Kerangka Teoritis Dapat dipertanggungjawabkannya atas suatu perbuatan terhadap pelakunya; Dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya; Sifat melawan hukum.

legislatifnya, khususnya yang berkaitan dengan persoalan pertanggungjawaban komando dalam pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep–konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil–hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi–dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. Soerjono Soekanto, 1986: 125. Perbuatan yang telah memenuhi rumusan delik atau tindak pidana dalam undang- undang, belum tentu dapat dipidana karena harus dilihat dulu si orang pelaku tindak pidana tersebut. Orang yang dapat dituntut di muka pengadilan dan diminta pertanggungjawabannya haruslah melakukan tindak pidana dengan kesalahan. Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya dapat disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Didalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Tri Andrisman, 2007: 106. Unsur–unsur tindak pidana menurut Van Bemmelen adalah:

1. Dapat dipertanggungjawabkannya atas suatu perbuatan terhadap pelakunya;

2. Dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya;

3. Dapat dipersalahkan sesuatu tindakan kepada seseorang oleh perbuatannya;

4. Sifat melawan hukum.

Pertanggungjawaban pidana atas seseorang pelaku perlu mendapat perhatian karena didasarkan pemikiran bahwa suatu tindakan yang dilakukan pasti mempunyai hubungan yang erat dengan suasana hati atau batin seseorang saat melakukan tindak pidana. Dalam mengetahui hal tersebut dapat dilihat dari kesalahan pelaku berupa kesengajaan atau kelalaian yang memenuhi unsur dari kesalahan yaitu adanya kemampuan bertanggungjawab pada pelaku, yang berarti keadaan jiwa seseorang tersebut haruslah normal, jadi dalam keadaan normal tersebut tidak ada satu pun alasan yang dapat menghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf dalam suatu pertanggungjawaban pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP yaitu: “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana terhadap seseorang, kecuali apabila dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar- benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan”. Pertanggungjawaban komando command responsibility adalah bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap komandan militer, atasan polisi maupun atasan sipil lainnya atas tindak pidana pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia yang dilakukan anak buah atau bawahan yang berada dibawah komando atau kendali efektifnya. Pertanggungjawaban komando membutuhkan dan membuktikan adanya kesalahan pada diri komandanatasan. Kesalahan yang dimaksud di sini tentunya bukan mencerminkan sebuah kesengajaan, melainkan kelalaian. Oleh karena itu bentuk pertanggungjawaban komando merupakan pertangggungjawaban tidak langsung. Tanggung jawab komando digunakan untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan yang mana komandanatasan tidak memberikan perintah langsung untuk dilakukannya kejahatan oleh anak buahbawahannya, karena jika ternyata komandaatasan memberikan perintah sebagaimana yang dimaksud maka, komandanatasan tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan komando, melainkan harus bertanggung jawab langsung atas kesengajaan yang dilakukannya tersebut. Komandan memiliki pengendalian secara langsung dan penuh terhadap pengadilan umum maupun pengadilan militer. Dalam beberapa sistem militer, komandan tingkat atas dapat memerintahkan dilakukannya penyelidikan dan diadilinya pelaku, tetapi dalam sistem militer ini juga para pelaku berhak untuk mendapatkan pengadilan yang adil dan tidak memihak. Seorang komandan tidak dapat memerintahkan bahwa pelaku bersalah dan harus dihukum. Komandan harus memenuhi tanggung jawabnya untuk menjamin bahwa pelaku yang diduga melakukan tindak pidana diperiksa secara layak dan mendapatkan putusan pengadilan yang adil, untuk melakukan pengendalian terhadap tindakan bawahannya. Tanggung jawab komando menggunakan unsur-unsur, dimana komandan militer tersebut harus mengetahui atas situasi yang terjadi saat itu, sedangkan tanggung jawab atasan non militer sipil meliputi unsur-unsur kejahatan yang terjadi berkaitan dengan aktivitas yang berada di bawah tanggung jawab atasan tersebut dan dalam kendali efektifnya, sehingga dia sepatutnya mengetahui, atau atasan tersebut secara sengaja mengabaikan informasi yang menunjukkan bahwa kejahatan tertentu telah atau akan dilakukan. Berdasarkan definisi mengenai tanggung jawab komando di atas maka subyek yang harus bertanggung jawab adalah komandan militer. Tapi dalam praktek dan perkembangannya, prinsip tanggung jawab komando bukan hanya diberlakukan para komandan militer saja tetapi juga terhadap atasan atau penguasa sipil yang memiliki kewenangan untuk memberikan komando atau perintah kepada pejabat militer atau menggerakkan kekuatan militer. Berdasarkan hal tersebut maka muncullah istilah tanggung jawab atasan di samping tanggung jawab komandan. Selain itu, penerapan doktrin tanggung jawab komando dan tanggung jawab atasan tidak terbatas pada kejahatan yang terjadi di waktu perang belaka, tetapi mencakup kejahatan terhadap kemanusiaan dan hak asasi manusia yang universal yang terjadi baik di waktu perang maupun dimasa damai. Berdasarkan hal tersebut maka baik komandan militer maupun penguasa sipil dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas kejahatan perang danatau kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh bawahannya baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Kaitannya dengan istilah tanggung jawab atasan dan tanggung jawab komandan merupakan dua hal yang berbeda, dalam hal tanggung jawab atasan berkaitan dengan pemidanaan terhadap komandan apabila memerintahkan anak buahbawahan melakukan kejahatan perang. Sedangkan tanggung jawab komandan adalah dasar pemidanaan terhadap para komandanatasan apabila anak buahbawahan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya terlibat kejahatan pada waktu pelaksanan tugas. Teori yang digunakan dalam membahas faktor-faktor penghambat dalam penerapan Pasal 42 Undang-Undang Pengadilan HAM tentang pertanggungjawaban komandan atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan pasukan di bawah komandonya adalah teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto mengenai penghambat penegakan hukum, yaitu: 1. Faktor hukumnya sendiri. Terdapat beberapa asas dalam berlakunya undang-undang yang tujuannya adalah agar undang- undang tersebut mempunyai dampak positif. Artinya, agar undang-undang tersebut mencapai tujuannya secara efektif di dalam kehidupan masyarakat. 2. Faktor penegak hukum. Penegak hukum mempunyai kedudukan status dan peranan role. Seorang yang mempunyai kedudukan tertentu lazimnya dinamakan pemegang peranan role occupant. Suatu hak sebenarnya wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. 3. Faktor sarana atau fasilitas. Penegakan hukum tidak mungkin berlangsung lancar tanpa adanya faktor sarana atau fasilitas. Sarana dan fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seharusnya. 4. Faktor masyarakat. Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. 5. Faktor kebudayaan Kebudayaan sistem hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik sehingga dianut dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari Soerjono Soekanto, 1983: 34-35, 40.

2. Konseptual