local accountability

pemerintah kabupaten dan kota terhadap rakyatnya.

Oates (1972) dalam Wibowo (2008) menegaskan bahwa tingkat kemajuan ekonomi merupakan outcome dari kesesuaian preferensi masyarakat dengan pemerintah daerah yang tercipta karena makin pentingnya peran pemerintah daerah dalam otonomi daerah. Secara teori, pendelegasian fiskal kepada pemerintah yang berada di level bawah diperkirakan memberikan peningkatan ekonomi mengingat pemerintah daerah memiliki kedekatan dengan masyarakatnya dan mempunyai keunggulan informasi dibanding pemerintah pusat, sehingga dapat memberikan pelayanan publik yang benar-benar dibutuhkan di daerahnya. Respon yang diberikan oleh pemerintah daerah terhadap tuntutan masyarakat jauh lebih


(4)

cepat karena mereka berhadapan langsung dengan penduduk daerah/kota yang bersangkutan.Oates (1993) juga berpendapat bahwa desentralisasi fiskal berpotensi memberikan kontribusi dalam bentuk peningkatan efisiensi pemerintahan dan laju pertumbuhan ekonomi.

Prud’homme (1994) menyatakan bahwa desentralisasi fiskal dapat berpengaruh positif terhadap perkembangan ekonomi daerah di masa datang. Secara eksplisit dinyatakan bahwa pengeluaran publik terutama untuk penyediaan infrastuktur bagi masyarakat akan lebih efektif dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah karena lebih mengetahui keinginan dan kebutuhan masyarakatnya.

Kuznets dalam Jhingan (2013) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya, kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya.Sirojuzilam dan Hahalli (2011) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan, dan hasil pertumbuhan ekonomi akan dapat pula dinikmati masyarakat sampai dilapisan paling bawah, baik dengan sendirinya maupun dengan campur tangan pemerintah. Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu gambaran mengenai dampak kebijaksanaan pemerintah yang dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi.

Produk domestik bruto sering dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja perekonomian.Produk domestik bruto (GDP) adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian selama kurun waktu tertentu. Ukuran kemakmuran ekonomi yang lebih baik akan menghitung output barang dan jasa perekonomian dan tidak akan dipengaruhi oleh perubahan harga. Untuk tujuan ini, para ekonom menggunakan GDP riil (real GDP), yang nilai barang dan jasanya diukur dengan menggunakan harga konstan (Mankiw, 2007).

Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu

negara atau wilayah dalam satu periode tertentu adalah data Produk Domestik Bruto (PDB)/Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB perkapita diperoleh dengan cara membagi total nilai PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. PDRB dan Pendapatan Regional Perkapita atas dasar harga berlaku menunjukkan nilai PDRB dan Pendapatan Regional per kepala atau per satu orang penduduk.PDRB dan Pendapatan Regional Perkapita atas dasar harga konstan berguna untuk mengetahui pertumbuhan nyata ekonomi perkapita penduduk suatu wilayah (BPS 2013a).

Woller dan Philips (1998) menyatakan bahwa dari beberapa penelitian yang meneliti faktor-faktor pertumbuhan ekonomi, seperti yang dilakukan Barro (1996), Sachs dan Warner (1997), Sala-i-Martin (1997), Knight et al. (1993), Mankiw et al. (1992), serta Levine dan Renelt (1992), ditemukan tiga variabel yang memiliki hubungan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu: rasio investasi terhadap PDB, akumulasi modal manusia, dan level awal PDB (level awal pertumbuhan ekonomi).

Harrod-Domar dalam Todaro dan Smith (2006) menyatakan bahwa setiap perekonomian pada dasarnya harus mencadangkan atau menabung sebagian tertentu dari pendapatan nasionalnya untuk menambah atau menggantikan barang-barang modal (gedung, alat-alat, dan bahan baku) yang telah susut atau rusak. Namun, untuk memacu pertumbuhan ekonomi, dibutuhkan investasi baru yang merupakan tambahan neto terhadap cadangan atau stok modal (capital stock).

Model Pertumbuhan Solow menyatakan bahwa pada setiap momen, persediaan modal adalah determinan output perekonomian yang penting, karena persediaan modal bisa berubah sepanjang waktu, dan perubahan itu bisa mengarah ke pertumbuhan ekonomi. Biasanya, terdapat dua kekuatan yang mempengaruhi persediaan modal: investasi dan depresiasi. Investasi mengacu pada pengeluaran untuk perluasan usaha dan peralatan baru, dan hal itu menyebabkan persediaan modal bertambah.Depresiasi mengacu pada penggunaan modal, dan hal itu


(5)

menyebabkan persediaan modal berkurang (Mankiw, 2007).

Pengertian konsep pembentukan modal tetap bruto dalam suatu region adalah semua barang modal baru yang digunakan atau dipakai sebagai alat untuk proses produksi di suatu region itu sendiri. Jenis barang yang dikategorikan ke dalam barang-barang modal adalah barang-barang yang mempunyai umur satu tahun atau lebih, dan yang dimaksud pemakaian adalah penggunaan barang-barang modal tersebut sebagai alat yang tetap dalam proses produksi (BPS 2013b).

Modal manusia (human capital) adalah istilah yang sering digunakan oleh para ekonom untuk pendidikan, kesehatan, dan kapasitas manusia yang lain yang dapat meningkatkan produktivitas jika hal-hal tersebut ditingkatkan. Pendidikan dan kesehatan merupakan tujuan pembangunan yang mendasar, keduanya adalah hal yang fundamental untuk membentuk kemampuan manusia yang lebih luas yang berada pada inti makna pembangunan. Pada saat yang sama, pendidikan memainkan peran utama dalam membentuk kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan (Todaro dan Smith, 2006).

Rata-rata lama sekolah merupakan salah satu indikator untuk mengukur pendidikan.Semakin tinggi angka rata-rata lama sekolah berarti semakin lama/tinggi jenjang pendidikan yang ditamatkannya. Hasil penelitian Hauoas dan Yagoubi (2005) di 16 negara Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) periode 1965-2000 menunjukkan bahwa modal manusia yang diukur dengan rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Todaro dan Smith (2006) mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk itu bukanlah merupakan suatu masalah, melainkan justru merupakan unsur penting yang akan memacu pembangunan ekonomi. Populasi yang lebih besar adalah pasar potensial yang menjadi sumber permintaan akan berbagai macam barang dan jasa yang kemudian akan menggerakkan berbagai macam kegiatan ekonomi sehingga

menciptakan skala ekonomi (economies of

scale) dalam produksi yang

menguntungkan semua pihak, menurunkan biaya-biaya produksi, dan menciptakan sumber pasokan atau penawaran tenaga kerja murah dalam jumlah yang memadai sehingga pada gilirannya akan merangsang tingkat output atau produksi agregat yang lebih tinggi lagi.

Penelitian Akai dan Sakata (2002) yang menggunakan modal manusia sebagai variabel kontrol dalam meneliti pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat dalam priode waktu 1992-1996, menunjukkan bahwa kuantitas dan kualitas dari sumber daya manusia regional berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat.

Beberapa penelitian yang menggunakan level awal pertumbuhan ekonomi sebagai variabel yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Hasil penelitian Woller dan Phillips (1998) dan Thiessen (2003) menyatakan bahwa semakin tinggi level awal pertumbuhan ekonomi (initial percapita regional GDP) maka pertumbuhan ekonomi akan semakin rendah pada tahun berikutnya. Sedangkan hasil penelitian Akai dan Sakata (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan GDP riil perkapita periode sebelumnya merupakan determinan penting dan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dalam periode berjalan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi desentralisasi fiskal di Provinsi Sumatera Utara,mengetahui pengaruhdesentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara, dan mengetahui pengaruh variabel kontrol yang terdiri dari variabel investasi, variabel akumulasi modal manusia, dan variabel level awal pertumbuhan ekonomi terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

METODE

Ukuran desentralisasi fiskal yang digunakan meliputi Indikator Pengeluaran, Indikator Pendapatan, dan Indikator Otonomi. Untuk melihat pengaruh desentralisasi fiskal secara bersama-sama


(6)

dengan faktor-faktor pertumbuhan ekonomi lainnya, maka digunakan variabel kontrol yang meliputi investasi, akumulasi modal manusia, dan level awal pertumbuhan ekonomi.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel30 kabupaten/kota selama 4 tahun yaitu tahun 2009-2012. Kabupaten Nias Utara, Nias Barat, dan Kota Gunung Sitoli tidak ikut dianalisis karena data tahun 2009 belum tersedia secara lengkap.

Spesifikasi model ekonometrika yang digunakan untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara mengadopsi spesifikasi model ekonometrika yang digunakan Akai dan Sakata (2002) dan Wibowo (2008).Dalam penelitian ini, modifikasi model ekonometrika yang digunakan adalah:

Ln(PDRB_PK)it = α0+ Xit+ DFit + ɛit dimana, Ln(PDRB_PK) adalah pertumbuhan PDRB riil perkapita, X adalah variabel kontrol yang terdiri dari: Investasi=nilai Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), Akumulasi Modal Manusia=Pertumbuhan Penduduk (PP) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS), dan Level Awal Pertumbuhan Ekonomi = PDRB riil perkapita periode sebelumnya (PDRB_PS), DF adalah Indikator Desentralisasi Fiskal yang dalam penelitian ini terdiri dari variabel Indikator Pengeluaran, Indikator Pendapatan, dan Indikator Otonomi, dan = parameter vektor, ɛ = error term, i =

cross section, dan t = time series.

Dari spesifikasi model di atas, untuk melihat pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara, digunakan 2 regresi utama, yaitu:

1) Regresi atas variabel kontrol

Untuk melihat pengaruh variabel kontrol terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara, dilakukan regresi atas variabel kontrol, dengan model persamaan:

Ln(PDRB_PK)it= α0+ α1Ln(PMTB) it + α2Ln(RLS) it + α3PPit + α4Ln(PDRB_PS)it + ԑit 2) Regresi penuh dengan memasukkan

indikator desentralisasi fiskal

Untuk melihat pengaruh masing-masing indikator desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara, dilakukan regresi dengan memasukkan satu persatu secara bergantian indikator desentralisasi fiskal bersama-sama dengan variabel kontrol, sehingga model persamaannya menjadi:

Ln(PDRB_PK)it= α0 + α1Ln(PMTB)it + α2Ln(RLS)it+ α3PPit + α4Ln(PDRB_PS)it+ DFit + ԑit HASIL DAN PEMBAHASAN

Implementasi Desentralisasi Fiskal di Provinsi Sumatera Utara

Desentralisasi fiskal yang efektif dilaksanakan mulai tahun 2001 dengan prinsip money follows function berimplikasi terhadap peningkatan pendapatan dan belanja pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.Selama periode 2001-2012, total realisasi pendapatan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara meningkat tajam yaitu dari 4,16 triliun rupiah pada tahun 2001 menjadi 24,81 triliun rupiah pada tahun 2012. Sedangkan total realisasi belanja daerah meningkat dari 3,85 triliun rupiah pada tahun 2001 menjadi 24,21 triliun rupiah pada tahun 2012.

Pendapatan pemerintah kabupaten/kota se Sumatera Utara masih didominasi oleh dana perimbangan yang berasal dari transfer pemerintah pusat. Persentase total dana perimbangan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara terhadap total pendapatan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara masih sangat besar, yaitu di atas 70 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara masih sangat tergantung dengan pemerintah pusat dalam melakukan pembangunan.


(7)

Sumber:BPS, Statistik Keuangan

Pemerintah Daerah Sumatera

Utara, 2011-2012 (Data Diolah)

Gambar 1. Persentase pendapatan daerah pemerintah kabupaten/kotadi Provinsi Sumatera Utara tahun 2010-2012

Namun demikian, pendapatan pemerintah kabupaten/kota yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) cenderung mengalami peningkatan baik secara nominal maupun kontribusinya terhadap total pendapatan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Pada tahun 2010, kontribusi total PAD terhadap total pendapatan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara sebesar 7,22 persen dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 9,55 persen.

Sumber : BPS, Statistik Keuangan

Pemerintah Daerah Sumatera Utara, 2011-2012

Gambar 2. Belanja modal dan belanja daerah pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, 2010-2012 Total belanja daerah pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara dari tahun ke tahun juga mengalami

peningkatan. Pada tahun 2012 total belanja pemerintah kabupaten/kota mengalami peningkatan 13,22 persen dibandingkan tahun 2011. Demikian juga dengan total belanja modal pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara yang nilainya mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Selain peningkatan nilai total belanja modal, persentasenya terhadap total belanja daerah juga mengalami peningkatan. Persentase total belanja modal terhadap total belanja daerah pada tahun 2010 sebesar 18,83 persen, pada tahun 2011 meningkat menjadi sebesar 21,80 persen, dan tahun 2012 meningkat menjadi sebesar 23,53 persen. Peningkatan persentase realisasi belanja modal ini diharapkan akan meningkatkan kinerja perekonomian di Provinsi Sumatera Utara.

PengaruhVariabel Kontrol Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Sumatera Utara

Berdasarkan hasil Uji-F dan Uji Hausman yang dilakukan untuk regresi atas variabel kontrol maupun untuk regresi penuh dengan memasukkan masing-masing indikator desentralisasi fiskal disimpulkan bahwa metode fixed effect merupakan metode analisis yang terbaik digunakan dalam penelitian ini.

Tabel 1. Hasil regresi atas variabel kontrol Variable Coefficient Prob.

C -0.483981 0.0000 LOG(PMTB?) 0.013884 0.0002 LOG(RLS?) 0.039085 0.0244 PP? -0.009491 0.0000 LOG(PDRB_PS?) 1.017426 0.0000 Adjusted R-squared 0.999980

Prob(F-statistic) 0.000000 Sumber: Output Eviews 6

Hasil regresi atas variabel kontrol menunjukkan bahwa nilai koefisien regresi variabel investasi yang diproxy dengan PMTB adalah sebesar 0,014 dengan probabilitas t-statistic sebesar 0,0002. Hal ini menunjukkan bahwa investasi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Setiap kenaikan 1 persen investasi,

ceteris paribus, akan berpengaruh terhadap 0

20 40 60 80 100

2010 2011 2012

PAD 7.22 9.00 9.55

Dana Perimbangan 80.06 73.12 73.39

Lain-lain 12.71 17.88 17.06

(Per

sen)

0 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000

2010 2011 2012

Belanja Modal 3,274 4,661 5,697 Belanja Daerah 17,387 21,380 24,207

(Miliar


(8)

pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara sebesar 0,014 persen.

Variabel akumulasi modal manusia diproxy dengan variabel rata-rata lama sekolah dan variabel pertumbuhan penduduk.Hasil regresi atas variabel kontrol menunjukkan bahwa nilai koefisien regresi variabel rata-rata lama sekolah adalah sebesar 0,039 dengan probabilitas t-statistic

sebesar 0,024.Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Setiap kenaikan 1 persen rata-rata lama sekolah, ceteris paribus, akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara sebesar 0,039 persen.

Sedangkan nilai koefisien regresi variabel pertumbuhan penduduk adalah sebesar -0,009 dengan probabilitas t-statistic sebesar 0,0000. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Setiap kenaikan 1 persen pertumbuhan penduduk,

ceteris paribus, akan berpengaruh terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara sebesar 0,009 persen. Peningkatan jumlah penduduk dapat

menurunkan produktivitas karena adanya efek diminishing returns. Apabila jumlah penduduk terus meningkat melebihi titik maksimum, maka pertumbuhan penduduk akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi menurun.

Variabel level awal pertumbuhan ekonomi yang diproxy dengan variabel PDRB riil perkapita periode sebelumnya menunjukkan bahwa nilai koefisien regresinya sebesar 1,017 dengan probabilitas t-statistic sebesar 0,0000. Hal ini menunjukkan bahwa PDRB riil perkapita periode sebelumnya memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Setiap kenaikan 1 persen PDRB riil perkapita periode sebelumnya, ceteris paribus, akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara sebesar 1,017 persen.

Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Sumatera Utara

Hasil penghitungan regresi dengan memasukkan indikator desentralisasi fiskalmenggunakan metode fixed effect

dengan cross section weights adalah:

Tabel 2. Hasil regresi atas indikator desentralisasi fiskal

Variable Coefficient Prob.

1. Indikator Pengeluaran

C -0.466674 0.0000

LOG(PMTB?) 0.011865 0.0025

LOG(RLS?) 0.035645 0.0243

PP? -0.009727 0.0000

LOG(PDRB_PS?) 1.018741 0.0000

IK? -7.534717 0.0819

Adjusted R-squared 0.999983

Prob(F-statistic) 0.000000

2. Indikator Pendapatan

a. Pendapatan Daerah Kotor

C -0.511579 0.0000

LOG(PMTB?) 0.009044 0.0053

LOG(RLS?) 0.020159 0.1135

PP? -0.009985 0.0000

LOG(PDRB_PS?) 1.026366 0.0000

ID1? -15.05310 0.0000

Adjusted R-squared 0.999988

Prob(F-statistic) 0.000000

b. Pendapatan Daerah Netto

C -0.475956 0.0000

LOG(PMTB?) 0.013787 0.0002


(9)

PP? -0.009497 0.0000

LOG(PDRB_PS?) 1.016891 0.0000

ID2? 0.698479 0.8879

Adjusted R-squared 0.999979

Prob(F-statistic) 0.000000

3. Indikator Otonomi

a. Rasio PAD terhadap Pendapatan Daerah

C -0.490320 0.0000

LOG(PMTB?) 0.013873 0.0002

LOG(RLS?) 0.038151 0.0366

PP? -0.009503 0.0000

LOG(PDRB_PS?) 1.017975 0.0000

IO1? -0.002680 0.8259

Adjusted R-squared 0.999979

Prob(F-statistic) 0.000000

b. Rasio PAD terhadap Pengeluaran Daerah

C -0.497771 0.0000

LOG(PMTB?) 0.013871 0.0002

LOG(RLS?) 0.036822 0.0443

PP? -0.009518 0.0000

LOG(PDRB_PS?) 1.018643 0.0000

IO2? -0.005365 0.6621

Adjusted R-squared 0.999979

Prob(F-statistic) 0.000000

Variable Coefficient Prob.

c. Rasio PAD thdp Dana Perimbangan Daerah

C -0.464357 0.0000

LOG(PMTB?) 0.013790 0.0002

LOG(RLS?) 0.042290 0.0197

PP? -0.009467 0.0000

LOG(PDRB_PS?) 1.015798 0.0000

IO3? 0.003778 0.4293

Adjusted R-squared 0.999980

Prob(F-statistic) 0.000000

Sumber: Output Eviews 6

Indikator Pengeluaran

Indikator Pengeluaran yang merupakan rasio pengeluaran pemerintah kabupaten/kota terhadap total pengeluaran pemerintah pusat menunjukkan hubungan negatif dan signifikan (α=10%) terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan rasio belanja pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

Desentralisasi fiskal di Indonesia saat ini menitikberatkan pada sisi pengeluaran, maka esensi otonomi pengelolaan fiskal di daerah adalah kebebasan untuk membelanjakan dana sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah sehingga pengaruh belanja daerah terhadap perekonomian daerah akan sangat tergantung pada alokasi dan komposisi belanja daerah.

Realisasi belanja modal kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2012 hanya 23,53 persen dari total belanja pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Sementara belanja pegawai pemerintah kabupaten/kota, pada tahun 2012 mencapai 56,35 persen dari total belanja pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Abimanyu (2005) dalam Zulyanto (2010) menyatakan bahwa anggaran belanja daerah akan tidak logis jika proporsi anggarannya lebih banyak untuk belanja rutin, terutama untuk belanja pegawai.

Tabel 3. Nilai koefisien fixed effects hasil regresi atas indikator pengeluaran Kab/Kota Coefficient Kab/Kota Coefficient Nias 0,023634 Pakpak.B 0,040597 Madina 0,019115 Samosir 0,000361 Tapsel -0,007943 Sergai -0,008927 Tapteng 0,026448 Batu Bara -0,037278


(10)

Tobasa -0,012884 Palas 0,024589 L.Batu -0,007142 Labusel -0,010525 Asahan -0,012076 Labura -0,007327 Simalungun -0,006983 Sibolga 0,004812 Dairi -0,008037 T.Balai -0,014786 Karo -0,011042 P.Siantar -0,011566 D.Serdang -0,017465 T.Tinggi 0,005851 Langkat -0,007292 Medan -0,033332 Nisel 0,015203 Binjai -0,005304 Humbahas 0,011477 P.Sidimpua

n 0,010170

Sumber: Output Eviews 6

Nilai koefisien fixed effect yang ada pada tabel di atas, menunjukkan adanya perbedaan pertumbuhan ekonomi masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara dengan memperhitungkan pengaruh indikator pengeluaran dan variabel kontrol. Nilai koefisien fixed effect

terbesar dimiliki oleh Kabupaten Pakpak Bharat. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pengaruh indikator pengeluaran dan variabel kontrol terhadap pertumbuhan ekonomi terbesar terjadi di Kabupaten Pakpak Bharat. Sementara itu, nilai koefisien fixed effect terendah dimiliki oleh Kabupaten Batu Bara dan Kota Medan. Hal ini mengindikasikan bahwa pengaruh indikator pengeluaran dan variabel kontrol terhadap pertumbuhan ekonomi terendah terjadi di Kabupaten Batu Bara dan Kota Medan.PDRB perkapita Kabupaten Batu Bara dan Kota Medan merupakan yang tertinggi di Provinsi Sumatera Utara.

Indikator Pendapatan

Indikator Pendapatan yang merupakan rasio pendapatan pemerintah kabupaten/kota terhadap pendapatan pemerintah pusat menunjukkan hubungan negatif dan signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin besar rasio pendapatan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara dengan memperhitungkan dana perimbangan terhadap pendapatan pemerintah pusat akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

Nilai koefisien fixed effect yang ada pada tabel di bawah, menunjukkan adanya perbedaan pertumbuhan ekonomi masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara dengan memperhitungkan pengaruh indikator pendapatan dan variabel kontrol. Nilai koefisien fixed effect terbesar dimiliki oleh Kabupaten Pakpak Bharat.

Kondisi ini mengindikasikan bahwa pengaruh indikator pendapatan dan variabel kontrol terhadap pertumbuhan ekonomi terbesar terjadi di Kabupaten Pakpak Bharat. Sementara itu, nilai koefisien fixed effect terendah dimiliki oleh Kabupaten Batu Bara. Hal ini mengindikasikan bahwa pengaruh indikator pendapatan dan variabel kontrol terhadap pertumbuhan ekonomi terendah terjadi di Kabupaten Batu Bara. Tabel 4. Nilai koefisien fixed effects hasil

regresi atas indikator pendapatan Kab/Kota Coefficient Kab/Kota Coefficient Nias 0.026910 Pakpak.B 0.034996 Madina 0.019576 Samosir -0.004193 Tapsel -0.007662 Sergai -0.006429 Tapteng 0.026989 Batu Bara -0.045308

Taput 0.008213 Paluta 0.030128

Tobasa -0.015460 Palas 0.025429 L.Batu -0.008107 Labusel -0.014990 Asahan -0.011449 Labura -0.011323 Simalungun -0.001474 Sibolga -0.001237 Dairi -0.009429 T.Balai -0.018789 Karo -0.011244 P.Siantar -0.010629 D.Serdang -0.006381 T.Tinggi 0.002806 Langkat -0.002575 Medan -0.016060 Nisel 0.010831 Binjai -0.005021 Humbahas 0.009611 P.Sidimpua

n 0.012270

Sumber: Output Eviews 6

Berbeda dengan indikator pendapatan netto yang merupakan rasio pendapatan pemerintah kabupaten/kota tanpa memperhitungkan dana perimbangan terhadap pendapatan pemerintah pusat menunjukkan hubungan positif tetapi tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin besar pendapatan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara tanpa dana perimbangan, tidak berpengaruh secara signifikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

Pada tahun 2012, total dana perimbangan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara mencapai 73,39 persen dari total belanja pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Besarnya porsi dana perimbangan dalam pendapatan daerah menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan pemerintah kabupaten/kota terhadap pemerintah pusat masih tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian kewenangan yang lebih luas kepada daerah


(11)

untuk menggali sumber-sumber penerimaan daerah belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

Handoyo (2010) dalam Badrudin (2012) menyatakan bahwa penggalian sumber-sumber penerimaan perpajakan khususnya pajak daerah perlu memperhatikan dasar pengenaan pajak dan tarif pajak.Pengenaan tarif pajak yang tinggi tidak selalu menghasilkan penerimaan pajak yang tinggi karena tergantung respon wajib pajak serta permintaan dan penawaran barang yang dikenai pajak tersebut. Model Leviathan menunjukkan bahwa peningkatan penerimaan pajak daerah tidak harus dicapai dengan pengenaan tarif pajak yang terlalu tinggi, tetapi dengan pengenaan tarif pajak yang lebih rendah dikombinasikan dengan struktur pajak yang meminimalkan penghindaran pajak dan respon harga dan kuantitas barang terhadap pengenaan pajak sedemikian rupa sehingga dicapai total penerimaan pajak maksimum.

Indikator Otonomi

Indikator otonomi (IO1)yang merupakan rasio total PAD terhadap total pendapatan masing-masing pemerintah kabupaten/kota dan indikator otonomi(IO2)yang merupakan rasio total PAD terhadap total pengeluaran masing-masing pemerintah kabupaten/kota menunjukkan hubungan negatif tetapi tidak signifikanterhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.Hubungan negatif tersebut memberi gambaran bahwa otonomi fiskal di daerah menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara walaupun tidak secara signifikan.Sedangkan indikator otonomi(IO3)yang merupakan rasio PAD terhadap total dana perimbangan masing-masing pemerintah kabupaten/kota menghasilkan hubungan positif tetapi tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

Pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara masih sangat tergantung terhadap sumber-sumber penerimaan yang berasal dari dana perimbangan karena masih rendahnya pendapatan yang bersumber dari PAD. Kuncoro (2004) dalam Zulyanto (2010)

menjelaskan penyebab ketergantungan daerah terhadap transfer dari pusat, antara lain: (1) kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber penerimaan daerah; (2) tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan; (3) kendatipun pajak daerah cukup beragam, hanya sedikit yang dapat diandalkan sebagai sumber penerimaan; dan (4) adanya kekhawatiran akan terjadi disintegrasi dan separatisme bila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi.

Kuncoro (2004) dalam Badrudin (2012), menyatakan terdapat beberapa isu sentral dalam implementasi otonomi daerah, diantaranya adalah tendensi masing-masing daerah untuk saling bersaing dan mementingkan daerahnya sendiri terutama dalam pengumpulan Pendapatan Asli Daerah yang berujung dengan munculnya pungutan daerah melalui Peraturan Daerah yang menimbulkan high cost economy. Menurut Kuncoro (2010) dalam Badrudin (2012), selama implementasi otonomi daerah yang dimulai pada tahun 2001, telah terjadi kecenderungan yang menyedihkan, yaitu kuatnya semangat memungut retribusi, pajak, ataupun pungutan lainnya dengan kurang memperhatikan layanan publik secara optimal.

Davoodi dan Zou (1998) menyatakan beberapa faktor yang menyebabkan desentralisasi fiskal dalam beberapa hal menjadi kurang menguntungkan bagi pembangunan antara lain komposisi pengeluaran pemerintah, penetapan pendapatan yang kurang tepat oleh pemerintah daerah, keuntungan efisiensi desentralisasi fiskal yang kurang materiil di negara-negara berkembang dan ketidakcakapan aparatur daerah.

KESIMPULAN

1. Implementasi desentralisasi fiskal telah membawa perubahan terhadap pendapatan dan belanja pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Total realisasi pendapatan pemerintah kabupaten/kota meningkat dari 4,16 triliun rupiah pada tahun 2001 menjadi 24,81 triliun rupiah pada tahun 2012. Total realisasi belanja pemerintah kabupaten/kota meningkat dari 3,85


(12)

triliun rupiah pada tahun 2001 menjadi 24,21 triliun rupiah pada tahun 2012. 2. Desentralisasi fiskal dengan indikator

pengeluaran dan indikator pendapatan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara, sedangkan indikator pendapatan tanpa memperhitungkan penerimaan dari dana perimbangan berpengaruh positif tetapi tidak signifikan. Indikator otonomi dengan ukuran rasio PAD terhadap total pendapatan masing-masing kabupaten/kota dan rasio PAD terhadap total pengeluaran masing-masing kabupaten/kota berpengaruh negatif dan tidak signifikan, sedangkan rasio PAD terhadap total dana perimbangan masing-masing kabupaten/kota berpengaruh positif dan tidak signifikan. 3. Pengaruh variabel kontrol terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara,yaitu: variabel investasi, variabel akumulasi modal manusia dengan indikator rata-rata lama sekolah,dan variabel level awal pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.Sedangkan variabel akumulasi modal manusia dengan indikator pertumbuhan penduduk berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

SARAN

1. Untuk meningkatkan pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah kabupaten/kota perlu mengalokasikan belanja pada program dan kegiatan yang berorientasi kepada kepentingan publik, sehingga menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota.

2. Penelitian ini masih terbatas hanya melihat pengaruh desentralisasi fiskal pada level kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Sementara pengaruh desentralisasi fiskal pada level provinsi belum diperhitungkan. Penelitian selanjutnya dapat menggabungkan

pengaruh desentralisasi fiskal pada level kabupaten/kota dan level provinsi terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

DAFTAR RUJUKAN

Akai, Nobuo and Sakata, Masayo. 2002. Fiscal Decentralization Contributes To Economic Growth: Evidence From State-Level Cross-Section Data For The United States.

Journal of Urban Economics 52 (2002) 93-108.

Badrudin, Rudy. 2012. Ekonomika Otonomi

Daerah. UPP STIM YKPN.

Yogyakarta.

Baskaran, T. and Feld, P. Lars. 2009. Fiscal Decentralization and Economic Growth in OECD Countries: Is there a Relationship? CESifo Working Paper No. 2721.

[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 2012. Statistik

Keuangan Pemerintah Daerah

Sumatera Utara 2011-2012.

Medan.

_________, 2013a.Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Provinsi Sumatera Utara 2008-2012. Medan.

_________, 2013b.Produk Domestik

Regional Bruto Menurut

Penggunaan Provinsi Sumatera Utara 2008-2012. Medan.

Breuss, Fritz and Eller, Markus. 2004. Fiscal Decentralisation and Economic Growth: Is There Really a Link? CESifo DICE Report,

Journal for Institutional

Comparisons, Volume 2 No.1, Spring 2004.

Davoodi, Hamid and Zou, Heng-fu. 1998. Fiscal Decentralization and Economic Growth: a Cross-Country Study. Journal of Urban Economics 43, 244-257 (1998). Desai, R. M., Freinkman, L.M., and

Goldbrg, I. 2003. Fiscal Federalism and Regional Growth Evedience from Russion Federation in the 1990s.World Bank Policy Research Working Paper 3138, World Bank, Washington DC.

Haouas, Ilham and Yagoubi, Mahmoud. 2005. Openness and Human Capital


(13)

as Sources of Productivity Growth: An Empirical Investigation from the MENA Countries. IZA Discussion Paper No. 1461 January 2005.

Hirawan, Susiyati Bambang. 2007. Desentralisasi Fiskal Sebagai Suatu Upaya Meningkatkan Penyediaan Layanan Publik (Bagi Orang Miskin) di Indonesia. Pidato pada Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Mankiw, N. Gregory. 2007. Makreokonomi

(Fitria Liza dan Imam Nurmawan, Alih Bahasa), Edisi Keenam. Erlangga. Jakarta.

Oates, Wallace E. 1993. Fiscal Decentralization and Economic Development.National Tax Journal

Vol. 46 No. 2 (June, 1993) 237-243.

Prud’homme, R. 1994. On the Dangers of Decentralization.Policy Research Working Paper 1252.World Bank, Washington DC.

Sirojuzilam dan Hahalli, Kasyful. 2011.

Regional: Pembangunan,

Perencanaan, dan Ekonomi. USU Press. Medan.

Swasono, Fauziah. 2007. Fiscal Decentralization and Economic Growth: Evidence from Indonesia.

Economic and Finance in

Indonesia, Vol.55(2).

Tarigan, Robinson. 2010. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Edisi Revisi. Bumi Aksara. Jakarta.

Thiessen, Ulrich. 2003. Fiscal Decentralization and Economic Growth in High Income OECD Countries. Fiscal Studies Vol. 24 No. 3.

Todaro, Michael P. dan Smith, Stephen C. 2006.Pembangunan Ekonomi

(Haris Munandar dan Puji A.L., Alih Bahasa). Edisi 9 Jilid 1.Erlangga. Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Wibowo, Puji. 2008. Mencermati Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap

Pertumbuhan Ekonomi

Daerah.Journal Keuangan Publik

Vol. 5, No. 1, Oktober 2008. Woller, Gary M. and Phillips, Kerk. 1998.

Fiscal Decentralisation and LDC Economic Growth; An Empirical Investigation. The Journal of Development Studies Vol.34(4). Xie, D., Zou, H., and Davoodi, H. 1999.

Fiscal Decentralization and Economic Growth in the United States.Journal of Urban Economics

45:228-239.

Zhang, Tao and Zou, Heng-fu. 1998. Fiscal Decentralization, Public Spending, and Economic Growth in China.

Journal of Public Economics

67:221-240.

Zulyanto. A. 2010. Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Bengkulu [Tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro, Program Pascasarjana.


(1)

pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara sebesar 0,014 persen.

Variabel akumulasi modal manusia diproxy dengan variabel rata-rata lama sekolah dan variabel pertumbuhan penduduk.Hasil regresi atas variabel kontrol menunjukkan bahwa nilai koefisien regresi variabel rata-rata lama sekolah adalah sebesar 0,039 dengan probabilitas t-statistic sebesar 0,024.Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Setiap kenaikan 1 persen rata-rata lama sekolah, ceteris paribus, akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara sebesar 0,039 persen.

Sedangkan nilai koefisien regresi variabel pertumbuhan penduduk adalah sebesar -0,009 dengan probabilitas t-statistic sebesar 0,0000. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Setiap kenaikan 1 persen pertumbuhan penduduk, ceteris paribus, akan berpengaruh terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara sebesar 0,009 persen. Peningkatan jumlah penduduk dapat

menurunkan produktivitas karena adanya efek diminishing returns. Apabila jumlah penduduk terus meningkat melebihi titik maksimum, maka pertumbuhan penduduk akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi menurun.

Variabel level awal pertumbuhan ekonomi yang diproxy dengan variabel PDRB riil perkapita periode sebelumnya menunjukkan bahwa nilai koefisien regresinya sebesar 1,017 dengan probabilitas t-statistic sebesar 0,0000. Hal ini menunjukkan bahwa PDRB riil perkapita periode sebelumnya memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Setiap kenaikan 1 persen PDRB riil perkapita periode sebelumnya, ceteris paribus, akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara sebesar 1,017 persen.

Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Sumatera Utara

Hasil penghitungan regresi dengan memasukkan indikator desentralisasi fiskalmenggunakan metode fixed effect dengan cross section weights adalah:

Tabel 2. Hasil regresi atas indikator desentralisasi fiskal

Variable Coefficient Prob.

1. Indikator Pengeluaran

C -0.466674 0.0000

LOG(PMTB?) 0.011865 0.0025

LOG(RLS?) 0.035645 0.0243

PP? -0.009727 0.0000

LOG(PDRB_PS?) 1.018741 0.0000

IK? -7.534717 0.0819

Adjusted R-squared 0.999983

Prob(F-statistic) 0.000000

2. Indikator Pendapatan a. Pendapatan Daerah Kotor

C -0.511579 0.0000

LOG(PMTB?) 0.009044 0.0053

LOG(RLS?) 0.020159 0.1135

PP? -0.009985 0.0000

LOG(PDRB_PS?) 1.026366 0.0000

ID1? -15.05310 0.0000

Adjusted R-squared 0.999988

Prob(F-statistic) 0.000000

b. Pendapatan Daerah Netto

C -0.475956 0.0000

LOG(PMTB?) 0.013787 0.0002


(2)

PP? -0.009497 0.0000

LOG(PDRB_PS?) 1.016891 0.0000

ID2? 0.698479 0.8879

Adjusted R-squared 0.999979

Prob(F-statistic) 0.000000

3. Indikator Otonomi

a. Rasio PAD terhadap Pendapatan Daerah

C -0.490320 0.0000

LOG(PMTB?) 0.013873 0.0002

LOG(RLS?) 0.038151 0.0366

PP? -0.009503 0.0000

LOG(PDRB_PS?) 1.017975 0.0000

IO1? -0.002680 0.8259

Adjusted R-squared 0.999979

Prob(F-statistic) 0.000000

b. Rasio PAD terhadap Pengeluaran Daerah

C -0.497771 0.0000

LOG(PMTB?) 0.013871 0.0002

LOG(RLS?) 0.036822 0.0443

PP? -0.009518 0.0000

LOG(PDRB_PS?) 1.018643 0.0000

IO2? -0.005365 0.6621

Adjusted R-squared 0.999979

Prob(F-statistic) 0.000000

Variable Coefficient Prob.

c. Rasio PAD thdp Dana Perimbangan Daerah

C -0.464357 0.0000

LOG(PMTB?) 0.013790 0.0002

LOG(RLS?) 0.042290 0.0197

PP? -0.009467 0.0000

LOG(PDRB_PS?) 1.015798 0.0000

IO3? 0.003778 0.4293

Adjusted R-squared 0.999980

Prob(F-statistic) 0.000000

Sumber: Output Eviews 6

Indikator Pengeluaran

Indikator Pengeluaran yang merupakan rasio pengeluaran pemerintah kabupaten/kota terhadap total pengeluaran pemerintah pusat menunjukkan hubungan negatif dan signifikan (α=10%) terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan rasio belanja pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

Desentralisasi fiskal di Indonesia saat ini menitikberatkan pada sisi pengeluaran, maka esensi otonomi pengelolaan fiskal di daerah adalah kebebasan untuk membelanjakan dana sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah sehingga pengaruh belanja daerah terhadap perekonomian daerah akan sangat tergantung pada alokasi dan komposisi belanja daerah.

Realisasi belanja modal kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2012 hanya 23,53 persen dari total belanja pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Sementara belanja pegawai pemerintah kabupaten/kota, pada tahun 2012 mencapai 56,35 persen dari total belanja pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Abimanyu (2005) dalam Zulyanto (2010) menyatakan bahwa anggaran belanja daerah akan tidak logis jika proporsi anggarannya lebih banyak untuk belanja rutin, terutama untuk belanja pegawai.

Tabel 3. Nilai koefisien fixed effects hasil regresi atas indikator pengeluaran

Kab/Kota Coefficient Kab/Kota Coefficient

Nias 0,023634 Pakpak.B 0,040597

Madina 0,019115 Samosir 0,000361

Tapsel -0,007943 Sergai -0,008927

Tapteng 0,026448 Batu Bara -0,037278


(3)

Tobasa -0,012884 Palas 0,024589

L.Batu -0,007142 Labusel -0,010525

Asahan -0,012076 Labura -0,007327

Simalungun -0,006983 Sibolga 0,004812

Dairi -0,008037 T.Balai -0,014786

Karo -0,011042 P.Siantar -0,011566

D.Serdang -0,017465 T.Tinggi 0,005851

Langkat -0,007292 Medan -0,033332

Nisel 0,015203 Binjai -0,005304

Humbahas 0,011477 P.Sidimpua

n 0,010170

Sumber: Output Eviews 6

Nilai koefisien fixed effect yang ada pada tabel di atas, menunjukkan adanya perbedaan pertumbuhan ekonomi masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara dengan memperhitungkan pengaruh indikator pengeluaran dan variabel kontrol. Nilai koefisien fixed effect terbesar dimiliki oleh Kabupaten Pakpak Bharat. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pengaruh indikator pengeluaran dan variabel kontrol terhadap pertumbuhan ekonomi terbesar terjadi di Kabupaten Pakpak Bharat. Sementara itu, nilai koefisien fixed effect terendah dimiliki oleh Kabupaten Batu Bara dan Kota Medan. Hal ini mengindikasikan bahwa pengaruh indikator pengeluaran dan variabel kontrol terhadap pertumbuhan ekonomi terendah terjadi di Kabupaten Batu Bara dan Kota Medan.PDRB perkapita Kabupaten Batu Bara dan Kota Medan merupakan yang tertinggi di Provinsi Sumatera Utara.

Indikator Pendapatan

Indikator Pendapatan yang merupakan rasio pendapatan pemerintah kabupaten/kota terhadap pendapatan pemerintah pusat menunjukkan hubungan negatif dan signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin besar rasio pendapatan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara dengan memperhitungkan dana perimbangan terhadap pendapatan pemerintah pusat akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

Nilai koefisien fixed effect yang ada pada tabel di bawah, menunjukkan adanya perbedaan pertumbuhan ekonomi masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara dengan memperhitungkan pengaruh indikator pendapatan dan variabel kontrol. Nilai koefisien fixed effect terbesar dimiliki oleh Kabupaten Pakpak Bharat.

Kondisi ini mengindikasikan bahwa pengaruh indikator pendapatan dan variabel kontrol terhadap pertumbuhan ekonomi terbesar terjadi di Kabupaten Pakpak Bharat. Sementara itu, nilai koefisien fixed effect terendah dimiliki oleh Kabupaten Batu Bara. Hal ini mengindikasikan bahwa pengaruh indikator pendapatan dan variabel kontrol terhadap pertumbuhan ekonomi terendah terjadi di Kabupaten Batu Bara. Tabel 4. Nilai koefisien fixed effects hasil

regresi atas indikator pendapatan

Kab/Kota Coefficient Kab/Kota Coefficient

Nias 0.026910 Pakpak.B 0.034996

Madina 0.019576 Samosir -0.004193

Tapsel -0.007662 Sergai -0.006429

Tapteng 0.026989 Batu Bara -0.045308

Taput 0.008213 Paluta 0.030128

Tobasa -0.015460 Palas 0.025429

L.Batu -0.008107 Labusel -0.014990

Asahan -0.011449 Labura -0.011323

Simalungun -0.001474 Sibolga -0.001237

Dairi -0.009429 T.Balai -0.018789

Karo -0.011244 P.Siantar -0.010629

D.Serdang -0.006381 T.Tinggi 0.002806

Langkat -0.002575 Medan -0.016060

Nisel 0.010831 Binjai -0.005021

Humbahas 0.009611 P.Sidimpua

n 0.012270

Sumber: Output Eviews 6

Berbeda dengan indikator pendapatan netto yang merupakan rasio pendapatan pemerintah kabupaten/kota tanpa memperhitungkan dana perimbangan terhadap pendapatan pemerintah pusat menunjukkan hubungan positif tetapi tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin besar pendapatan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara tanpa dana perimbangan, tidak berpengaruh secara signifikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

Pada tahun 2012, total dana perimbangan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara mencapai 73,39 persen dari total belanja pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Besarnya porsi dana perimbangan dalam pendapatan daerah menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan pemerintah kabupaten/kota terhadap pemerintah pusat masih tinggi. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa pemberian


(4)

untuk menggali sumber-sumber penerimaan daerah belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

Handoyo (2010) dalam Badrudin (2012) menyatakan bahwa penggalian sumber-sumber penerimaan perpajakan khususnya pajak daerah perlu memperhatikan dasar pengenaan pajak dan tarif pajak.Pengenaan tarif pajak yang tinggi tidak selalu menghasilkan penerimaan pajak yang tinggi karena tergantung respon wajib pajak serta permintaan dan penawaran barang yang dikenai pajak tersebut. Model Leviathan menunjukkan bahwa peningkatan penerimaan pajak daerah tidak harus dicapai dengan pengenaan tarif pajak yang terlalu tinggi, tetapi dengan pengenaan tarif pajak yang lebih rendah dikombinasikan dengan struktur pajak yang meminimalkan penghindaran pajak dan respon harga dan kuantitas barang terhadap pengenaan pajak sedemikian rupa sehingga dicapai total penerimaan pajak maksimum.

Indikator Otonomi

Indikator otonomi (IO1)yang merupakan rasio total PAD terhadap total pendapatan masing-masing pemerintah kabupaten/kota dan indikator otonomi(IO2)yang merupakan rasio total PAD terhadap total pengeluaran masing-masing pemerintah kabupaten/kota menunjukkan hubungan negatif tetapi tidak signifikanterhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.Hubungan negatif tersebut memberi gambaran bahwa otonomi fiskal di daerah menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara walaupun tidak secara signifikan.Sedangkan indikator otonomi(IO3)yang merupakan rasio PAD terhadap total dana perimbangan masing-masing pemerintah kabupaten/kota menghasilkan hubungan positif tetapi tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

Pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara masih sangat tergantung terhadap sumber-sumber penerimaan yang berasal dari dana perimbangan karena masih rendahnya pendapatan yang bersumber dari PAD. Kuncoro (2004) dalam Zulyanto (2010)

menjelaskan penyebab ketergantungan daerah terhadap transfer dari pusat, antara lain: (1) kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber penerimaan daerah; (2) tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan; (3) kendatipun pajak daerah cukup beragam, hanya sedikit yang dapat diandalkan sebagai sumber penerimaan; dan (4) adanya kekhawatiran akan terjadi disintegrasi dan separatisme bila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi.

Kuncoro (2004) dalam Badrudin (2012), menyatakan terdapat beberapa isu sentral dalam implementasi otonomi daerah, diantaranya adalah tendensi masing-masing daerah untuk saling bersaing dan mementingkan daerahnya sendiri terutama dalam pengumpulan Pendapatan Asli Daerah yang berujung dengan munculnya pungutan daerah melalui Peraturan Daerah yang menimbulkan high cost economy. Menurut Kuncoro (2010) dalam Badrudin (2012), selama implementasi otonomi daerah yang dimulai pada tahun 2001, telah terjadi kecenderungan yang menyedihkan, yaitu kuatnya semangat memungut retribusi, pajak, ataupun pungutan lainnya dengan kurang memperhatikan layanan publik secara optimal.

Davoodi dan Zou (1998) menyatakan beberapa faktor yang menyebabkan desentralisasi fiskal dalam beberapa hal menjadi kurang menguntungkan bagi pembangunan antara lain komposisi pengeluaran pemerintah, penetapan pendapatan yang kurang tepat oleh pemerintah daerah, keuntungan efisiensi desentralisasi fiskal yang kurang materiil di negara-negara berkembang dan ketidakcakapan aparatur daerah.

KESIMPULAN

1. Implementasi desentralisasi fiskal telah membawa perubahan terhadap pendapatan dan belanja pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Total realisasi pendapatan pemerintah kabupaten/kota meningkat dari 4,16 triliun rupiah pada tahun 2001 menjadi 24,81 triliun rupiah pada tahun 2012. Total realisasi belanja pemerintah kabupaten/kota meningkat dari 3,85


(5)

triliun rupiah pada tahun 2001 menjadi 24,21 triliun rupiah pada tahun 2012. 2. Desentralisasi fiskal dengan indikator

pengeluaran dan indikator pendapatan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara, sedangkan indikator pendapatan tanpa memperhitungkan penerimaan dari dana perimbangan berpengaruh positif tetapi tidak signifikan. Indikator otonomi dengan ukuran rasio PAD terhadap total

pendapatan masing-masing

kabupaten/kota dan rasio PAD terhadap total pengeluaran masing-masing kabupaten/kota berpengaruh negatif dan tidak signifikan, sedangkan rasio PAD terhadap total dana perimbangan masing-masing kabupaten/kota berpengaruh positif dan tidak signifikan. 3. Pengaruh variabel kontrol terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara,yaitu: variabel investasi, variabel akumulasi modal manusia dengan indikator rata-rata lama sekolah,dan variabel level awal pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.Sedangkan variabel akumulasi modal manusia dengan indikator pertumbuhan penduduk berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

SARAN

1. Untuk meningkatkan pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah kabupaten/kota perlu mengalokasikan belanja pada program dan kegiatan yang berorientasi kepada kepentingan publik, sehingga menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota.

2. Penelitian ini masih terbatas hanya melihat pengaruh desentralisasi fiskal pada level kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Sementara pengaruh desentralisasi fiskal pada level provinsi belum diperhitungkan. Penelitian selanjutnya dapat menggabungkan

pengaruh desentralisasi fiskal pada level kabupaten/kota dan level provinsi terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

DAFTAR RUJUKAN

Akai, Nobuo and Sakata, Masayo. 2002. Fiscal Decentralization Contributes To Economic Growth: Evidence From State-Level Cross-Section Data For The United States. Journal of Urban Economics 52 (2002) 93-108.

Badrudin, Rudy. 2012. Ekonomika Otonomi Daerah. UPP STIM YKPN. Yogyakarta.

Baskaran, T. and Feld, P. Lars. 2009. Fiscal Decentralization and Economic Growth in OECD Countries: Is there a Relationship? CESifo Working Paper No. 2721.

[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 2012. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Sumatera Utara 2011-2012. Medan.

_________, 2013a.Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Provinsi Sumatera Utara 2008-2012. Medan.

_________, 2013b.Produk Domestik Regional Bruto Menurut Penggunaan Provinsi Sumatera Utara 2008-2012. Medan.

Breuss, Fritz and Eller, Markus. 2004. Fiscal Decentralisation and Economic Growth: Is There Really a Link? CESifo DICE Report, Journal for Institutional Comparisons, Volume 2 No.1, Spring 2004.

Davoodi, Hamid and Zou, Heng-fu. 1998. Fiscal Decentralization and Economic Growth: a Cross-Country Study. Journal of Urban Economics 43, 244-257 (1998). Desai, R. M., Freinkman, L.M., and

Goldbrg, I. 2003. Fiscal Federalism and Regional Growth Evedience from Russion Federation in the 1990s.World Bank Policy Research Working Paper 3138, World Bank, Washington DC.

Haouas, Ilham and Yagoubi, Mahmoud. 2005. Openness and Human Capital


(6)

as Sources of Productivity Growth: An Empirical Investigation from the MENA Countries. IZA Discussion Paper No. 1461 January 2005.

Hirawan, Susiyati Bambang. 2007. Desentralisasi Fiskal Sebagai Suatu Upaya Meningkatkan Penyediaan Layanan Publik (Bagi Orang Miskin) di Indonesia. Pidato pada Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Mankiw, N. Gregory. 2007. Makreokonomi

(Fitria Liza dan Imam Nurmawan, Alih Bahasa), Edisi Keenam. Erlangga. Jakarta.

Oates, Wallace E. 1993. Fiscal Decentralization and Economic Development.National Tax Journal Vol. 46 No. 2 (June, 1993) 237-243.

Prud’homme, R. 1994. On the Dangers of Decentralization.Policy Research Working Paper 1252.World Bank, Washington DC.

Sirojuzilam dan Hahalli, Kasyful. 2011. Regional: Pembangunan, Perencanaan, dan Ekonomi. USU Press. Medan.

Swasono, Fauziah. 2007. Fiscal Decentralization and Economic Growth: Evidence from Indonesia. Economic and Finance in Indonesia, Vol.55(2).

Tarigan, Robinson. 2010. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Edisi Revisi. Bumi Aksara. Jakarta.

Thiessen, Ulrich. 2003. Fiscal Decentralization and Economic Growth in High Income OECD Countries. Fiscal Studies Vol. 24 No. 3.

Todaro, Michael P. dan Smith, Stephen C. 2006.Pembangunan Ekonomi (Haris Munandar dan Puji A.L., Alih Bahasa). Edisi 9 Jilid 1.Erlangga. Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Wibowo, Puji. 2008. Mencermati Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap

Pertumbuhan Ekonomi

Daerah.Journal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008. Woller, Gary M. and Phillips, Kerk. 1998.

Fiscal Decentralisation and LDC Economic Growth; An Empirical Investigation. The Journal of Development Studies Vol.34(4). Xie, D., Zou, H., and Davoodi, H. 1999.

Fiscal Decentralization and Economic Growth in the United States.Journal of Urban Economics 45:228-239.

Zhang, Tao and Zou, Heng-fu. 1998. Fiscal Decentralization, Public Spending, and Economic Growth in China. Journal of Public Economics 67:221-240.

Zulyanto. A. 2010. Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Bengkulu [Tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro, Program Pascasarjana.