hukum pidana 001

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Terminologi Perkara

Perkara tindak pidana korupsi suap terkait sengketa pilkada Lebak-Banten menempatkan Ratu Atut Chosiah yang pada masa itu menjabat sebagai Gubernur Banten sebagai tersangka, Jumat 20 desember KPK menahan Ratu Atut di rumah tahanan Pondok Bambu Jakarta Timur diduga sebagai tersangka kasus pemberian hadiah kepada Akil Mochtar saat menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi dan menangani perkara sengketa pemilihan kepala daerah Lebak.

Ratu Atut diketahui mengumpulkan jajaran pegawai yang terlibat dalam sengketa pilkada Lebak di satu rumah di Permata Hijau, Jakarta Selatan, untuk mempengaruhi bawahan yang akan menjadi saksi dalam persidangan perkara itu.

KPK menduga bahwa Ratu Atut bersama adiknya Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan memberikan suap Rp1 miliar kepada Akil Mochtar melalui advokat Susi Tur Andayani, yang juga sudah berstatus tersangka, untuk mengurus penanganan sengketa pilkada Lebak.

Kecurigaan KPK berawal dari harta kekayaan Ratu Atut berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) 6 Oktober 2006 Ratu Atut mencapai Rp41,93 miliar. Asetnya mencakup harta tidak bergerak berupa tanah dan bangunan Rp19,16 miliar di Jakarta Barat, Serang, Bandung, Cirebon, Cianjur dan Pandeglang.

Harta Ratu Atut juga meliputi sejumlah alat transportasi dengan berbagai merek senilai Rp3,93 miliar, logam dan batu mulia senilai Rp8,22 miliar, Surat Berharga senilai Rp7,85 miliar dan giro setara kas lain sejumlah Rp2,77 miliar.

Berdasarkan Konferensi pers yang diadakan di Gedung KPK Kuningan, ketua KPK Abraham Samad mengumumkan bahwa Ratu Atut terlibat dalam kasus dugaan suap terkait penanganan sengketa pilkada Lebak dan ditetapkan sebagai tersangka.


(2)

Atut dijerat dengan Pasal 6 Ayat 1 Huruf a UU No 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 nomor 1 KUHP.

Ratu Atut dinyatakan secara bersama-sama atau turut serta dengan tersangka yang sudah ditetapkan terlebih dulu yaitu adiknya Tubagus Chaeri Wardana dalam kasus penyuapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Setelah diperiksa sebagai tersangka untuk pertama kalinya pada 20 Desember, Atut langsung dijebloskan ke penjara. Atut ditahan selama 20 hari di Rumah Tahanan Pondok Bambu Jakarta. Walau begitu, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan Atut tetap sebagai gubernur sampai Ia ditetapkan sebagai terdakwa. Sedangkan sebagian tugas Atut diserahkan kepada wakilnya.

Mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dituntut pidana 10 tahun penjara dalam kasus dugaan suap pengurusan sengketa Pilkada Kabupaten Lebak, Banten 2013 di Mahkamah Konstitusi (MK). Atut juga dituntut membayar denda Rp 250 juta subsider 5 bulan kurungan.

Jaksa menilai Atut bersama-sama adiknya, Tubagus Chaeri Wardana melakukan suap Rp 1 miliar kepada mantan Ketua MK M Akil Mochtar. Uang suap diberikan melalui pengacara Susi Tur Andayani.

Dalam sidang di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin (11/8/2014), Jaksa Penuntut Umum (JPU) membeberkan kronologis penyuapan itu. Jaksa menerangkan, awal perkara ini terjadi saat kemenangan pasangan Iti Octavia Jayabaya-Ade Sumardi dalam Pilkada Lebak 2013 digugat oleh pasangan Amir Hamzah-Kasmin bin Saelan melalui penasihat hukum Rudi Alfonso ke MK pada 8 September 2013.

B. Dakwaan Perkara

Mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dituntut pidana 10 tahun penjara dalam kasus dugaan suap pengurusan sengketa Pilkada Kabupaten Lebak, Banten 2013 di Mahkamah Konstitusi (MK). Atut juga dituntut membayar denda Rp 250 juta subsider 5 bulan kurungan.


(3)

Jaksa menilai Atut bersama-sama adiknya, Tubagus Chaeri Wardana melakukan suap Rp 1 miliar kepada mantan Ketua MK M Akil Mochtar. Uang suap diberikan melalui pengacara Susi Tur Andayani.

Dalam sidang di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin (11/8/2014), Jaksa Penuntut Umum (JPU) membeberkan kronologis penyuapan itu. Jaksa menerangkan, awal perkara ini terjadi saat kemenangan pasangan Iti Octavia Jayabaya-Ade Sumardi dalam Pilkada Lebak 2013 digugat oleh pasangan Amir Hamzah-Kasmin bin Saelan melalui penasihat hukum Rudi Alfonso ke MK pada 8 September 2013.

Atut dikenakan pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengenai orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara 3-15 tahun dan denda Rp150 juta hingga Rp750 juta.

Selain mendakwa Atut melanggar Pasal 6 Ayat 1, tim jaksa KPK memasukkan Pasal 13 UU Tipikor dalam dakwaan Atut. Menurut Pasal 13 ini memuat ancaman hukuman lebih ringan dibandingkan dengan Pasal 6, yakni maksimal 3 tahun penjara. Sementara ancaman hukuman dalam Pasal 6 Ayat 1 UU Tipikor, maksimal 15 tahun penjara.

Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis hukuman penjara empat tahun ditambah denda Rp 200 juta subsider lima bulan kurungan kepada Gubernur Banten nonaktif, Atut Chosiyah. Atut dinyatakan terbukti bersama-sama menyuap Akil Mochtar selaku Ketua Mahkamah Konstitusi ketika itu terkait sengketa Pilkada Lebak, Banten.

"Menyatakan terdakwa Atut Chosiyah terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan


(4)

primer," kata Ketua Majelis Hakim Matheus Samiadji di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (1/9/2014).

Putusan ini lebih ringan dari tuntutan tim jaksa KPK. Dalam persidangan sebelumnya, tim jaksa KPK menuntut Atut 10 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 5 bulan penjara. Menurut majelis hakim, hal yang meringankan hukuman Atut di antaranya berlaku sopan dalam persidangan, tidak pernah dihukum, dan Atut adalah seorang ibu yang juga memiliki cucu.

"Hal yang memberatkan, tidak mendukung upaya pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi," kata Matheus.

Menurut majelis hakim, Atut terbukti melanggar pasal yang termuat dalam dakwaan primer, yakni Pasal 6 Ayat 1 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Meski demikian, Atut dibebaskan dari hukuman tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Majelis hakim juga menolak permintaan jaksa untuk menghapus hak dipilih dan memilih Atut.


(5)

BAB II PEMBAHASAN A. Pandangan Teoritis

Pengertian masyarakat umum terhadap kata “korupsi” ada lah berkenaan dengan “keuangan negara” yang dimiliki secara tidak sah (haram). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Di dunia internasional pengertian korupsi berdasarkan Black Law Dictionary (dalam Surachmin, 2003:11) korupsi adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.

Menurut Andi Hamzah (1996:123) dalam perkara pidana korupsi terdapat beberapa tahap untuk memproses perbuatan pidana :

1. Penyelidikan

Yaitu serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur menurut undang-undang.

2. Penyidikan

Adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu memperjelas tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.


(6)

Adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan kebebasan sementara waktu tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan atau peradilan dalam halserta menuntut cara yang diatur dalam undang-undang.

4. Penahanan

Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang. Jadi, disini terdapat pertentangan antara dua asas, yaitu hak bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati disatu pihak dan kepentingan ketertiban umum dilain pihak yang harus diperhatikan untuk orang banyak atau masyarakat dari perbuatan jahat tersangka.

B. Penelitian Kasus

Indonesia dapat dikatakan sebagai sebuah negara yang sangat kaya, kaya akan sumber daya alam dan juga sumber daya manusianya. Namun dalam hal ini, sumber daya manusia yang dimiliki Indonesia sangatlah tidak berkualitas. Korupsi merupakan suatu tindakan yang belakangan ini sering dilakukan oleh sumber daya manusia yang kita miliki. Korupsi adalah suatu tindakan yang sangat tidak terpuji dan dapat merugikan suatu bangsa. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah kasus korupsi yang terbilang cukup banyak. Bahkan akhirakhir ini banyak sekali pemberitaan ditelevisi yang memberitakan beberapa kasus korupsi di beberapa daerah di Indonesia yang pelakunya kebanyakan berasal dari pegawai negeri/pemerintahan yang seharusnya mengabdi untuk kemajuan bangsa.

Dalam kurun waktu dewasa ini telah terungkap satu-persatu pelaku korupsi yang hampir semua berasal dari lini pejabat publik, baik itu legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Seketika korupsi menjadi trending topic di media negara ini. Sebutlah mega proyek Hambalang yang mengantarkan Ketua Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Alfian Malarangeng sebagai tersangka, kemudian disusul oleh Angelina Sondakh sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari fraksi Demokrat yang menjadi tersangka kasus wisma atlet di Palembang


(7)

serta pada kasus yang membuat masyarakat kembali melepaskan rasa percaya pada para penegak hukum adalah pada yang sedang penulis khusus bahas ini, saat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yaitu Akil Mochtar ditangkap terkait penerimaan suap dalam kasus Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Kabupaten Lebak Banten dan menyeret gubernur Banten (pada saat itu) Ratu Atut Chosiah sebagai tersangka, dan masih banyak nama lain.

Berbeda dari kasus-kasus sebelumnya. Jika kasus korupsi sebelumnya banyak melibatkan politisi, pengusaha, pejabat negara, pemimpin partai, menteri dan artis, kini dengan konteks pilkada. Lingkaran korupsi dalam pilkada ini berpusat pada kekuatan politik dinasti keluarga di provinsi banten. Penangkapan Akil Mochtar dan Ratu Atut Chosiyah adalah bentuk pengembangan dari kasus penangkapan adik Atut, yaitu Tubagus Chaery Wardana dalam upayanya menyuap ketua MK Akil Mochtar. Melalui pengungkapan suap ketua Mk ini oleh Tubagus Chaery Wardana alias Wawan, terbualah fakta-fakta penting terkait bagaimana praktik kotor korupsi sudah menguasai mahkamah konstitusi. Akil sebagai pimpinan Mk, disinyalir menerima uang kotor dari pihak yang bersengketa atau berperkara di pilkada. Ini diluar akal sehat dan pukulan telak bagi dunia hukum indonesia, bahwa hukum bisa dengan mudahnya dibeli dengan uang.

Sesuai Dalam sidang di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin 11 agustus 2014, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membeberkan kronologis penyuapan itu. Jaksa menerangkan, awal perkara ini terjadi saat kemenangan pasangan Iti Octavia Jayabaya-Ade Sumardi dalam Pilkada Lebak 2013 digugat oleh pasangan Amir Hamzah-Kasmin bin Saelan melalui penasihat hukum Rudi Alfonso ke MK pada 8 September 2013.

Ratu Atut Chosiah dikenakan pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengenai orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan


(8)

kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara 3-15 tahun dan denda Rp150 juta hingga Rp750 juta.

Selain mendakwa Atut melanggar Pasal 6 Ayat 1, tim jaksa KPK memasukkan Pasal 13 UU Tipikor dalam dakwaan Atut. Menurut Pasal 13 ini memuat ancaman hukuman lebih ringan dibandingkan dengan Pasal 6, yakni maksimal 3 tahun penjara. Sementara ancaman hukuman dalam Pasal 6 Ayat 1 UU Tipikor, maksimal 15 tahun penjara.

Namun pada sidang selanjutnya Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis hukuman penjara empat tahun ditambah denda Rp 200 juta subsider lima bulan kurungan kepada Gubernur Banten nonaktif, berbanding terbalik dengan apa yag dituntut oleh jaksa penuntut umum KPK yang hukuman ancaman penjaranya adalah maksimal 15 tahun, dan pada kenyataannya bahkan tak setengan hukumanpun dijatuhkan. Ratu Atut Chosiyah. Atut dinyatakan terbukti bersama-sama menyuap Akil Mochtar selaku Ketua Mahkamah Konstitusi ketika itu terkait sengketa Pilkada Lebak, Banten.

C. Analisis Kasus

Sebagai suatu institusi telah ada sejak lama, birokrasi dianggap mampu menangani masalah-masalah publik yang penanganannya membutuhkan koordinasi dan kerjasama dari orang yang banyak dengan berbagai keahlian dan fungsi masing-masing. Seiring dengan bertambah kompleksnya masalah dan hal yang harus diatur, kemunculan organisasi-organisasi birokrasi kemudian menjadi semakin bertambah banyak dan semakin dirasakan sebagai hal yang penting dan vital di era saat ini. Birokrasi bukanlah institusi sederhana, memiliki tugas dan fungsi yang kompleks dan juga tak jarang birokrasi memberikan pengaruh yang signifikan baik intern maupun ekstern lingkup birokrasi. Karena berbagai sebab itulah pada akhirnya muncul pemikiran-pemikiran birokrasi antara lain oleh Karl Marx, Max Weber, dan Hegel.

Dalam analisa kasus kali ini, saya teringat dengan analisa pemikiran birokrasi yang dikembangkan oleh Karl Marx. Di dalam pemikiran Karl Marx menjelaskan


(9)

bahwa birokrasi itu dikuasai dan dijalankan oleh yang berkuasa guna mengamankan kekuasaannya. Dalam fakta kasus yang saya dapat dan saya rasakan sebagai warga Banten, Dinasti Ratu Atut Chosiyah benar-benar menguasai ranah Provinsi Banten. Posisi-posisi yang dianggap strategis di dalam Provinsi Banten dikuasi dan dijalankan oleh Dinasti Ratu Atut. Entah kebetulan atau bagaimana Dinasti Ratu Atut selalu berkuasa di Provinsi Banten sejak pendahulu Ratu Atut Chosiyah. Lebih lanjut dalam pemikiran Karl Marx, birokrasi juga dianggap sebagai suatu alat dominasi suatu kepentingan tertentu dari kelas dominan dalam hal ini masyarakat.. Birokrasi muncul untuk kepentingan kelas borjuis, sebab negara hanya merupakan instrumen dari para borjuis untuk melakukan eksploitasi pada kelas proletar. Kaum borjuis dalam kasus tersebut saya rasa adalah para penguasa dari Dinasti Ratu Atut.

Mereka seakan bergelimang harta dengan kekuasaan yang dimilikinya, tapi disisi lain rakyat Provinsi Banten masih ada yang menderita. Bahkan sejumlah murid sekolah harus bertaruh nyawa guna melintas di sebuah jembatan yang rusak guna berangkat sekolah, dan itu terjadi di Desa Sanghiang Tanjung, Lebak, Banten. Selain kedua hal tersebut, birokrasi menurut Karl Marx diperkuat lebih jauh dengan sikap para birokrat yang menciptakan mitos dan simbol tertentu yang menyucikan dan memistiskan posisi mereka. Masyarakat yang terlalu mudah “ketakutan” dengan kesaktian seorang jawara, ilmu-ilmu yang tak dapat dinalar dan sebagainya. Cara inilah yang dimanfaatkan oleh keturunan Chasan Sochib untuk meraih kekuasaan politis di Provinsi Banten. Ilmu-ilmu yang tak dapat dinalar menjadi kekuatan mereka untuk menakuti masyarakat yang masih terlalu “awam” akan dinamika politik di daerah Banten. Bahkan isu santet pun juga mewarnai ketika adik Ratu Atut ditangkap KPK.

Keterkaitan analisa kasus dengan pemikiran Karl Marx memang tak jauh berbeda. Tak heran jika memang Karl Marx memandang negatif birokrasi. Hanya sebagian orang yang memang benar-benar memanfaatkan institusi birokrasi untuk mengabdi kepada masyarakat. Birokrasi yang dianggap sebagai suatu mesin yang mengatur fungsi-fungsi negara tak jarang memang memiliki problem-problem yang


(10)

ada di dalamnya. Problem inilah yang dapat memicu birokrat-birokrat untuk memainkan jabatan mereka di dalam birokrasi.

Seperti diketahui Ratu Atut divonis pidana empat tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider lima bulan kurungan. Jaksa Penuntut Umum menuntut Ratu Atut dengan pidana 10 tahun penjara serta denda sebesar 250 juta subsider 5 bulan kurungan. Dilihat dari kasusnya, Atut bisa diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) dan atau pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Selain itu atut juga terjerat pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut terkait penyalah gunaan wewenang sebagai penyelenggara negara yg telah menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi sehingga mengakibatkan kerugian negara. Negara akan merugi bila kepala daerahnya tdk efektif menjalankan tugasnya. Sebab, negara tetap harus membayarnya. "Sementara dia tidak memberikan kontribusi,"

Pidana empat tahun penjara dan denda rp 200 juta subside lima bulan kurungan dirasa tak relevan disamping kasus ini telah menodai demokrasi dan MK, serta melukai rakyat juga Pidana penjara Atut kurang dari setengah tuntutan jaksa. Dirasa pula, ada pidana tambahan yang tidak dipenuhi tentunya itu berarti tidak sesuai dengan tuntutan dan tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan .


(11)

BAB III SIMPULAN

Dari penjelasan diatas maka saya dapat menyimpulkan bahwa Atut bersama adiknya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, diduga memberikan suap sebesar Rp 1 miliar kepada Akil Mochtar (kala itu Ketua MK) melalui seorang advokat Susi Tur Andayani, yang juga telah menjadi tersangka kasus yang sama.

Pasal yang menjerat: Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidan. Dengan ancaman hukuman pidana penjara 3-15 tahun, denda Rp 150-Rp 750 juta.

Penegakan hukum pidana di Indonesia masih jauh dari tujuan dan fungsi hukum, penegakan hukum di Indonesia runcing ke bawah dan tumpul keatas, dimana masyarakat kecil selalu jadi bulan-bulanan penegakan hukum sedangkan para rezim yang haus akan kekuasaan dan para kafitalis dapat dengan mudah terlepas dari jeratan hukum.


(12)

DAFTAR PUSTAKA

Djaja, Ermansjah. 2010, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Sinar Grafika.

Bahari, Adib. 2009, Komisi Pemberantasan Korupsi Dari A Sampai Z, Jakarta : Pustaka Yustisia.

Djaja, Ermansjah. 2010, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Sinar Grafika.

Sumber internet:

http://lintasnusantara.co.id/

https://www.facebook.com/REPUBLIK.INDONESIA.ONLINE?fref=nf http://www.jawapos.com/

http://hukum.kompasiana.com/2013/10/06/siapakah-ratu-atut--598000.html. %20diakses%2018%20Maret%202014

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/567483-suap-sengketa-pilkada--kpk-periksa-mantan-wakil-bupati-lebak


(1)

serta pada kasus yang membuat masyarakat kembali melepaskan rasa percaya pada para penegak hukum adalah pada yang sedang penulis khusus bahas ini, saat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yaitu Akil Mochtar ditangkap terkait penerimaan suap dalam kasus Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Kabupaten Lebak Banten dan menyeret gubernur Banten (pada saat itu) Ratu Atut Chosiah sebagai tersangka, dan masih banyak nama lain.

Berbeda dari kasus-kasus sebelumnya. Jika kasus korupsi sebelumnya banyak melibatkan politisi, pengusaha, pejabat negara, pemimpin partai, menteri dan artis, kini dengan konteks pilkada. Lingkaran korupsi dalam pilkada ini berpusat pada kekuatan politik dinasti keluarga di provinsi banten. Penangkapan Akil Mochtar dan Ratu Atut Chosiyah adalah bentuk pengembangan dari kasus penangkapan adik Atut, yaitu Tubagus Chaery Wardana dalam upayanya menyuap ketua MK Akil Mochtar. Melalui pengungkapan suap ketua Mk ini oleh Tubagus Chaery Wardana alias Wawan, terbualah fakta-fakta penting terkait bagaimana praktik kotor korupsi sudah menguasai mahkamah konstitusi. Akil sebagai pimpinan Mk, disinyalir menerima uang kotor dari pihak yang bersengketa atau berperkara di pilkada. Ini diluar akal sehat dan pukulan telak bagi dunia hukum indonesia, bahwa hukum bisa dengan mudahnya dibeli dengan uang.

Sesuai Dalam sidang di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin 11 agustus 2014, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membeberkan kronologis penyuapan itu. Jaksa menerangkan, awal perkara ini terjadi saat kemenangan pasangan Iti Octavia Jayabaya-Ade Sumardi dalam Pilkada Lebak 2013 digugat oleh pasangan Amir Hamzah-Kasmin bin Saelan melalui penasihat hukum Rudi Alfonso ke MK pada 8 September 2013.

Ratu Atut Chosiah dikenakan pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengenai orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan


(2)

kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara 3-15 tahun dan denda Rp150 juta hingga Rp750 juta.

Selain mendakwa Atut melanggar Pasal 6 Ayat 1, tim jaksa KPK memasukkan Pasal 13 UU Tipikor dalam dakwaan Atut. Menurut Pasal 13 ini memuat ancaman hukuman lebih ringan dibandingkan dengan Pasal 6, yakni maksimal 3 tahun penjara. Sementara ancaman hukuman dalam Pasal 6 Ayat 1 UU Tipikor, maksimal 15 tahun penjara.

Namun pada sidang selanjutnya Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis hukuman penjara empat tahun ditambah denda Rp 200 juta subsider lima bulan kurungan kepada Gubernur Banten nonaktif, berbanding terbalik dengan apa yag dituntut oleh jaksa penuntut umum KPK yang hukuman ancaman penjaranya adalah maksimal 15 tahun, dan pada kenyataannya bahkan tak setengan hukumanpun dijatuhkan. Ratu Atut Chosiyah. Atut dinyatakan terbukti bersama-sama menyuap Akil Mochtar selaku Ketua Mahkamah Konstitusi ketika itu terkait sengketa Pilkada Lebak, Banten.

C. Analisis Kasus

Sebagai suatu institusi telah ada sejak lama, birokrasi dianggap mampu menangani masalah-masalah publik yang penanganannya membutuhkan koordinasi dan kerjasama dari orang yang banyak dengan berbagai keahlian dan fungsi masing-masing. Seiring dengan bertambah kompleksnya masalah dan hal yang harus diatur, kemunculan organisasi-organisasi birokrasi kemudian menjadi semakin bertambah banyak dan semakin dirasakan sebagai hal yang penting dan vital di era saat ini. Birokrasi bukanlah institusi sederhana, memiliki tugas dan fungsi yang kompleks dan juga tak jarang birokrasi memberikan pengaruh yang signifikan baik intern maupun ekstern lingkup birokrasi. Karena berbagai sebab itulah pada akhirnya muncul pemikiran-pemikiran birokrasi antara lain oleh Karl Marx, Max Weber, dan Hegel.

Dalam analisa kasus kali ini, saya teringat dengan analisa pemikiran birokrasi yang dikembangkan oleh Karl Marx. Di dalam pemikiran Karl Marx menjelaskan


(3)

bahwa birokrasi itu dikuasai dan dijalankan oleh yang berkuasa guna mengamankan kekuasaannya. Dalam fakta kasus yang saya dapat dan saya rasakan sebagai warga Banten, Dinasti Ratu Atut Chosiyah benar-benar menguasai ranah Provinsi Banten. Posisi-posisi yang dianggap strategis di dalam Provinsi Banten dikuasi dan dijalankan oleh Dinasti Ratu Atut. Entah kebetulan atau bagaimana Dinasti Ratu Atut selalu berkuasa di Provinsi Banten sejak pendahulu Ratu Atut Chosiyah. Lebih lanjut dalam pemikiran Karl Marx, birokrasi juga dianggap sebagai suatu alat dominasi suatu kepentingan tertentu dari kelas dominan dalam hal ini masyarakat.. Birokrasi muncul untuk kepentingan kelas borjuis, sebab negara hanya merupakan instrumen dari para borjuis untuk melakukan eksploitasi pada kelas proletar. Kaum borjuis dalam kasus tersebut saya rasa adalah para penguasa dari Dinasti Ratu Atut.

Mereka seakan bergelimang harta dengan kekuasaan yang dimilikinya, tapi disisi lain rakyat Provinsi Banten masih ada yang menderita. Bahkan sejumlah murid sekolah harus bertaruh nyawa guna melintas di sebuah jembatan yang rusak guna berangkat sekolah, dan itu terjadi di Desa Sanghiang Tanjung, Lebak, Banten. Selain kedua hal tersebut, birokrasi menurut Karl Marx diperkuat lebih jauh dengan sikap para birokrat yang menciptakan mitos dan simbol tertentu yang menyucikan dan memistiskan posisi mereka. Masyarakat yang terlalu mudah “ketakutan” dengan kesaktian seorang jawara, ilmu-ilmu yang tak dapat dinalar dan sebagainya. Cara inilah yang dimanfaatkan oleh keturunan Chasan Sochib untuk meraih kekuasaan politis di Provinsi Banten. Ilmu-ilmu yang tak dapat dinalar menjadi kekuatan mereka untuk menakuti masyarakat yang masih terlalu “awam” akan dinamika politik di daerah Banten. Bahkan isu santet pun juga mewarnai ketika adik Ratu Atut ditangkap KPK.

Keterkaitan analisa kasus dengan pemikiran Karl Marx memang tak jauh berbeda. Tak heran jika memang Karl Marx memandang negatif birokrasi. Hanya sebagian orang yang memang benar-benar memanfaatkan institusi birokrasi untuk mengabdi kepada masyarakat. Birokrasi yang dianggap sebagai suatu mesin yang mengatur fungsi-fungsi negara tak jarang memang memiliki problem-problem yang


(4)

ada di dalamnya. Problem inilah yang dapat memicu birokrat-birokrat untuk memainkan jabatan mereka di dalam birokrasi.

Seperti diketahui Ratu Atut divonis pidana empat tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider lima bulan kurungan. Jaksa Penuntut Umum menuntut Ratu Atut dengan pidana 10 tahun penjara serta denda sebesar 250 juta subsider 5 bulan kurungan. Dilihat dari kasusnya, Atut bisa diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) dan atau pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Selain itu atut juga terjerat pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut terkait penyalah gunaan wewenang sebagai penyelenggara negara yg telah menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi sehingga mengakibatkan kerugian negara. Negara akan merugi bila kepala daerahnya tdk efektif menjalankan tugasnya. Sebab, negara tetap harus membayarnya. "Sementara dia tidak memberikan kontribusi,"

Pidana empat tahun penjara dan denda rp 200 juta subside lima bulan kurungan dirasa tak relevan disamping kasus ini telah menodai demokrasi dan MK, serta melukai rakyat juga Pidana penjara Atut kurang dari setengah tuntutan jaksa. Dirasa pula, ada pidana tambahan yang tidak dipenuhi tentunya itu berarti tidak sesuai dengan tuntutan dan tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan .


(5)

BAB III SIMPULAN

Dari penjelasan diatas maka saya dapat menyimpulkan bahwa Atut bersama adiknya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, diduga memberikan suap sebesar Rp 1 miliar kepada Akil Mochtar (kala itu Ketua MK) melalui seorang advokat Susi Tur Andayani, yang juga telah menjadi tersangka kasus yang sama.

Pasal yang menjerat: Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidan. Dengan ancaman hukuman pidana penjara 3-15 tahun, denda Rp 150-Rp 750 juta.

Penegakan hukum pidana di Indonesia masih jauh dari tujuan dan fungsi hukum, penegakan hukum di Indonesia runcing ke bawah dan tumpul keatas, dimana masyarakat kecil selalu jadi bulan-bulanan penegakan hukum sedangkan para rezim yang haus akan kekuasaan dan para kafitalis dapat dengan mudah terlepas dari jeratan hukum.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Djaja, Ermansjah. 2010, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Sinar Grafika.

Bahari, Adib. 2009, Komisi Pemberantasan Korupsi Dari A Sampai Z, Jakarta : Pustaka Yustisia.

Djaja, Ermansjah. 2010, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Sinar Grafika.

Sumber internet:

http://lintasnusantara.co.id/

https://www.facebook.com/REPUBLIK.INDONESIA.ONLINE?fref=nf http://www.jawapos.com/

http://hukum.kompasiana.com/2013/10/06/siapakah-ratu-atut--598000.html. %20diakses%2018%20Maret%202014

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/567483-suap-sengketa-pilkada--kpk-periksa-mantan-wakil-bupati-lebak