Penentuan Populasi dan Sampel Analisis Data

pertanyaan–pertanyaan pada responden secara lisan yaitu dengan Pimpinan Militer, serta Akademisi Hukum. 2. Data sekunder yaitu data yang di peroleh dari studi kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier a. Bahan hukum primer terdiri dari: UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. b. Bahan hukum sekunder terdiri dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM, Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat No.03Pid.BHAM AD HOC2003PN.Jakarta dalam perkara terdakwa Mayjend.Rudolf Adofl Butar-butar. c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer seperti literatur hasil dari studi kepustakaan, hasil penelitian, pendapat sarjana dan kamus besar bahasa Indonesia.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh objek, seluruh individu atau unit yang menjadi sasaran untuk mendapatkan dan mengumpulkan data. P. Joko Subagyo, 2006: 23. Intitusi dalam penelitian ini adalah Komando Resort Militer 043 Garuda Hitam Bandar Lampung KOREM 043 GATAM, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnasham. Penentuan sampel berdasarkan dari populasi adalah, Anggota KOREM 043 GATAM Bandar Lampung dan Anggota Komnasham Jakarta Pusat. Rincian responden yang akan memberi tanggapan dari penentuan sampel adalah sebagai berikut: a. Anggota KOREM 043 GATAM Bandar Lampung : 2 dua orang b. Anggota Komnasham Jakarta Pusat : 1 satu orang Jumlah : 3 tiga orang Penentuan sampel dari populasi yang akan diteliti digunakan pengambilan sampel dengan metode purposive sampling berarti dalam menentukan sampel penulis benar-benar ingin menjamin, bahwa unsur-unsur yang hendak ditelitinya masuk kedalam sampel yang ditariknya, penulis menyesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai, dan sampel tersebut dianggap telah mewakili populasi terhadap masalah yang ada.

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur pengumpulan data

Dalam prosedur pengumpulan data primer, penulis memakai langkah–langkah sebagai berikut: a. Untuk memperoleh data sekunder, dilakukan dengan cara studi kepustakaan yaitu membaca dan menelaah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. b. Untuk memperoleh data primer, dilakukan dengan cara wawancara atau interview kepada para responden.

2. Prosedur Pengolahan Data

Data yang telah di peroleh pelaksanaan pengolahannya penulis melakukan kegiatan-kegiatan yaitu: a. Editing, yaitu memeriksa kembali mengenai kelengkapan, kejelasan dan kebenaran yang telah diterima serta hubungannya bagi penulisan. b. Sistematisasi, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga memudahkan dalam pembahasan. c. Klasifikasi, yaitu penggolongan data menurut jenis sumbernya dengan tujuan untuk menyajikan data secara sempurna, memudahkan rekonstruksi dan analisis data.

E. Analisis Data

Setelah semua data diperoleh, maka tahap selanjutnya adalah nenganalisis data sehingga akan diperoleh suatu keterangan yang akan dipergunakan dalam menjawab permasalahan yang ada dalam skripsi ini. Menganalisis data, penulis menggunakan metode analisis data secara kualitatif. Analisis kualitatif yaitu analisis yang dilakukan dengan cara menguraikan data secara bermutu, berurutan, logis sehingga memudahkan pemahaman dan memperoleh kesimpulan untuk menjawab permasalahan berdasarkan hasil penelitian. Mendapatkan suatu kesimpulan dilakukan secara induktif ke deduktif, yaitu suatu cara untuk menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum kemudian menguraikan kedalam hal-hal yang bersifat khusus sehingga dapat memberikan gambaran secara khusus yang merupakan jawaban permasalahan berdasarkan hasil penelitian.

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian–uraian terhadap seluruh pembahasan pada materi skripsi ini, maka penulis berkesimpulan: 1. Penerapan pertanggungjawaban komando terhadap pelanggaran HAM yang berat dan kejahatan perang sudah diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000. Tetapi dalam Pasal 42 ayat 1 terdapat kata-kata yang tidak sesuai dengan Statuta Roma 1998 salah satunya tidak adanya unsur bertanggung jawab secara pidana, yang kemudian menimbulkan bahwa pertanggungjawaban seorang komandan militer bisa juga secara administratif atau dikenakan pertanggungjawaban disiplin saja. Dan juga digantinya kata “harus” dengan kata “dapat” hal ini memperlihatkan bahwa pertanggungjawaban komando seorang komandan militer sebagaimana dimaksud ayat 1 tersebut tidak bersifat keharusan, hingga bermakna bahwa seorang komandan tidak selalu harus dipertanggungjawabkan dan tidak selalu harus dipertanggungjawabkan secara pidana atas tindakan bawahannya, perbedaan istilah ini akhirnya menghambat proses penegakan hukum terhadap seorang komandan dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban komando. Sebaliknya dalam Pasal 42 ayat 2 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tercantum kata secara pidana. Berdasarkan hal ini maka pertanggungjawaban atasan non militer terhadap pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh bawahannya terlihat malah justru lebih berat daripada pertanggungjawaban komandan militer. 2. Faktor penghambat Pasal 42 terhadap pertanggungjawaban komando menggunakan teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto mengenai penghambat penegakan hukum, yaitu adalah pertama, faktor hukumnya sendiri di dalam pertanggungjawaban komando faktor ini berupa faktor perangkat perundangan; kedua, faktor penegak hukum dan yang menjadi faktor penghambat pertanggungjawaban komando adalah faktor kebijakan pemerintah dan faktor parat dan penindakannya; ketiga, faktor sarana atau fasilitas, dalam pertanggungjawaban komando faktor ini berupa faktor komunikasi dan informasi; keempat, faktor masyarakat karena penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat; dan kelima, faktor kebudayaan yang didalam pertanggungjawaban komando berupa faktor kondisi sosial-budaya.

B. Saran

1. Diharapkan dalam penegakan hukum khususnya tindak pidana pelanggaran HAM berat, kepada pihak legislative untuk memperjelas penggunaan makna kata “dapat” dalam Pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000 yang sebenarnya didalam Pasal 28 huruf a Statuta Roma, kata “shall” bermakna “harus” agar tidak berdampak pada pengadilan yang pada akhirnya terpaksa menekankan fokus perhatiannya pada proses peradilan. 2. Diharapkan kepada penegak hukum, untuk sesegera mungkin menuntaskan berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan yang mana para pelakunya dapat dituntut berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando.