ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI KASUS NO. 281/Pid.B/2013/PN.TK

(1)

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(STUDI KASUS NO. 281/Pid.B/2013/PN.TK) Oleh

Manggara Guin Tricahyo

Putusan hakim adalah bersifat sangat penting, karena didalamnya terdapat sebuah nilai yang dapat bersentuhan langsung dengan hak-hak asasi manusia. Suatu putusan itu dapat dikatakan telah mempunyai kekuatan hukum tetap apabila dikeluarkan melalui sebuah persidangan yang terbuka dan transparan dan tidak adanya upaya hukum lain yang diajukan. Selain itu, keahlian hakim sangat diperlukan dalam penguasan terhadap sebuah kasus. Hakim harus menguasai aspek-aspek lain dalam penegakan hukum (sosial, ekonomi, politik, budaya) sehingga putusan hakim merupakan sebuah putusan yang mewakili 4 elemen penting tersebut. Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan hanya berdasarkan frasa yang disebutkan oleh undang-undang, karena hakim bukan merupakan corongnya undang-undang. Berdasarkan hal ini, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan permasalahan : a) Apakah putusan No. 281/Pid.B/2013/PN.TK ini sudah sesuai dengan syarat-syarat formil dan materiil sebagaimana yang dituangkan di dalam KUHAP? b) Apakah akibat hukum atas putusan No. 281/Pid.B/2013/PN.TK apabila tidak memenuhi syarat-syarat formil dan materiil? Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan normatif dan empiris. Sumber berasal dari studi kepustakaan dan hasil wawancara dengan Jaksa pada Kejaksaan Bandar Lampung, Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Fakultas Hukum Unversitas Lampung. Data yang diperoleh kemudian diolah melalui proses klasifikasi data, editing, interpretasi, dan sistematis. Data yang telah diolah kemudian akan dianalisis secara kualitatif. Kesimpulan diambil menggunakan metode induktif.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan : a) Putusan Hakim harus sesuai dengan syarat materiil dan formil berdasarkan KUHAP. Perbedaan unsur dalam pasal yang digunakan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap seorang terdakwa


(2)

Manggara Guin Tricahyo

dengan dakwaan yang di berikan penuntut umum akan berakibat terhadap putusan yang tidak berdasarkan bukti-bukti persidangan, sehingga batal demi hukum dan berpotensi terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dalam putusan No: 281/Pid.B/2013/PNTK ini, menurut penulis nampak perbedaan antara putusan hakim dengan tuntutan yang diajukan jaksa berdasarkan fakta-fakta yang ada. Padahal KUHAP telah mengatur ketentuan-ketentuan mengenai kerangka putusan hakim yang harus diikuti apabila hendak mendapatkan putusan yang legitimate. b) Akibat hukum atas putusan yang tidak memenuhi syarat-syarat formil dan materiil adalah batal demi hukum, karena tersurat dalam KUHAP bahwa setiap putusan hakim hendaknya memuat norma Pasal 197 ayat (1) KUHAP, agar putusan tersebut memiliki kedudukan hukum yang kuat. KUHAP juga memberi ketentuan ketika sebuah putusan yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada maka ia dianggap batal demi hukum. Dengan demikian putusan tersebut dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan oleh Jaksa sebagai eksekutor Putusan Pengadilan.

Adapun saran yang diajukan peneliti : a) Hendaknya Jaksa menolak untuk mengeksekusi putusan hakim tersebut mengingat putusan tersebut batal demi hukum sebagaimana yang telah penulis kemukakan diatas. b) Dewan Perwakilan Rakyat yang menurut Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai hak pengawasan atas jalannya pemerintahan negara, berkewajiban untuk mengawasi Jaksa Agung dan seluruh jajarannya agar sungguh-sungguh melaksanakan undang-undang selurus-lurusnya dan seadil-adilnya, dalam hal ini, khususnya terkait dengan pelaksanaan ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Jika Jaksa Agung tidak mengindahkan hal ini, maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat menggunakan hak interplasi sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat (2) guna mempertanyakan kebijakan pemerintah sehubungan dengan pelaksanaan eksekusi putusan batal demi hukum yang terjadi di berbagai daerah yang nyata-nyata telah melanggar Hak Asasi Warga Negara.


(3)

ANALYSIS JURIDICAL OF VERDICT WHO LEGALLY BINDING FOR CRIMINAL OFFENSE NARCOTICS

(CASE STUDY : NO. 281/Pid.B/2013/PN.TK) By

Manggara Guin Tricahyo, Sunarto, Budi rizki Husin Email: manggara_guin@yahoo.com

ABSTRACT

The Verdict is very important, because in it there is a value who may come into direct contact with human rights. With respect to the description above, researcher interested to do research by the problems : Is this verdict No. 281/Pid.B/2013/PN.TK has been accordance with the terms formal and material as stated in KUHAP and Is the legal consequences of verdict No. 281/Pid.B/2013/PN.TK if it does not comply the terms of formal and material. The results of research and discussions showed that : the verdict should be in accordance with terms of material and formal based KUHAP, because differences element in article who judges used the imposition of criminal against a defendant with indictment given public prosecutor will result in the decision is not based on trial evidence, so that null and void and the potential for Human Rights violations. Legal consequences as decision that does not comply the terms of the formal and material is null and void, because contained in KUHAP that each judge's ruling there should be the norm in article 197 paragraph (1) KUHAP, that the decision have a strong legal position. KUHAP also provides provisions when a decision which is not in accordance with the existing provisions then it is considered null and void.


(4)

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(STUDI KASUS NO. 281/Pid.B/2013/PN.TK)

Oleh:

MANGGARA GUIN TRICAHYO

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(STUDI KASUS NO. 281/Pid.B/2013/PN.TK) (Skripsi)

Oleh :

Manggara Guin Tricahyo

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(6)

Judul Skripsi : ANALISIS YUBIDIS PUTUSAII

IIAI{Iil

YANG BEBIIEKTIATAN IIUKUU TDTNP

TEBIIADAP TELAI{[} TINDAIT PIDANA

NARKOTII{A (STUDI I{ASUS NO"

z&,J,P1td.B,nOl.5rPN.TI{}

:r :

:r , I

....

Itama Mahasisr,rra

Ilornor Pokok l*Iahasiswa

nogram

studi

'

'

Ral{uttas

gtrnr'W"cGutltfficcQo

:0912O11192

:

tlukum

Pidana

: flukurn

MET{TETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Budi

iltP

19,

Diah

$.rtr.,

rr.H.

NrP 19620817 19,8705 2 005

s.fi.,

[I.H.

201012 1 002

..:


(7)

MENGBSAIII{AN

l.

Tim Penguji

..,:

.,. ,,:-:..,.

Ilehla

: :

Prof. Dr.

$unarto

D.M.,

S.II.,

FI.H. .

Sekretaris/Anggota :

Budl Kizkl

llusln,

S,II.,

PI.H.

Penguji Utama :

Diah

Gustinlati, S,il.,

Ff.H.

Itas Hukum

$.H.,

M.$.

198705

t

OO5

langg4! Lulus Ujian Skripsi :2O Agustus201-t*

a

@I{$

.rr'{!

:

='€l?

l',. l,r

,'*

.*,!",;.*1nffifl1'lffir,-ii',,.

i'lu-

.:

..,.

j

'irii111i1ti1,,*

:.;:;;:lf.$;:.,.q::'iIl" " :

'..:':...,':

: .t". ,-..:....-;,:,,.:i:,,.i..,;,i:: ,,ljr;.':lt'.',

:.ti.ijiiiilii+i' rr'..i'- ., I :.-: : -::1.:1i1":it i1:1,' l l...-. 'ti't, j::t. l:ir::t trt rritt;il

Iilffi',,..i-,

v

- : i.; ,:.r...

.:''ii:',,l.]l]..jil::]:-]...'..''',..-.


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 3 September 1990. Anak ke-tiga buah cinta dari pasangan Drs. M. Mundhofir Barnawi dan Berty Agustiana. Jenjang pendidikan penulis dimulai dari TK Taman siswa pada tahun 1995, dan selesai tahun 1996. Setelah itu dilanjutkan pada Sekolah Dasar Swasta Taman Siswa diselesaikan tahun 2002. Kemudian, penulis melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 16 Bandar Lampung selesai tahun 2005. Setelah itu melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) diselesaikan di SMA Negeri 4 Bandar Lampung.

Penulis diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung Tahun 2009. Pada Tahun 2013, Penulis mengikuti program pengabdian kepada masyarakat yaitu Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kelurahan Marga Tiga, Lampung Timur selama 40 hari. Selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, diantaranya sebagai anggota (2011-2012) Forum Silaturahim dan Studi Islam Fakultas Hukum (FOSSI), serta sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Pidana (HIMA PIDANA).


(9)

PERSEMBAHAN

Bismillahirrahmaanirrahim

Teriring do’a dan rasa syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat

dan hidayah-Nya serta junjungan tinggi Rasulullah Nabi Besar Muhammad SAW dan dengan kerendahan dan ketulusan hati, kupersembahkan skripsi ini untuk kedua orang tuaku tercinta Drs.

M. Mundhofir Barnawi dan Berty Agustiana, yang telah memberikan kasih sayang serta dukungan, serta senantiasa selalu

memanjatkan do’a untuk keberhasilan dan kesuksesanku. Serta

kakak-kakakku Erlingga Anugerah dan Wahyu Dading Abadi, S.H serta adikku Alden Imawan Nugroho.

Sahabat-sahabatku yang selama ini selalu menemani dan memberikan bantuan baik langsung maupun tidak langsung


(10)

MOTO

“Dunia itu seluas langkah kaki, jelajahi dan jangan pernah takut

melangkah, hanya dengan itu kita bisa mengerti kehidupan dan menyatu dengannya.”

(Soe Hok Gie)

“Tidak ada yang instan di dunia ini, semua harus memakai proses.

Mie instan pun harus dimasak dahulu baru dapat dinikmati.”

(Tiffany A.P)

“Bila engkau tidak dapat menjadi beringin yang tegak diatas

puncak bukit, maka jadilah saja rumput, tetapi rumput yang tumbuh memperkuat tanggul. Bila engkau tidak bisa menjadi jalan

besar, maka jadilah saja jalan setapak, tetapi jalan setapak yang menuju ke mata air. Tidak semuanya dapat menjadi nahkoda, tentu harus ada proses. Sebaik-baiknya engkau adalah menjadi

dirimu sendiri.”


(11)

SANWACANA

Assalamuallaikum Warahmatullah Wabarakatu

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan lahir dan batin sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Putusan Hakim Yang

Berkekuatan Hukum Tetap Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus No. 281/Pid.B/2013/PN.TK)” yang harus ditempuh sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menambah mutu tulisan ini.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, untuk itu penghargaan setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih yang paling dalam penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Mauliani, S.H., M.H. selaku ketua bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung sekaligus Pembahas I skripsi yang telah meluangkan waktu, memberikan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.


(12)

3. Bapak Prof. Dr. Sunarto D.M., S.H., M.H. selaku pembimbing utama atas semua kebaikannya serta telah meluangkan waktu, pemikiran dan nasihat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Budi Rizki Husin, S.H., M.H. selaku pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu, memberi arahan dan saran serta dorongan semangat dalam menyempurnakan skripsi ini.

5. Ibu Dona Raisa, S.H., M.H. selaku pembahas kedua yang telah meluangkan waktu, memberikan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

6. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan nasihat dan bimbingan selama penulis menjadi mahasiswa, serta Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum, khususnya bagian Hukum Pidana, terima kasih atas keikhlasannya dalam memberikan ilmu. Semoga ilmu yang telah diberikan kepada penulis, dapat menjadi saksi kebaikan di akhirat nanti. 7. Terkhusus kedua orang tua saya Drs. M. Mundhofir Barnawi dan Berty

Agustiana yang senantiasa membantu penulis baik moril dan materiil, skripsi ini adalah persembahan pertama dari putra kalian, semua ini tiada sebanding dengan perjuangan dan pengorbanan yang kalian berikan selama ini, mudah-mudahan ini menjadi langkah awal bagi putra kalian untuk membalas budi baik yang sangat besar yang telah kalian berikan selama ini, Aamiin.

8. Kakak saya Erlingga Anugerah dan Wahyu Dading Abadi, S.H serta adik saya Alden Imawan Nugroho yang selalu memberikan semangat dan doa agar dapat berjuang bersama dalam mencapai cita-cita yang kita dan orang tua kita harapkan.


(13)

9. Keluarga besar saya yang selalu mendukung dan memotivasi saya untuk menjadi lebih baik kedepannya. Terutama tante arifa yang selalu memberikan dukungan dalam semua hal dan nasihat-nasihatnya.

10. Terspesial Zulqadri Anand, S.H., M.H. yang telah meluangkan waktu, memberikan masukan dan banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Teman-Teman seperjuangan, Abi Hussein, S.H., Ade kelek, Ade Bembi, Agung Rahmat Wibowo, S.H., An Haryadi, Bobby Affandi (Bung), Doni Bandarsyah (Banke), Cristian Chandra, Dewan Irawan, Devi Anggraini (Pooy), Docil, Fajar, Fikih, Herwanda Gautama, S.H., Julian, Kincai,Putra Maulana, S.E. (Qubu), Rendy, Uly, Zulqadri Anand, S.H., M.HTerima kasih atas persahabatan yang selama ini terjalin. Semoga ini bukan sebagai akhir, melainkan sebagai awal yang tiada akhir dan semoga sukses selalu menyertai kita, Aamiin.

12. Teman-teman seperjuangan “Arista” : Acung, Ade Ramdhani, Alul, Angga Pratama, Apri, Dede, Ferdy, Jueng, Kwok, Sandi. terima kasih telah menjalin persahabatan ini dengan baik.

13. Teman-teman Basket Perumnas, Afid, Agam cina, Didit, Dino tato, Dinda unyil, Dimas ringkih, Hestu ula, Kincai, Nato, Panji, Qubu hulk, Tyo besar, Tyo kecil.Semoga kita dapat meraih impian yang diinginkan.

14. Tidak lupa saya sangat berterima kasih kepada Tiffany Anandhini Putri, yang telah bersedia meluangkan waktu hidupnya bersama-sama dengan saya dan memberikan banyak warna dalam kehidupan saya. Terima kasih atas pembelajaran yang saya dapat dari kamu, secara tidak langsung membuat


(14)

saya bisa menjadi lebih dewasa lagi. Semoga kamu bisa menjadi lebih baik untuk kedepannya dan jadilah alasan untuk setiap langkah ini menuju. Sukses yah. Aamiin.

15. Rekan-rekan seperjuangan FH Unila, Abi sipit, Adit gelap, Adenty, Agung coklat, Bembi, Bangkit, Dito penulis, Doy, Frans, Hafiz, Ino, Iwan, Lindra narko, Made, Ocha, Puja, Prabu, Rini Rima, Verdy, Zul nimbrung dan yang lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, semoga sukses selalu menyertai kita, Aamiin.

16. Teman-teman KKN Desa Sukadana Baru, Marga Tiga. Terima kasih atas kerja sama yang terjalin selama masa KKN.

17. Almamaterku tercinta.

Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan semua pihak yang berkepentingan pada umumnya untuk kehidupan yang lebih baik dan bermanfaat bagi kita semua.

Semoga segala bimbingan, bantuan dan dorongan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat balasan pahala dari Allah SWT, Aamiin yaa robbal Allamin.

Bandar Lampung, 20 Agustus 2014 Penulis


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C.Ruang Lingkup …... 7

D.Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ... 7

E. Kerangka Teoritis Dan Konseptual ………....…... 9

F. Sistematika penulisan ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Pengertian Hukum Pidana Dan Tujuan Hukum ... 15

a. Teori Barat ... 16

b. Teori Timur ... 17

c. Teori Islam ... 18

B.Teori – Teori Terhadap Putusan Hakim ... 20

C.Korelasi Antara Putusan Hakim Dan Hak Asasi Manusia ...….. 21

D.Makna Keadlian ... 23

E. Asas-Asas Pidana Terkait Putusan Hakim ……… . 24

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 26

B. Sumber Data ………... 27

C. Penentuan Narasumber ... 29

D. Teknik Pengumpulan data dan metode pengolahan data ... 30


(16)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Narasumber ... 32 B. Kasus Posisi ………... 33 C. Putusan Hakim Harus Sesuai Dengan Syarat Materil

Dan Formil Berdasarkan KUHAP ... 36 D. Akibat Hukum Atas Putusan Yang Batal Demi Hukum ... 43 V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 56 B. Saran ………... 57 DAFTAR PUSTAKA ...


(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seiring dengan kemajuan budaya dan iptek, perilaku manusia di dalam hidup bermasyarakat dan bernegara justru semakin kompleks dan bahkan multikompleks. Perilaku demikian apabila ditinjau dari segi hukum tentunya ada perilaku yang dapat dikategorikan sesuai dengan norma dan ada perilaku yang tidak sesuai dengan norma. Terhadap perilaku yang sesuai norma (hukum) yang berlaku, tidak menjadi masalah. Terhadap perilaku yang tidak sesuai norma biasanya dapat menimbulkan permasalahan dibidang hukum dan merugikan masyarakat.

Perilaku yang tidak sesuai norma atau dapat disebut sebagai penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati ternyata menyebabkan terganggunya ketertiban dan ketentraman kehidupan manusia. Penyelewengan yang demikian, biasanya oleh masyarakat dicap sebagai suatu pelanggaran dan bahkan sebagai suatu kejahatan. Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan, bahwa kejahatan hanya dapat dicegah dan dikurangi, tetapi sulit diberantas secara tuntas.


(18)

2

Semakin tinggi kemampuan manusia juga dapat menimbulkan dampak negatif, yang antara lain berupa semakin canggihnya kejahatan dilakukan. Lebih-lebih dalam era globalisasi abad ke-21 ini, kejahatan bukan saja berdimensi nasional tetapi sudah transnasional. Hal itu ditandai bukan saja kerugian yang besar dan meluas, namun juga modus operandi dan peralatan kejahatan semakin canggih. Kejahatan bukan saja dilakukan oleh perorangan tetapi sudah bersifat kelompok dan terorganisasi. Adanya dimensi transnasional kejahatan itu, menyebabkan masing-masing negara merasa untuk lebih meningkatkan kerja samanya, baik melakukan kerja sama bilateral, regional, dan multilateral. Selain memanfaatkan institusi yang ada seperti Unafei, Interpol dan sebagainya, juga memanfaatkan kerja sama baru.

Antisipasi atas kejahatan tersebut diantaranya dengan memfungsikan instrumen hukum (pidana) secara efektif melalui penegakan hukum (law enforcement). Melalui instrumen hukum, diupayakan perilaku yang melanggar hukum ditanggulangi secara preventif maupun represif. Mengajukan kedepan sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan pidana bagi anggota masyarakat yang terbukti melakukan perbuatan pidana, merupakan tindakan yang represif.

Penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam. Yang paling penting adalah pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman sekaligus kepada masyarakat dan kepada terpidana sendiri agar menjadi insaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. Demikianlah konsepsi baru fungsi pemidanaan yang bukan lagi sebagai penjeraan belaka, namun juga sebagai upaya


(19)

3

rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Konsepsi itu di Indonesia disebut pemasyarakatan.

Teori penegakan hukum menurut Laurent Friedman1, memiliki tiga unsur. Pertama, adalah substansi hukum. Kedua, adalah Struktur hukum. Dan ketiga adalah budaya hukum. Ketiga unsur ini adalah bersifat komplikatif, dalam arti ketiganya harus berjalan secara beriringan. Substansi hukum yang baik, akan percuma jika tidak dibarengi dengan para penegak hukum yang baik pula. Begitu pula penegak dan substansi hukum yang baik juga akan percuma, jika tidak adanya ketaatan hukum dari masyarakat. Yang diperlukan, adalah materi hukum yang bersifat responsif, penegak hukum yang professional dan proporsional, dan budaya hukum yang tinggi dalam masyarakat.

Ketiga unsur hukum ini harus terikat dalam sebuah etika dan moral.2 Substansi hukum harus dilekatkan pada etika dan moral jika kita tidak menginginkan lahirnya produk hukum3 yang ortodoks (memaksa). Paham positivisme yang mengedepankan hukum sebagai sebuah produk, menjadi salah satu alasan kita, betapa pentingnya landasan moral dan etika di dalamnya, karena hukum akan sangat mudah diintervensi oleh sub-sistem lainnya yang memiliki kecenderungan untuk tidak adil.

1

Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hlm. 22.

2

Secara etimologis, etika berarti sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan yang berkenaan dengan hidup yang baik dan buruk. Sedangkan moral adalah adat-istiadat mengenai baik buruknya seuatu perbuatan.

3

Konsep ini didasarkan pada asumsi hukum adalah produk politik. Menurut konsep ini, hukum adalah produk legislasi (eksekutif dan legislatif) hasil kristalisasi, formalisasi, dan legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan melalui kompromi-kompromi politik maupun dominasi kekuatan tertentu. Lebih lanjut lihat Mahfud Md, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2009, hlm. 4.


(20)

4

Sama halnya dengan substansi hukum, penegak hukum (structure) juga harus dilandasi dengan etika dan moral sehingga terjadi sinkronisasi antara sisi keadilan dan juga sisi kepastian hukum. Tidak boleh ada upaya penegakan hukum (pidana), yang hanya mengedepankan sisi kepastian hukum saja, dengan mengesampingkan sisi keadilannya dan begitu pula sebaliknya. Kepastian hukum dimaksudkan agar orang dihukum sebagaimana yang telah ditetapkan oleh peraturan sebagai sebuah tindak pidana, atau terbukti secara sah dan meyakinkan berdasarkan 2 alat bukti telah melakukan tindakan pidana. Sedangkan keadilan memiliki esensi bahwasannya dalam penegakan hukum harus didasarkan rasa persamaan dihadapan hukum (equality before the law), serta upaya untuk mengembalikan keharmonisan yang telah diganggu oleh perbuatan melanggar hukum. Keadilan dan kepastian hukum ini dimaksudkan agar hak-hak asasi manusia baik sebagai pelaku tindak pidana maupun sebagai korban dengan adanya tindak pidana dapat terlindungi dengan baik dan benar.

Salah satu proses penegakan hukum adalah terdapat pada institusi pengadilan. Institusi pengadilan berperan untuk mengadili, dan kemudian memutuskan tentang bersalah atau tidaknya seseorang yang disertai dengan penetapan pertanggung jawaban pidananya. Disini diperlukan keahlian, integritas, dan kecermatan hakim dalam memutuskan sebuah perkara.

Keahlian hakim sangat diperlukan dalam penguasan terhadap sebuah kasus. Hakim harus menguasai aspek-aspek lain dalam penegakan hukum (sosial, ekonomi, politik, budaya) sehingga putusan hakim merupakan sebuah putusan yang mewakili 4 elemen penting tersebut. Hakim tidak boleh menjatuhkan


(21)

5

putusan hanya berdasarkan frasa yang disebutkan oleh undang-undang, karena hakim bukan merupakan corongnya undang-undang. Hakim harus mampu berfikir dan bertindak secara progresif sehingga yang didapatkan adalah sebuah kebenaran substantif.

Seorang hakim harus memiliki integritas yang tinggi sehingga tidak mudah untuk menerima intervensi baik berupa suap ataupun bentuk lainnya. Hakim harus memutus perkara berdasarkan hati nurani yang berbasiskan kepada moral dan etika hakim. Hakim harus berpegang teguh kepada pendiriannya menolak segala macam bentuk intervensi, karena apabila hakim sudah terkontaminasi dengan intervensi tertentu, maka sudah dapat dipastikan pengadilan tersebut akan sesat dan akan menghasilkan putusan yang tidak objektif.

Penekanan penting lainnya yang harus dimiliki seorang hakim adalah kecermatan. Hakim harus memiliki kecermatan yang tinggi dalam menganilisis setiap fakta persidangan yang ada, untuk kemudian disimpulkan menjadi sebuah putusan. Kecermatan hakim juga diperlukan dalam membuat sebuah putusan, sebab putusan hakim akan berdampak besar bagi hak-hak seorang terpidana. Dalam memutuskan sebuah perkara, hakim harus cermat atas segala tuntutan jaksa dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Hakim bukanlah corong bagi jaksa dan undang-undang, sehingga hakim tidak harus menuruti apa yang dituntut oleh jaksa dan apa yang diperintahkan oleh undang-undang. Hakim diberikan kebebasan yang bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya. Hakim memiliki hak untuk menggali berbagai informasi, baik yang bersumberkan kepada proses hukum sebelumnya, maupun atas dasar pengetahuan dan keyakinannya.


(22)

6

Putusan hakim adalah bersifat sangat penting, karena didalamnya terdapat sebuah nilai yang dapat bersentuhan langsung dengan hak-hak asasi manusia. Pada prinsipnya hanya putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang dapat dijalankan. Suatu putusan itu dapat dikatakan telah mempunyai kekuatan hukum tetap apabila dikeluarkan melalui sebuah persidangan yang terbuka dan transparan dan tidak adanya upaya hukum lain yang diajukan, selain itu putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tulisan dengan disertai berbagai prasyarat sebagaimana telah diatur dalam pasal 197 KUHAP ayat 1 diantaranya huruf F : Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa, huruf H : Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.

Terkait dengan putusan hakim yang memiliki pengaruh besar terhadap hak asasi seseorang, maka penulis merasa perlu untuk meneliti sebuah putusan dengan No: 281/Pid.B/2013/PNTK. Dalam putusan ini, menurut penulis nampak perbedaan antara putusan hakim dengan tuntutan yang diajukan jaksa berdasarkan fakta-fakta yang ada. Padahal KUHAP telah mengatur ketentuan-ketentuan mengenai kerangka putusan hakim yang harus diikuti apabila hendak mendapatkan putusan yang legitimate.


(23)

7

Pada akhirnya muncul pertanyaan, apakah konsekuensinya apabila sebuah putusan tidak memenuhi syarat formil. Apakah putusan tersebut tetap harus dijalankan, padahal telah terjadi pelanggaran HAM di dalam putusan tersebut. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis berkeinginan mengadakan suatu penelitian yang berjudul “Analisis Putusan Hakim Yang Berkekuatan Hukum Tetap Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika: studi kasus No. 281/Pid.B/2013/PN.TK”

B. Rumusan Masalah

Seperti telah diuraikan dalam latar belakang masalah, maka dapat disusun permasalahan sebagai berikut:

a. Apakah putusan No. 281/Pid.B/2013/PN.TK ini sudah sesuai dengan syarat – syarat formil dan materiil sebagaimana yang dituangkan di dalam KUHAP ? (Pasal 197 (1) huruf F dan H)

b. Apakah akibat hukum atas putusan No. 281/Pid.B/2013/PN.TK apabila tidak memenuhi syarat – syarat formil dan materiil ?

C. Ruang Lingkup

Penelitian ini berada di dalam bidang Hukum Pidana pada umumnya, dan lebih dikhususkan lagi pada lingkup studi putusan hakim yang akan membahas mengenai analisis putusan hakim dengan nomor perkara 281/Pid.B/2013/PN.TK yang disertai dengan landasan filosofis dan azas kemanfaatannya. Lokasi penelitian ini berada di Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan berlangsung pada bulan Januari sampai dengan Maret 2014.


(24)

8

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam rangka menambah ilmu pengetahuan hukum khususnya bertujuan untuk mengetahui:

a. Putusan ini sudah sesuai dengan syarat formil sebagaimana yang dituangkan dalam KUHAP

b. Akibat hukum atas putusan No. 281/Pid.B/2013/PN.TK apabila tidak memenuhi syarat – syarat formil dan materiil.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan hukum, khususnya di dalam Hukum pidana, dalam rangka memberikan penjelasan mengenai apakah putusan ini sudah sesuai dengan syarat formil dan materiil yang dituangkan dalam KUHAP, sekaligus mengetahui apakah akibat hukumnya apabila tidak memenuhi syarat-syarat dalam KUHAP.

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi rekan-rekan mahasiswa selama mengikuti program perkuliahan Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung mengenai analisis putusan hakim dengan nomor perkara 281/Pid.B/2013/PN.TK, apakah telah sesuai dengan syarat-syarat formil dan materiil di dalam KUHAP dan apakah akibat hukumnnya apabila tidak sesuai dengan syarat yang dituangkan di dalam KUHAP. Penelitian


(25)

9

ini juga diharapkan dapat menjadi bahan kajian bagi instansi penegak hukum khususnya bagi para hakim, jaksa, polisi, dan pengacara dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya sehingga dapat memberikan manfaatnya bagi masyarakat secara luas.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka Teoritis adalah konsep yang merupakan abstraksi hasil pemikiran atau kerangka yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap acuan dimensi – dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti.

Adapun teori yang digunakan untuk membahas permasalahan dalam skripsi ini sebagai berikut :

1. Teori Batal demi hukum (venrechtswege nietig ab initio legally null and void) Adalah putusan tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed) karena tidak pernah ada, maka putusan demikian itu tidak mempunyaikekuatan hukum dan tidak membawa akibat hukum sehingga dengan demikian putusan tersebut dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan oleh jaksa sebagai eksekutor putusan pengadilan.

2. Teori pembuktian yang subjektif murni (Conviction Intime)

Adalah teori yang menitik beratkan pada keyakinan hakim tanpa harus terikat oleh peraturan perundang – undangan.


(26)

10

3. Teori pembuktian yang objektif murni (Positif Wetterlijk Stelsel)

Adalah teori yang membuktikannya berdasarkan pada Undang – Undang secara mutlak.

4. Teori tiada pidana tanpa kesalahan (Geenstraf Zonder Schuld)

Adalah teori yang menyatakan bahwa, pidana hanya dapat dijatuhkan apabila ada kesalahan terdakwa yang dibuktikan di sidang pengadilan. Kesalahan terdakwa tentunya sebagaimana termaktub dalam dakwaan penuntut umum. Oleh karenanya pengadilan menjatuhkan pidana apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

5. Upaya menemukan kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum.

Jika hakim menjatuhkan pidana harus dalam rangka menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang. Jadi bukan hanya balas dendam, rutinitas pekerjaan ataupun bersifat formalitas. Secara normatif tujuan hukum pidana adalah untuk menemukan kebenaran materiil bahkan sebenarnya tujuannya lebih luas yaitu, tujuan hukum acara pidana adalah mencari dan menemukan kebenaran materiil itu hanya merupakan tujuan antara. Artinya, ada tujuan akhir yaitu menjadi tujuan seluruh tertib hukum Indonesia dalam hal mencapai suatu masyarakat yang tertib, tentram, adil, dan sejahterah (Tata Tenteram Kertarahaja).

Persamaan antara kedua sistem pembuktian pada teori ini adalah keyakinan hakim yang dibatasi dengan alasan – alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan – alasan apa yang mendasari keyakinan terhadap kesalahan


(27)

11

terdakwa. Yakni hakim – hakim dalam system conviction raisonee harus dilandasi

dengan “reasoning” atau alasan alasan. Dan Reasoning itu harus Reasonable

yakni mendasar pada alasan yang dapat diterima. Yakinkan hakim harus memiliki dasar – dasar yang dapat diterima oleh akal. Tidak merupakan keyakinan belaka yang tidak dapat diterima oleh akal. Sedangkan perbedaannya pada penilaian hakim atas dasar logika dan ilmu pengetahuan.

Di dalam peraturan perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur pengertian dari putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) berkaitan perkara pidana yaitu dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang berbunyi:

Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah :

1. putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;

2. putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau

3. putusan kasasi.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, suatu putusan mempunyai kekuatan hukum tetap adalah:

a. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding setelah waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan


(28)

12

diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir, sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat (2) jo. Pasal 234 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), kecuali untuk putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechts vervolging), dan putusan pemeriksaan acara cepat karena putusan-putusan tersebut tidak dapat diajukan banding (lihat Pasal 67 KUHAP).

b. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 245 ayat [1] jo. Pasal 246 ayat [1] KUHAP).

2. Konseptual

Kerangka Konseptual adalah susunan dari beberapa konsep sebagai satu kebulatan yang utuh sehingga terbentuk dari beberapa konsep landasan, acuan, dan pedoman dalam penelitian4.

Berdasarkan definisi di atas, maka batasan pengertian yang berhubungan dengan judul penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Analisis adalah usaha untuk meneliti, memahami, dan mempelajari pokok masalah tertentu serta membuat kesimpulan dari kegiatan tersebut5.

b. Yuridis adalah aturan Hukum yang menjadi sebuah ketentuan dan berlaku secara Universal.

4

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, 2004, hlm. 78

5


(29)

13

c. Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan Pengadilan yang diterima baik oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding, putusan Pengadilan Tinggi yang diterima baik oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi, dan putusan Mahkamah Agung dalam hal kasasi.

d. Batal demi Hukum adalah sebuah keadaan hukum dimana akibat ketentuan-ketentuan tertentu maka hukum dianggap tidak pernah ada dan tidak akan membawa akibat hukum apapun6.

e. Pelaku adalah Orang yang melakukan perbuatan hukum atau subyek hukum. f. Tindak Pidana adalah suatu perbuatan atau tindakan yang diancam dengan

Pidana dengan Undang-undang, beretntangan dengan hukum (Onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (Schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Secara umum Tindak Pidana dibagi dalam dua golongan unsur yaitu unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang dilarang atau diharuskan , akibat keadaan atau masalah tertentu serta unsur-unsur subjektif yang berupa kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab dari petindak7. g. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang.

6

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Jakarta, Kencana Prenada Media grup, 2010, hlm.78.

7

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta, BPK Gunung Mulya, 1982, hlm. 205.


(30)

14

F. Sistematika Penulisan

Dalam rangka pemahaman terhadap penulisan skripsi ini secara keseluruhan maka penulis membagi sistematika penulisan dalam tiga bab sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang tersebut kemudian disusun pokok yang menjadi permasalahan dalam penulisan selanjutnya serta memberikan batasan-batasan penulisan. Selain itu pada bagian bab ini juga memuat tujuan dan kegunaan dari penulisan serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian bab ini berisi pemahaman-pemahaman tentang pokok-pokok bahasan mengenai pengertian hukum pidana dan tujuan hukum pidana, korelasi antara putusan hakim dan hak asasi manusia, makna keadilan, serta asas-asas pidana terkait putusan hakim.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu tentang langkah-langkah atau tata cara yang dipakai dalam penelitian yang memuat pendekatan masalah, sumber data dan jenis data, prosedur pengumpulan data, pengolahan dan analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan suatu pembahasan yang memuat permasalahan di dalam penulisan yaitu apakah putusan ini sudah sesuai dengan syarat – syarat


(31)

15

formil sebagaimana yang dituangkan di dalam KUHAP (Pasal 197 (1) huruf c,d, dan e) dan Bagaimanakah kedudukan hukum apabila ditemukan sebuah putusan yang tidak memenuhi syarat – syarat KUHAP.

V. PENUTUP

Pada bab ini akan memuat suatu kesimpulan dari pembahasan serta beberapa saran dari penulis sehubungan dengan pemecahan masalah yang dibahas.


(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Hukum Pidana dan Tujuan Hukum.

Mengenai pengertian hukum pidana, dikalangan para sarjana memiliki perbedaan pendapat sesuai dengan perumusan ataupun batasannya. Moeljanto mengatakan hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk; menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggarnya, menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan, menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Aturan hukum seperti ini dikenal dengan hukum pidana materiil.

Hukum Pidana materiil tidak dapat tegak tanpa adanya aturan hukum lainnya yang menjamin pelaksanaan dari hukum materiil. Aturan hukum tersebut kemudian dikenal dengan istilah Hukum formil. Menurut E.Y Kanter8 hukum

8

E.Y Kanter dan S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Jakarta, Gunung Mulia, 1982, hlm. 10-11.


(33)

17

materiil adalah ketentuan – ketentuan tentang acara penyelesaian pelanggaran hukum materiil termasuk didalamnya mengatur kekuasaann badan – badan peradilan dan acaranya. Terkait dengan ini kita mengenalnya dengan hukum acara pidana.

Pemidanaan merupakan salah satu bagian dari sarana mencapai tujuan hukum. Tujuan hukum adalah sebuah alasan mengapa adanya hukum materiil dan juga hukum formil. Tujuan hukum dapat tercapai apabila hukum ditegakkan berdasarkan aturan yang berlaku dengan berlandaskan kepada etika dalam penegakannya.

Tentang apa yang menjadi tujuan hukum terdapat banyak teori, namun demikian mustahil dapat kita bahas secara memadai satu persatu dalam tulisan ini. Namun demikian diantara begitu banyak teori tentang tujuan hukum maka paling tidak ada beberapa teori yang dapat menjadi acuan sebagai dasar kita untuk melihat tentang apa yang menjadi tujuan hukum.

Ahmad Ali membagi grand theory tentang tujuan hukum, yaitu : teori barat, teori timur dan teori islam yang akan penukis jabarkan sebagai berikut :9

a. Teori Barat

1) Teori klasik :

- Teori Etis adalah tujuan hukum semata mata untuk mewujudkan keadilan (justice).

- Teori Utilistis adalah tujuan Hukum semata-mata untuk mewujudkan kemanfaatan (utility).

9


(34)

18

- Teori Legalistik adalah tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan kepastian hokum (legal certainly).

2) Teori Modern

- Teori Prioritas Baku adalah Tujuan Hukum mencakupi Keadilan, Kemanfaatan, Kepastian Hukum.

3) Teori Prioritas Kasuistik adalah Tujuan hukum mencakupi keadilan kemanfaatan – kepastian hukum dengan urutan prioritas, secara proposional, sesuai dngan kasus yang dihadapi dan ingin dipecahkan.

b. Teori Timur

Berbeda dengan teori barat tentang tujuan hukum, maka teori timur umumnya tidak menempatkan kepastian tetapi hanya menekankan kepada tujuan hukum yaitu keadilan adalah keharmonisandan keharmonisn adalah kedamaian. Jadi berbeda dengan tujuan hukum barat, maka tujuan hukum timur masih menggunakan kultur hukum asli mereka yang tidak terlalau berlandaskan kepada keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum.

Perbedaan mendasar teori hukum barat dengan teori hukum timur adalah jika hukum barat mengedepankan kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan maka yang menjadi tujuan hukum teori timur adalah kedamaian (peace). Sebagai contoh penegakan hukum di negara Jepang adalah jika pengadilan Jepang dalam putusannya, sering mengabaikan ketentuan formal, demi mewujudkan kedamaian didalam masyarakat mereka. Bahkan, perkara-perkara yang tidak berat, seperti pencurian, dapat dilakukan perdamaian antara pelaku pencurian (bahasa


(35)

19

jepangnya dorobo), dengan korbannya secara resmi di kantor-kantor polisi, dimana disana sudah tersedia formulir khusus untuk perdamaian.

Syaratnya jika perdamaian itu antara pencuri dan korbannya, adalah bahwa pencuri langsung mengaku bersalah, meminta maaf kepada korbannya, mengembalikan barang curiannya, dan yang terpenting adalah korbannya memaafkannya. Perkara ditutup dan tidak lagi dilanjutkan, meskipun sebenarnya ketentuan formal dari hukum acara pidana di Jepang, identik dengan hukum acara pidana Barat dan Indonesia, yaitu menganut asas “tidak ada perdamaian dalam

perkara pidana”, tetapi sendi dalam realitas praktik hukum, undang-undang

diabaikan demi tujuan hukum kedamaian.

c. Teori Islam

Teori tujuan hkum Islam pada prinsipnya bagaimana mewujudkan “kemanfaatan” kepada seluruh umat manusia, yang mencakupi “kemanfaatan” dalam kehidupan di dunia maupun diakhirat. Tujuan mewujudkan “kemanfaatan” ini, sesuai dengan prinsip umum Al-Qur’an :

a. al-Asl fi al-manafi al-hall wa fi al-mudar al-man’u (segala yang bermanfaat dibolehkan, dan segala yang mudarat dilarang).

b. La darara wa la dirar (jangan menimbulkan kemudaratandan jangan menjadi korban kemudaratan).


(36)

20

Selain teori diatas Leden Marpaung membagi tujuan hukum Pidana kepada dua hal yaitu Teori Absolut dan teori Relatif10.

1. Teori Absolut (Vergeldingstheorie).

Menurut teori ini, hukuman itu dijatuhkan sebagai pembalasan terhadap para pelaku karena telah melakukan kejahatan yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap orang lain atau anggota masyarakat.

2. Teori Relatif (Doeltheorie).

Teori ini dilandasi oleh tujuan (doel) sebagai berikut a. Menjerakan.

Dengan penjatuhan hukuman, diharapkan si pelaku atau terpidana menjadi jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya (speciale preventie) serta masyarakat umum mengetahui bahwa jika melakukan perbuatan sebagaimana dilakukan terpidana, mereka akan mengalami hukuman yang serupa (generale preventie).

b. Memperbaiki pribadi terpidana.

Berdasarkan perlakuan dan pendidikan yang diberikan selama menjalani hukuman, terpidana merasa menyesal sehingga ia tidak akan mengulangi peerbuatannya dan kembali kepada masyarakat sebagai orang yang baik dan berguna.

c. Membinasakan atau membuat terpidana tidak berdaya

Membinasakan berarti menjatuhkan hukuman mati, sedangkan membuat terpidana tidak berdaya dilakukan dengan menjatuhkan hukuman seumur hidup.

10


(37)

21

B. Teori- Teori Terhadap Putusan Hakim

a. Bebas dan Impartial (tidak memihak)

Suatu pengadilan yang bebas merupakan suatu syarat yang “indispensable” dalam

suatu masyarakat dibawah “Rule Of Law”. Kebebasan demikian mengandung

didalamnya kebebasan dari campur tangan dari badan-badan lain, baik dari Eksekutif maupun dari Legislatif, meskipun ini tidak berarti bahwa hakim itu boleh bertindak sewenang-wenang. Syarat demikian dikemukakan pula oleh Universal Declaration of Human Rights, yang disamping itu menghendaki adanya

suatu”impartial tribunal”.

Prinsip hakim yang bebas atau Independent Judge memiliki makna bahwa hakim dapat membawa pengaruh luar akan tetapi dalam batas-batas minimal. Beberapa Negara-negara sosialis misalnya meninggalkan praktek dimana Kementrian Kehakiman itu dapat mempengaruhi jalannya peradilan, sedangkan CC dari CPSU melarang intervensi dari organ-organ partai terhadap proses pada pengadilan tingkatan rendah.11

b. Presumption of innocence

Adalah suatu prinsip yang penting dalam Hukum Acara Pidana, yaitu prinsip ”Presumption of innocence”, yang timbul dari pengakuan terhadap prinsip legality dan yayng menyatakan, bahwa seseorang tertuduh harus dipandang tidak salah, sehingga terdapat bukti tentang kesalahannya. Ia mengandung unsur kepercayaan

terhadap seseorang dalam negara hukum dan merupakan suatu “disapproval

terhadapa kekuasaan yang sewenang-wenang dalam suatu negara, yang

11


(38)

22

berpendapat bahwa setiap orang itu diapandang salah, hingga terbukti bahwa ia tidak salah.

Merupakan sesuatu yang menggembirakan, bahwa prinsip tersebut terdapat dalam perundang-undangan nasional kita, akan tetapi perlu diperingatkan, bahwa prinsip demikian jangan menjadi suatu prinsip yang abstrak dan bahwa pejabat-pejabat yang bersangkutan harus punya rasa tanggung jawab secukupnya untuk

menghormati prinsip ”Presumption of innocence”.

c. Prinsip “ne bis in idem

Prinsip ini mengandung makna bahwa seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena satu perbuatan, dalam prinsip ini mengandung sebuah kontradiksi antara kepastian hukum dengan “gengsi negara”. Pengalaman menunjukan, bahwa kadang-kadang seseorang tertuduh yang dibebaskan oleh hakim dihadang dan ditahan lagi, mengenai hal yang sama sebetulnya, akan tetapi penahanannya di “inkleden” dalam pasal lain.

C. Korelasi antara Putusan Hakim dan Hak Asasi Manusia

Pada dasarnya setiap manusia memiliki hak-hak dasar secara perseorangan yang wajib dilindungi oleh Negara. Untuk itu muncul sebuah teori Negara hukum yang menurut Immanuel Kant Negara berfungsi sebagai penjaga keamanan baik preventif (mencegah) maupun represiif (memaksa)12. Lebih lanjut Immanuel Kant berpendapat bahwa rakyat harus diberi kebebasan dalam mengusahakan kemakmurannya tanpa dibatasi oleh Negara termasuk didalamnya putusan hakim.

12


(39)

23

Konsepsi Negara hukum juga dikeluarkan oleh Friedrich Julius Stahl mengemukakan 4 usur yang harus dimiliki oleh Negara hukum yaitu perlindungan terhadap hak dasar manusia, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan, peradilan tata usaha dalam peradilan.

Kesimpulan pendapat pakar diatas menerangkan bahwa suatu Negara hukum baik yang dikembangkan oleh Negara-negara kontinental atau oleh Negara-negara anglo sexon memiliki sebagai basic requirement pengakuan, jaminan hak-hak dasar manusia, yang dijunjung tinggi. Hak-hak dasar ini, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun dan yang seolah-olahmerupakan suatu holy area (area bebas) yang tidak boleh dilampaui, kemudian diperluas dan mencakupi juga hak-hak sosial, ekonomis dan cultureel.

Hal demikian jelas dinyatakan oleh Universal Declaration of Human Rights, dimana hak-hak tersebut perlu dilaksanakan untuk menjunjung tinggi martabat manusia. Kepadanya harus diberikan hak untuk bekerja pemilihan bebas tentang pekerjaan, syarat-syarat yang favourable untuk bekerja dan perlindungan terhadap pengangguran. Setiap orang mempunyai standard of living yang sesuai, adequate, dengan kesehatan dan kesejahteraannya dan keeluarganya dan security apabila ia sakit, nanggur, tua dan termasuk didalamnya putusan hakim.

Putusan hakim yang dimaksud adalah putusan hakim yang memiliki kebebasan termasuk didalamnya kebebasan dari campur tangan badan-badan lainnya seperti eksekutif maupun legislatif meskipun ini tidak berarti bahwa hakim tidak boleh bertindak sewenang-wenang karena putusan hakim itu bersifat kongkrit individual.


(40)

24

Putusan hakim yang didasarkan kepada kelalaian bahkan kecenderungan kepada like or dislike (suka atau tidak suka), selain bertentangan dengan prinsip Negara hukum karena telah melanggar hak asasi manusia, juga bertentangan dengan prinsip presumptionof innocence (praduga tak bersalah). Jika putusan hakim yang didasarkan kepada perasaan suka atau tidak suka dan kelalaian, maka akan menghasilkan sebuah putusan yang tidak sesuai dengan fakta-fakta yang terdapat dilapangan dan pengadilan. Padahal asas praduga tak bersalah menyatakan bahwa seorang tertuduh harus dipandang tidak salah, sehingga terdapat bukti tentang kesalahannya. Ia mengandung unsur kepercayaan terhadap seseorang dalam Negara hukum dan merupakan suatu disapproval terhadap kekuasaan yang sewenang-wenangdalam suatu Negara, yang berpendapat, bahwa setiap orang itu dipandang salah, hingga terbukti bahwa ia tidak salah.

D. Makna Keadilan (Justice)

Banyak penjelasan mengenai tujuan hukum bahwa sesungguhnya keadilan merupakan muara dari penegakan hukum. Lantas sesungguhnya apa yang dimaksud dengan keadilan tersebut sebab keadilan merupakan sesuatu yang abstrak, subjektif karena keadilan bagaimanapun juga menyangkut nilai etis yang dianut masing-masing individu. Ada yang mengaitkan keadilan dengan peraturan politik negara, sehingga ukuran tentang apa yang menjadi hak atau bukan, senantiasa didasarkan pada ukuran yang telah ditentukan oleh negara. Ada juga yang memandang keadilan dalam wujud kemauan yang sifatnya tetap dan terus menerus untuk memberikan apa yang menjadi hak untuk setiap orang. Ada juga


(41)

25

yang melihat keadilan sebagai pembenaran bagi pelaksanaan hukum yang diperlawankan dengan kesewenang-wenangan.

Diantara ungkapan atau pengertian diatas ada yang menegaskan bahwa yang namanya keadilan sempurna itu tidak pernah ada. Yang ada hanyalah sekedar pencapaian keadilan dalam kadar tertentu. Dalam hal ini sebagian orang meyakini yang dimaksud dengan keadilan adalah sebuah kelayakan.

E. Asas-asas Pidana Terkait Dengan Putusan Hakim

a. Asas Legalitas.

Asas pertama dari pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi “Hukum Pidana” harus bersumber pada undang-undang, disebut juga sebagai asas legalitas. Artinya pemidanaan harus berdasarkan undang-undang. Yang dimaksud dengan undang-undang disini adalah dalam pengertian luas, yaitu bukan saja yang secara tertulis telah dituangkan dalam bentuk undang-undang yang dibuat oleh Pemerintah dengan DPR, akan tetapi juga produk per-undang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang, Peraturan pemerintah, Keputusan Presiden, peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti peraturan/instruksi Menteri, Gubernur/Kepala Daerah dan lain sebagainya. Karena penguasa dalam melaksanakan tugasnya (dalam hal ini peradilan) terikat kepada ketentuan per-undang-undanga, maka akan terhindar kesewenang-wenangan atau penilaian pribadi seenaknya. Hal ini berarti akan terdapat kepastian hukum bagi setiap pencari keadilan (yang juga terikat kepada ketentuan perundang-undangan tersebut).


(42)

26

b. Keuntungan yang paling menguntungkan bagi tersangka atau terdakwa.

Jika perubahan ketentuan itu mengenai pengurangan atau penurunan jenis bahkan penghapusan pidana, mudah dipahami bahwa yang lebih menguntungkan ditinjau dari sudut tersangaka atau terdakwa, adalah ketentuan-ketentuan yang dapat dirubah, bukan hanya pidananya saja, melainkan dapat juga mengenai normanya, bahkan norma dari undang-undang hukum lainnya yang ada hubungannya dengan undang-undang hukum pidana. Selain dari pada itu, yang diubah itu dapat juga berupa suatu ketentuan umum seperti ketentuan-ketentuan mengenai berlakunya hukum pidana menurut tempat atau waktu, percobaan, penyertaan, gabungan (samenloop), cara penuntutan, kadaluarsaan, interpretasi otentik, atau gabungan dari ketentuan-ketentuan tersebut. Dalam hal perubahan tersebut berupa gabungan, tidak selalu mudah untuk menentukan yang lebih menguntungkan tersangka atau terdakwa.


(43)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Cara penulisan skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan normatif dan empiris sebagai penunjang. Pendekatan normatif dan empiris yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan pengkajian perundang-undangan yang berlaku dan diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu13 dan mempelajari serta menelaah teori-teori, konsep-konsep serta peraturan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas yaitu mengenai putusan hakim yang bertentangan dengan syarat-syarat formil sebagaimana tertera dalam KUHAP serta kedudukan hukumnya apabila ditemukan sebuah putusan yang tidak memenuhi syarat-syarat KUHAP.

Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doctrinal yaitu objek penelitiannya adalah dokumen perundang-undangan dan bahan pustaka.14 Hal yang paling mendasar dalam penelitian ilmu hukum normatif, adalah bagaimana seorang peneliti menyusun dan merumuskan masalah penelitiannya secara tepat dan tajam, serta bagaimana seorang peneliti memilih metode untuk menentukan

13

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 2007), hlm. 56.

14


(44)

28

langkah-langkahnya dan bagaimana melakukan perumusan dalam membangun teorinya.15

Pendekatan masalah menggunakan pendekatan normatif empiris dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :

a. Mengidentifikasi sumber hukum yang menjadi dasar rumusan masalah; b. Mengidentifikasi pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang bersumber dari

rumusan masalah;

c. Mengidentifikasi dan menginventarisasi sumber data, ketentuan-ketentuan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berdasarkan rincian sub pokok bahasan;

d. mengkaji secara komprehensif analitis sumber data primer, bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan;

e. hasil kajian sebagai jawaban permasalahan dideskripsikan secara lengkap, rinci, jelas, dan sistematis dalam bentuk laporan hasil penelitian atau karya tulis ilmiah.

B. Sumber Data

Data merupakan hal yang paling penting dalam suatu penelitian, karena dalam penelitian hukum normatif yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif.16 Data yang diperoleh dan diolah dalam penelitian hukum normatif adalah data sekunder yang berasal dari sumber kepustakaan. Data

15

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2008, hlm. 88.

16


(45)

29

yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

1. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dengan cara melakukan studi dokumentasi dan literatur untuk menjelaskan hal-hal yang bersifat teoritis, asas hukum, konsep, dan pandangan, doktrin hukum serta isi kaidah hukum yang menyangkut putusan hakim yang bertentangan dengan syarat-syarat formil formil sebagaimana tertera dalam KUHAP.

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat,17 adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari

a. Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

b. Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

c. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,18 antara lain buku-buku literatur ilmu hukum, karya ilmiah dari kalangan hukum,

17

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 2007), hlm. 52

18


(46)

30

jurnal hukum, makalah dan artikel, serta bahan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, diantaranya yaitu :

a. Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung: Nusa Media, 2011.

b. Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) : Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta: Kencana, 2010.

c. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia UI-Press, 2007.

d. Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2008.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,19 misalnya:

a. Kamus Besar Bahasa Indonesia; b. Kamus Inggris-Indonesia.

C. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah seseorang yang memberikan informasi yang diinginkan dan dapat memberikan tanggapan terhadap informasi yang diberikan. Pada penelitian ini penentuan narasumber hanya dibatasi pada :

19


(47)

31

1. Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 (Satu) orang 2. Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Bandar Lampung : 1 (Satu) orang 3. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 (Satu) orang +

Jumlah : 3 (Tiga) orang

D. Teknik Pengumpulan Data & Metode Pengolahan Data

1. Teknik Pengumpulan Data dan Bahan Hukum

Dalam mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk membantu dalam proses penulisan, maka penulis menggunakan prosedur pengumpulan data, yaitu menggunakan studi kepustakaan dan studi lapangan.

a. Studi Pustaka adalah suatu prosedur data dengan cara membaca, memahami, dan mengutip sumber data berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan tersier yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Studi Lapangan adalah suatu prosedur yang dilakukan dengan wawancara langsung dengan pihak yang menjadi responden dalam penelitian dengan cara mengajukan pertanyaan dan disertai dengan daftar pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya.

2. Metode Pengolahan Data dan Bahan Hukum

Data dan bahan hukum yang diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :


(48)

32

1) Mengidentifikasi data, yaitu dilakukan setelah semua data dikumpulkan kemudian diidentifikasi dengan cara memberikan tanda terhadap data penelitian penelitian.

2) Klasifikasi data, yaitu menempatkan data menurut kelompok-kelompok yang ditentukan sehingga diperoleh data yang objektif dan sistematis sesuai dengan penelitian yang dilakukan.

3) Editing, yaitu data yang diperoleh diperiksa untuk mengetahui apakah masih terdapat kekurangan-kekurangan dan apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.

E. Analisis Data

Setelah data-data tersebut tersusun secara sistematis sesuai dengan pokok-pokok pembahasan bidang penelitian, maka data-data tersebut dianalisis secara kualitatif deskriptif yaitu menginterpretasikan data-data dalam bentuk uraian kalimat sehingga diharapkan dari data-data tersebut di dapat penjelasan mengenai Pelaksanaan Putusan Hakim Yang Berkekuatan Hukum Tetap Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika: studi kasus No. 281/Pid.B/2013/PN.TK.


(49)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai Analisis Yuridis Putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap terhadap pelaku Tindak Pidana Narkotika, sesuai dengan Putusan No. 281/Pid.B/2013/PN.TK sebagaimana telah diuraikan sebelumnya maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.

1. Berdasarkan Pasal 197 ayat (1) huruf F, bahwa putusan Hakim hendaknya memuat pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terpidana. Hal ini sama saja dengan kesimpulan bahwa seorang terpidana yang diadili dan diputus bersalah berdasarkan pertimbangan Hakim harus sesuai dengan dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum dengan memperhatikan bukti dan fakta persidangan serta keyakinan Hakim atas perbuatan Pidana seorang terpidana. Dan berdasarkan Pasal 197 ayat (1) huruf H, memerintahkan putusan pemidanaan memuat pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak Pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa putusan No.


(50)

58

281/Pid.B/2013/PN.TK bertentangan dengan KUHAP karena Hakim telah memutus seorang terdakwa dengan unsur pasal yang berbeda dengan dakwaan Jaksa.

2. Dalam Pasal 197 ayat (2) ditentukan apabila putusan Hakim yang tidak memenuhi dua syarat diatas maka putusan itu dianggap batal demi hukum (venrechtswege nieting ab initio legally null and void) artinya putusan tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa akibat hukum. Dengan demikian putusan tersebut dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan oleh Jaksa sebagai eksekutor Putusan pengadilan.

3. Berbeda dengan pandangan normatif diatas, Hakim menganggap peristiwa ini adalah hal yang biasa, mengingat Hakim juga seorang manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan sehingganya tak jarang terdapat kesalahan dalam setiap proses peradilan khususnya dalam setiap putusan yang dituangkan dalam sebuah tulisan.

B. Saran.

1. Hendaknya Jaksa menolak untuk mengeksekusi putusan Hakim tersebut mengingat putusan tersebut batal demi hukum sebagaimana yang telah penulis kemukakan diatas.


(51)

59

2. A. Bagi terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan peninjauan kembali mengingat dalam putusan tersebut terdapat perbedaan klausul dengan pasal yang diputuskan.

3. Dewan Perwakilan Rakyat yang menurut Pasal 20A ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 mempunyai hak pengawasan atas jalannya pemerintahan negara, berkewajiban untuk mengawasi Jaksa Agung dan seluruh jajarannya agar sungguh-sungguh melaksanakan undang-undang selurus-lurusnya dan seadil-adilnya, dalam hal ini, khususnya terkait dengan pelaksanaan ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Jika Jaks Agung tidak mengindahkan hal ini, maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat menggunakan hak interplasi sebagaimana diatur dalam pasal 20A ayat (2) guna mempertanyakan kebijakan pemerintah sehubungan dengan pelaksanaan eksekusi putusan batal demi hukum yang terjadi di berbagai daerah yang nyata-nyata telah melanggar Hak Asasi Warga Negara.


(52)

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur :

Affandi, Wahyu, 1982, Berbagai Masalah Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung.

Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung.

Bambang Waluyo, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta. E.Y. Kanter, 1982, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerpannya, Gunung Mulya, Jakarta.

E.Y. Kanter, 2001, Etika Profesi Hukum, Storia Grafika, Jakarta.

Hamzah, Andi, 1984, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghali Indonesia, Jakarta.

Harahap, Yahya, 2001, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta.

Leden marpaung, 2008, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.

Mulyadi, Lilik, 2002, Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Nasution, Bahde Johan, 2008, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung.

Oemar Seno Adji, 1985, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta. Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia UI-Press, Jakarta.


(53)

B. Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


(1)

32

1) Mengidentifikasi data, yaitu dilakukan setelah semua data dikumpulkan kemudian diidentifikasi dengan cara memberikan tanda terhadap data penelitian penelitian.

2) Klasifikasi data, yaitu menempatkan data menurut kelompok-kelompok yang ditentukan sehingga diperoleh data yang objektif dan sistematis sesuai dengan penelitian yang dilakukan.

3) Editing, yaitu data yang diperoleh diperiksa untuk mengetahui apakah masih terdapat kekurangan-kekurangan dan apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.

E. Analisis Data

Setelah data-data tersebut tersusun secara sistematis sesuai dengan pokok-pokok pembahasan bidang penelitian, maka data-data tersebut dianalisis secara kualitatif deskriptif yaitu menginterpretasikan data-data dalam bentuk uraian kalimat sehingga diharapkan dari data-data tersebut di dapat penjelasan mengenai Pelaksanaan Putusan Hakim Yang Berkekuatan Hukum Tetap Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika: studi kasus No. 281/Pid.B/2013/PN.TK.


(2)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai Analisis Yuridis Putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap terhadap pelaku Tindak Pidana Narkotika, sesuai dengan Putusan No. 281/Pid.B/2013/PN.TK sebagaimana telah diuraikan sebelumnya maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.

1. Berdasarkan Pasal 197 ayat (1) huruf F, bahwa putusan Hakim hendaknya memuat pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terpidana. Hal ini sama saja dengan kesimpulan bahwa seorang terpidana yang diadili dan diputus bersalah berdasarkan pertimbangan Hakim harus sesuai dengan dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum dengan memperhatikan bukti dan fakta persidangan serta keyakinan Hakim atas perbuatan Pidana seorang terpidana. Dan berdasarkan Pasal 197 ayat (1) huruf H, memerintahkan putusan pemidanaan memuat pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak Pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa putusan No.


(3)

58

281/Pid.B/2013/PN.TK bertentangan dengan KUHAP karena Hakim telah memutus seorang terdakwa dengan unsur pasal yang berbeda dengan dakwaan Jaksa.

2. Dalam Pasal 197 ayat (2) ditentukan apabila putusan Hakim yang tidak memenuhi dua syarat diatas maka putusan itu dianggap batal demi hukum (venrechtswege nieting ab initio legally null and void) artinya putusan tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa akibat hukum. Dengan demikian putusan tersebut dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan oleh Jaksa sebagai eksekutor Putusan pengadilan.

3. Berbeda dengan pandangan normatif diatas, Hakim menganggap peristiwa ini adalah hal yang biasa, mengingat Hakim juga seorang manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan sehingganya tak jarang terdapat kesalahan dalam setiap proses peradilan khususnya dalam setiap putusan yang dituangkan dalam sebuah tulisan.

B. Saran.

1. Hendaknya Jaksa menolak untuk mengeksekusi putusan Hakim tersebut mengingat putusan tersebut batal demi hukum sebagaimana yang telah penulis kemukakan diatas.


(4)

59

2. A. Bagi terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan peninjauan kembali mengingat dalam putusan tersebut terdapat perbedaan klausul dengan pasal yang diputuskan.

3. Dewan Perwakilan Rakyat yang menurut Pasal 20A ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 mempunyai hak pengawasan atas jalannya pemerintahan negara, berkewajiban untuk mengawasi Jaksa Agung dan seluruh jajarannya agar sungguh-sungguh melaksanakan undang-undang selurus-lurusnya dan seadil-adilnya, dalam hal ini, khususnya terkait dengan pelaksanaan ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Jika Jaks Agung tidak mengindahkan hal ini, maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat menggunakan hak interplasi sebagaimana diatur dalam pasal 20A ayat (2) guna mempertanyakan kebijakan pemerintah sehubungan dengan pelaksanaan eksekusi putusan batal demi hukum yang terjadi di berbagai daerah yang nyata-nyata telah melanggar Hak Asasi Warga Negara.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur :

Affandi, Wahyu, 1982, Berbagai Masalah Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung.

Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung.

Bambang Waluyo, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta. E.Y. Kanter, 1982, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerpannya, Gunung Mulya, Jakarta.

E.Y. Kanter, 2001, Etika Profesi Hukum, Storia Grafika, Jakarta.

Hamzah, Andi, 1984, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghali Indonesia, Jakarta.

Harahap, Yahya, 2001, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta.

Leden marpaung, 2008, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.

Mulyadi, Lilik, 2002, Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Nasution, Bahde Johan, 2008, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung.

Oemar Seno Adji, 1985, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta. Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia UI-Press, Jakarta.


(6)

B. Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.