1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Persamaan kedudukan
setiap orang
dalam hukum
dan pemerintahan, diakui secara normatif,
1
dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan
diskriminasi dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan terlarang.
2
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
3
dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
4
pembentuk Undang-Undang tidak memperlakukan subyek hukum secara sama. Dengan kata lain Prinsip
equality before the law
persamaan di depan hukum tidak diterapkan dalam kedua undang-undang tersebut.
Prinsip persamaan di depan hukum dimuat dalam Pasal 27 ayat 1 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum
1
Diatur dalam Pasal 28D UUD 1945
2
Asshiddiqie Jimly, Konstitusi Konstitusionalisme Indonesia , Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h. 128.
3
Selanjutnya oleh penulis akan disebut Undang-undang PEMILU
4
Selanjutnya oleh penulis akan disebut Undang-undang Partai Politik
2
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada terkecualinya”. Pasal ini mengkristalisasikan pandangan bahwa tidak boleh ada diskriminasi terhadap warga negara dalam
menegakkan hukum dan memberi kesempatan untuk aktif di dalam menegakkan hukum dan urusan pemerintahan dengan syarat-syarat yang
berlaku sama bagi setiap orang.
5
Namun sikap diskriminasi tersebut perlu dikaji dari sudut prinsip
affirmatif action.
Mengingat para pembentuk undang-undang tidak memperlakukan subyek hukum sama, dengan kata lain telah memberikan perlakuan khusus
bagi perempuan dengan cara menyantumkan 30 keterwakilan perempuan di partai politik dan parlemen. Alasan diperlukannya pemenuhan kuota
perempuan dilandasi pada argumen Hanna Pitkin,
The Concept of Representation
, 1967 sebagai berikut:
6
1. Perempuan mewakili setengah dari populasi dan punya hak untuk
setengah dari kursi
justice argument
;
2. Perempuan mempunyai pengalaman yang berbeda dari laki-laki
biologis maupun sosial yang diwakili
experience argument
. Sejalan dengan argumen ini perempuan dapat memasuki posisi
kekuasaan karena mereka akan terikat dalam politik yang berbeda;
5
Mahfud MD. Moh, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia , Rieka Cipta, 2001, cetakan ke-2, Jakarta, h. 132.
6
Putusan MK halaman 110
3
3. Perempuan dan laki-laki mempunyai pertentangan kepentingan
sehingga laki-laki tidak dapat mewakili perempuan
interest group argument
;
4. Politisi perempuan mewakili model peran penting mendorong
perempuan lain untuk mengikuti. Inti ide di belakang kuota gender pemilihan adalah merekrut perempuan ke dalam institusi politik
dan memastikan bahwa perempuan tidak terisolasi dalam
kehidupan politik.
Sedangkan ujuan diberikanya kuota 30 keterwakilan perempuan tersebut untuk membuka peluang dan kesempatan kepada perempuan agar
dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan publik secara adil dan seimbang akan tetapi hal tersebut dianggap merugikan laki-laki karena
tidak mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum. Karena itu dilakukanlah uji materil oleh Mohamad Sholeh, S.H
pemohon 1 terhadap Pasal 55 ayat 2, dan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e.
7
dan uji materil yang dilakukan oleh Sutjipto, S.H., M.Kn, Septi Notariana, S.H., M.Kn, Jose Dima Satria, S.H., M.Kn
7
Merupakan implementasi dari Pasal 53 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang PEMILU yang isinya:
“Daftar bakal calon sebagaimana dimaksut dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30 tiga puluh perseratus keterwakilan perempuan.” Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 sekarang diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 dan substansi penjaminan politik perempuan masih sama namun pasalnya saja yang mengalami
pergeseran.
4
pemohon 2 terhadap Pasal 205 ayat 4, ayat 5, ayat 6, ayat 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
8
Permohonan uji materil tersebut dilakukan karena sejak diberlakukannya Pasal 55 ayat 2 dan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berpotensi menghalangi terpilihnya Pemohon menjadi anggota legislatif. Bahwa Pasal 55 ayat 2 UU 102008
tidak sejalan dengan semangat reformasi, dan pemohon merasa terdiskriminasi karena pasal
a quo
. Sebab caleg perempuan mendapat prioritas nomor urut kecil seperti yang diatur dalam pasal
a quo
di antara 3 caleg harus ada 1 caleg perempuan sedangkan Pasal 214 huruf a, b, c, d,
dan e UU 102008 semangatnya telah keluar dari pemilihan umum yang jujur dan adil, karena apabila pemohon dipilih oleh rakyat ternyata hak
Pemohon dipasung oleh pasal
a quo,
sehingga suara pemohon apabila tidak mencapai 30 tiga puluh perseratus dari Bilangan Pembagi
Pemilih selanjutnya disebut BPP menjadi sia-sia. Oleh karena itu pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dilanggar dan dirugikan
sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat 1 Pasal
28D ayat 1 dan ayat 3 dan Pasal 28I ayat 2. Terkait uji materil
8
Dalam skripsi ini penulis akan mengamati pengujian materil yang dilakukan pemohon 1 saja.
5
undang-undang tersebut MK memberikan putusan mengabulkan sebagian permohonan para pemohon. Pasal yang dikabulkan adalah Pasal 214.
Penulis berpendapat bahwa
affirmatif action
dapat digunakan oleh pembentuk undang-undang untuk membuat kebijakan yang sifatnya
diskriminatif sepanjang diskriminasi tersebut merupakan diskriminasi yang benar-benar dibutuhkan.
Menurut Jimly Asshiddiqie tindakan khusus sementara diperlukan guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau
kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok
masyarakat kebanyakan yang sudah lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberlakukan perlakuan khusus melalui
affirmatif action
yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat hukum
adat tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan
bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita atau pun anak-anak terlantar.
9
Affirmatif action
merupakan amanat dan mandat konstitusional tercantum pada Pasal 28H ayat 2 UUD 1945. Pasal 28H ayat 2 UUD 1945
menyebutkan, “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
9
Ibid.
6 khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan”. A
ffirmatif action
juga merupakan kewajiban negara karena telah meratifikasi
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women
dengan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita.
10
Konsekuensi dari ratifikasi Konvensi Internasional ialah bahwa Negara peserta peratifikasi konvensi memberikan komitmen, pengikatan
diri untuk menjamin melalui peraturan perundang-undangan, kebijakan, program dan tindakan khusus sementara, mewujudkan kesetaraan dan
keadilan antara laki-laki dan perempuan, serta terhapusnya segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
11
Untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam dunia politik pemerintah menjamin hak politik bagi perempuan secara khusus
dengan pemberian kuota 30 kepada perempuan di partai politik dan parlemen.
12
Hal tersebut bertujuan untuk membuka peluang dan
10
Untuk selanjutnya penulis akan menggunakan istilah Konvensi CEDAW.
11
Irianto Sulistyowati, Perempuan Hukum, Menuju Hukum yang Berperspektif Gender,
Cet, II, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006, h. 85.
12
Diatur pada Pasal 2 ayat 2 dan 5 Undang-Undang Partai Politik dan Pasal 8 ayat 2E, Pasal 55, Pasal 58 Undang-Undang PEMILU
7
kesempatan kepada perempuan agar dapat berpartsisipasi aktif dalam kehidupan politik secara adil dan seimbang.
Terkait dengan adanya putusan MK yang mengabulkan permohonan pemohon terhadap Pasal 214, penulis tidak sependapat
dengan putusan tersebut dan setuju terhadap pendapat berbeda Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati. Pasal 214 pada dasarnya merupakan
implementasi dari Pasal 53 UU Nomor 10 Tahun 2008. Pasal ini berbunyi: “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling
sedikit 30 tiga uluh perseratus keterwakilan perempuan.” Jika penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD
kabupatenkota dan partai politik peserta pemilu yang terdapat pada Pasal 214 didasarkan pada “suara terbanyak” akan menimbulkan inkonsistensi
terhadap tindakan afirmatif tersebut. Tujuan tindakan afirmatif yang merupakan tindakan sementara ini
adalah mendorong jumlah perempuan lebih banyak di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupatenkota, sehingga menggantinya dengan
“suara terbanyak” adalah identik dengan menafikan tindakan afirmatif
tersebut. Tindakan afirmtif tersebut dirumuskan sebagai upaya agar penerapan kuota 30 perempuan sebagai calon di DPR, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupatenkota, tidak hanya merupakan retorika saja, tetapi
8
merupakan suatu tindakan nyata yang didukung dengan sistem yang baik dalam setiap partai politik.
13
Demikianlah uraian mengenai apa yang telah menjadi latar belakang Penulis untuk melakukan penelitian dan penulisan karya tulis
kesarjanaan ini.
B. Rumusan Masalah