Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia HAM

Kasus Pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM)

Disusun oleh:
-

Annisaa Hadi
Diasrani K.
Lulu Zakia Q.
Nadira Kalisya A.
Nisrina Nada S. W.
Zalya L.

XI MIA 3
24/07/14
PKn
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Segala puji bagi Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana yang telah
member petunjuk agama yang lurus kepada hamba-Nya dan hanya kepada-Nya. Salawat serta

salam semoga tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW yang membimbing umatnya degan
suri tauladan-Nya yang baik .
Syukur kehadiran Allah SWT yang telah memberikan anugrah, kesempatan, dan
pemikiran kepada kami untuk dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini merupakan
pengetahuan tentang KASUS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA, semua ini
dirangkup dalam makalah ini, agar pemahaman terhadap permasalahan lebih mudah
dipahami dan lebih singkat dan akurat.
Sistematika makalah ini dimulai dari pengantar yang merupakan apersepsi atas materi
yang telah dan akan dibahas dalam bab tersebut. Selanjutnya, Pembaca akan masuk pada inti
pembahasaan dan diakhiri dengan kesimpulan dan saran untuk makalah ini. Diharapkan
pembaca dapat mengkaji berbagai permasalahan tentang PELANGGARAN KASUS HAK
ASASI MANUSIA.
Akhirnya, kami Tim Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu proses pembuatan makalah ini.
Tim Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih belum semmpurna untuk menjadi
lebuh sempurna lagi Tim Penyusun membutuhkan kritik dan saran dari pihak lain untuk
membagikannya kepada Tim Penyusun demi memperbaiki kekurangan pada makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaaat bagi Anda semua.
Terima kasih.


Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Tim Penyusun
Jakarta, 24/07/2014

Bab I
PENDAHULUAN
Makalah ini meliputi:
 Kata Pengantar
 Daftar Isi
 Bab I Pendahuluan
 Bab II Contoh kasus
 Bab III Penutup
 Daftar Pustaka

Hak asasi Manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam
kandungan. HAM berlaku secara universal. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi
kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam
UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal
30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1


Dalam teori perjanjian bernegara, adanya Pactum Unionis dan Pactum Subjectionis.
Pactum Unionis adalah perjanjian antara individu-individu atau kelompok-kelompok
masyarakat membentuik suatu negara, sedangkan pactum unionis adalah perjanjian antara
warga negara dengan penguasa yang dipiliah di antara warga negara tersebut (Pactum
Unionis). Thomas Hobbes mengakui adanya Pactum Subjectionis saja. John Lock mengakui
adanya Pactum Unionis dan Pactum Subjectionis dan JJ Roessaeu mengakui adanya Pactum
Unionis. Ke-tiga paham ini berpenbdapat demikian. Namun pada intinya teori perjanjian ini
meng-amanahkan adanya perlindungan Hak Asasi Warga Negara yang harus dijamin oleh
penguasa, bentuk jaminan itu mustilah tertuang dalam konstitusi (Perjanjian Bernegara).

Dalam kaitannya dengan itu, maka HAM yang kita kenal sekarang adalah sesuatu yang
sangat berbeda dengan yang hak-hak yang sebelumnya termuat, misal, dalam Deklarasi
Kemerdekaan Amerika atau Deklarasi Perancis. HAM yang dirujuk sekarang adalah
seperangkat hak yang dikembangkan oleh PBB sejak berakhirnya perang dunia II yang tidak
mengenal berbagai batasan-batasan kenegaraan. Sebagai konsekuensinya, negara-negara

tidak bisa berkelit untuk tidak melindungi HAM yang bukan warga negaranya. Dengan kata
lain, selama menyangkut persoalan HAM setiap negara, tanpa kecuali, pada tataran tertentu
memiliki tanggung jawab, utamanya terkait pemenuhan HAM pribadi-pribadi yang ada di
dalam jurisdiksinya, termasuk orang asing sekalipun. Oleh karenanya, pada tataran tertentu,

akan menjadi sangat salah untuk mengidentikan atau menyamakan antara HAM dengan hakhak yang dimiliki warga negara. HAM dimiliki oleh siapa saja, sepanjang ia bisa disebut
sebagai manusia.

Alasan di atas pula yang menyebabkan HAM bagian integral dari kajian dalam disiplin
ilmu hukum internasional. Oleh karenannya bukan sesuatu yang kontroversial bila komunitas
internasional memiliki kepedulian serius dan nyata terhadap isu HAM di tingkat domestik.
Malahan, peran komunitas internasional sangat pokok dalam perlindungan HAM karena sifat
dan watak HAM itu sendiri yang merupakan mekanisme pertahanan dan perlindungan
individu terhadap kekuasaan negara yang sangat rentan untuk disalahgunakan, sebagaimana
telah sering dibuktikan sejarah umat manusia sendiri. Contoh pelanggaran HAM:
1.Penindasan dan merampas hak rakyat dan oposisi dengan sewenang-wenang.
2.Menghambat dan membatasi kebebasan pers, pendapat dan berkumpul bagi hak
rakyat dan oposisi.
3.Hukum (aturan dan/atau UU) diperlakukan tidak adil dan tidak manusiawi.
4.Manipulatif dan membuat aturan pemilu sesuai dengan keinginan penguasa dan
partai tiran/otoriter tanpa diikut/dihadir rakyat dan oposisi.
5.Penegak hukum dan/atau petugas keamanan melakukan kekerasan/anarkis terhadap
rakyat dan oposisi di manapun.

PELANGGARAN HAM

Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan atau tindakan individu atau sekelompok orang,
termasuk aparat negara, baik disengaja mapun tidak disengaja, atau karena kelalaian yang
secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan/atau mencabut HAM individu atau
sekelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang dan tidak didapatkan atau
dikahawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku. Dengan demikian, pelanggaran HAM merupakan tindakan
pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau
institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan
alasan rasional yang menjadi pijakannya.
Pelanggaran HAM dikelompokkan dalam dua bentuk, yaitu pelanggaran HAM berat dan
pelanggaran HAM ringan.

Pelanggaran HAM berat terbagi atas dua, yaitu:
Kejahatan genosida
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok
etnis, dan kelompok agama. Kejahatan genosida dilakukan dengan cara membunuh anggota
kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan

mencegah kelahiran di dalam kelompok dan memindahkan secara paksa anak-anak dari
kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan kemanusiaan
Kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari
serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan,
pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau
perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas)
ketentuan pokok hukum internasional, penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran
secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentukbentuk kekerasan seksual lain yang setara, penganiayaan terhadap satu kelompok tertentu
atau perkumpulan yang didasarkan pada persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal
yang dilarang menurut hukum internasional, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan
apartheid.
Pelanggaran HAM ringan
Pelanggaran HAM ringan merupakan pelanggaran HAM selain genosida dan kejahatan
kemanusiaan. Dalam konteks ini, pembunuhan, pemerkosaan secara individual maupun
berkelompok, penipuan, perampokan, penyiksaan fisik dan/atau psikologis seseorang,
intimidasi, pengekangan terhadap kebebasan seseorang, dan bentuk pelanggaran lainnya.
1. Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :

1.
Pemukulan
2.

Penganiayaan

3.

Pencemaran nama baik

4.

Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya

5.

Menghilangkan nyawa orang lain

2. Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :


1.

Pembunuhan masal (genisida)

2.

Pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan

3.

Penyiksaan

4.

Penghilangan orang secara paksa

5.

Perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis


Berikut adalah beberapa contoh kasus HAM ringan.
Contoh kasus pelanggaran HAM dilingkungan keluarga antara lain:
1.
Orang tua yang memaksakan keinginannya kepada anaknya (tentang masuk sekolah,
memilih pekerjaan, dipaksa untuk bekerja, memilih jodoh).
2.

Orang tua menyiksa/menganiaya/membunuh anaknya sendiri.

3.

Anak melawan/menganiaya/membunuh saudaranya atau orang tuanya sendiri.

4.
Majikan dan atau anggota keluarga memperlakukan pembantunya sewenang-wenang
dirumah.
Contoh kasus pelanggaran HAM di sekolah antara lain :
1.
Guru membeda-bedakan siswanya di sekolah (berdasarkan kepintaran, kekayaan, atau
perilakunya).

2.
Guru memberikan sanksi atau hukuman kepada siswanya secara fisik (dijewer,
dicubit, ditendang, disetrap di depan kelas atau dijemur di tengah lapangan).
3.

Siswa mengejek/menghina siswa yang lain.

4.

Siswa memalak atau menganiaya siswa yang lain.

5.
Siswa melakukan tawuran pelajar dengan teman sekolahnya ataupun dengan siswa
dari sekolah yang lain.
Contoh kasus pelanggaran HAM di masyarakat antara lain :
1.
Pertikaian antarkelompok/antargeng, atau antarsuku(konflik sosial).
2.
Perbuatan main hakim sendiri terhadap seorang pencuri atau anggota masyarakat yang
tertangkap basah melakukan perbuatan asusila.

3.
ada.

Merusak sarana/fasilitas umum karena kecewa atau tidak puas dengan kebijakan yang

BAB II
CONTOH KASUS
PELANGGARAN HAM RINGAN
1. KASUS PENCEMARAN NAMA BAIK
Kasus ini terjadi pada seorang ibu rumah
tangga bernama Prita Mulyasari, mantan pasien
Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra
Tangerang. Saat dirawat Prita Mulyasari tidak
mendapatkan kesembuhan, malah penyakitnya
bertambah parah. Pihak rumah sakit tidak
memberikan keterangan yang pasti mengenai
penyakit serta rekam medis yang diperlukan pasien.
Kemudian Prita Mulyasari Vila - warga Melati Mas
Residence Serpong ini - mengeluhkan pelayanan
rumah sakit tersebut lewat surat elektronik yang kemudian menyebar ke berbagai mailing list
di dunia maya.
Akibatnya, pihak Rumah Sakit Omni Internasional marah, dan merasa dicemarkan.
Lalu RS Omni International mengadukan Prita Mulyasari secara pidana. Sebelumnya Prita
Mulyasari sudah diputus bersalah dalam pengadilan perdata. Kejaksaan Negeri Tangerang
telah menahan Prita Mulyasari di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang sejak 13 Mei
2009 karena dijerat pasal pencemaran nama baik dengan menggunakan Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Banyak pihak yang menyayangkan
penahanan Prita Mulyasari yang dijerat pasal 27 ayat 3 Undang-Undang nomor 11 tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), karena akan mengancam
kebebasan berekspresi. Pasal ini menyebutkan : "
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik."
Beberapa aliansi menilai bahwa rumusan pasal tersebut sangatlah lentur dan bersifat
multi intrepretasi. Menurut Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Nur Kholis,
dalam kasus ini terdapat adanya indikasi pelanggaran HAM dimana terdapat pihak yang
menghalangi hak kebebasan seseorang untuk menyampaikan pendapat. Kasus ini juga akan
membawa dampak buruk dan membuat masyarakat takut menyampaikan pendapat atau
komentarnya di ranah dunia maya. Pasal 27 ayat 3 ini memiliki sanksi denda hingga Rp. 1
miliar dan penjara hingga enam tahun.



Tanggapan :

Menurut kami, kasus di atas merupakan salah satu contoh kasus pelanggaran HAM
yang bersifat ringan dimana tidak terdapat korban jiwa atau tindak kekerasan yang
berlebihan.
Kasus diatas dikategorikan sebagai kasus pelanggaran HAM, diakibatkan adanya
pelanggaran terhadap pasal 27 ayat 3 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang berbunyi : "
Setiap orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik." Pasal ini dilanggar oleh Prita
Mulyasari yang dianggap mencemarkan nama baik RS Omni Internasional di dunia maya.
Namun, menurut pendapat kami bahwa sebenarnya yang menjadi korban pelanggaran
HAM tersebut adalah Prita Mulyasari, dimana adanya pihak yang menghalangi hak
kebebasan dirinya untuk menyampaikan pendapat di dunia maya. Menurut kami, untuk kasus
seperti itu, terlalu berlebihan jika hanya karena menulis surat elektronik harus mendapat
hukuman 6 tahun penjara.

2.

KASUS SMAN 3 JAKARTA

Arfiand Caesar Al Irhami (16) meninggal dunia di RS MMC pada tanggal 20 Juni
2014, Jumat siang. Diduga remaja yang baru duduk di kelas 1 SMA 3 Setiabudi, Jakarta ini
mengalami kekerasan dari seniornya. Pada Jumat pukul 11.00 WIB, Alfian menghembuskan
nafas terakhirnya di ruang ICU. Dia sebelumnya mengikuti eskul pecinta alam di sekolah itu.
Kasat Reskrim Polres Jaksel Kompol Indra Fadilah Siregar meyatakan Arfiand pulang
diantar orangtuanya dari acara pelantikan eskul pecinta alam Sabawana selama selapan hari.
Ketika diperiksa, badannya penuh luka lebam biru dan muka bonyok. Neneng menuturkan,
ketika dilakukan pemeriksaan ada indikasi usus korban bocor karena keluar cairan warna
hijau dan hidung mengeluarkan darah. Dirinya tak habis pikir dan bertanya-tanya, apa yang
dilakukan dalam ekstrakulikuler tersebut hingga ACA harus menerima perlakukan seperti itu.
“Saat dilakukan catheter, keluar cairan hijau dan saat hidungnya dimasukkan selang
langsung keluar darah. Rencananya, ACA akan dioperasi pada pukul 12.00 WIB tadi namun
jam 11.00 WIB, ACA sudah meninggal,” jelas dia. Terkait kejadian tersebut, lanjut Neneng,
keluarga ACA tak menuduh tetapi menuntut penjelasan dari pihak sekolah soal kejadian
tersebut.
Misteri penyebab kematian Afriand Caesary Alirhami, siswa SMA Negeri 3 Jakarta
menemui titik terang dimana hasil visum polisi menyatakan kematian korban akibat pukulan
benda tumpul. Hingga kini, polisi masih menunggu hasil visum korban seluruhnya guna
proses penyelidikan selanjutnya terkait dugaan adanya aksi penganiayaan terhadap korban.

Polisi sudah memeriksa 30 saksi terkait kasus dugaan tindak kekerasan yang
menewaskan seorang siswa SMAN 3 Setiabudi Jakarta Selatan, Arfiand Caesar Al Irhami
(16). Polisi mengatakan, dari keterangan 30 saksi yang terdiri atas siswa, guru, dan orangtua
murid, semua mengarah kepada senior di Sabhawana. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat
Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto mengatakan jika visum sudah keluar, maka kasus ini
akan semakin jelas. Rikwanto mengatakan, menurut para saksi, penganiayaan dilakukan di
luar rencana kegiatan. Sementara itu, pelaku penganiayaan lebih dari dua orang.
Penyidik Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jaksel menetapkan 5 siswa SMA 3
Setiabudi sebagai tersangka dalam kasus tewasnya Afrian, siswa kelas 1 SMA 3 dalam
kegiatan pecinta alam di Tangkuban Perahu, Bandung beberapa waktu lalu. Kelimanya
diduga kuat melakukan penganiayaan terhadap korban. Kelimanya berinisial DW, TM, AM,
KR dan PU, murid Kelas II SMA 3 Setiabudi. Dari kelima tersangka, 4 pria dan 1 wanita.
“Mereka berperan sebagai pembina siswa yang melakukan kegiatan pecinta alam.
Panggilan pemeriksaan kelimanya hari ini jam 10,” imbuhnya. Rikwanto menambahkan,
penetapan status tersangka terhadap kelimanya itu dilakukan setelah penyidik Polres Jaksel
melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi. Polisi juga melakukan rekonstruksi mini di
TKP, yang diperankan oleh pemeran pengganti oleh siswa yang ikut dalam kegiatan tersebut.
 Tanggapan:
Sebagai siswa yang sedang mengikuti kegiatan pelantikan untuk menjadi anggota
pecinta alam dan ternyata malah dianiaya oleh para seniornya adalah sebuah tindakan yang
melanggar HAM karena meliputi pemukulan dan penganiayaan hingga menghilangkan
nyawa walaupun tujuannya belum sampai ke tahap ini. Terlebih lagi yang menganiaya anak
tersebut bukan hanya satu lawan satu melainkan lima lawan satu dan mereka tidak boleh
membiarkan anak tersebut melawannya maka hal ini sudah termasuk bulliying. Sebenarnya
para penganiaya ini tidak boleh memanfaatkan kesempatan ini sebagai tindakan senioritas
terhadap para junior. Tujuan dari pemukulan ini pun juga tidak jelas. Jadi mengapa harus
melakukan tindakan penganiayaan seperti ini jika tidak ada untungnya justru malah
merugikan satu pihak. Sudah jelas pelaku harus dikenakan hukuman sesuai undang-undang
yang ada. Selain itu dari kejadian ini terlihat bahwa kurangnya perhatian dan tanggung jawab
panitia terhadap acara ini sampai kasus seperti ini terjadi. Sangat menyedihkan melihat
kelakuan senioritas siswa Indonesia zaman sekarang karena itu tidak bermutu dan tidak
berpendidikan yang ada malah merusak. Siswa perlu diberi hukuman dan penyuluhan yang
lebih keras lagi.
3. “DILARANGNYA MENGGUNAKAN
JILBAB DI NEGARA INI”
Pada awal dekade 1990-an, Menteri Dalam Negeri
Perancis memerintahkan pelarangan penggunaan pakaian

Islami oleh para pelajar muslimah di sekolah-sekolah Perancis. Ketika itu, program anti jilbab hanya
dilakukan dalam bentuk surat perintah kepada kepala-kepala sekolah dan keputusan akhir terletak
pada kepala sekolah tersebut. Dengan cara ini, ada kemungkinan kepala sekolah tetap mengizinkan
pelajar muslimah untuk tetap melanjutkan pelajaran mereka dengan mengenakan jilbab. Akibat
kebijakan itu, pelajar muslimah di Perancis sampai diusir dari sekolahnya karena berjilbab. Terdapat
juga pelajar yang diusir karena tidak mau melepaskan jilbab dan menggunakan celana pendek ketika
berolahraga. Alasan yang digunakan adalah karena olahraga mengharuskan memakai pakaian yang
membuat leluasa dalam bergerak.
Peristiwa pengusiran siswa tersebut akhirnya memicu gelombang demonstrasi yang besarbesaran dari umat Islam di Prancis untuk menuntut kebebasan. Akhirnya, pemerintah mengeluarkan
kebijaksanaan pada 2 November 1992 yang memperbolehkan para siswi muslimah untuk mengenakan
jilbab di sekolah-sekolah negeri.
Meski demikian, bukan berarti gerakan anti jilbab berakhir. Pada akhir tahun 2002, seorang
pekerja wanita muslim bernama Dalila Tahiri, dipecat perusahaan tempatnya bekerja lantaran
menolak menanggalkan jilbab yang dikenakannya saat bekerja. Padahal dirinya telah bekerja ditempat
tersebut selama 8 tahun. Selama itu pula jilbab yang dikenakannya tidak menimbulkan masalah
apapun, baik dalam kualitas pekerjaannya ataupun hubungan baiknya dengan sesama pekerja.
Kebijakan yang secara tiba-tiba diterapkan oleh perusahannya itu dipicu oleh tragedi 11 September
yang mengguncang Amerika Serikat tahun 2001. Tidak hanya itu, bahkan seorang anggota tim juri
pengadilan kota Bubini, Paris, telah dipecat dari pekerjaannya atas perintah Jaksa Agung Perancis
hanya karena muslimah tersebut mengenakan jilbab.
Di tahun 2004, Pemerintah Perancis yang melakukan tindakan yang lebih mengejutkan.
Presiden dan Perdana Menterinya, Jacques Chirac dan Jean-Pierre Raffarin, berusaha melancarkan
serangan terhadap jilbab dan simbol-simbol keagamaan seperti salib dan topi Yahudi dengan
menggunakan undang-undang yang melarang pemakaian simbol-simbol keagamaan di sekolah dan di
kampus. Undang-undang ini dikeluarkan dengan alasan menjaga kesekuleran Perancis. UndangUndamg ini disahkan pada 10 Februari 2004 dengan disetujui 494 anggota parlemen dan ditolak oleh
39 anggota parlemen. Kebijakan Perancis ini mendapat kecaman luas dari dunia Internasional.
Sungguh ini lebih terlihat sebagai upaya rasisme daripada memurnikan sekularisme.
Undang-undang ini ternyata tidak main-main sebab tersedia hukuman yang diterima bagi
wanita yang tetap memaksa memakai burqa (jilbab), yaitu didenda 150 euro atau wajib berpartisipasi
dalam pelajaran kewarganegaraan. Sementara orang
yang memaksa seorang wanita untuk menutup
wajahnya dihukum selama satu tahun penjara dan
denda 30.000 euro. Namun, undang-undang ini tidak
diberlakukan untuk menutup wajah dalam kegiatan
festival dan acara seni.
Wanita muslimah yang memakai burqa di
Perancis jumlahnya hanya sekitar 2.000 orang.
 Tanggapan:
Menurut saya, Sungguh hal yang sangat aneh bahwa peraturan selevel undang-undang hanya
digunakan untuk mengatur atau mengendalikan suatu kelompok minoritas yang jumlahnya pun kecil.
Seakan-akan terlihat bahwa pemerintah Perancis merasa ketakutan dengan hanya 2.000 orang muslim

yang menggunakan burqa. Padahal mereka juga bukan kelompok berbahaya yang mengancam
eksistensi Perancis maupun stabilitas keamanan Perancis. Mereka bukanlah teroris, pengedar narkoba,
maupun kelompok propagandais, mereka hanya orang yang setia menjalankan apa yang diyakininya
benar, nyaman, dan bermanfaat bagi dirinya.

PELANGGARAN HAM BERAT
1. KASUS STPDN
Belum usai pilu peristiwa kekerasan hingga berujung kematian di Sekolah Tinggi Ilmu
Pelayaran, pendidikan pemerintah kembali tercoreng akibat sistem liar senioritas.
Lima Praja putri Institute Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) harus dilarikan ke rumah sakit,
setelah mengikuti kegiatan civitas yang berujung adu jotos antara senior dan junior.
Setelah menjalani pemeriksaan kesehatan di rumah sakit, kelimanya dipastikan terkena cairan
asam, dua di antaranya positif menderita pengelupasan epitel kornea mata. Namun anehnya,
pihak
kampus
membantah
semua
hasil
pemeriksaan
rumah
sakit.
Berikut lima kisah di balik kekerasan Praja IPDN disiram air keras:
1. Cekcok berujung penyiraman air keras
Kejadian mengerikan tersebut bermula dari kegiatan para civitas akademika IPDN ke
Gunung Manglayang, Cileunyi, Kabupaten Bandung, pada Minggu 27 April lalu sore.
Kegiatan itu diikuti sejumlah praja wanita tingkat II dan III. Di sana lah cek-cok terjadi
hingga menyebabkan adanya dugaan adu jotos. Senior menyiramkan cairan keras kepada
lima
junior.
Kelimanya adalah Mutia Pratama, Indira Afriani, Nurul Riza, Dian Purna Sari dan Fungki
Sandi praja wanita tingkat II. Kepolisian Jatinangor mengakui pihak kampus terkesan
menutup-nutupi kasus tersebut.
2. Hasil pemeriksaan RS membuktikan kebenaran
Dokter Spesialis Infeksi Imunologi RS Mata Cicendo Susi Heryati membenarkan menangani
lima
praja
IPDN
terkena
cairan
asam.
"Ya benar ada (pasien), mereka terkena cairan asam, kita tidak tahu lebih jelas tetapi ada
trauma,"
katanya
di
RS
Cicendo
Bandung,
Selasa
(29/4).
Untung kelimanya masih bisa ditangani. "Ya untung asam, bukan basa," ujarnya.

Dua dari lima korban mengalami luka di mata berupa pengelupasan epitel kornea. Selebihnya
mengalami iritasi di permukaan mata.

3. IPDN bantah hasil pemeriksaan RS Mata Cicendo
IPDN membantah hasil pemeriksaan lima praja oleh RS Mata Cicendo. IPDN bersikeras
bahwa kelimanya hanya kecipratan tanah liat, bukan terkena air keras.
"Minggu itu kan hujan suasana becek. Terciprat itu mata kena iritasi dari tanah liat. Dan
itulah yang kemudian kami bawa ke klinik (kampus) lalu ke rumah sakit AMC dan kemudian
ke Rumah Sakit Cicendo untuk dibersihkan," kata Kepala Biro Kemahasiswaan Bernhard.
Dia berdalih para prajanya tidak mungkin membawa air keras untuk kegiatan tersebut.
4. IPDN terkesan menutupi kasus
Selain membantah lima praja terkena siraman air keras, IPDN juga terkesan menutupi kasus
tersebut. Hal itu diakui Kapolsek Jatinangor Kompol Roedy de Vries.
Data yang diterima Kepolisian sangat minim. Sehingga pihaknya akan mencari informasi lain
untuk mengungkap kebenaran kasus itu.
5. Polisi dalami kasus penyiraman air keras
Polsek Jatinangor Sumedang akan mengusut adanya dugaan penyiraman air asam terhadap
lima
praja
putri
tingkat
II
IPDN.
"Dari reserse memang ada informasi yang masuk. Enggak tahu baku hantam atau siramsiraman, tapi (korban) sempat periksa mata di Rumah Sakit Mata Cicendo," kata Kapolsek
Jatinango.
Bukti kasus IPDN / STPDN:
Penasaran dengan kehidupan para praja di balik tembok Sekolah Tinggi Pemerintah Dalam
Negeri (STPDN)? Bacalah novel berjudul ‘Sang Abdi Praja’ ini. Ceritanya ditulis sang
pengarang, Jose Rizal, berdasarkan kisahnya sendiri. Jose ini lulusan STPDN yang kini
mencalonkan diri jadi Wakil Walikota Pariaman, Sumbar.
Sejak lama cerita tentang kehidupan para praja STPDN memang mengundang penasaran.
Apalagi di sana sering terjadi kekerasan antar praja. Tak satu dua yang meninggal lantaran

dipukuli, ditendang oleh sesama praja lainnya. Dilihat dari pemberitaan tentang kekerasan,
kesannya kampus itu seperti sarang mafia saja.
Pada buku ini, Jose memaparkan semuanya. Bahwa sesungguhnya, pada masa ia menjadi
praja di sana (mulai 1995) kekerasan memang membudaya. Ibaratnya warisan turun temurun
yang tak bisa diputus.
Dari keseluruhan kisah di novel ini, Jose begitu berani memaparkan detail ‘pembinaan’ yang
dilakukan dengan kekerasan fisik di kampus itu. Membacanya mungkin akan membuat
pembaca miris. Di sana, tulis Jose, salam antara senior dan junior saja diganti dengan kepalan
tinju ke ulu hati. Himbauan jangan mengantuk diganti dengan tamparan bertubi-tubi di kedua
pipi.
Itu hanya beberapa ‘pembinaan’ ringan yang bersifat rutin saja. Ada pula yang lebih ‘keras’
daripada itu. Misalnya berguling bolak balik di rumput berlumpur sambil ditendang atau
digebuki ramai-ramai oleh para senior. Intinya, tendangan dan pukulan menjadi makanan
sehari-hari praja di sana. Kecuali untuk praja putri.
Pada novel ini, diceritakan anak minang asli Pariaman, Abdi Praja berjuang masuk menjadi
praja STPDN. Kiranya bukan hanya sekedar untuk masuk saja yang susah. Keseharian di
STPDN sangat berat, keras. Abdi sering dipukuli, ditendang.
Ada pula Bernie dari Merauke dan Abdul Rohman dari Solo. Mereka punya cita-cita sama,
ingin menjadi pegawai negeri. Demi meraih cita-cita, mereka pun menempuh pendidikan di
STPDN. Nasib mereka sama saja. Acap dipukuli, ditendang. Di sana memang tak ada yang
lolos dari hukum ‘kekerasan’ dari para senior.
Di bawah kerasnya binaan pendidik dan senior, persahabatan para praja ini pun terjalin.
Banyak kegiatan baru yang ditemui para siswa di sana, seperti ‘tepuk nyamuk’, ‘cuci muka
ala STPDN’, dan ‘tebe’em’. Bingung dengan istilah-istilah itu? Tenang saja. Di dalam novel,
Jose telah membuat halaman khusus sebagai kamus istilah. Istilah-istilah aneh itu sebutan
yang dipakai para praja untuk mengidentifikasi jenis kekerasan di STPDN. Seperti tepuk
nyamuk misalnya, itu adalah jenis tamparan keras ke pipi.
 TANGGAPAN:
Dari kilasan di atas, kasus kekerasan pada STPDN atau yang sekarang sudah berganti nama
menjadi IPDN termasuk kasus pelanggaran HAM berat. Jenis pelanggaran HAM berat adalah
genosida, pembunuhan massal dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Menurut berbagai
sumber, kasus STPDN ini sudah memenuhi indikasi adanya kejahatan kemanusiaan yang
dilakukan secara sistematis dan luas, entah dari para guru ataupun senior ke junior. Kasus ini
berpotensi mempengaruhi keanggotan RI di Dewan HAM PBB.
Jika di rinci, secara garis besar, kasus kekerasan di STPDN ini sudah melanggar hampir
semua undang-undang di Indonesia mengenai HAM, yaitu:

1. UU NO 39 TAHUN 1999 Pasal 1 Ayat 4:
Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga
menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada
seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang
ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah
dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau
orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi,
apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan
persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik.
 Terbukti bahwa murid-murid STPDN di siksa dengan keji yaitu disiram air keras,
cairan asam atau bahkan dipukuli hingga tewas
2. UU NO 39 TAHUN 1999 Pasal 12
Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk
memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar
menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan
sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.
 Terbukti bahwa korban-korban STPDN tidak memperoleh pendidikan yang baik,
karena mereka bukannya diberi kecerdasan melainkan disiksa habis-habisan.
3. UU NO 39 TAHUN 1999 PASAL 30
Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
 Bagaima tentram jika setiap hari senior, alumni, bahkan guru pun melakukan ritualritual kekerasan yang dianggap sudah menja tradisi, namun dapat merenggut nyawa?
4. UU NO 39 TAHUN 1999 PASAL 33
(1) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang
kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.
 Jelas undang-undang ini dilanggar, karena kekerasan merupakan makanan sehari-hari
siswa/I STPDN. Penghilangan nyawa, sudah menjadi tradisi karena kekerasan yang
bertubi-tubi di STPDN

2. KASUS TRAGEDI TRISAKTI

Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial
Asia. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR,
termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.
Seorang mahasiswi tergeletak di jalan setelah pecah bentrokan antara petugas
keamanan
dan
para
mahasiswa
Universitas
Trisakti
dalam
unjuk
keprihatinan
di
depan
Kampus Universitas Trisakti,
Jakarta, Selasa (12/5/1998)
petang]] Tragedi Trisakti
adalah
peristiwa
penembakan, pada 12 Mei
1998, terhadap mahasiswa
pada
saat
demonstrasi
menuntut Soeharto turun dari jabatannya.
Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju gedung DPR/MPR pada
pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri–militer datang kemudian.
Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.
Akhirnya, pada pukul 17.15 para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak
majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah
mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di
universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun
berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras.
Satuan pengamanan yang berada dilokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil
Kepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara
Kostrad,
Batalyon
Infanteri
202,
Pasukan
Anti
Huru
Hara
Kodam seta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Styer, dan
SS-1.
Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang
dalam keadaan kritis serta puluhan lainnya luka.
Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan
Hendriawan Sie. Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempattempat vital seperti kepala, leher, dan dada.

Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil
otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam.
Inilah sekilas dari apa yang telah terjadi 12 Mei 1998 di Jakarta yang mewakili apa
yang terjadi di Indonesia.
 TANGGAPAN
Tragedi Trisakti sangat terkenal, disini para mahasiswa menjadi korban akan rezim
Soeharto. Dalam penertiban aksi unjuk rasa ini ternyata para aparat keamanan tidak
melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Penemuan 4 mayat sebagai korban aksi ini
memecah emosi mahasiswa dan masyarakat. Aparat keamanan melanggar hak asasi dari para
mahasiswa.
Pelanggaran hak asasi yang tejadi yaitu para pemerintah dan para aparat keamanan
merebut hak mereka untuk beraspirasi, menyuarakan pendapat mereka. Para mahasiswa itu
menuntut agar Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Presiden RI, turun dari jabatannya.
Mengapa? Ternyata Soeharto menjalankan pemerintahannya secara diktator, hak-hak
masyarakat tidak diakui, krisis moneter yang menjadi akibat dari perbuatannya, dan masih
banyak keburukan ain dari pemerintahannya.
Yang kedua adalah hak keempat mahasiswa untuk memperoleh pendidikan yang layak
juga telah diambil bersama dengan hak hidup mereka. Suatu kekejian yang dilakukan oleh
pemrintah melalui aparat keamanan yang ada saat itu.
Mahasiswa yang saat itu hanya ingin menyuarakan aspirasi mereka akan apa yang
terjadi di negara mereka dan menyampaikan apa yang menjadi keinginan mereka dan bangsa
Indonesia ternyata harus mendapat tindakan “penertiban” dari aparat keamanan. Kekerasan
yang terjadi menjadi suatu keprihatinan bangsa, kekecewaan rakyat terhadap respon dan
tindakan pemerintah. Katanya Indonesia adalah Negara yang adil dan merdeka, namun apa
yang terjadi? Saatgenerasi mudanya ingin mengkritisi negaranya sendiri ternyata mereka
dicegah, dipukul, disiksa, kampus mereka dilempari gas air mata, peluru karet ditembakkan,
dan tewasnya emapt generasi muda bangsa.
Saat kejadian itu usai, para pejabat dan komnas HAM mengunjungi para korban dan
mengatakan akan mengusut kasus ini. Namun ternyata sampai detik ini tidak ada langkah
tegas yang diambil pemerintah. Tidak mungkin peperintah melupakan kejadian ini apalagi
selalu diperingati tiap tahunnya.
Bagaimana mengatasi kasus pelanggaran HAM pada kasus Trisakti ini?
Pertama, pemerintah melalui Komnas HAM, harus menyelidiki dengan seksama apa
yang terjadi saat itu, siapa yang menembaki mahasiswa itu dan mengapa mereka harus
ditembaki. Komnas HAM harus segera menuntaskannya agar kepercayaan bangsa Indonesia

terhadap pemerintahnya tidak hilang akibat janji-janji kosong mengenai tindakan lanjut dari
tragedi di Trisakti.
Kedua, tidak hanya Komnas HAM, pemerintah pun harus mendukung penyelesaian
kasus ini, yaitu dengan mendukung Komnas HAM dalam investigasi dengan menyediakan
sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam investigasi. Parapejabat tinggi militer pun harus
mendisiplinkan mereka yang saat itu bertugas “menjaga ketertiban massa”, karena ternyata
mereka membunuh empat mahasiswa dengan peluru bermesiu, bukan peluru karet. Dan suatu
hal yang tidak biasa menertibkan massa dengan peluru karet.
Saat penyelidikan usai, giliran lembaga yudikatif kita untuk mengadili dengan adil tiap
mereka yang bertanggung jawab akan aksi kekerasan dan penembakan yang terjadi. Jangan
sampai keputusan yang diambil tidak sebanding denagn perbuatan mereka.
Bila ternyata Komnas HAM dan pemerintah ternyata tidak sanggup melakukan
penegakan HAM di Indonesia, masyarakat kita harus meminta lembaga yang lebih tinggi
lagi, yaitu PBB, untuk mengambil alih kasus ini sebelum kasus ini kadaluarsa dan ditutup
sehingga mengecewakan masyarakat Indonesia.
Yang terakhir yang dapat saya uraikan agar menjadi suatu cara untuk mengatasi
terulangnya kejadian ini adalah pembenahan akan jiwa pemerintah agar menghargai hak-hak
asasi dari warga Indonesia, melalui mengusahakn secara maksimal agar hak mereka untuk
hidup dijunjung tinggi, begitu pula hak asasi lain seperti hak mereka untuk memperoleh
penghidupan yang layak, perekonomian yang baik, kebebasab individu diakui sesuai nilai
Pancasila yangberkembang dalam masyarakat. Maka pemerintah Indonesia harus
memperbaiki hidup bangsa ini.
3. PUNYA DIAS

BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
 Dalam realita kehidupan bangsa ini, masih banyak terjadi pelanggaran HAM, baik
dilakukan oleh warga negara terhadap warga negara ataupun negara terhadap warga
negaranya sendiri. Dapat dicontohkan seperti peristiwa pembunuhan, penganiayaan,
pemerkosaan, penculiakan dan tindak diskriminatif serta pemaksaan kehendak dari yang kuat
terhadap pihak yang tidak berdaya.
2. SARAN
 Jadi janganlah jikalau hanya masalah kecil itu di besar-besarkan hingga terjadi
kericuhan yang dapat merugikan dan membunuh orang banyak.
 Hindarilah perbuatan main hakim sendiri tanpa mencarii tahu sebab dan akibat dari
perbuatannya.
 Dan mari bersama kita bangun Indonesia sebagai negri yang aman, negeri yang adil
dan negeri yang sentosa.

DAFTAR PUSTAKA
http://makalahpknkasuspelanggaranham.blogspot.com/
Buku Kerja Siswa Pendidikan Kewarganegaraan, SMA/MA, kelas X, penerbit
MEDIATAMA, tahun 2012
Wikipedia
Google search engine